Rabu, 23 Februari 2011
Tuhan Tidak Beragama
Dalil 1
Tuhan tidak beragama, jadi Ia berlaku adil bagi semua manusia.
Dalil 2
Agama adalah sekedar sarana untuk mengenalkan Tuhan yang tidak beragama. Agama mempunyai keterbatasan yang cukup mencolok seperti disebutkan dalam kitab-kitab suci al-Quran dan Injil. Misalnya dalam al-Quran ditandaskan bahwa; “Apabila semua ajaran Allah Swt. dituliskan, maka tinta sebanyak samudera rayapun tidak akan mencukupi”. Demikian pula dengan Injil yang menandaskan; “Apabila semua ajaran Isa Al-Masih dituliskan maka buku setebal gunungpun tidak akan bisa memuat”. Ini berarti umat beragama diminta untuk lebih banyak belajar ilmu beserta kebenarannya di luar kitab suci masing-masing agama, mengingat isi masing-masing kitab suci ternyata hanya sedikit sekali dan agar tidak fanatik. IQ, EQ dan Iman harus berkembang sejajar, jangan timpang.
Dalil 3
Pencapaian puncak pemahaman agama adalah religiusitas. Ibarat kuliah, ini adalah Philosophy Degree atau gelar Doktor. Setelah bergelar Doktor, maka ilmu lebih penting daripada almamaternya. Kalau baru taraf kuliah, seorang mahasiswa masih suka memamerkan identitas-identitas universitasnya. Demikian pula dalam agama, kalau sudah mumpuni bukan agamanya yang penting, melainkan religiusitasnya yang amat sangat penting. Ia tidak lagi tersekat-sekat oleh kotak sempit yang disebut agama. Religiusitas setingkat lebih atas daripada agama.
Dalil 4
Agama adalah sesuatu yang abstrak dan sulit dicerna, oleh sebab itu, sebaiknya tidak diberikan kepada anak-anak yang belum dewasa (di SD), apalagi dipaksakan sebagai pendidikan agama (ini pelanggaran HAM, agama adalah kebebasan untuk memilih), kalau sebagai pengajaran (berbagai agama) masih dapat ditolerir. Sebaiknya agama diberikan untuk manusia dewasa, waktu kecil cukup diberikan budi pekerti. Kalau sejak kecil sudah dicuci otak dengan agama, maka hasilnya mirip dengan Indonesia saat ini. Bukan kekeluargaan atau kasih sayang melainkan kecurigaan, keterkotakan, dan kekerasan yang justru muncul. Di negara modern seperti USA, Jepang, Inggris, Australia dst. Agama memang tidak boleh diberikan pada anak-anak SD (kecuali sekolah yang berafiliasi dengan agama tertentu), pendidikan agama merupakan tanggung jawab orang tua. Untuk anak, yang lebih baik dan lebih penting adalah budi pekerti. Budi pekerti mengajarkan sopan santun, taat hukum, keadilan dan hidup bersosial secara baik, Berapa ribu jam belajar yang sudah dihabiskan anak-anak SD untuk hal yang belum saatnya dipelajari? Sementara itu setelah SD kita harus menghabiskan sekian ribu jam pelajaran lagi untuk belajar dan mengejar ketertinggalan dalam bahasa Inggris, lalu kapan SDM kita bisa maju?
Dalil 5
Agama harus menghormati budaya setempat. Semua agama berasal dari luar negeri, maka bias budaya pasti ada. Artinya budaya asing mendompleng agama akan masuk dan mempengaruhi budaya lokal. Alangkah sedihnya kita, apabila di Dayeuhluhur, seorang menyapa dengan; Amitaba....(Budha Bahasa Cina), lalu dijawab yang lainnya dengan; Assalamu’alaikum,..(Islam Bahasa Arab), kemudian ada lagi yang menyahut; Syallom...(Kristen, Bahasa Yahudi), tak ketinggalan ada yang berkata; Hong Wilaheng....(Hindu Bahasa Hindi), kemudian ada yang menjawab secara rasional, sopan dan nasionalis: Selamat siang. Demikian pula dengan budaya berpakaian, alangkah sedihnya apabila blangkon dan surjan Yogyakarta terdesak oleh pakaian Arab atau sari India. Memeluk agama asing haruslah tidak boleh mengorbankan budaya setempat.
Dalil 6
Agama bukan jaminan kesejahteraan, kedamaian dan keadilan. Lihat saja, ada berbagai agama besar di Indonesia, namun persaudaraan, perdamaian dan keadilan justru tidak ada. Demikian pula korupsi justru merajalela. Para elit politik, militer dan birokrat, yang notabene berpendidikan dan berjabatan tinggi justru merupakan sebab utama kehancuran bangsa Indonesia. Yang di atas rajin korupsi, namun bebas. Sedangkan yang di bawah begitu menangkap pencuri ayam langsung dibakar begitu saja!. Di Amerika latin yang didominasi agama Katolik seperti Meksiko, Brasil, Argentina dan Columbia juga didominasi oleh kekerasan dan korupsi, demikian pula Philipina. Di Timur Tengah (negara-negara Arab), Afghanistan, Pakistan, dst, kekerasan dan pelanggaran HAM luar biasa. TKW kita menjadi salah satu bukti nyata. Sebaliknya negara RRC, yang komunis justru menampilkan kesejahteraan, kedamaian, dan keadilan, koruptor kelas kakap, justru tegas ditembak mati.
Dalil 7
Agama mudah diperalat. Oleh para elit politik maupun penipu biasa, agama sering diperalat. Kesetiaan dan ketaatan hampir seratus persen kepada Tuhan melalui agama disalahgunakan oleh manusia cerdas tapi jahat. Antara agama dan parpol sudah sulit dibedakan. Antara filsafati dan yang suci bersih dan politik yang hitam kelam bercampur baur. Umat beragama bingung, apakah ia sedang mendengarkan sabda Tuhan atau orasi politik yang ulung dari seorang da’i (misalnya da’i sejuta umat) atau apakah ia sedang ada di masjid atau sedang ada di kantor parpol? Awas, jika para politisi di Jakarta ahli mempolitisir agama, apalagi para pakar politik Barat yang bagaimanapun lebih unggul dari politisi kita, mereka pasti juga ikut dan lebih pandai menggunakan jurus politisasi agama. Dengan politisasi agama, kasih sayang dimanipulasi menjadi kekerasan dan bahkan pembunuhan, dan bangsa ini akan terjebak dan dibuat sibuk mengurusi hal-hal yang tidak penting (agama), sedangkan para politisi dari negara modern (pemerintah asing) bebas dan sibuk mencuri kekayaan alam kita yang luarbiasa kayanya. Lihatlah fakta kekerasan dan pem¬bunuhan di negara-negara yang agamis seperti Columbia, Aljazair, Afgha¬nistan, Philipina, Indonesia, Bosnia, Yugoslavia, dll.
Dalil 8
Agama dapat menghambat kemajuan IPTEK. Lihatlah sejarah Eropa di abad 17-an. Agama Katolik saat itu sering menghukum ilmuwan, dengan alasan ilmuwan itu membuat pernyataan yang dianggap bertentangan dengan isi Injil. Ilmuwan besar yang dikucilkan antara lain adalah Copernicus dan Darwin. Pada abad itu ketika agama Katolik begitu dominan, Eropa justru mengalami kegelapan. Sekarang lihatlah perbedaan antara negara Amerika Latin (yang dominan agamanya) dan USA serta Kanada (yang dominan religiusitasnya). Sangat kontras sekali misalnya saja antara USA dan Meksiko yang berbatasan. USA sangat modern, makmur, tentram. Sebaliknya Meksiko, padahal mereka sama-sama pendatang dari Eropa. Negara-negara Islam sama saja, katakan Turki adalah negara Islam paling modern, ternyata masih jauh di belakang negara-negara Eropa dalam iptek dan kemakmuran. Selama pemahaman agama itu masih sempit (fanatisme agama, bukan religiusitas), maka selama itu pula negara akan terjebak dalam hiruk pikuk eforia agama. Bandingkan pula dengan pemahaman demokrasi kita yang baru taraf belajar dan eforia, dengan negara-negara Eropa/USA. Kita juga dibuat tercengang dengan ilmuwan negara komunis, semisal RRC, mereka maju pesat lihat negara kita dibanjiri otomotif produk mereka.
Dalil 9
Semakin udara suatu bangsa penuh polusi doa, puja puji kepada Tuhan, semakin rusak moral bangsa itu. Kalau kita amati, seringkali tembok-tembok ditulisi: ngebut benjut, yang kencing disini hanyalah anjing, daerah bebas narkotik, dilarang buang sampah di sini...dst. Di negara maju yang masyarakatnya sudah mencapai religiusitas tulisan-tulisan berisi ancaman dan aturan kasar semacam itu sudah tidak ada lagi, sebab aturan itu sudah tertulis di hati sanubari mereka semenjak dini/kecil, yaitu melalui pendidikan budi pekerti. Begitu pula dengan masalah agama, semakin bumi nusantara ini dipenuhi polusi suara yang keras dan hingar bingar tentang agama(tabligh akbar, istighosah, azan masjid, koor gereja dsb.) semakin menandakan bahwa masyarakatnya masih sekedar pandai berdoa, sekedar basa-basi agama, namun tidak pandai melaksanakan ajaran agama. Siang maling atau korupsi, malam meditasi atau berdoa. Ucapan dan tindakan sangat kontras dan berbeda. Lihatlah kelihaian para politisi Orba dalam beragama, kemudian lihatlah track record mereka. Alhamdulillah, seratus delapan puluh derajat bedanya!
Dalil 10
Perlu dikembangkan religiusitas lokal. Tuhan tidak beragama kitab suci jelas mempunyai keterbatasan dan pemahaman tertinggi yang diharapkan Tuhan adalah religiusitas. Religiusitas dapat diperoleh di luar agama. Oleh sebab itu bagi kaum cerdik pandai terbuka inovasi luas dan dalam, dalam religiusitas. Misalnya saja untuk masyarakat Yogyakarta alangkah baik dan mulianya kalau mengembangkan kejawen. Lihatlah di RRC sudah mulai dengan ajaran Fa Lun Gong. Kita jangan terlambat, lalu kita hanya menjadi sekedar pemakai (konsumer) produk dan ajaran asing! marilah berkreasi!
Penutup
Agama itu penting, namun beragamalah yang baik. Belajar agama harus sampai mencapai tingkat tertinggi yaitu religiusitas. Keterbatasan agama (iman dan keyakinan) yang inherent harus diimbangi dengan perkembangan EQ dan IQ. Semua agama berasal dari negara asing maka kita wajib waspada dan bisa memilahkan antara ajaran agama dan budaya. Kita janganlah dibiasakan meniru adat-istiadat, pakaian, budaya, apalagi kekerasan yang mendompleng agama.
--ooOoo--
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
setuju.....
Posting Komentar