Jumat, 11 Februari 2011
Elite Cilacap yang Irasional
Elite politik dan birokrasi di Cilacap tidak rasional. Kira-kira seperti itulah inti dari tulisan ini. Dibalik didengung-dengungkannya reformasi di segala lini baik di aspek kelembagaan (organization), ketatalaksanaan (business process) dan aparatnya, kita seringkali melupakan konsep rasionalitas yaitu keterimaan terhadap akal sehat terhadap perubahan yang ingin diterapkan.
Adanya intervensi politik adalah satu dari sekian hal yang mengganggu rasionalitas terhadap suatu konsep baru yang akan digunakan. Padahal kita semua tahu, intervensi politik yang kental dalam ranah birokrasi hanya ada ketika orde baru dulu. Sekarang kita di orde reformasi, masa ketika negara ini mulai menguatkan nilai-nilai demokrasi.
Rasionalisasi disini tidak diartikan dalam lingkup perbaikan semata, seperti biasa disebutkan dalam konsep reformasi. Rasionalisasi lebih dihubungkan pada bagaimana elite politik Cilacap dapat mengambil putusan yang dapat diterima oleh akal yang rasional. Ketidakrasionalan ini dapat terlihat dalam tiga hal, yaitu:
Pertama, tidak adanya koherensi positif antara regulasi yang dibuat oleh negara ini dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana lemahnya perjuangan mereka yang duduk di lembaga eksekutif (Bupati) maupun legislatif (DPRD) untuk menyerap aspirasi warga bagian Cilacap Barat dalam tuntutannya memekarkan diri membentuk Kabupaten Majenang. Mereka pada akhirnya tunduk [baca: takut] pada putusan gubernur Jawa Tengah, yang jelas-jelas tidak tahu permasalahan real di masyarakat.
Kedua, semakin berkembangnya pemikiran untuk mengkooptasi kekuatan wilayah Cilacap, dengan menghadirkan figur-figur “baru” sebagai eksekutif (bupati) yang masih merupakan sanak familinya. Bukankah ini merupakan bagian dari Nepotisme? Padahal salah satu misi dari reformasi adalah memberantas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Ketiga, semakin banyaknya inkompetensi aparat di segala bidang. Karena tidak adanya aturan yang mengatur untuk persyaratan seseorang untuk menduduki suatu jabatan strategis, sah-sah saja ketika seorang bisa membawahi suatu komunitas yang tidak sesuai dengan jalurnya. Kata sebagian kalangan, unsur pimpinan hanya menyoal masalah manajerial.
Rasionalnya, bagaimana bisa seorang pejabat (gubernur/bupati) mengambil suatu kebijakan yang strategis ketika dia tidak mengetahui aspirasi yang dikehendaki warganya. Bagaimana seorang camat bisa mengatur wilayahnya kalau dia tidak tahu basic masyarakatnya? Sebagai contoh, pantas saja selama ini Kecamatan Dayeuhluhur tak pernah maju, karena belum pernah dipimpin oleh warga asli Dayeuhluhur. Mereka hanya melaksanakan tugas atasan, bukan memperjuangkan kehendak basic. Wallohu’alam...
----
Nana Suryana.
25 januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar