Jumat, 11 Februari 2011
Dekap Dan Belaiku Untukmu, Anakku…
Anakku… tanpa terasa 12 hari sudah kita lewati hidup bersama dalam satu bangunan keluarga utuh. Mungkin inilah waktu terlama yang sempat kita lalui sepanjang hidup yang kau alami. Esok kau kan kembali ke tanah lahirmu. Sementara ayah mesti melanjutkan perjuangan hidup dengan tenaga dan pikiran yang tersisa. Di tanah yang entah sampai kapan kan tetap berbaik budi padaku.
Kini kau dan Ibumu telah lelap. Sementara Ayah tak ingin melewatkan setiap momen hidupmu tanpa catatan. Itulah salah satunya warisan yang akan kuberikan. Maka kutulis surat ini untukmu, Anakku. Meski Ayah sendiri sebenarnya tak mengerti di mana bermula maksud ini. Tapi ayah tidak memiliki kemampuan menuliskan isyarat hati. Ayah juga berharap dirimu damai adanya. Sebab doaku telah kurangkumkan pada mega. Ia kan menaungimu dari durja dunia. Dan bagi ayah, beritamu adalah segalanya. Apa yang ayah jalani tidak lagi berarti bila kamu, anakku, tak lagi mengilhami. Jangan kuatirkan ayah karena kau tinggalkan, hidup ini singkat, dan sungguh, binar hati ayah menatap langkah. Itu sudah cukup menjelma alasan bagi ayah untuk meludahi kaum kapitalis dan fundamentalis, meski tak menolak jika ada komisi (kelak kau kan mengerti apa peran seorang Kyai!).
Anakku… saat esok kau pulang, ayah tak kurang suatu apa, kecuali seperca sesal tentang waktu yang tiba-tiba berlalu tak terasa. Ayah telah mengerti hitam, putih, abu, kuning, dan merahnya dunia. Tapi ayah terus tak jua mampu mengenalimu utuh seperti semula. Rupanya hidup telah menempamu menjadi tak biasa. Tapi itu pilihanmu, seperti ayah dulu juga memilih ibumu, yang menjadi muasal adamu. Jangan salahkan kota, atau tiap paras yang menghuninya. Kamu adalah anakku, dan anak dari ingatan yang kuwariskan padamu. Terutama ingatan tentang obrolan malam yang kita ucapkan lebih dengan diam. Tatapmu tegar, hatimu jarang bergetar. Dan Ayah tahu itu, sehingga ayah juga tak akan memaksamu kembali, atau sekadar mengirimkan salam yang menyiratkan kangen hati. Apalagi, tentu saja hidupmu kan semakin tumbuh meraja, dan itu membuat hidup tak lagi soal menang-kalah, atau sebatas usangnya cerita kasih saying orang tua. Berdirilah anakku. Matahari pun bersinar sendiri dan kamu lebih dari semua yang hanya purnama.
Kini Ayah sudah mulai tua untuk memulai sapa. Pandangan mulai bias, uban sudah satu dua. Sementara diri dan peristiwa tetaplah itu-itu saja, ketuaan ini telah mengajarkan semua. Pahammu tentang dunia masih terlampau pagi, anakku. Masih banyak yang harus kau tekuni. Masih luas padang yang mesti kau jelajahi. Karena kelak kamu akan mengerti, ikatan kita, jalinan kita, bukan sekadar pautan darah. Kita mungkin sama, sebab tekad mudaku menghuni kepribadianmu. Tekad yang kuwarisi dari kakekmu. Yang mengajarkan bagaimana hidup memang mesti bersyukur. Bukan semata tumbuh dan gugur. Dan ikatan kita lebih dari itu, tapi ayah tak bisa menjelaskan semua padamu, cukup teruslah berjalan, sebab jawaban yang dengan darah kau temukan kan lebih memberimu kepastian. Jika pertemuan kita pada akhirnya banyak dihiasi gugup sangka, sela canda dan keacuhan, itu pasti karena ayah tahu bahwa kini untukmu ayah tak perlu lagi menjelma dewa. Kakimu sudah tegap dan bersahaja, meski kepalmu terkadang buta. Tapi itu sudah mewakili apa yang diinginkan seorang ayah pada anaknya.
Anakku... hidup memang tak semata lelucon dan pantun tawa. Tapi tentu jauh dari sebatas prosa duka dan air mata. Sebab itu ayah mengerti kondisimu, harapanmu, kenakalanmu, dan juga kecengenganmu. Bahwa itu mengecewakanmu, bahkan mungkin menelikung tempuhanmu. Tapi anakku, jangan berpaling dari seperempat jalanmu, apalagi berpaling setelah kamu berhasil membuka separuh pintu. Kamu boleh merasa semu, jemu, dan sedikit ngilu, tapi tidak untuk terus menjadi ragu dan menjelma benalu. Sebab boleh jadi itu rahman Tuhan untukmu.
Kita hidup di dunia yang sinis, anakku. Riwayat hidup seringkali berwajah bengis. Pun bagi retakmu, tak ada dinding yang kan menangis. Begitu juga dengan langkah hidupmu! Bila pengorbanan dan ketegaran takdir mengalahkanmu, itu bukanlah petanda ketakberhargaan adamu. Bisa jadi ia adalah perigi untuk kamu menumpulkan amarah diri. Kamu lebih dari apa yang dipikirkan tentang kamu, anakku. Jangan sia-siakan perjalanmu terseok oleh terjal anggapan orang. Di luar tak ada perang, sebab di dalam kamu telah menang.
Anakku, tameng naluriku, perisai semangatku… Ayah berharap kamu mengerti, semuanya sudah kusampaikan berulangkali. Dan kini tak perlu lagi ada nasehatku yang menemani. Ayah sudah mulai berpikir untuk meminang kemboja, juga mengetuk nisan dan tanah 6 depa. Meski jawaban Dia entah kapan tiba. Tapi ubanku, samarku, kerutku, semua adalah petanda. Apa yang belum termaafkan dari tuturku, egoku, dan keangkuhanku, relakanlah! Abadikan nama ibumu meski kelak kau kan melupakanku. Inilah hidup anakku. Jangan menyesali hari, kelak riwayatmu dalam kukuhnya kan bernyanyi. Dan ayahmu saat itu lewat doa mampu berkata; "Saksikan Tuhan, bukankah semua telah aku sampaikan...".
---
Untukmu Syahda...
Cijagra, 06 Januari 2011 M
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar