Minggu, 13 Februari 2011
Kemanakah Media Islam yang Toleran?
Kehidupan masa kini sangat diwarnai oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merambah hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Penghayatan hidup personal sekalipun sangat kuat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Perubahan pola pikir dan mentalitas itu sangat dipengaruhi oleh penanaman nilai yang jelas sangat kuat dipengaruhi oleh perubahan peradaban (Aurelius Pati Soge; 2003).
Informasi merupakan komoditas primer yang dibutuhkan orang saat ini. Apalagi seiring dengan canggihnya tekhnologi komunikasi yang telah menghantarkan perubahan tatanan kehidupan manusia menuju peradaban masyarakat informasi. Dengan informasi, ruang-ruang yang amat jauh terasa begitu dekat karena dapat ditampilkan secara langsung lewat media massa sebagai mediatornya. Peristiwa-peristiwa dibelahan dunia dapat secara langsung dalam waktu bersamaan dinikmati oleh publik dunia.
Sistem komunikasi modern sangat memudahkan manusia untuk mendapatkan informasi dari sumber-sumber lain, termasuk dalam hal ajaran keagamaan. Kalau di masa lalu dakwah Islam melalui media mimbar seakan-akan menjadi referensi tunggal untuk kebenaran iman dan moral, sekarang ini orang dengan mudah membandingkannya dengan informasi lain dari media cetak dan elektronik.
Situasi ini menghantarkan kelompok agamawan kepada tantangan baru di dalam menjalankan tugas pelayanannya. Untuk bisa menjalankan tugas pelayanan di masa kini dengan tantangan yang begitu besar, para praktisi misioner agama dengan seharusnya mengetahui gerak perubahan modern tersebut.
Pertanyaan bagi kelompok misioner ialah, sejauh mana tahapan "mengetahui" gerak perubahan komunikasi modern tersebut dituntut bagi setiap praktisi misioner? Apakah sebatas "pengetahuan artifisial" atau lebih mengarah ke proses internalisasi yang lebih dalam, sehingga komunikasi tidak lagi menjadi "sekedar" metode tetapi lebih menjadi bagian integral dari kehidupan seorang praktisi misionaris agama?.
Menjelang akhir dekade 90-an, kita menyaksikan gerakan Islam liberal yang mencoba menampilkan Islam dengan cara yang berbeda dengan mainstream. Mereka tidak hanya menampilkan diri dalam bentuk identitas dan simbol keislaman yang mencolok, tetapi juga hadir dalam bentuk perjuangan yang khas, mulai dari tuntutan universalisme dan pluralisme ajaran Islam hingga pembongkaran terhadap doktrin-doktin keagamaan yang sarat dengan nuansa pembelengguan dan eksploitasi umat.
Perjuangan untuk menyebarkan paham keislaman dengan corak yang berbeda tersebut (liberal-Red), banyak dilakukan melalui media massa, baik yang dikelola oleh lembaga keagamaan, maupun melaui media massa umum.
Suatu perkembangan penting dalam kehidupan media telah terjadi sejak tiga dekade terakhir ini. Berbeda dengan dekade-dekade sebelumnya, media massa telah menjadi kekuatan yang relatif terpisah dari pengelompokan-pengelompokan sosial berdasarkan ideologi atau aliran. Meskipun kaitan-kaitan semacam itu masih ada, pengaruhnya sudah tidak lagi intensif dan mendalam. Koran atau majalah tidak menjadi corong kekuatan politik tertentu.
Disadari atau tidak, kisah suksesnya media-media tidak bisa dilepaskan dari fenomena tumbangnya Orde Baru pada bulan Mei 1998. Drama politik paling sensasional selama tiga dekade itu menandai datangnya eforia kebebasan yang nyaris sempurna. Dan, bagi kalangan media, itulah untuk pertama kalinya selama 30 tahun, media massa mengalami masa kebebasan yang hampir-hampir tak terbatas.
Bak gayung bersambut, Yunus Yosfiah, Menteri Penerangan waktu itu, melakukan terobosan penting dengan mempermudah pengurusan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Ratusan SIUPP pun keluar dari tangan Yosfiah.
Media-media Islam jelas diuntungkan dengan fenomena tersebut. Sebab, sebelumnya, untuk menerbitkan sebuah media massa dibutuhkan SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers), hal yang tidak mudah diperoleh. SIUPP bukan sekadar surat izin yang harus dibeli dengan uang jutan rupiah, ia bahkan lebih mirip kepanjangan tangan dari kekuasaan. Orang boleh memiliki uang, gagasan dan keterampilan, tapi untuk memperoleh SIUPP, uang saja tidak cukup. Dibutuhkan orang yang punya akses terhadap proses pengambilan keputusan untuk bisa memperoleh SIUPP.
Itulah sebabnya, begitu kran kebebasan dibuka dan proses pengurusan SIUPP dipermudah, banyak orang tergoda untuk terjun di dunia pers. Akhir dekade 90-an adalah masa pertumbuhan pesat dunia pers, baik majalah, tabloid, maupun koran. Kios-kios pinggir jalan dipenuhi oleh beragam tabloid, majalah dan koran baru, termasuk di antaranya media-media Islam.
Sayangnya, pada saat pasar dipenuhi oleh media Islam yang menyuarakan fanatisme dan eksklusivisme, media Islam moderat justru semakin hilang dari peredaran. Majalah Ummat yang sempat mapan pada dekade 90-an ternyata tidak dilanjutkan penerbitannya. Padahal, pada masa jayanya, majalah ini sempat mencapai oplah 40 ribu eksemplar, suatu pencapaian yang cukup besar untuk ukuran media Islam. Jurnal Ulumul Qur’an yang sempat menjadi salah satu icon pemikiran Islam, ternyata tidak berlanjut ketika kran kebebasan dibuka lebar. Majalah Panji Masyarakat juga tidak lebih baik nasibnya.
Ini tentu memprihatinkan, karena media-media Islam yang terbit sejak masa itu didominasi oleh media yang cenderung menjual “kabar-kabar kebencian” (Agus Sudibyo, Ibnu Hamad dan Muhammad Qodari, Kabar-kabar Kebencian, Prasangka Agama di Media Massa, Jakarta, ISAI, 2001).
Padahal kita tahu, media merupakan faktor yang sangat penting bagi pembentukan image, citra maupun stigma. Dari medialah kita memperoleh informasi mengenai realitas yang tengah berlangsung di tempat lain. Sementara, realitas yang dihadirkan media ke hadapan kita belum tentu realitas yang sesungguhnya, tetapi realitas yang sudah dibentuk, dibingkai, dan dipoles sedemikian rupa oleh media tersebut.
Sekarang ini, pada waktu yang bersamaan muncul juga media-media Islam dalam format website yang boleh dikatakan berbeda dari media-media Islam sebelumnya, baik dari segi penyajian maupun isu yang diangkat. Dari segi penyajian, media-media ini menggunakan bahasa yang tegas, lugas dan berani, bahkan cenderung provokatif. Sementara, dari segi isu yang diangkat, media-media ini juga menurunkan tema-tema yang sensitif, termasuk yang berkenaan dengan SARA, tentu saja dengan pendekatan yang sangat mencerminkan pluralitas ajaran Islam.
Salah satu website media Islam yang sangat besar, yakni situs www.islamemansipatoris.com. Website Jaringan Islam Emansipatoris merupakan salah satu media yang digunakan oleh Jaringan Islam Emansipatoris (JIE) Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta dalam rangka melakukan transformasi sosial, demi pemberdayaan wacana intelektual masyarakat.
Sebagai salah satu situs terkemuka di Indonesia dekade tahun 2005-an, website Jaringan Islam Emansipatoris memiliki ciri khas, segmen pembaca, visi dan misi yang menarik untuk memasukinya. Sayangnya website itu kini sekarang sudah almarhum. Maka pada tataran inilah, kehadiran blog ini semoga mampu jawaban atas kerinduan kita pada media yang memiliki konsen khas pada ajaran Islam yang berperspektif emansipatoris.
-----
nana suryana
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar