PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
PENDAHULUAN
Pendidikan multikultural (multicultural education) sesungguhnya bukanlah pendidikan khas Indonesia. Pendidikan multikultural merupakan pendidikan khas Barat. Kanada, Amerika, Jerman, dan Inggris adalah beberapa contoh negara yang mempraktikkan pendidikan multikultural. Ada beberapa nama dan istilah lain yang digunakan untuk menunjuk pendidikan multikultural. Beberapa istilah tersebut adalah: intercultural education, interetnic education, transcultural education, multietnic education, dan cross-cultural education (L.H. Ekstrand dalam Lawrence J. Saha, 1997: 345-6).
Untuk konteks Indonesia, pendidikan multikultural baru sebatas wacana. Sejak tahun 2002 hingga sekarang ini wacana pendidikan multikultural berhembus di Indonesia. Beberapa tulisan di media, seminar, dan simposium cukup gencar mewacanakan pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia. Simposium internasional di Universitas Udayana, Denpasar, Bali, pada tanggal 16-19 Juli 2002 adalah salah satu contoh simposium yang mewacanakan pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia. Seminar kali ini juga memiliki concern yang sama, bahwa wacana pendidikan multikultural perlu terus-menerus dihembuskan, bahkan perlu diujicobakan.
Untuk membahas topik ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pedagogik. Pendekatan ini digunakan untuk membahas bagaimana mengasuh, membesarkan, dan mendidik peserta didik melalui pendidikan multikultural. Dalam kaitan ini, ada dua hal penting yang perlu ditekankan, yaitu masalah didaktik dan metodik. Masalah didaktik perlu mendapat tekanan dalam tulisan ini dengan alasan bahwa didaktik merupakan bagian dari ilmu pendidikan yang membahas tentang cara membuat persiapan pembelajaran dan mengorganisir bahan pembelajaran. Dalam tulisan ini, didaktik akan dikaitkan dengan bahan, materi, dan silabus, atau kurikulum dalam pendidikan multikultural. Masalah metodik juga akan ditekankan di sini, karena metodik merupakan bagian dari ilmu pendidikan yang membahas tentang cara mengajarkan suatu mata pelajaran. Dalam tulisan ini, metodik akan dikaitkan dengan manajemen dan strategi pembelajaran dalam pendidikan multikultural.
Dengan mempertimbangkan pendekatan pedagogik serta masalah didaktik dan metodik di atas, tulisan ini akan memfokuskan pembahasannya pada 3 (tiga) pokok bahasan. Ketiga pokok bahasan tersebut adalah: (1) Latar Belakang Pendidikan Multikultural, (2) Kurikulum Pendidikan Multikultural, serta (3) Strategi dan Manajemen Pendidikan Multikultural. Ketiga pokok bahasan tersebut akan dibahas secara berurutan berikut ini.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Sebagai sebuah ide, pendidikan multikultural dibahas dan diwacanakan pertama kali di Amerika dan negara-negara Eropa Barat pada tahun 1960-an oleh gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak sipil (civil right movement). Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mengurangi praktik driskriminasi di tempat-tempat publik, di rumah, di tempat-tempat kerja, dan di lembaga-lembaga pendidikan, yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Selama itu, di Amerika dan negara-negara Eropa Barat hanya dikenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan kulit putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut dikelompokkan sebagai minoritas dengan pembatasan hak-hak mereka (Pardi Suparlan, 2002: 2-3). Gerakan hak-hak sipil ini, menurut James A. Bank (1989: 4-5), berimplikasi pada dunia pendidikan, dengan munculnya beberapa tuntutan untuk melakukan reformasi kurikulum pendidikan yang sarat dengan diskriminasi. Pada awal tahun 1970-an muncullah sejumlah kursus dan program pendidikan yang menekankan pada aspek-aspek yang berhubungan dengan etnik dan keragaman budaya (cultural diversity).
Alasan lain yang melatarbelakangi adanya pendidikan multikultural adalah keberadaan masyarakat dengan individu-individu yang beragam latar belakang bahasa dan kebangsaan (nationality), suku (race or etnicity), agama (religion), gender, dan kelas sosial (social class). Keragaman latar belakang individu dalam masyarakat tersebut berimplikasi pada keragaman latar belakang peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan (James A. Bank, 1989: 14). Dalam konteks Indonesia, peserta didik di berbagai lembaga pendidikan diasumsikan juga terdiri dari peserta didik yang memiliki beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Asumsi ini dibangun berdasarkan pada data bahwa di Indonesia terdapat 250 kelompok suku, 250 lebih bahasa lokal (lingua francka), 13.000 pulau, dan 5 agama resmi (Leo Suryadinata, dkk., 2003: 30, 71, 104, dan 179). Paling tidak keragaman latar belakang siswa di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia terdapat pada paham keagamaan, afiliasi politik, tingkat sosial ekonomi, adat istiadat, jenis kelamin, dan asal daerahnya (perkotaan atau pedesaan).
Hal lain yang melatarbelakangi adanya pendidikan multikultural adalah adanya 3 (tiga) teori sosial yang dapat menjelaskan hubungan antar individu dalam masyarakat dengan beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Menurut Ricardo L. Garcia (1982: 37-42) ketiga teori sosial tersebut adalah: (1) Melting Pot I: Anglo Conformity, (2) Melting Pot II: Ethnic Synthesis, dan (3) Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Ketiga teori tersebut populer dengan sebutan teori masyarakat majmuk (communal theory).
Teori pertama, Melting Pot I: Anglo Conformity, berpandangan bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang beragam latar belakang—seperti agama, etnik, bahasa, dan budaya—harus disatukan ke dalam satu wadah yang paling dominan. Teori ini melihat individu dalam masyarakat secara hirarkis, yaitu kelompok mayoritas dan minoritas. Bila mayoritas individu dalam suatu masyarakat adalah pemeluk agama Islam, maka individu lain yang memeluk agama non-Islam harus melebur ke dalam Islam. Bila yang mendominasi suatu masyarakat adalah individu yang beretnik Jawa, maka individu lain yang beretnik non-Jawa harus mencair ke dalam etnik Jawa, dan demikian seterusnya. Teori ini hanya memberikan peluang kepada kelompok mayoritas untuk menunjukkan identitasnya. Sebaliknya, kelompok minoritas sama sekali tidak memperoleh hak untuk mengekspresikan identitasnya. Identitas di sini bisa berupa agama, etnik, bahasa, dan budaya. Teori ini tampak sangat tidak demokratis.
Karena teori pertama tidak demokratis, maka muncullah teori kedua, yaitu Melting Pot II: Ethnic Synthesis. Teori yang dipopulerkan oleh Israel Zangwill ini memandang bahwa individu-individu dalam suatu masyarakat yang beragam latar belakangnya, disatukan ke dalam satu wadah, dan selanjutnya membentuk wadah baru, dengan memasukkan sebagian unsur budaya yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam masyarakat tersebut. Identitas agama, etnik, bahasa, dan budaya asli para anggotanya melebur menjadi identitas yang baru, sehingga identitas lamanya menjadi hilang. Bila dalam suatu masyarakat terdapat individu-individu yang beretnik Jawa, Sunda, dan Batak, misalnya, maka identitas asli dari ketiga etnik tersebut menjadi hilang, selanjutnya membentuk identitas baru. Islam Jawa di kraton dan masyarakat sekitarnya yang merupakan perpaduan antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai kejawen adalah salah satu contohnya. Teori ini belum sepenuhnya demokratis, karena hanya mengambil sebagian unsur budaya asli individu dalam masyarakat, dan membuang sebagian unsur budaya yang lain.
Mengingat teori kedua belum sepenuhnya demokratis, maka muncullah teori ketiga, yaitu Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Teori yang dikembangkan oleh Berkson ini berpandangan bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk mengekspresikan identitas budayanya secara demokratis. Teori ini sama sekali tidak meminggirkan identitas budaya tertentu, termasuk identitas budaya kelompok minoritas sekalipun. Bila dalam suatu masyarakat terdapat individu pemeluk agama Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu, maka semua pemeluk agama diberi peluang untuk mengekspresikan identitas keagamaannya masing-masing. Bila individu dalam suatu masyarakat berlatar belakang budaya Jawa, Madura, Betawi, dan Ambon, misalnya, maka masing-masing individu berhak menunjukkan identitas budayanya, bahkan diizinkan untuk mengembangkannya. Masyarakat yang menganut teori ini, terdiri dari individu yang sangat pluralistik, sehingga masing-masing identitas individu dan kelompok dapat hidup dan membentuk mosaik yang indah.
Dari ketiga teori komunal di atas, teori ketigalah yang dijadikan dasar oleh pendidikan multikultural, yaitu teori Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Untuk konteks Indoneisa, teori ini sejalan dengan semboyan negara Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. Secara normatif, semboyan tersebut memberi peluang kepada semua bangsa Indonesia untuk mengekspresikan identitas bahasa, etnik, budaya, dan agama masing-masing, dan bahkan diizinkan untuk mengembangkannya.
Lebih jauh, menurut Jose A. Cardinas (1975: 131), pentingnya pendidikan multikultural ini didasarkan pada lima pertimbangan: (1) incompatibility (ketidakmampuan hidup secara harmoni), (2) other languages acquisition (tuntutan bahasa lain), (3) cultural pluralism (keragaman kebudayaan), (4) development of positive self-image (pengembangan citra diri yang positif), dan (5) equility of educational opportunity (kesetaraan memperoleh kesempatan pendidikan). Di pihak lain, Donna M. Gollnick (1983: 29) menyebutkan bahwa pentingnya pendidikan multikultural dilatarbelakangi oleh beberapa asumsi: (1) bahwa setiap budaya dapat berinteraksi dengan budaya lain yang berbeda, dan bahkan dapat saling memberikan kontribusi; (2) keragaman budaya dan interaksinya merupakan inti dari masyarakat Amerika dewasa ini; (3) keadilan sosial dan kesempatan yang setara bagi semua orang merupakan hak bagi semua warga negara; (4) distribusi kekuasaan dapat dibagi secara sama kepada semua kelompok etnik; (5) sistem pendidikan memberikan fungsi kritis terhadap kebutuhan kerangka sikap dan nilai demi kelangsungan masyarakat demokratis; serta (6) para guru dan para praktisi pendidikan dapat mengasumsikan sebuah peran kepemimpinan dalam mewujudkan lingkungan yang mendukung pendidikan multikultural.
KURIKULUM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Dari aspek didaktik, kurikulum merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan multikultural. Namun sebelum dibahas tentang masalah kurikulum pendidikan multikultural, bagian ini akan mengawali pembahasannya pada definisi dan tujuan pendidikan multikultural. Pembahasan tentang definisi dan tujuan ini penting untuk dilakukan, dengan alasan bahwa pemahaman terhadap definisi dan tujuan pendidikan multikultural ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk menentukan kurikulum pendidikan multikultural.
Tentang definisi pendidikan multikultural ada baiknya dikutip pendapat Lawrence J. Saha. Menurutnya, pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses atau strategi pendidikan yang melibatkan lebih dari satu budaya, yang ditunjukkan melalui kebangsaan, bahasa, etnik, atau kriteria rasial. Pendidikan multikultural dapat berlangsung dalam setting pendidikan formal atau informal, langsung atau tidak langsung. Pendidikan multikultural diarahkan untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman, dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan kultural, dan juga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan pandangan dunia, konsep, nilai, keyakinan, dan sikap (Lawrence J. Saha, 1997: 348).
Definisi lain yang relevan untuk dikutip di sini adalah pendapat James A. Bank. Menurutnya, pendidikan multikultural dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek: konsep, gerakan, dan proses (James A. Bank, 1989: 2-3). Dari aspek konsepnya, pendidikan multikultural dipahami sebagai ide yang memandang semua siswa—tanpa memperhatikan gender dan kelas sosial mereka, etnik mereka, ras mereka, dan atau karakteristik-karakteristik kultural lainnya—memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di kelas. Dari aspek gerakannya, pendidikan multikultural didefinisikan sebagai usaha untuk mengubah sekolah-sekolah dan institusi-institusi pendidikan sehingga siswa dari semua kelas sosial, gender, ras, dan kelompok-kelompok kultural memiliki kesempatan yang sama untuk belajar. Perubahan yang dilakukan tidak hanya terbatas pada kurikulum, tetapi juga aspek lain seperti metode, strategi, manajemen pembelajaran, dan lingkungan sekolah. Dari aspek prosesnya, pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses untuk mencapai tujuan agar kesetaraan pendidikan dapat dicapai oleh semua siswa. Kesetaraan pendidikan, seperti kemerdekaan dan keadilan tidak mudah dicapai, karena itu proses ini harus berlangsung terus-menerus.
Sementara itu, tujuan pendidikan multikultural dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam tujuan, yaitu: tujuan yang berkaitan dengan sikap, pengetahuan, dan pembelajaran (Lawrence J. Saha, 1997: 349). Tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan aspek sikap (attitudinal goals) adalah untuk mengembangkan kesadaran dan kepekaan kultural, toleransi kultural, penghargaan terhadap identitas kultural, sikap responsif terhadap budaya, keterampilan untuk menghindari dan meresolusi konflik. Tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan aspek pengetahuan (cognitive goals) adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang bahasa dan budaya orang lain, dan kemampuan untuk menganalisis dan menerjemahkan perilaku kultural, dan pengetahuan tentang kesadaran perspektif kultural. Sedangkan tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan pembelajaran (instructional goals) adalah untuk memperbaiki distorsi, stereotip, dan kesalahpahaman tentang kelompok etnik dalam buku teks dan media pembelajaran; memberikan berbagai strategi untuk mengarahkan perbedaan di depan orang, memberikan alat-alat konseptual untuk komunikasi antar budaya; mengembangkan keterampilan interpersonal; memberikan teknik-teknik evaluasi; membantu klarifikasi nilai; dan menjelaskan dinamika kultural.
Memperhatikan definisi dan tujuan pendidikan multikultural di atas, maka kurikulum pendidikan multikultural seharusnya berisi tentang materi-materi yang dapat menghadirkan lebih dari satu perspektif tentang suatu fenomena kultural. Untuk menghadirkan keragaman perspektif dalam kurikulum ini, menurut James A. Bank sebagaimana dikutip Zoran Minderovic (2004: 2) dapat dilakukan dengan 4 (empat) tahapan, yaitu: (a) tahap kontribusi (contribution level), (b) tahap penambahan (additive level), (c) tahap perubahan (transformative level), dan (d) tahap aksi sosial (social action level). Bila pada tahap kontribusi, kurikulum memfokuskan pada kebudayaan minoritas tertentu, maka pada tahap penambahan, kurikulum memperkenalkan konsep dan tema-tema baru—misalnya tema-tema yang terkait dengan multikulturalisme—dengan tanpa mengubah struktur kurikulum yang esensial. Selanjutnya, bila pada tahap perubahan, kurikulum memfasilitasi para siswa untuk melihat berbagai isu dan peristiwa dari perspektif budaya minoritas, maka pada tahap aksi sosial, kurikulum mengajak para siswa untuk memecahkan problem sosial yang disebabkan oleh persepsi budaya dalam satu dimensi
Lebih jauh tentang kurikulum pendidikan multikultural ini, Mark K. Smith (2002: 3) memposisikan kurikulum pada 4 (empat) pendekatan, yaitu: (a) kurikulum sebagai silabus (curriculum as a body of knowledge to be transmitted), (b) kurikulum sebagai produk (curriculum as product), (c) kurikulum sebagai proses (curriculum as process), dan (d) kurikulum sebagai praksis (curriculum as praxis). Dalam tulisan ini, fokus akan diarahkan pada dua pendekatan, yaitu: kurikulum sebagai silabus dan kurikulum sebagai proses.
Kurikulum sebagai silabus dapat dipahami dalam pengertian “sejumlah pernyataan atau daftar pokok-pokok bahasan, bahan ajar, dan sejumlah mata pelajaran yang akan dijadikan sebagai bahan dalam proses pembelajaran” (Smith, 2002: 3). Atas dasar ini, kurikulum dimaknai sebagai kumpulan pengetahuan yang berbentuk mata pelajaran. Pendidikan yang menjadikan kurikulum sebagai silabus, dengan demikian, merupakan proses penyampaian sejumlah mata pelajaran kepada siswa dengan metode tertentu. Untuk memberikan pendidikan multikultural, sekolah atau guru perlu menelaah secara kritis tentang materi dan bahan ajar yang akan disampaikan dalam proses pembelajaran, agar tidak terjadi berbagai macam bias. Dalam kaitan ini, Sadker sebagaimana dikutip Donna M. Gollnick & Philip C. Chinn (1983: 299-300) mencatat adanya 6 (enam) macam bias dalam buku teks yang digunakan dalam pembelajaran. Keenam macam bias tersebut adalah: (a) bias yang tidak kelihatan (invisibility), (b) pemberian label (stereotyping), (c) selektivitas dan ketidakseimbangan (selectivity and inbalance), (d) tidak mengacu realitas (unreality), (e) pembagian dan isolasi (fragmentation and isolation), dan (f) bahasa (language).
Buku-buku teks yang dipakai guru dalam proses pembelajaran, umumnya, menekankan pembahasannya pada budaya-budaya mayoritas, sementara budaya-budaya minoritas sering diabaikan. Inilah yang disebut dengan bias tidak kelihatan (invisibility). Bias lain yang terdapat dalam buku-buku teks selama ini adalah adanya pemberian label kepada kelompok lain, baik positif atau negatif. Bias ini namanya stereotyping. Misalnya, orang Madura itu ulet dan orang Jawa itu pemalas. Selain itu, buku-buku teks yang dijadikan pegangan guru biasanya menggunakan perspektif budaya mayoritas dan abai terhadap perspektif budaya minoritas. Inilah yang disebut bias selectivity and imbalance. Misalnya, buku teks fiqh yang digunakan di sekolah NU, perspektif yang dipilih adalah perspektif yang sejalan dengan paham organisasi, sementara perspektif lain diabaikan. Bias lain yang terdapat dalam buku teks adalah unreality. Maksudnya, buku teks yang dijadikan pegangan guru tidak mengacu kepada data yang riil. Misalnya, buku teks Sejarah Indonesia pada masa Orde Baru banyak yang menginformasikan peristiwa dengan pelaku yang tidak sebenarnya.
Untuk mengurangi kecenderungan bias tersebut, kurikulum berbasis multikultural perlu memasukkan materi dan bahan ajar yang berorientasi pada penghargaan kepada orang lain. Dalam hubungan ini, James Lynch (1986: 86-7) merekomendasikan agar sekolah atau guru menyampaikan pokok-pokok bahasan multikultural, dengan berorientasi pada 2 (dua) tujuan, yaitu: (a) penghargaan kepada orang lain (respect for others), dan (b) penghargaan kepada diri sendiri (respect for self). Kedua bentuk penghargaan ini, mencakup 3 (tiga) ranah pembelajaran (domain of learning). Ketiga ranah pembelajaran tersebut adalah: pengetahuan (cognitive), keterampilan (psychomotor), dan sikap (affective). Rekomendasi Lynch di atas mempertimbangkan hubungan yang kompleks antara dimensi intelektual dan emosional dalam perilaku siswa.
Di pihak lain, yang dimaksud dengan kurikulum sebagai proses (curriculum as process) adalah “interaksi antara guru, siswa, dan pengetahuan di kelas” (Smith, 2002: 5). Atas dasar ini, semua yang terjadi dalam proses pembelajaran, dan semua yang dilakukan guru-siswa di kelas adalah kurikulum. Kurikulum dengan model ini, menurut Lawrence Stenhouse sebagaimana yang kutip Smith (2002: 7) menuntut 3 (tiga) langkah, yaitu: (a) perencanaan (planning), (b) telaah empirik (empirical study), dan (c) penilaian (justification). Dalam tahap perencanaan harus memuat: prinsip seleksi isi, prinsip pengembangan strategi pembelajaran, prinsip pengambilan keputusan tentang urutan materi, dan prinsip mendiagnosis kasus-kasus yang terjadi. Sementara itu, dalam tahap telaah empirik harus memuat: prinsip penilaian terhadap kemajuan siswa, prinsip penilaian terhadap kemajuan guru, petunjuk praktis pelaksanaan kurikulum dalam berbagai konteks dan situasi, serta informasi tentang perubahan efek yang terjadi karena konteks yang berbeda. Selanjutnya, dalam tahap penilaian harus memuat formulasi tujuan kurikulum yang dapat diuji secara kritis.
STRATEGI DAN MANAJEMEN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Dari aspek metodik, strategi dan manajemen pembelajaran merupakan aspek penting dalam pendidikan multikultural. Harry K. Wong, penulis buku How to be an Active Teacher the First Days of School, sebagaimana dikutip Linda Starr (2004: 2) mendefinisikan manajemen pembelajaran sebagai “praktik dan prosedur yang memungkinkan guru mengajar dan siswa belajar.” Terkait dengan praktik dan prosedur ini, Ricardo L. Garcia (1982: 146) menyebutkan 3 (tiga) faktor dalam manajemen pembelajaran, yaitu: (a) lingkungan fisik (physical environment), (b) lingkungan sosial (human environment), dan (c) gaya pengajaran guru (teaching style). Dalam pembelajaran siswa memerlukan lingkungan fisik dan sosial yang aman dan nyaman. Untuk menciptakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman, guru dapat mempertimbangkan aspek pencahayaan, warna, pengaturan meja dan kursi, tanaman, dan musik. Guru yang memiliki pemahaman terhadap latar belakang budaya siswanya, akan menciptakan lingkungan fisik yang kondusif untuk belajar. Sementara itu, lingkungan sosial yang aman dan nyaman dapat diciptakan oleh guru melalui bahasa yang dipilih, hubungan simpatik antar siswa, dan perlakuan adil terhadap siswa yang beragam budayanya (Linda Starr, 2004: 4).
Selain lingkungan fisik dan sosial, siswa juga memerlukan gaya pengajaran guru yang menggembirakan. Menurut Garcia (1982: 146), gaya pengajaran guru merupakan gaya kepemimpinan atau teknik pengawalan yang digunakan guru dalam proses pembelajaran (the kind of leadership or governance techniques a teacher uses). Dalam proses pembelajaran, gaya kepemimpinan guru sangat berpengaruh bagi ada-tidaknya peluang siswa untuk berbagi pendapat dan membuat keputusan. Gaya kepemimpinan guru berkisar pada otoriter, demokratis, dan bebas (laizzes faire). Gaya kepemimpinan otoriter tidak memberikan peluang kepada siswa untuk saling berbagi pendapat. Apa yang diajarkan guru kepada siswa ditentukan sendiri oleh sang guru. Sebaliknya, gaya kepemimpinan guru yang demokratis memberikan peluang kepada siswa untuk menentukan materi yang perlu dipelajari siswa. Selanjutnya, guru yang menggunakan gaya kepemimpinan bebas (laizzes faire) menyerahkan sepenuhnya kepada siswa untuk menentukan materi pembelajaran di kelas. Untuk kelas yang beragam latar belakang budaya siswanya, agaknya, lebih cocok dengan gaya kepemimpinan guru yang demokratis (Donna Styles, 2004: 3).
Melalui pendekatan demokratis ini, para guru dapat menggunakan beragam strategi pembelajaran, seperti dialog, simulasi, bermain peran, observasi, dan penanganan kasus (Abdullah Aly, 2003: 70-1). Melalui dialog para guru, misalnya, mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa. Selain itu, melalui dialog para guru juga dapat mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apa pun ternyata juga menggunakan hasil kerja orang lain dari budaya lain. Sementara itu, melalui simulasi dan bermain peran, para siswa difasilitasi untuk memerankan diri sebagai orang-orang yang memiliki agama, budaya, dan etnik tertentu dalam pergaulan sehari-hari. Dalam momen-momen tertentu, diadakan proyek dan kepanitiaan bersama, dengan melibatkan aneka macam siswa dari berbagai agama, etnik, budaya, dan bahasa yang beragam. Sedangkan melalui observasi dan penanganan kasus, siswa dan guru difasilitasi untuk tinggal beberapa hari di masyarakat multikultural. Mereka diminta untuk mengamati proses sosial yang terjadi di antara individu dan kelompok yang ada, sekaligus untuk melakukan mediasi bila ada konflik di antara mereka.
Dengan strategi pembelajaran tersebut para siswa diasumsikan akan memiliki wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang adanya keragaman dalam kehidupan sosial. Bahkan, mereka akan memiliki pengalaman nyata untuk melibatkan diri dalam mempraktikkan nilai-nilai dari pendidikan multikultural dalam kehidupan sehari-hari. Sikap dan perilaku yang toleran, simpatik, dan empatik pun pada gilirannya akan tumbuh pada diri masing-masing siswa. Dengan demikian, proses pembelajaran yang difasilitasi guru tidak sekadar berorientasi pada ranah kognitif, melainkan pada ranah afektif dan psikomotorik sekaligus.
Selanjutnya, pendekatan demokratis dalam proses pembelajaran dengan beragam strategi pembelajaran tersebut menempatkan guru dan siswa memiliki status yang setara (equal status), karena masing-masing dari mereka merupakan anggota komunitas kelas yang setara juga. Setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang absolut. Perilaku guru dan siswa harus diarahkan oleh kepentingan individu dan kelompok secara seimbang. Aturan-aturan dalam kelas harus dibagi untuk melindungi hak-hak guru dan siswa. Adapun hak-hak guru dalam proses pembelajaran meliputi: (a) guru berhak menilai para siswa sebagai manusia dan hak mereka sebagai manusia, (b) guru berhak mengetahui kapan menerapkan gaya pengajaran yang berbeda—otoriter, demokratis, dan bebas—untuk meningkatkan hak-hak siswa, (c) guru berhak mengetahui kapan dan bagaimana menerapkan ketidakpatuhan sipil, dan (d) guru berhak memahami kompleksitas aturan bagi mayoritas dan melindungi hak-hak minoritas. Di pihak lain, para siswa memiliki hak-hak sebagai berikut: (a) siswa berhak mengetahui hak sipil dan kewajibannya, dan (b) siswa berhak mengetahui bagaimana menggunakan hak dan kewajibannya (Garcia, 1982: 160).
Lebih jauh, pendekatan demokratis dalam pembelajaran ini menuntut guru memiliki kompetensi multikultural. Farid Elashmawi dan Philip P. Harris (1994: 6-7) menawarkan 6 (enam) kompetensi multikultural guru, yaitu: (a) memiliki nilai dan hubungan sosial yang luas, (b) terbuka dan fleksibel dalam mengelola keragaman siswa, (c) siap menerima perbedaan disiplin ilmu, latar belakang, ras, dan gender; (d) memfasilitasi pendatang baru dan siswa yang minoritas, (e) mau berkolaborasi dan koalisi dengan pihak mana pun, dan (f) berorientasi pada program dan masa depan. Selain itu, James A. Bank (1989: 104-5) menambahkan kompetensi multikultural lain yang harus dimiliki oleh guru, yaitu: (a) sensitif terhadap perilaku etnik para siswa, (b) sensitif terhadap kemungkinan adanya kontroversi tentang materi ajar, dan (c) menggunakan teknik pembelajaran kelompok untuk mempromosikan integrasi etnik dalam pembelajaran.
PENUTUP
Memperhatikan uraian di depan dapatlah dikatakan bahwa pendidikan multikultural menemukan relevansinya untuk konteks Indonesia. Pendidikan multikultural yang selama ini baru diwacanakan oleh para pemerhati pendidikan, sudah saatnya untuk disambut oleh para pengambil kebijakan dan para praktisi pendidikan. Sebagai sebuah konsep, pendidikan multikultural sejalan dengan semangat semboyan bangsa Indonesia: “Bhinneka Tunggal Ika”. Semboyan yang sangat adil dan demokratis ini memiliki pengertian bahwa Indonesia merupakan salah satu bangsa di dunia yang terdiri dari beragam suku dan ras, yang mempunyai budaya, bahasa, dan agama yang berbeda-beda tetapi dalam kesatuan Indonesia. Semboyan ini mengandung seni manajemen untuk mengatur keragaman Indonesia (the art of managing diversity), yang terdiri dari 250 kelompok suku, 250 lebih bahasa lokal (lingua francka), 13.000 pulau, 5 agama resmi, dan latar belakang kesukuan yang sangat beragam. Dengan semboyan ini diharapkan masing-masing individu dan kelompok yang berbeda suku, bahasa, budaya, dan agama dapat bersatu dan bekerjasama untuk membangun bangsanya secara lebih kuat.
Sayangnya, selama pemerintahan Orde Baru keragaman tersebut belum dikelola secara proporsional, dengan menerima perbedaan, mengakui dan menghargainya. Yang terjadi adalah proses penyeragaman dan pengabaian terhadap perbedaan yang ada, baik dari segi suku, bahasa, agama, maupun budayanya. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” pun diterapkan secara berat sebelah. Artinya, semangat ke-ika-an lebih menonjol dari pada semangat ke-bhinneka-annya dalam pengelolaan negara Indonesia. Pengelolaan negara dengan penekanan pada semangat ke-ika-an dari pada semangat ke-bhinneka-an tersebut sangat mewarnai konsep dan praktik pendidikan di Indonesia. Indikatornya terlihat pada: (1) terjadinya penyeragaman terhadap berbagai aspek pendidikan—seperti kurikulum, metode pembelajaran, dan manajemen kelas, (2) terjadi sentralisasi pendidikan, yang sarat dengan instruksi, petunjuk, dan pengarahan dari atas, sebagai akibat dari paradigma pendidikan sentralistik (top-dawn), dan (3) belum adanya proses menghargai dan mengakomodasi perbedaan latar belakang siswa yang menyangkut budaya, etnik, bahasa, dan agama.
Sebagai konsep, pendidikan multikultural juga sejalan dengan semangat Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Tahun 2003. Salah satu diktum dari UUSPN Tahun 2003 tersebut menyebutkan bahwa pendidikan nasional meletakkan salah satu prinsipnya: “bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” Diktum ini menunjukkan bahwa pendidikan nasional sangat welcome dengan konsep pendidikan multikultural. Persoalannya, bagaimana kesiapan para pengambil kebijakan dan para pelaku pendidikan di lapangan? Wallah a’lam bi as-sawab! [Abdullah Aly]
DAFTAR PUSTAKA
1.Abdullah Aly. 2003. “Menggagas Pendidikan Islam Multikultural di Indonesia”, dalam Jurnal Ishraqi, Volume II Nomor 1, Januari-Juli 2003, hlm. 60-73.
2.Buku informasi tentang Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-3, Membangun Kembali Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika: Menuju Masyarakat Multikultural, 16-19 Juli 2002, di Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
3.Parsudi Suparlan. 2002. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural,” dalam Makalah yang diseminarkan pada Simposium Internasional ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli.
4.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya. Jogjakarta: Media Wacana.
Minggu, 14 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar