Kamis, 15 April 2010
PERANGKAT DESA = PNS; BERKAH ATAU MUSIBAH?
Desa adalah cikal bakal berdirinya Negara Kesatuan RI.
Desa adalah pilar bangsa dan desa adalah pondasi negeri.
Kalimat “Desa...” pertama kali diucapkan oleh seorang warga negara belanda yang bernama Herman Werner pada tahun 1417, ketika Herman Werner menemukan kelompok atau komunitas kecil yang berdomisili disepanjang pantai utara Jawa. Maka oleh Herman Werner, tempat tinggal kelompok / komunitas kecil tersebut diberi nama Desa.
Kalimat desa itu sendiri bukan asli Bahasa Jawa atau Bahasa Indonesia, tetapi kalimat Desa tersebut diadopsi dari Bahasa Urdu atau Bahasa India, yaitu dari kalimat “Swadesi” yang berarti Tanah Pusaka atau Bumi Leluhur.
Profesor Kuncoro Ningrat, pakar Sosiologi dan Antropologi Pedesaan Indonesia, secara historis bahwa perkembangan desa-desa di Indonesia melalui tahapan yang sangat unik dan spesifik.
• Ketika ada awal terbentuknya sebuah komunitas / sebuah desa, dimana komunitas masyarakat desa tersebut hanya terdiri dari 10 keluarga, maka pada saat itu sudah muncul seorang pemimpin didesa tersebut, dan pemimpin itu disebut “Panepuluh”.
• Ketika dari 10 keluarga dikomunitas desa tersebut berkambang menjadi 100 keluarga, maka munculah seorang peimpin, satu diantara 100, dan pemimpin itu disebut “Penatus”.
• Ketika komunitas desa yang hanya 100 keluarga tersebut berkembang menjadi 1000, maka lahirlah pemimpin dan pemimpin desa itu disebut “Panewu” dan seterusnya.
Sebelum desa dimasukkan dalam strata / struktur pemerintahan jaman Feodal (Kerajaan, Kasultanan, dst) dan desa diadopsi masuk didalam strata pemerintahan Indonesia. Desa dari awal berdirinya sudah mempunyai pranata hukum tersendiri yaitu Hukum Adat, sebuah hukum yang melekat dan mengikat kepada seluruh warga desa dimaksud.
Hukum adat yang mengikat secara normatif kepada seluruh warga secara turun-temurun, dari awal hukum adat tersebut. Memang tidak tersurat secara baku berupa aturan / undang-undang tertulis, tetapi pengumuman atau pengundangannya secara tutur tinular (kabar lisan yang berantai). Namun demikian, hukum adat tersebut sangat dipatuhi oleh seluruh warga desa dan siapapun yang melanggar akan mendapat sangsi adat.
Begitu hebat dan kuatnya hukum adat yang berlaku disemua desa diseluruh Indonesia, sehingga ketika telah terbentuk / lahir Negara Kesatuan Republik Indonesia, mulai sejak zaman Orde Lama, berubah ke Orde Baru, dan saat ini dimasa Orde Reformasi, didalam undang-undang nomer berapapun terutama yang mengatur tentang desa / pemerintahan desa, pasti didalamnya ada pasal yang berbunyi, “Pemerintah mengakui hak adat dan hukum adat yang berlaku turun-termurun didesa, dan desa berhak mengatur rumah tangganya sendiri (Undang-undang No. 5 tahun 1979, Undang-undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-undang No. 32 tahun 2004).
Pasal yang berbunyi bahwa “desa berhak mengatur rumah tangganya sendiri” (tentu dalam hal-hal khusus dan yang spesifik) secara tersirat dan tersurat adalah bahwa desa dari awal sudah dan telah mempunyai / memiliki Otonomi Desa / Kemandirian Desa.
KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA ADALAH BENTUKAN ADAT
Secara historis (dalam kajian dan tinjauan sejarah) bahwa Kepala Desa dan Perangkat Desa adalah bentukan adat yang ada di pedesaan pada awalnya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa demokrasi ala pedesaan sudah ada dan telah lahir jauh sebelum berdiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahwa demokrasi pedesaan di Indonesia diejawantahkan / diaplikasikan dengan cara adat yang disebut rembug deso, sarasehan atau apapun nama lainnya dalam rangka pengambilan keputusan.
Demokrasi desa atau apapun nama dan sebutan lainnya di Indonesia umurnya jauh lebih tua dibanding pola demokrasi yang diterapkan di Negara Kesatuan RI saat ini. Hal ini dapat dilihat pola / cara pemilihan Kepala Desa, Petinggi, Kuwu dan apapun nama lainnya, dimulai sejak nusantara elum dijajah Belanda, Jepang sampai Indonesia merdeka saat ini, dilakukan dan dipilih secara langsung oleh rakyat desa. Sementara pemilihan Presiden RI, Gubernur, Bupati, Walikota, dipilih secara langsung oleh rakyat baru mulai pada tahun 2004 sesuai dengan amanat UU. No. 32 tahun 2004 yaitu undang-undang yang mengatur tentang pemilihan Kepala Daerah / Pilkada.
Kembali pada bahasan demokrasi asli pedesaan, bahwa keberadaan perangkat desa adalah bentukan adat asli desa, hal tersbeut dapat dipahami atas keberadaan perangkat desa yang diberi nama “Jogo Boyo” atau sering disebut “Bayan” dimasa Orde Lama dan Orde Baru. Bahwa perangkat desa yang diberi nama “Jogo Boyo” adalah seorang yang diberi tugas oleh pemerintahan desa tentu dengan pertimbangan dan keputusan adat, untuk diberi tugas menjaga mara bahaya yang dapat menimpa desa. Maka seleksi dan pemilihan perangkat desa yang diberi nama “Jogo Boyo” biasanya adalah dipilih dari warga desa setempat yang mempunyai postur tinggi, tegap dan kuat serta mempunyai kelebihan, kemampuan / kesaktian.
Seperti cerita tutur yang berlaku turun-trmurun di desa, uji coba (seleksi) untuk dapat menjadi Jogo Boyo bisa saja dengan tes melompati hamparan sungai, merobohkan sapi / kerbau yang akan dipotong ketika warga desa akan melaksanakan acara hajatan dan seterusnya.
Dimana seiring dengan perkembangan pemerintahan, diera reformasi ini “Jogo Boyo” sesuai dengan SOT UU No. 32 tahun 2004, dialih namakan menjadi Kasi Pembangunan.
- Modin dialih namakan menjadi Kasi Sosial
- Carik dialihnamakan menjadi Sekretaris Desa (Sekdes)
- Jogo Tirto, perangkat desa yang dimasa lalu bertugas membagi air untuk pertanian dialih namakan menjadi Kaur Umum.
Paparan diatas adalah sebagai penjelasan bahwa secara historis perangkat desa adalah dibentuk atas pertimbangan adat desa yang harus dibentuk oleh pemerintahan desa, bukan oleh pemerintahan kabupaten.
Maka didalam hal ini, Parade Nusantara sejak tahun 2004 ngotot dan bersikap keras kepada pemerintah pusat agar didalam Undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan desa, dimasukkan pasal yang berbunyi bahwa “yang berhak mengangkat, melantik dan memberhentikan perangkat desa adalah kepala desa”, karena dilandasi kajian historis dan filosofis bahwa desa berhak mengatur rumah tangganya sendiri, dalam hal ini terkabul atas lahirnya UU No. 32 tahun 2004.
PERANGKAT DESA DIANGKAT PNS?
Pada saat ini telah marak dan munculnya isu yang dihembuskan oleh oknum-oknum tertentu, yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu atas desa, yaitu munculnya isu pergerakan Perangkat Desa menuntut diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Menanggapi isu pergerakan para Perangkat Desa ini, H. Sudir Santoso, SH selaku Ketua Dewan Presidium Nasional Parade Nusantara, sebagai Ormas sah wadah bagi Kepala Desa, Perangkat Desa dan Rakyat Desa seluruh Indonesia, menanggapi dengan cermat dan penuh kehati-hatian.
• Menjadi sebuah kewajaran dan bisa dimengerti apabila Perangkat Desa dibeberapa Kabupaten menuntut kepada Pemerintah Pusat untuk diangkat menjadi PNS. Hal tersebut menurut Sudir Santoso adalah akibat kesalahan fatal yang dilakukan dengan sengaja dan terencana oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini adalah Mendagri dan terutama lagi adalah Presiden RI atas terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 tahun 2007 yang mengamanatkan Sekretaris Desa di isi PNS.
Dari awal Parade Nusantara sudah mengatakan tidak setuju dan menentang habis-habisan dengan segala argumen dan pemaparan akibat –akibat serta dampak buruknya, tetapi Pemerintah Pusat dengan kepongahan dan pendekatan kekuasaannya tetap memaksakan kehendaknya.
Sejak awal Parade Nusantara telah memberi saran, pendapat kepada Menteri Dalam Negeri atas dampak buruk yang akan timbul apabila Sekdes diangkat / diisi PNS. Akibat buruk yang pertama apabila Sekdes diisi PNS adalah akan terjadi disharmonisasi didalam internal pemerintahan desa terutama semua perangkat desa lain diluar Sekdes.
o Ketika Sekdes diangkat menjadi PNS yang mendapat gaji rutin tiap bulan dengan golongan 2A (sekitar Rp. 1.700.000,- + Tunjangan Lainnya + Rp. 300.000,- = Rp. 2.000.000,-).
o Ketika Sekdes sakit mendapat layanan Askes.
o Ketika Sekdes yang PNS pensiun akan mendapat uang pensiun sampai meninggal dunia.
Sementara 10 s/d 15 perangkat desa lainnya didesa tersebut hanya mendapat upah dari hasil tanah bengkok yang melekat dalam jabatannya (bagi desa yang mempunyai tanah bengkok) yang mana penghasilannya menjadi tidak menentu / minim.
o Perangkat desa diluar Sekdes yang PNS, kalau sakit harus menanggung biaya sendiri karena tidak mempunyai Askes, dan bahkan Askeskin Program dari Pemerintah Pusat pun ada ketentuan bahwa Kepala Desa dan Perangkat Desa tidak boleh menerima.
o Perangkat Desa kalau purna tugas jangankan uang pensiun, tali asih yang jumlahnya Rp. 1.000.000,- pun tidak pernah diterimanya.
Inilah yang memicu kecemburuan sosial seluruh Perangkat Desa kepada Sekdes yang diangkat PNS, akibatnya terjadilah suasana kerja yang tidak nyaman dipemerintahan desa terjadilah disharmonisasi sesama Perangkat Desa.
Argumen Pemerintah (Mendagri) bahwa kebijakan Sekdes diisi PNS dengan alasan karena Sekdes yang ada pada saat itu dianggap tidak cakap dan tidak mampu melaksanakan administrasi kegiatan Pemerintahan Desa. Argumen pemerintah pada saat itu telah disanggah oleh Parade Nusantara, juga dengan argumen bahwa kalau itu masalahnya, maka Sekdes tidak harus diisi PNS tetapi pemerintah dapat membuat Program Peningkatan Kapasitas / Kemampuan Sekdes agar cakap dan mampu melaksanakan pengadminisrasian kegiatan Pemerintahan Desa dengan cara memberi pelatihan, diklat dan pendidikan pada Sekdes yang ada. Dan bagi Sekdes yang telah kontra produktif / betul-betul tidak mampu dapat diganti, bukan mem-PNS-kan Sekdes yang ada yang berakibat pada kecemburuan bagi perangkat desa lainnya.
Parade Nusantara dari awal telah menganggap PP. 45 tahun 2007 yang mengamanatkan Sekdes diisi / diangkat PNS adalah cacat hukum dan harus batal demi hukum karena didalam UU No. 32 tahun 2004 pasalnya mengatakan bahwa yang dimaksud Perangkat Desa adalah terdiri dari Sekretaris Desa (Sekdes), para Kasie dan Kaur dijajaran Pemerintahan Desa.
Sementara didalam PP No. 45 tahun 2007 mengamanatkan Sekdes didisi / diangkat PNS. Ini jelas-jelas pasal tentang Sekdes di PP 72 tahun 2005 bertentangan dengan bunyi pasal UU No. 32 tahun 2004, dan ketika PP bertentangan dengan Undang-undang (UU) maka didalam hirarki hukum PP tersebut harus batal demi hukum, kecuali bunyi pasal didalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Sekdes di amandemen dulu.
Menanggapi muncul dan maraknya gerakan Perangkat Desa yang menuntut diangkat PNS, disamping dapat memahami seperti uraian tersebut diatas, Sudir Santoso juga sangat prihatin atas ketidak fahaman serta ketidak tahuan anak-anaknya para Perangkat Desa yang terbujuk oleh iming-iming dari oknum yang tidak bertanggung jawab, yang sengaja akan memecah belah kekuatan dan soliditas Parade Nusantara.
Seandainya Perangkat Desa seuruh Indonesia betul-betul diangkat menjadi PNS, maka akan terjadi 3 dampak buruk yang menimpa Perangkat Dea itu sendiri dan mencelakai Desa.
Ke - 3 dampat buruk tersebut adalah :
1. Kalau sampai pemerintah pusat menyetujui mengangkat perangkat desa seluruh indonesia menjadi PNS seperti Sekdes, akibat yang pasti terjadi adalah kurang lebih 70 % perangkat yang aktif dan definitif saat ini akan menjadi tumbal / menjadi korban atas tuntutannya sendiri atau tuntutan rekan-rekannya, karena 70 % perangkat desa tersebut tidak akan ikut serta dapat diangkat menjadi PNS karena alasan / faktor usia dan ijazahnya (hal tersebut juga menimpa banyak Sekdes, puluhan ribu yang harus berhenti karena tidak memenuhi syarat diangkat menjadi PNS).
2. Apabila semua perangkat desa diangkat menjadi PNS, maka sebagai konsekuensi logisnya adakah desa akan bubar dan terhapus menjadi kelurahan, yang tentu saja akibatnya tanah bengkok desa, tanah kas desa, pengelolaan pasar desa, sumber mata air didesa dan sumber alam desa lainnya akan diambil alih dikelola pemerintah kabupaten, sehingga nasib anak cucu orang desa kedepan hanya akan menjadi penonton abadi atas pengelolaan seluruh aset desanya seperti nasib seluruh orang Betawi yang pelan tapi pasti terusir dari tanah leluhurnya yang bernama Jakarta.
3. Dampak buruk yang ke tiga adalah apabila perangkat desa seluruh Indonesia diangkat PNS, adalah ketika 10 tahun kemudian perangkat yang menjadi PNS saat ini purna tugas atau pensiun, maka pengganti perangkat desa tersebut tidak harus berasal dari orang desa setempat. Penggantinya bisa dari desa lain, kecamatan lain, kabupaten lain atau bahkan dari propinsi lain. Karena didalam aturan PNS, harus sanggup ditempatkan diseluruh wilayah Indonesia.
Akibatnya adat desa, jatidiri desa yang mana rakyat desa dapat dilayani perangkat desanya selama 24 jam akan hilang. Kantor desa baru akan buka pada jan 8 pagi, dan pada jam 1 siang tutup. Seluruh perangkat desa pulang ke daerah masing-masing. Dapat dibayangkan bagaimana kacaunya apabila ada kejadian kriminal / musibah / bencana alam ditengah malam.
Desa akan hilang berganti dengan kelurahan, kultur, adat dan jatidiri desa akan tercabut dari akarnya. Seluruh harta benda dan aset desa akan hilang selamanya akibat nafsu sesaat dari perangkat desa yang menuntut diangkat PNS.
SOLUSI ATAU JALAN KELUAR
Parade Nusantara (Persatuan Rakyat Desa Nusantara) melalui Sudir Santoso sebagai Ketua Presidium Nasioinal mengerti dan memahami betul suasana hati seluruh perangkat desa yang telah puluhan tahun dilindungi dan dibelanya habis-habisan. Sehubungan dengan hal tersebut, Parade Nusantar telah mengambil langkah-langkah taktis dan strategis. Hal ini dibuktikan atas gerakan besar Parade Nusantara yang melakukan unjuk rasa di DPR-RI Senayan, Jakarta, pada tanggal 22 Feruari 2010, yang diikuti oleh lebih kurang 62 ribu Kepala Desa dan Perangkat Desa yang tergabung didalam Parade Nusantara.
Tuntutan pokok yang pertama dan utama dari Parade Nusantara adalah ; Menuntut Alokasi Dana Desa (ADD) 10% bloggrant (langsung) dari APBN ke Desa. Tuntutan Parade Nusantara tersebut direspon sangat positif oleh DPR-RI maupun Pemerintah yang dalam hal ini adalah Departemen Dalam Negeri.
Hal tersebut dapat dilihat dan dibuktikan dengan jelas atas data-data dan capaian Parade Nusantara.
Bahwa :
- Satu hari setelah demo besar Parade Nusantara, yakni pada hari Selasa, 23 Februari 2010, di DPR-RI telah dilaksanakan Rapat Paripurna yang melibatkan Ketua Balegnas (Badan Legislasi Nasional) dan Komisi-komisi terkait di DPR-RI, yang menetapkan bahwa Undang-undang tentang Desa / apapun nama ainnya, telah ditetapkan menjadi agenda skala prioritas yang akan dibahas dan diselesaikan pada tahun 2010.
- Pemerintah yang dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri telah mengutus Dirjen Kesbangpol Linmas, Mayjen Tanri Balilamu telah mengajak Parade Nusantara untuk membentuk Tim untuk merumuskan draft RUU tentang Desa.
- 4 tuntutan Parade Nusantara terutama tuntutan tentang Alokasi Dana Desa (ADD) 10% bloggrant dari APBN telah disetujui pimpinan DPR-RI, terbukti dengan ditanda tanganinya tuntutan tersebut oleh Bp. Priyo Budi Santoso sebagai Wakil Ketua DPR-RI.
Anggaran pendapatan dan belanja Negara RI pada tahun 2010 adalah lebih kurang Rp. 1.040 Trilyun. maka 10% dari itu akan ada angka / uang Rp. 104 Trilyun untuk desa. Ketika uang Rp. 104 Trilyun dibagikan secara proporsional kepada kurang lebih 71.000 desa seluruh Indonesia, maka setiap desa akan mendapat kurang lebih Rp. 1,3 milyar setiap tahun.
Bahwa didalam draft yang akan dituangkan didalam Peraturan Pemerintah (PP) nanti, 30% dari ADD tersebut adalah sebagai anggaran belanja desa yang jumlahnya sekitar Rp. 400 Juta. Adapun peruntukan dari anggaran belanja desa tersebut adalah untuk penghasilan tetap dan tunjangan lainnya bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa diluar tanah bengkoknya dan juga seluruh anggota BPD, minimal setara dengan gaji PNS golongan 2A.
Maka Perangkat Desa seluruh Indonesia akan semakin sejahtera karena disamping tanah bengkok yang dikuasainya, masih akan mendapat penghasilan tetap minimal setara dengan gaji PNS golongan 2A. Dengan demikian, penghasilan Perangkat Desa minimal lebih besar dari pendapatan Pegawai Negeri Sipil golongan 2A. hal ini sangat wajar karena perangkat desa memberi pelayanan melekat kepada warganya selama 24 jam.
Disetiap bulan, hasil perangkat desa dapat disisihkan untuk tabungan pendiun dan dana asuransi kesehatan bagi perangkat desa dan keluarganya, yang pada akhirnya kalau ada perankat desa yang sakit akan dapat layanan Askes dan kalau perangkat desa purna tugas / pensiun akan mendapat uang pensiun seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Parade Nusantara membuat solusi penghasilan perangkat desa dan kesejahteraannya setara Pegawai Negeri Sipil tanpa harus menjadikan Perangkat Desa PNS yang berakibat buruk bagi nasib desa.
“Mari mengembalikan jatidiri desa... yang harus dilakukan adalah modernisasi desa, bukan westernisasi desa”
“Mari membangun desa, memperkokoh kota, menuju Indonesia jaya”
Kepada pihak-pihak / oknum-oknum yang mencoba menghapus jatidiri desa dari peta bumi Nusantara dengan cara mem-PNS-kan perangkat desa untuk segera menghentikannya. Kita bertarung melalui mimbar ilmiah baik dalam seminar / semiloka bersama Parade Nusantara.
Salam Hormat
Sudir Santoso
Ketua Dewan Presidium Parade Nusantara
email : kalyani.kumiayi@gmail.com
HP : 08122931550
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar