Rabu, 24 Maret 2010
Mengkaji Diri, Menakar Tantangan; Pemekaran Kabupaten Cilacap Barat
Oleh: Nana Suryana, S.Sos
Wacana pemekaran wilayah Barat Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang diinginkan oleh masyarakat sempat mencuat dalam pentas Pilkada Kabupaten Cilacap yang digelar tiga tahun lalu (Minggu, 9 September 2007). Wacana tersebut menjadi bahan pembicaraan para elite politik, termasuk calon Bupati Cilacap. Sebagian masyarakat Cilacap Barat menginginkan pemekaran wilayah. Mereka menentukan pilihannya kepada kandidat yang dapat merealisasikan aspirasi tersebut (SKI Patroli edisi I September 2007 halaman 4).
Tiga tahun berlalu. Pemekaran masih tetap menjadi wacana. Namun, wacana itu kembali bergeliat seiring dengan dibukanya moratorium pemekaran oleh Soesilo Bambang Yudhoyono. Respon pun cukup gegap gempita. Suara pro dan kontra senantiasa berpadu. Terlepas dari nuansa politik apa yang bermain, namun gagasan pembentukan Kabupaten Cilacap Barat yang terdiri dari 129 desa meliputi 10 Kecamatan, yaitu: Sidareja, Majenang, Karang Pucung, Gandrungmangu, Kedungreja, Cimanggu, Patimuan, Dayeuhluhur, Wanareja, dan Cipari, hendaknya tidak dilihat dalam ranah geo-politik yang sempit. Artinya, proses itu tidak hanya dilihat semata-mata sebagai sebuah proses deteritorialisasi Kabupaten Cilacap Barat, akan tetapi harus difahami dalam cakrawala yang luas dan holistik.
Proses tersebut harus memenuhi prasyarat keperluan (necessary conditions) yang juga diimbangi dengan terpenuhinya prasyarat pokok (sufficient conditions), agar pembentukannya benar-benar dapat mensejahterakan masyarakat di wilayah yang baru terbentuk, dan sebaliknya juga tidak berimplikasi negatif bagi masyarakat di daerah induk yang ditinggalkan.
Selain itu, secara yuridis, prosedur yang harus ditempuh dalam proses pembentukan daerah telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Menurut pasal 3 dan 13 Peraturan Pemerintah tersebut, pembentukan daerah baru bisa dilakukan, bila suatu daerah mempunyai 7 (tujuh) kriteria dan persyaratan, yaitu: (1) kemampuan ekonomi; (2) potensi daerah; (3) kondisi sosial budaya; (4) kondisi sosial politik; (5) jumlah penduduk; (6) luas daerah, dan (7) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.
Apakah gagasan pemekaran Kabupaten Cilacap Barat benar-benar merupakan kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat Cilacap Barat secara keseluruhan? Ataukah wacana tersebut muncul lebih didasari oleh keinginan menambah peluang menduduki jabatan politik, baik di badan legislatif maupun eksekutif dari elit politik atau elit lokal tertentu? Selain itu, apakah wacana tersebut sudah didukung oleh penelitian awal yang objektif, atau lebih didasarkan pada “retorika superioritas” orang Cilacap Barat semata?
Jika artikulasi gagasan pemekaran Cilacap Barat lebih didasarkan kepada aspek pragmatisme politik dan ekonomi semata, tanpa kajian dan pemahaman substantif yang radix terhadap hakikat pembentukannya, atau gagasan tersebut hanya populer di tingkat elite lokal (local state-actors), maka pembentukan Kabupaten Cilacap Barat akan menjadi bumerang bagi warganya sendiri, karena secara teoretis, konsentrasi kekuasaan akan berada di tangan elite lokal. Bila hal itu yang terjadi, maka akan sangat sulit terwujudnya local accountability. Ini berarti terlalu dini untuk berharap bahwa Pembentukan Kabupaten Cilacap Barat akan mampu mendongkrak tingkat kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, dalam proses membangun gagasan membentuk Cilacap Barat, seluruh stake holders atau mereka yang berkehendak dan terkait dengan gagasan pemekaran Cilacap Barat, seyogyanya menyerap aspirasi masyarakat. Secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat harus diajak bicara! Debat publik secara terbuka baik di forum-forum resmi maupun tidak resmi guna membicarakan hal-hal strategis menyangkut gagasan pemekaran Cilacap Barat, kiranya juga perlu dilakukan. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Cilacap juga harus secara intensif menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Keterlibatan lembaga legislatif sangat penting dalam rangka menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat. Aspirasi dan tuntutan masyarakat tersebut selanjutnya dibahasakan dalam langkah politis yang menjadi wilayah kewenangan DPRD.
Langkah tersebut juga seyogyanya diikuti dengan upaya menakar diri, melakukan reorientasi dan penemuan diri, apa kekurangan dan kelebihan diri, apa peluang, tantangan, dan hambatan yang akan dihadapi (SWOT analysis)? Pertanyaan tersebut hanya dapat ditemukan jawabannya melalui riset dan penelitian ilmiah, bukan sekedar claim sepihak yang cenderung emosional. Dalam proses ini dibutuhkan kejujuran untuk mengakui kekurangan, dan kearifan menyikapi kelebihan.
Setelah mengetahui kelebihan dan kekurangan diri beserta identifikasi tantangan, hambatan dan peluang yang akan dihadapi, langkah berikutnya adalah memetakan kelebihan dan kekurangan tersebut yang diikuti dengan upaya restrukturisasi berbagai hal berkaitan dengan upaya lanjutan untuk memaksimalkan kelebihan dan meminimalisir kekurangan. Restrukturisasi ini terutama berkenaan dengan organisasi pemerintahan untuk menyesuaikan dengan kecenderungan dan perkembangan yang terjadi, serta untuk memudahkan koordinasi secara vertikal maupun horizontal. Restruksurisasi juga dapat difahami sebagai upaya meningkatkan kemandirian dan kemampuan masyarakat (capacity building) sebagai pelaku utama pembangunan daerah, dalam wadah komunitas (community based development) dan mengutamakan pembangunan kelembagaan (institustional development).
Upaya peningkatan kemandirian dan kemampuan masyarakat tersebut dilakukan agar mereka dapat mempersiapkan diri, sehingga pada saatnya –ketika Kabupaten Cilacap Barat terbentuk– mereka dapat berkompetisi dan berkiprah pada berbagai pos strategis, baik di pemerintahan maupun di sektor swasta lainnya. Hal ini penting dilakukan agar "bolu" yang tercipta melalui proses pemekaran tersebut, tidak hanya dinikmati oleh para pendatang, tapi juga oleh putra daerah. Bila putra daerah hanya menjadi “penonton”, dan para pendatang justru menjadi “pemeran utama” dan menguasai berbagai pos penting, maka hal itu akan melahirkan permasalahan baru di kemudian hari.
Langkah berikutnya adalah secara sistematis dan terus menerus harus dibangun aliansi strategis, antara pemerintah, LSM, organisasi politik, organisasi masyarakat, dan komponen masyarakat lainnya, termasuk aliansi strategis antar Kabupaten dan Kota yang memiliki kehendak yang sama untuk membentuk Kabupaten Cilacap Barat. Networking juga harus dibangun dengan pemerintah daerah lainnya, bahkan dengan institusi dan jaringan di luar negeri. Kerjasama (aliansi) tersebut diharapkan akan mampu melahirkan sinergi yang mampu mempercepat bangunan Cilacap Barat incorporated menuju pembentukan kabupaten baru yang memiliki kompetensi global.
Dalam konteks semangat aliansi ini, wacana pembentukan Kabupaten Cilacap Barat seyogianya dilihat sebagai sebuah "persoalan bersama" yang di dalamnya, masyarakat Cialacap Barat tidak hanya memikirkan kepentingan dan masa depannya sendiri, tetapi juga “nasib” daerah tetangga dan daerah induknya. Artinya, wacana pembentukan Kabupaten Cilacap Barat tidak bisa dilepaskan dari sikap dialogis-negosiatif, sikap komunikatif-persuasif, sikap saling pengertian yang mutual, dalam rangka membangun masa depan bersama yang lebih baik. Wallahualam!
* * *
Nana Suryana, S.Sos. Alumnus UIN SGD Bandung, warga asli kelahiran Desa Hanum, Kecamatan Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap. Kini tinggal di Kota Cimahi, Jawa Barat, sebagai Sekretaris 2 DPD KNPI Kota Cimahi & Ketua I DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kota Cimahi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Blog yg bagus dan menarik,,,,
tulisan yg bagus,,,
Posting Komentar