Senin, 21 Februari 2011
Kekerasan Atas Kebebasan Beragama
Tahun 2005 lalu, saya mengikuti acara bedah buku “Speaking in God’s Name” karya seorang ahli hukum Islam kontemporer asal University of California, Khaled Abou Fadl, di Hotel Nikko, Jakarta. Acara tersebut diselenggarakan oleh Jaringan Islam Emansipatoris (JIE) Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarkat (P3M), dimana saya sendiri sebagai koordinator Komunitas Islam Emansipatoris untuk wilayah Jawa Barat.
Dalam kesempatan itu, Khaled Abou Fadl mengatakan, bahwa paham keagamaan yang otoriter disebabkan adanya klaim otoritatif atas teks agama, sehingga orang lain yang berbeda pendapat dianggap sesat, sehingga perlu dibasmi dan diimankan kembali. Pemahaman semacam ini merupakan pemahaman yang sangat dangkal, reduktif dan ‘membonsai’ agama itu sendiri. Agama menjadi alat untuk melegitimasi kekerasan yang diperbuatnya, karena takut kehilangan otoritas keagamaan.
Pernyataan Abou Fadl diatas, ingin saya jadikan pijakan awal dalam melihat fenomena kekerasan atas dasar agama. Tentu saja saya sepakat, bahwa penyebab munculnya kekerasan ‘berbaju agama’ tidak tunggal, tapi multi wajah, karena umat beragama di Indonesia juga beragam. Maka untuk menaungi keberagaman itu, Negara Republik Indonesia telah menjamin umat beragama untuk beribadah sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing. Tidak ada paksaan dalam menganut agama. Noktah ini sampai sekarang masih termaktub dalam UUD 1945, dan tidak dirubah oleh panitia amanademen. Artinya bunyi ayat di atas masih berlaku!
Bagaimana pun juga konstitusi UUD 1945 harus dihormati dan dihargai. Siapa pun yang berkehendak memaksakan pendapat dan kehendaknya dalam bentuk apapun, termasuk pemberian stempel, labeling dan fatwa atas penganut agama tertentu sebagai aliran sesat, sebetulnya bertentangan dengan konstitusi yang masih berlaku di negeri ini. Jika dilegalkan kekerasan atas sekelompok orang, lalu untuk apa konstitusi ini terus diakui keberadaannya? Jelas itu persoalan serius dalam hal rule of law di negeri ini yang masih compang-camping karena seringnya “permainan” politik dibalik penegakan hukum.
Disitulah kita kemudian dapat menempatkan massa yang melakukan penyerangan, dan seolah-olah telah menjelma menjadi ‘tentara tuhan’, sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang berusaha melembagakan kekerasan, sekalipun berbungkus agama. Padahal jika kita rujuk kitab suci agama-agama, termasuk Islam, ternyata kekerasan tidak pernah diajarkan dengan alasan “membela agama” dari penganut agama yang berbeda pahaman teologisnya.
Jelas, peristiwa penyerangan dan kekerasan adalah tragedi bagi umat beragama. Hal semacam itu sejatinya menodai noktah kebebasan beragama yang masih menjadi pedoman bagi warga negara RI. Bahkan kitab suci umat Islam memberikan kebebasan dalam beragama, bukan sekedar berbeda paham keagamaan.
Kebebasan Beragama
Kasus kekerasan dan penyerangan atas atas dasar sentiment agama menjadi tanda tanya besar, bahwa kebebasan dalam beragama di negeri ini masih sebatas wacana. Kebebasan beragama belum menjadi bagian dari everyday life sehingga penganut agama yang berbeda-beda pandangan dan mazhab dapat saling hidup tentram, menghormati dan mengasihi.
Bahkan yang terjadi di antara penganut agama berupaya untuk saling mengintip dan menikam dari belakang atas dasar membela keyakinan. Umat beragama belakangan memiliki trend khusus menjadi ‘martir agama’ dengan terang-terangan melukai umat agama yang berbeda paham tersebut.
Jika beragama saja sudah mendapatkan tekanan dari sesama umat beragama, bagaimana dengan mereka yang menafsirkan “kebebasan beragama” adalah sama artinya dengan tidak beragama juga harus dilindungi? Bukankah hal semacam itu menjadi mustahil untuk terjadi di negeri multi religius ini?
Sebagai orang beragama, bukankah akan lebih mulia jika dalam beragama dapat membantu kesusahan yang menimpa pihak lain ketimbang menimpakan bencana pada sesama umat beragama?
Jika belakangan kita senantiasa mendengar adanya kasus korupsi yang dilakukan oleh orang beragama, para birokrat, juga pejabat pemerintah, bukankah agamawan yang mengawal agama-agama lebih mulia turut berperang (jihad) melawan para koruptor?
Persoalan kemanusiaan yang menimpa negeri ini sebenarnya masih banyak. Oleh sebab itu, bukan sesuatu yang susah jika umat beragama hendak memberikan pelayanan yang tulus atas penderitaan rakyat di negeri ini. Soal gagal panen yang menimpa petani, harga sembako yang membumbung tinggi, kekeringan yang mulai melanda beberapa daerah, kemiskinan, kebodohan dan juga pengangguran. Belum lagi soal korupsi berjamaah yang dilakukan umat beragama.
Semua problem sosial ini sebenarnya dapat menjadikan umat agama untuk merekatkan tali silaturahim dan solidaritas religiusnya, ketimbang senantiasa memata-matai sesama penganut agama, lalu diserang dan diancam. Kerja kemanusiaan, sejatinya akan mengangkat derajat umat beragama itu sendiri ketimbang berperilaku kejam atas sesama penganut agama.
Tapi, jika agamawan tidak menganggap kasus korupsi yang dilakukan tokoh agama dan orang beragama sebagai masalah besar, dan masalah-masalah diatas sebagai penderitaan bersama, lalu apalagi yang bisa menjadikan umat bangsa ini bisa bersatu dalam mengatasi berbagai persoalan kemanusiaan yang terus menguntit di belakangnya?
Dengan kejadian yang menimpa bangsa ini, agaknya memang umat beragama di negeri ini belum bisa menghargai perbedaan paham teologis, sehingga dengan sendirinya kehidupan demokrasi dalam beragama masih merupakan mimpi belaka. Kemerdekaan beragama bukanlah gagasan yang telah riil adanya di tanah air, sebab nyatanya umat beragama lebih memilih jalan kekerasan dan pemaksaan dalam beragama.
Padahal sejatinya, bukankah kehidupan ini akan terasa lebih indah dan berwarna bila kita hidup berdampingan dengan damai, merayakan keragaman dalam keberagamaan? Hal yang mudah diucapkan tapi sulit dilakukan, bukan?
-----------------
Nana Suryana.
Cijagra, Jumat, 18 Februari 2011.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
saya mendukung Islam Emansipatoris...
Posting Komentar