<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Minggu, 13 Februari 2011

SEJARAH SOSIAL POLITIK NU-PKB


Keterbelakangan yang dialami bangsa Indonesia akibat penjajahan Belanda telah menggugah kesadaran masyarakat untuk memperjuangkan martabat bangsa melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan Budi Utomo muncul tahun 1908 dan dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan penjajah Belanda, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) dan Syubban al-Wathan (Pemuda Tanah Air) pada tahun 1914. Lalu tahun 1916 didirikan Taswirul Afkar atau "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial-politik keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (pergerakan kaum saudagar) tahun 1918. Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.

Suatu waktu Raja Ibnu Saud (Saudi Arabia) hendak menerapkan asas tunggal, yakni Mazhab Wahabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, termasuk makam Nabi Muhammad SAW, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid’ah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum puritan Islam di Indonesia, baik Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan maupun Syarikat Islam (SI) di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Dengan watak arogan kaum Wahabi, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres al-Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren membuat delegasi sendiri yang dinamakan “Komite Hijaz”, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hijaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.

Dengan memperhatikan perkembangan zaman, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk “Nahdlatul Ulama” (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Surabaya. Kelahiran NU sangat identik dengan pesantren. Sebab NU didirikan oleh kiai pimpinan pondok pesantren, seperti Hadrotusy Syeikh K.H. Hasyim As'ary, pendiri dan sesepuh Pesantren Tebuireng, Jombang; K.H. Khalil (Bangkalan); K.H. Wahab Hasbullah (Jombang); K.H. Bisri Syamsuri (Denanyar); K.H. Asnawi (Kudus); K.H. Nawawi (Pasuruan); K.H. Ridwan (Semarang); dan lain sebagainya.

Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka Hadrotusy Syeikh K.H. Hasyim Asy'ari, sebagai Rais Akbar NU, merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), dan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik. Adapun isi dari qonun asasi NU adalah “Dalam akidah mengikuti dua Imam, dalam Ubudiyah mengikuti empat Imam, dan dalam Tasawuf mengikuti dua Imam”.

NU menganut paham Ahlussunnah wal jama'ah Iaswaja), sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an dan sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik (ijma dan qiyas). Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang menyatukankan antara tasawuf dengan syariat.

Adapun tadisi yang melekat dalam ajaran NU antara lain: talafuz bin niyat (mengucapkan niat) ketika akan shalat, wiridan (membaca rangkaian doa dengan suara keras berirama) seusai salat magrib dan subuh, marhaba (membaca Kitab Barzanji) pada malam Jumat, tahlilan (mendoakan mayat), qunut (membaca doa pada rakaat terakhir shalat subuh), ziarah kubur, dan sholawatan. Selain itu, NU juga menempatkan “kitab kuning” sebagai acuan utama dalam kehidupan sehari-hari. Terutama yang menyangkut hukum ibadah (ritual), akhlak (perilaku) dan mu'amalah (sosial).

Peran yang dimainkan NU pada masa penjajahan tidak tanggung-tanggung, baik sebagai motor perlawanan maupun benteng pertahanan bangsa. Dalam Muktamar ke-11 di Banjarmasin tahun 1935, NU telah memberi status teologis kepada wilayah Nusantara yang dikuasai Belanda sebagai “wilayah Islam” (dar Islam), meski bukan negara Islam (darul Islam).

Pada tahun 1937, NU mempelopori pembentukan MIAI (Majlis Islam ‘Alaa Indonesia) sebagai peneguh politik melawan penjajah menjelang Perang Dunia II. Setelah MIAI dibubarkan penjajah Jepang tahun 1943, NU memprakarsai berdirinya MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) dengan Hadrotusy Syeikh KH. Hasyim Asy’ari sebagai ketua Majlis Syuro, dan KH. Wahid Hasyim sebagai wakil ketua.

Lalu pada tanggal 15 Desember 1944, NU melalui KH. Wahid Hasyim membentuk Lasykar Hizbullah dan Barisan Sabilillah, yang merupakan cikal bakal Tentara Keamanan Rakyat (TKR), sebagai garda terdepan dalam perlawanan melawan Sekutu. Sebanyak 40 batalyon PETA (Pembela Tanah Air) diantaranya dikomandani kiai NU.

Dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Panitia Sembilan, NU yang diwakili KH. Wahid Hasyim, menolak pencantuman “Piagam Jakarta” dan lebih memilih Pancasila sebagai dasar Negara, sehingga Indonesia merdeka yang akan diproklamirkan bukan “Negara Islam”. NU lebih mementingkan persatuan bangsa, ketimbang perjuangan MASYUMI. Pilihan ini sesuai dengan kaidah ushul fiqih “ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu” (sesuatu yang tidak bisa dicapai keseluruhan maka jangan tinggalkan keseluruhannya). Upaya politik untuk memperjuangkan negara Islam, formalisme syariat, atau memasukan Piagam Jakarta kedalam UUD 1945, lebih sekedar kosmetika politik belaka yang akan mengancam disintegrasi bangsa.

Pada tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya, NU memutuskan bahwa status hukum NKRI berdasarkan Pancasila yang diproklamirkan Soekarno-Hatta adalah sah secara fiqih (hukum Islam). Selain itu, NU lewat Hadrotusy Syeikh KH. Hasyim Asy’ari, mengeluarkan “Resolusi Jihad” untuk berperang melawan tentara Sekutu (Inggris-Belanda). NU terlibat penuh dalam mempertahankan Surabaya lewat peristiwa heroik tanggal 10 November 1945 (Hari Pahlawan) dibawah komando Bung Tomo dari tentara Hizbullah.

Setelah Indonesia merdeka, terjadi persaingan antar kekuatan Islam politik di tubuh Masyumi. NU dikhianati oleh kelompok Islam puritan (Muhammadiyah, Syarikat Islam, dll) dengan pemasungan otoritas Majlis Syuro, dan memposisikanya sebatas penasehat belaka. Puncak perseteruan terjadi manakala gagasan NU yang menginginkan MASYUMI diubah menjadi badan federasi untuk memperjelas perolehan suara dari masing-masing kekuatan, ditolak oleh kelompok puritan. Kondisi inilah yang membuat NU keluar dari Masyumi.

Setelah keluar dari Masyumi, lewat Muktamar NU di Palembang tahun 1952, NU menyatakan diri sebagai partai politik, yakni: Partai Nahdlatul Ulama (PNU). Kemudian tahun 1960-an, sayap politik NU mulai dibentuk, seperti SARBUMUSI (Serikat Buruh Muslimin Indonesia), LESBUMI (Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia), PERTANU (Perserikatan Tani NU), GP ANSOR dengan BANSER (Barisan Ansor Serba Guna), Muslimat-Fatayat NU, IPNU (Ikatan Pelajar NU), IPPNU (Ikatan Putri-Putri NU), dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).

Pada Pemilu pertama tahun 1955, PNU menjadi pemenang ketiga dengan perolehan 6.955.141 suara (45 kursi atau 18,4%), setelah PNI (23,3%), MASYUMI (20,9%), sementara PKI (16,4%) menduduki peringkat keempat. Ketika digulirkan konsep NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) oleh Soekarno setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, PNU menjadi satu-satunya kekuatan politik yang mewakili agama Islam. Sementara MASYUMI dibubarkan oleh Soekarno karena tokoh-tokohnya terlibat gerakan DI/TII. Lalu, ketika peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang berujung pada berakhirnya kekuasaan Soekarno, NU melahirkan kekuatan politik baru dengan lahirnya tokoh-tokoh radikal, seperti Subhan ZE, Zamroni, dan H.A. Saechu, yang senantiasa mewarnai MPRS pada paruh waktu tahun 1966-1969.

Dalam Pemilu 1971, PNU menegaskan diri sebagai oposan Orde Baru. Meski NU di pecah-belah oleh militer (ABRI) dan GOLKAR, PNU menjadi pemenang kedua (58 kursi atau 18,7% suara) setelah GOLKAR (231 kursi atau 62,8% suara). Sementara PNI hanya memperoleh 6,9%, dan PARMUSI (penerus MASYUMI) hanya mendapat 5,4% suara.

Setelah Pemilu 1971, Soeharto melakukan politik fusi (penggabungan) partai dengan membagi kekuatan politik menjadi 4 kelompok, yaitu: Angkatan Bersenjata, Golkar, Pembangunan Demokrasi, dan Pembangunan Persatuan. Atas desakan Soeharto, PNU dipaksa untuk masuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama PARMUSI, Persatuan Tarbiyah Islamiah (PERTI), Muslimin Indonesia (MI) dan Partai Syarikat Islam (PSI) pada 5 Januari 1973. Sementara PNI, MURBA, Partai Katolik Indonesia (PARKINDO) dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Selain kebijakan fusi, Soeharto juga memberlakukan politik floating mass (massa mengambang) yang tidak membolehkan partai politik melakukan aktivitas dan membentuk struktur pengurus di tingkat desa (basis).

Peminggiran NU oleh Orde Baru diperparah lagi dengan pengkhianatan MI (Muslimin Indonesia) dalam tubuh PPP. NU disingkirkan dari arena politik PPP, maupun dalam kancah politik Islam nasional lewat pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) oleh Soeharto. Kondisi ini menyebabkan NU dalam Muktamar ke-29 di Situbondo tahun 1984, NU menyatakan diri keluar dari PPP dan kembali ke khittah 1926, demi menyelamatkan warga nahdliyin dari intimidasi pemerintah dan pengkhianatan politik kelompok Islam puritan. Selain itu, dalam muktamar tersebut, NU juga menyatakan bahwa NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sudah final. Hal ini bisa dilihat dari statemen KH. Ahmad Shiddiq (Rais Aam PBNU), “Negara yang harus dilindungi adalah Negara Nasional yang didasarkan Kedaulatan Rakyat”. Pernyataan ini secara implisit juga merupakan “penolakan” terhadap cita-cita berdirinya Negara Islam, sekaligus penerimaan azas tunggal Pancasila.

Kembalinya NU ke khittah 1926 merupakan strategi NU untuk menyelamatkan rakyat dan negara dari penguasaan rezim Orde Baru lewat kekuatan ABRI-Birokrasi-Golkar (ABG). Paradigma politik NU bergeser dari partai politik ke presure group, dari gerakan politik struktural ke gerakan politik kultural. NU lewat kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi satu-satunya Ormas yang tidak dikendalikan oleh Orde Baru, dan melakukan oposisi damai dengan Soeharto. Peran NU bergeser menjadi Jam’iah Diniah Islamiyah (organisasi sosial keagamaan) dan melakukan penggalangan kekuatan anti Soeharto lewat gerakan civil society, Forum Demokrasi (Fordem) dan menolak pendirian Ikatan Cendiakawan Muslim Indonesia (ICMI) tahun 1990.

Ketika rezim Orde Baru runtuh lewat gerakan reformasi, NU mulai mencari celah untuk bangkit kembali. Maka lewat prakarsa PBNU, pada tanggal 23 Juli 1998, di Pesantren Ciganjur Jakarta Selatan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dideklarasikan oleh KH. Ilyas Ruchiyat (Ponpes Cipasung), KH. Abdurrahman Wahid (Ketua Tanfidzyah PBNU), KH. Munasir Ali, KH. Muhith Muzadi, dan KH. Mustofa Bisri (Rembang). Dari empat partai lain (PNU, SUNNI, PKU, dan PNU) yang sama-sama dilahirkan warga nahdliyin, hanya PKB yang kelahirannya difasilitasi dan didukung penuh oleh PBNU.

PKB adalah partai yang memiliki basis kultur sangat kokoh dalam sejarah gerakan sosial-politik Islam di Nusantara sejak lama. Sebagai partai yang lahir dari kiai dan didedikasikan untuk bangsa, PKB merupakan mata rantai perjuangan rakyat masa lalu, menyambungkan pemikiran keagamaan yang terlembagakan di pesantren sejak berabad-abad lampau, dengan dunia modern dimasa kini. PKB juga meneruskan tradisi spiritualitas politik masyarakat Islam Indonesia dengan menjadikan Ahlussunnah wal Jama’ah dan ushul fiqih sebagai landasan dan meteodologi politiknya. Dengan tradisi pemikiran serba fiqih, baik kerangka teoritis (ushul al-fiqh) maupun kaidah-kaidah fiqih (al-qowaid al-fiqhiyah), PKB mencoba memberikan jawaban terhadap tantangan perubahan yang dihadapi untuk melembagakan nilai-nilai baru serta tingkah laku dan peran sosial politiknya.

Sebagai pewaris Partai Nahdlatul Ulama (PNU) dimasa lalu, pada Pemilu 1999, PKB keluar sebagai pemenang pertama diantara partai baru di era reformasi, dan peringkat ketiga diantara partai lama warisan Orde Baru. PKB merebut 51 kursi DPR RI dan lebih dari 1.500 kursi DPRD di seluruh Indonesia. Kesuksesan itu semakin nyata dengan terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), kader terbaik NU, sebagai presiden RI keempat. Posisi ketiga kembali dipertahankan pada Pemilu 2004. PKB merebut 52 kursi DPR RI, 1.753 DPRD se-Indonesia, dan 120 kepala daerah (eksekutif) hasil Pilkada.

Sejak berdiri sampai detik ini, PKB merupakan parpol yang paling dinamis. Sepanjang sejarahnya, wibawa dan kedaulatan partai yang dipimpin Gus Dur ini, telah berkali-kali dirongrong oleh kekuatan luar maupun dalam. Konflik internal, dualisme kepengurusan, dan “intervensi” dari luar, selalu mewarnai perjalanan PKB secara nyata. Suatu fakta politik yang tidak dialami partai lain. Namun berbagai persoalan internal PKB mampu diatasi dengan baik, sehingga dinamisasi kehidupan partai menjadi bagian tak terpisahkan dari PKB. Pada saat yang sama, kematangan dan kebijakan politik pengurus dan kader PKB juga semakin terasah dan terkonsolidasi dengan baik, sehingga khittah politik Gus Dur untuk berkomitmen pada kerakyatan dan kebangsaan, kejujuran dan keterbukaan, membela rakyat kecil, dan membela yang benar, selalu terjaga dan terpelihara.

Selain itu, berbagai upaya melalui kinerja dan kebijakannya, PKB senantiasa meneguhkan sikap sebagai partai pelopor reformasi. Sikap pengabdian kepada Allah, NKRI dan founding father, ditunjukkan dalam bentuk kerja nyata dalam gerakan sosial-politik kemasyarakatan, seperti penolakan RUU APP yang mengancam kebhinekaan dan menebar benih disintegrasi bangsa, dan menolak UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal karena substansi gagasannya yang liberalistik.

PKB juga telah berjuang keras membela rakyat dan kelompok tertindas (marginal), seperti pembelaan kepada Inul Daratista, kasus Ahmadiyah, alokasi dana BOS untuk madrasah, insentif guru honorer, rehabilitasi pesantren, bantuan Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat Keagamaan (LM3), interpelasi kebijakan impor beras, kenaikan harga BBM, interpelasi nuklir Iran, interpelasi lumpur Lapindo, interpelasi BLBI, dan secara pro aktif mengadvokasi korban lumpur Lapindo, sengketa Alastlogo, blok Cepu, serta bantuan korban banjir. Perjuangan PKB ini didasari garis perjuangan partai untuk menempatkan orientasi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, lahir dan batin, secara sejajar, dan meneguhkan diri pada garis perjuangannya untuk "Membela Yang Benar".


----
Nana Suryana.
* Tulisan ini saya buat untuk bahan wacana kaderisasi di DPC PKB Kota Cimahi, yang mana saya sendiri sebagai Ketua I yang membidangi Kaderisasi dan Organisasi.

Tidak ada komentar: