<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Jumat, 11 Februari 2011

STRATEGI MEMBANGUN KAMPUNG LEWAT KORAN MASUK DESA


Dari Refleksi…
Berpikiran global sudah merupakan suatu keniscayaan. Namun, pemberdayaan masyarakat di perdesaan lewat kegiatan kelompok, sesuai kondisi dan kebutuhan, tetap merupakan hal terpenting. Adakah tuntutan ini relevan dengan keinginan warga masyarakat pedesaan untuk menjadi wilayah yang mandiri?

Tentu saja untuk mencapai kemandirian itu, segenap warga masyarakat harus memiliki wawasan yang luas dan pemikiran yang universal. Agar modal dasar itu dimiliki, maka kehadiran media informasi juga menjadi penting. Informasi adalah napas dunia pada saat ini, karena dengan adanya infromasi semua wawasan pengetahuan lebih terbuka dengan pola pikir lebih maju dan luas. Sehingga pada gilirannya akan berdampak pada percepatan perkembangan pembangunan di daerah.

Sebagai contoh, di setiap desa sekarang sedang digalakan adanya Warung Internet (Warnet) yang merupakan pertanda era informasi sudah merambah ke desa. Kalau dulu "era koran masuk desa" tapi sekarang "era internet masuk desa", sehingga cakrawala dunia akan terpantau dan diketahui oleh kita semua.

Sayangnya, program internet masuk desa yang digagas depkominfo ini tidak pernah dinikmati oleh masyarakat di kampung kita. Entah ini salah siapa? Apakah hal ini dimungkinkan karena pejabat kita tidak memiliki akses lebih pada level pusat untuk menembus program tersebut? Atukah memang sudah menjadi “takdir illahi” kalau kampung halaman kita emang sengaja di deskriditkan dari setiap program pemberdayaan masyarakat?

Proses marginalisasi ini bukan hanya terjadi di era sekarang saja, tapi juga jauh melampaui kisaran waktu. Sebagai contoh, pada tahun 1973, saat mentri penerangan dijabat Mashuri, beliau telah memunculkan gagasan adanya “koran masuk désa”. Artinya koran yang bisa menembus alam pedésaan, supaya masyarakat ‘pasisian’ bisa cepat menerima informasi, terutama tentang pembangunan.

Nyatanya, program ini juga tidak pernah dinikmati oleh warga kampung halaman kita, sehingga sampai detik ini, tak ada satu pun koran yang masuk ke wilayah kita. Imbasnya, wawasan dan pemikiran masyarakat juga menjadi minim. Mereka hanya bisa mengakses informasi dari media elektronik (radio & televisi) semata. Padahal kita menyadari bahwa berita yang dilaporkan media cetak, isinya jauh lebih mendalam ketimbang televisi yang hanya sekilas.

Kini kondisi dan kebutuhan masyarakat di perdesaan sudah tidak sama dengan tahun 1970-an. Banjir informasi lebih dahsyat. Teknologi makin canggih. Tuntutan masyarakat berkembang. Keinginan tahu terhadap teknologi baru di sektor pertanian, misalnya, menjadi salah satu kebutuhan mereka. Mereka pun ingin tahu lebih jauh tentang pertanian organik dengan pendekatan tekno-ekologis. Mereka pun perlu bimbingan atau dapat mengakses situs untuk menemukan teknik mutakhir. Mereka telah berpikiran global, tetapi tetap memandang penting kehadiran kelompok. Mereka mengharapkan motivator hadir di desa. Lalu siapa yang sejatinya bisa menjadi motivator itu?

…Menuju Aksi!

Kini, saya hanya berharap, harapan yang terbilang amat sederhana, tapi akan menimbulkan ekses yang luar biasa besar bagi perubahan orientasi hidup masyarakat pedesaan. Harapan saya adalah pemerintah ada kepedulian untuk memprogramkan lagi Koran Masuk Desa (KMD). KMD akan berfungsi sebagai media informasi yang membanjiri masyarakat di perdesaan.

Bila hal ini terjadi, saya yakin bahwa kegiatan masyarakat pedesaan akan hidup. Mereka akan menyerap informasi, mendiskusikannya dalam kelompok maupun di warung kopi, memilah dan memilih pesan yang dapat diterapkan di desanya, dalam upaya menciptakan lahan usaha baru dan mengembangkan lahan usaha yang telah ada.

Obrolan warung kopi pun tidak akan menjadi hal yang sia-sia, karena saat itu ada juru penerang yang berperan sebagai narasumber dalam diskusi, juga media yang bisa dijadikan sarana aspirasi warga. Permasalahan yang timbul di masyarakat akan diteruskan oleh kelompok penulis perdesaan ke media massa atau langsung ke instansi yang berkompeten. Permasalahan masyarakat dan penjelasan instansi tersebut dimuat di media. Terjadilah komunikasi timbal-balik yang efektif.

Saya berkeyakinan bahwa peran kelompok penulis pedesaan tersebut akan dirasakan manfaatnya oleh pemerintah dan instansinya dalam upaya menimba masukan dan umpan balik terkait pelaksanaan programnya. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajar pula bila pemerintah memprakarsai kegiatan pelatihan bagi kelompok penulis perdesaan.

Tentunya pelatihan teknik menulis bukan hanya diselenggarakan Depkominfo atau PWI, tetapi juga diselenggarakan instansi pemerintah daerah. Beberapa instansi yang sekiranya harus menyelenggarakan pelatihan teknik menulis bagi penulis perdesaan adalah Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Dinas Pariwisata, Dinas Perkebunan, Dinas Pendidikan, juga Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Instansi ini penting ikut terlibat, karena kegiatan yang ada di masyarakat bukan hanya terkait sektor pertanian, tapi juga berkembang dan dimanfaatkan terkait pembangunan sektor-sektor lain yang bersentuhan langsung dengan masyarakat di perdesaan.

Pasca pelatihan, instansi pemerintah dan juga media massa, harus tetap intens melakukan pembinaan dan evaluasi. Sementara kelompok penulis pedesaan, juga harus membangkitkan misi gemar membaca di kalangan masyarakat perdesaan. KMD ditempel bukan hanya di balai banjar, tetapi juga di warung yang ramai pengunjungnya, bahkan di tempat-tempat pemandian umum, juga pesawahan.

Kelompok penulis pedesaan yang benar-benar dikelola lewat pendekatan kualitatif, akan tampil menjadi sosok penggerak masyarakat dalam pembangunan di desanya. Aparat desa pun akan tampak bergairah. Jika akan menyelenggarakan kegiatan di desanya, atau desanya akan dikunjungi pejabat pemerintah, eksekutif maupun legislatif, yang mereka cek bukan hanya kesiapan konsumsinya, pengeras suaranya, pembawa acaranya, penerima tamunya, tetapi juga dicek apakah penulis perdesaan sudah siap menjalankan tugasnya. Wallohu’alam!

-----
Nana Suryana.
Cijagra, 11 Februari 2011.

Tidak ada komentar: