<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Jumat, 11 Februari 2011

Dayeuhluhur, Aku Selalu Merindukanmu....


Tak terasa, sudah hampir 13 tahun lamanya saya meninggalkan kampung halaman. Di berbagai tempat yang pernah saya tinggali, kerinduan akan kampung halaman dan senyum sapa yang familiar terkadang menggelayut di pikiran. Kampung halaman saya yang sederhana, tempat saya dilahirkan, tempat kedua orangtua saya mendaraskan ajaran-ajaran moral jauh ke hati saya, tempat bermain dari siang selepas sekolah hingga petang hari, di sebuah kampung kecil nan indah, dimana perbukitan hijau memanjakan mata, pematang sawah menghampar luas, dan gunung Dayeuhluhur sebagai benteng negeri. Nun jauh di sana.. bumi Rimpaknangsi, Hanum, Dayeuhluhur.

Kampung saya adalah kampung mayoritas, dimana etnis Sunda selaku suku dominan. Penduduknya hampir 98% penduduk pribumi. Saking dominannya, dalam interaksi sehari-hari kami selalu bicara dengan bahasa Sunda, Sunda khas Dayeuhluhuran. Ah… kampung yang sangat nyunda sekali dan amat dinamis. Kawan-kawan bermain masa kecil saya pun beraneka ragam. Kami selalu rukun, tak pernah timbul perselisihan di antara kami. Semuanya co-exist dengan harmonis.

Satu ketika, saat menjelang tidur, saya pernah bertanya kepada Bapa, “Pak, di sekolah guru agama bilang bahwa agama Islam yang paling benar, terus gimana dengan orang lain yang berlainan agama?”. Bapa saya pun menjawab, “Na, setiap agama pasti memandang dirinya yang paling benar. Buat kita yang paling benar tentulah Islam. Tugas kita adalah beribadah dan memelihara perilaku kita sebaik-baiknya, sesuai ajaran agama kita. Soal salah dan benar, biarkanlah Allah yang menilainya. Perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan, jangan membeda-bedakan. Kalau tidak suka disinggung ya jangan menyinggung perasaan orang”. Jawaban Bapa begitu simpel dan damai, tak ada pertentangan. Kata-kata itu masih menjadi pedoman saya hingga sekarang.

Ketika remaja, saya tidak pernah bisa memahami konsep kebesaran negeri ini, hanya melulu melihat bobroknya. Seperti kebanyakan anak-anak muda dan mahasiswa, saya pun selalu berkiblat ke luar. Namun ternyata Tuhan memutarbalikkan logika saya. Ketika saya melewatkan masa dewasa saya di tanah rantau, kecintaan pada kampung halaman justru tumbuh membuncah-buncah. Bagaimana bisa?

Di Dayeuhluhur etnis saya Sunda, maka saya mayoritas. Kulit saya sawo matang, maka saya mayoritas. Agama saya Islam maka saya mayoritas. Namun, bila wilayah Dayeuhluhur dibenturkan dengan geografis, terbukalah bahwa kampung halamanku adalah satu-satunya etnis Sunda yang masuk wilayah Cilacap, Jawa Tengah. Di Cilacap, keadaan berbalik, kami selalu jadi minoritas. Perlakuan ‘berbeda’ pun sering kami dapatkan. Di sinilah Tuhan membuka mata saya dan mengingatkan saya pada nasihat Bapa, ‘Perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan.’ Ternyata tidak enak jadi minoritas. Saya pun mulai bisa melihat dari sudut pandang mereka, bagaimana rasanya hidup harus terus tunduk dan mengalah pada kepentingan mayoritas.

Saat saya merantau ke Kota Kembang, saya dipertemukan dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Tidak sedikit yang berasal dari wilayah konflik. Melihat beberapa etnis bertikai hingga jatuh ke jurang genocide hanya karena dua golongan berseteru, saya bersyukur menjadi bagian dari Dayeuhluhur yang tetap eksis walaupun selalu dipinggirkan. Mendengar kisah pilu ‘gagalnya’ pemekaran Kabupaten Majenang, saya bersyukur Dayeuhluhur masih bisa mandiri dan berdikari walaupun tanpa subsidi. Ketika banyak daerah mempromosikan kultur yang (maaf) bagi saya gitu-gitu aja, saya bisa berdiri tegak bercerita bahwa Dayeuhluhur punya kekayaan alam, pariwisata, dan budaya yang tak ubahnya satu benua. Mendengar kerasnya hidup mereka di tanah asal, saya bersyukur bahwa saya tidak pernah merasakan kelaparan karena Dayeuhluhur kaya dengan sumber daya. Oh…betapa beruntungnya...

Dari cerita dan hasil berinteraksi dengan mereka semua, saya belajar, intolerance adalah awal dari semuanya. Persinggungan kecil dan kepentingan politik-lah yang menjadi titik awal pertikaian dan perjuangan. Ketika semua merasa diri yang paling benar, maka tak ada lagi mau mendengar. Ketika mereka ingin mendominasi dan memonopoli karena merasa mayoriti, maka wajar jika kami berontak melawan dan berhasrat untuk membebaskan diri!

Tak ayal, bibit perlawanan itu kini kian tersemai di darah warga kampung kami. Sulit rasanya percaya bahwa rasa ‘toleransi’ itu lambat laun kian terkikis habis, karena jengah terus di ‘dholimi’ politisi, birokrasi dan kaum mayoritas. Gerakan pemekaran terus disuarakan, gebrakan pemberdayaan dan kemandirian terus ditingkatkan, persatuan dan persaudaraan laju didengungkan. Semuanya bermuara pada dua kata: Setara dan Mandiri!

Sungguh kontras sekali perjuangan warga kampung kami dengan keadaan di tempatku merantau. Hari-hari ini begitu mudahnya orang memojokkan, menjelekkan, menghina hal-hal yang berbeda dari dirinya. Risih saya mendengar saudara sendiri dengan mudahnya melontarkan kata ‘kafir’ pada orang lain. Pilu rasanya mendengar kata ‘Allahu Akbar’ diteriakkan dengan penuh emosi diiringi tindakan pengrusakan. Kebanggaan beragama rupanya tidak dibarengi dengan kehalusan kata, sikap dan perilaku. Apa yang memberingaskan mereka? Bukankah agama seharusnya membuat hati menjadi tenang karena mengingat Tuhan? Mungkinkah mereka dibutakan dogma dan kesalahan penafsiran? Entahlah… bagi saya, tindakan itu sungguh jauh dari kedamaian dan persatuan.

Saya pun berefleksi, tidak bisakah kita mematuhi ajaran agama kita tanpa menyinggung perasaan penganut agama lain? Tidak bisakah kita mencintai Tuhan sekaligus mencintai ragam ciptaaannya dan menerima mereka apa adanya? Tidak bolehkah kami menjadi orang Sunda yang tetap bangga pada akar budaya Dayeuhluhur, tempat tinggal saya? And last but not least, tidak bisakah kita mencintai kampung halaman dengan cara yang sederhana?

Untukmu Dayeuhluhur, aku kan senantiasa merindukanmu....

---
Nana Suryana.
Cijagra, 24 Januari 2011.

Tidak ada komentar: