<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Jumat, 11 Februari 2011

Resonansi Kehidupan Dayeuhluhur


//1//
Menurut kamus fisika, yang pernah saya pelajari dulu sewaktu masih duduk di bangku sekolah SMA N 1 Dayeuhluhur, resonansi adalah proses bergetarnya suatu benda dikarenakan ada benda lain yang bergetar. Hal ini terjadi karena suatu benda bergetar pada frekwensi yang sama dengan frekwensi benda yang terpengaruhi.

Terjadinya resonansi bisa berakibat menguntungkan maupun merugikan kita. Resonansi yang menguntungkan, yaitu resonansi yang terjadi pada alat musik (gitar, genderang, gamelan, dll). Sementara resonansi yang merugikan adalah suara deru pesawat yang bisa membuat kaca turut bergetar, bahkan pecah.

Sebagai contoh, jika beberapa bandul logam (anggaplah bandul A,B,C,D,E) kita gantungkan sejajar dan rapat, kemudian bandul A kita tarik dan kita lepaskan, menghantam bandul B sebesar gaya F, niscaya bandul terakhir akan menerima sinyal untuk berayun sebesar gaya yang sama, walaupun bandul B,C,D tidak bergerak.

Dalam ilmu fisika ini disebut gaya “aksi” dan “reaksi”. Berapa besarnya gaya aksi yang kita berikan, niscaya akan memberikan reaksi yang sama. Kenapa begitu? Karena sebetulnya telah terjadi perpindahan energi dari bandul A ke bandul E dengan besar gaya yang sama, merambat melalui bandul B,C,D.

//2//
Kalau kita aplikasikan teori dari “laboratorium kehidupan” kecilnya ini kedalam dunia nyata, terutama dengan keberadaan kita selaku warga Dayeuhluhur, maka kita akan menemukan makna “ikhlas” yang sesungguhnya dari “falsafah” resonansi ini. Bandul A kita ibaratkan sebagai “Niat” untuk hidup mandiri; Bandul B,C,D kita ibaratkan sebagai “Proses” perjuangan untuk mencapai kemandirian itu; dan bandul E sebagai “Hasil”. Sementara energi yang merambat itu adalah “Ruh yang Ikhlas”.

Jadi, jika kita ingin mendapatkan simpangan yang semakin jauh di bandul E, maka kita pun harus memiliki gaya tarik yang besar dari bandul A. Tetapi gaya tarik saja tidak cukup tanpa adanya pentransferan energi dari satu bandul ke bandul yang lain. Tanpa adanya transfer energy, sebesar apapun gaya tarik yang kita lakukan terhadap bandul A, niscaya bandul E takkan memberikan simpangan sebesar apapun seperti apa yang kita inginkan.

Dengan kata lain, sesuatu yang kita usahakan, yakni Dayeuhluhur yang berdaulat di bawah Pemerintahan Kabupaten Majenang, akan sama hasilnya dengan keluarannya. Jika kita terus komitmen berjuang untuk pemekaran ini demi menanamkan kebaikan pada seluruh masyarakat, niscaya hasilnya adalah berdirinya dengan kokoh Kabupaten Majenang yang kita idam-idamkan.

Besarnya hasil dari perjuangan pemekaran yang kita tanam, tergantung pada energi keikhlasan yang kita miliki, karena energi ikhlas inilah yang menjadi “mediator” antara kita dengan hasil perbuatan dan perjuangan kita. Berapapun besar usaha kita, tanpa adanya rasa ikhlas, maka hasilnya adalah “nihil” belaka. Maka perjuangan kita dalam rangka Pemekaran Kabupaten Cilacap menuju Kabupaten Majenang yang berdaulat, harus dilandasi keikhlasan, benar-benar niat tulus untuk memberdayakan masyarakat, tanpa ada unsur “politis” dan “mempolitisir” didalamnya.

Ikhlas itu sangat dinamis, tersembunyi, tapi pada hakikatnya “ada”. Dia adalah ruh (energi) dari segala amal yang akan menghantarkan keberhasilan dari setiap apa yang kita cita-citakan. Buat para pejuang dan aktivis Pemekaran, saya kira ini bisa menjadi “tausiyah” yang sangat penting, karena sangat berhubungan dengan “jihad”. Jika niat perjuangan pemekaran kita baik, niscaya objek pemekaran kita juga akan baik. Atau sebaliknya!


//3//
Bagi saya, inilah yang disebut sebagai “Resonansi Kehidupan”. Tuhan telah memberi “matlamat” pada kita melalui “sains”, agar gerak perjuangan pemekaran Kabupaten Majenang dan Kemandirian Dayeuhluhur, dilandasi niat yang tulus, proses yang benar, sehingga hasilnya pun signifikan.

Satu hal lagi yang selalu saya yakini, bahwa diri kita ini tak ubahnya sekumpulan energi yang masing-masing bisa memiliki hubungan dengan benda sekitar, tanpa kita sadari. Layaknya dalam meta-theory “hypnoterapi”. Intinya, bahwa tanpa bisa kita nafikkan, perjuangan pemekaran ini harus senantiasa bersatu-padu, bahu-membahu, rempug jukung sauyunan, antar seluruh elemen masyarakat, agar resonansi yang kita lakukan, termasuk dalam resonansi yang menguntungkan. Wallohu’alam!

Nana Suryana.
Cijagra; Selasa, 01 Februari 2011.

Tidak ada komentar: