<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter
  • "....ada kisah yang belum usai...."

    Akhirnya langkah ini tiba pada sebuah sketsa. Dalam kecamuk, amuk dan peluk. Ada yang terkunci saat ingin membuka segala. Meski cuma lewat kata. Satu hal yang kuyakin; adalah jengahku pasti hadir dalam lembaran ini. Hanya, bacalah! Simaklah! Lalu silahkan saja sinismu terngiang dan kan ada rutuk yang melenggang. Atau paling tidak, pandanglah! Dan jauhkan ia pelan, kelak tak ada perihal yang membayang. Hingga entah kapan kan terhiba kata yang dikurung naifnya keangkuhan...

  • Kuwariskan semua ini hanya untukmu...

    Mahakarya inilah salah satu warisan yang akan kuberikan. Maka kutulis sabda ini untukmu, Anakku. Meski Ayah sendiri sebenarnya tak mengerti di mana bermula maksud ini. Tapi ayah tidak memiliki kemampuan menuliskan isyarat hati. Ayah juga berharap dirimu damai adanya. Sebab doaku telah kurangkumkan pada mega. Ia kan menaungimu dari durja dunia. Dan bagi ayah, beritamu adalah segalanya. Apa yang ayah jalani tidak lagi berarti bila kamu, anakku, tak lagi mengilhami! Kamu adalah anakku, dan anak dari ingatan yang kuwariskan padamu...

  • Merayakan Keberagaman Keberagamaan...

    Setidaknya ada tiga hal yang ingin disampaikan tafsir emansipatoris; Islam Emansipatoris ingin memberikan perspektif baru terhadap teks, Menempatkan manusia sebagai subyek penafsiran keagamaan, Memiliki konsern kepada persoalan kemanusiaan ketimbang pada persoalan teologis. Islam Emansipatoris ingin mengalihkan perhatian agama dari persoalan langit (teosentrisme) menuju persoalan riil yang dihadapi manusia (antroposentrisme). Penekanannya pada aspek praksis, sehingga agama tidak hanya dipahami sebagai ritualisme melainkan pembebasan masyarakat dari segala penindasan!

Twitter

Jumat, 01 Juli 2011

AGAMA & KEADILAN SOSIAL

“Kebetulan rumah saya bersebrangan dengan Masjid. Sebagai seorang penganut Kristiani, saya sudah terbiasa mendengar adzan, wirid dan dzikir setiap hari. Alunan itu sudah saya hafal di luar kepala. Hal itu bagi saya bukan masalah dan tidak meresahkan, apalagi mengganggu iman saya. Saya paham, saudara saya sedang berdo’a, dan berkat Allah pasti akan turun kepadanya”.

Ungkapan itu muncul dari seorang Ibu penganut Katolik yang tho’at. Satu kepedihan membuat Ibu Nanik menggugat Islam sebagai kelompok mayoritas di Indonesia. Nyeri itu muncul, saat kebebasannya untuk beribadah dipersulit.

“Yang jadi masalah, kenapa diskriminasi muncul kepada saya? Ketika umat Kristiani mau mendirikan tempat peribadatan, sulitnya minta ampun. Hanya karena alasan kuantitas kami yang minim, kami tidak diperbolehkan! Akhirnya, kami menggunakan salah-satu rumah sebagai tempat ibadah. Tapi rumah itu pun akhirnya diubrak-abrik oleh segerombolan orang berjubah sambil berteriak ‘Allohu Akbar’ dengan alasan penyalahgunaan tempat!”.

Awalnya saya merasa bingung dan ‘keder’ menanggapi keluhan itu. Hal ini disebabkan saya secara pribadi dan umumnya kaum muslimin dalam posisi yang disudutkan. Apabila saya memihak pada Ibu Nanik, maka bisa jadi label “sesat”, “murtad”, “kafir” dan “halal darahnya” akan melekat pada saya, terutama dari orang yang berpikir eksklusif dan radikal. Sementara bila saya membenarkan tindakan umat Islam yang melakukan kekerasan dan pengrusakan tersebut, jelas saya telah “keluar” dan “mengkhianati” ajaran Islam, karena saya telah berpandangan subjektif dan berlaku tidak adil pada sesama manusia.

Setelah membaca beberapa literature, pada akhirnya saya punya kesimpulan tersendiri, terlepas dari benar-salah, subjektif-objektif, maupun pro-kontra. Hemat saya, umat Islam tidak pernah melarang umat lain untuk mendirikan tempat ibadah, karena yang punya kewenangan pendirian tempat ibadah adalah negara. Ketika negara atau institusi yang mengatas namakan agama hadir dan ikut campur pada masalah agama, maka disana persoalan mulai muncul. ketidakadilan yang terjadi diantara umat beragama disebabkan adanya politisasi dari institusi yang “berkedok agama”.

Selain itu, sejatinya keadilan tidak memiliki labelitas, karena keadilan merupakan nilai universal yang kapan dan dimana pun harus selalu diperjuangkan. Sayangnya, universalitas keadilan tersebut, ternyata diekspresikan secara berbeda oleh setiap pemeluk agama. Imbasnya, diskriminasi antar kelompok mayoritas dan minoritas pun kerap kali terjadi. Padahal Islam dari awal telah memikul tanggung-jawab untuk menegakkan keadilan itu.

Dalam pandangan saya, paling tidak ada tiga perspektif dalam memahami problem ketidakadilan yang diakibatkan prilaku diskriminatif. Pertama, perspektif mistis. Pandangan ini beranggapan bahwa, ketidakadilan merupakan masalah yang sudah menjadi karakter manusia (sunatullah). Karena sifatnya yang absolut, maka cara merubahnya pun dilakukan dengan cara berdo’a. Berdo’a penting dilakukan untuk menjaga konsistensi kita terhadap ajaran sendiri.

Kedua, perspektif manusiawi. Seseorang bersikap adil tergantung dari moralitas dan mentalitasnya. Baik-buruk seseorang tergantung pada sejauh mana etika orang tersebut ditonjolkan. Ada pun cara merubahnya yaitu dengan memperbanyak dialog dan ceramah di setiap lembaga pendidikan formal. Sebagai contoh, bisa jadi pertikaian diantara umat beragama yang terjadi akhir-akhir ini, diakibatkan kurangnya pemahaman umat terhadap ajaran agama lain. Maka, lewat pendidikan lintas agama di sekolah, kiranya hal ini bisa ditangani.

Ketiga, perspektif struktural. Dalam pandangan ini, ketidakadilan itu tidak cukup diserahkan kepada pribadi-pribadi saja, tapi harus dilakukan secara bersama, terutama oleh struktur yang memiliki kewenangan, untuk merubah sistem yang sekiranya mengakibatkan konflik antar kepentingan.

Disamping itu, ajaran Islam tentang keadilan, secara umum bisa di bagi dalam dua wilayah; privat dan publik. Wilayah privat atau personal, yaitu bersikap adil terhadap diri sendiri dan orang lain, sebagai manifestasi dari ajaran kemaslahatan (rahmatan lilalamin). Sementara wilayah publik mengandung pengertian bahwa, keadilan itu berusaha untuk mewujudkan kepentingan bersama, tanpa melihat perbedaan SARA.

Adapun spesifikasi dari keadilan publik itu berupa pemerataan dan kesetaraan. Dalam hal ini, pemerataan diartikan sebagai upaya untuk melakukan pembagian kuantitatif secara sama. Sebagai contoh, bersikap adil kepada anak, tanpa melihat perbedaan usia atau jenis kelamin. Sementara kesetaraan, mengandung makna bahwa, semua orang, siapapun dia, ketika dihadapan hukum, memiliki posisai yang sama. Sebagai bahan rujukan, lihatlah prilaku Nabi Muhammad SAW, ketika siap menghukum putrinya, Fatimah, apabila ketahuan mencuri. Artinya, tidak ada nepotisme disitu! Realitasnya, hukum hanya diberlakukan untuk orang lemah saja, sementara kaum elite jarang tersentuh. Jadi, ada diskriminasi kesetaraan di tingkat itu.

Lalu, bagaimanakah konteks ajaran Islam melihat ketidakadilan akibat diskriminasi mayoritas terhadap minoritas? Keadilan menurut mayoritas, terkadang dianggap kurang adil oleh minoritas? Keadilan Islami macam apa yang menjadi prioritas dan harus kita perjuangkan ditengah masyarakat yang plural ini? Apa yang harus dilakukan setiap agamawan ketika menghadapi problem ketidakadilan?

Bagi saya, salah satu karakteristik ajaran Islam adalah konsisten dalam memperjuangkan keadilan melalui penegakkan hukum. Hal yang ingin dicapai dari keadilan adalah kesejahteraan, kemaslahatan dan bebas dari rasa takut. Artinya ketiga hal ini menjadi prinsip dasar yang harus diterapkan dalam Islam.

Pemahaman keadilan antara versi mayoritas dan minoritas memang berbeda, tapi pasti ada hal yang bisa dijadikan pegangan bersama, yaitu “kecenderungan untuk tidak menyakiti umat lain”. Hal ini sesuai dengan hadits, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia mencintai saudaranya, sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”. Jadi, bagaimana mungkin kita bisa mencintai Tuhan, kalau mencintai sesama saja kita tidak bisa? Wallohu’alam!


-----------------
Nana Suryana
Cijagra, 01 Juli 2011 Pukul 01.13 WIB

TUHAN TAK PERLU DI BELA!

Proses menemukan Tuhan, seperti aliran air, tidak berhenti, terus mengalir, bersama ritme kehidupan manusia yang senantiasa berubah,dan bergerak dinamis. Namun usaha ini dilumuri ego manusia yang seolah-olah lebih tahu dari Tuhan. Akhirnya, proses menemukan dan menghayati Tuhan berubah; memperdebatkan Tuhan, mengurusi Tuhan bahkan berdarah-darah karena Tuhan—meminjam ungkapan Karel Amstrong—The Batle for God?

Dengan logika yang sederhana sekali, fenomena di atas tidak masuk akal. Bagaimana mungkin Tuhan yang menciptakan dan mengurusi manusia, dibalik menjadi; manusia mengurusi Tuhan? Jika kita yakin bahwa Tuhan Mahabesar, Mahakuat, Mahamengetahui, Mahamemaksa, Mahakuasa, dan maha-maha yang lain, dengan kesimpulan yang sederhana pula, Tuhan tidak perlu “diurusin”, “diributin”, atau—sabda Gus Dur—Tuhan tidak perlu dibela!

Kita tidak perlu mendifinisikan Tuhan dengan epistemologi yang “njilmet”, sampai kulit dahi berkerut dan berdenyit, atau berdebat, hingga seluruh urat leher menggelembung. Jangan-jangan Dia sekarang terkekeh-kekeh, karena—menurut Malin Kundera—Manusia berpikir Tuhan pun tertawa! Dan jangan-jangan Dia sekarang terkekeh-kekeh ketika ada yang berpendapat, “Tuhan Tidak Beragama”, lantas seseorang berusaha, “Mencari Agama Tuhan” dan yang lain berpendapat cukup menggelikan, “Tuhan telah Mempunyai Agama”. Lantas apa bedanya Tuhan dengan manusia jika masih dilihat memiliki dan tidak memiliki agama? Apakah nanti ada sebutan Tuhan yang atheis (tidak bertuhan), Tuhan theis (bertuhan), Tuhan musyrik (polytheis), Tuhan bertauhid (monotheis) dst? ckckck...



----------------------------------

09 Maret 2011 jam 23:45

Pluralisme; Panggung Diskursus yang Tak Pernah Mati!

Enam tahun lalu, tepatnya hari Rabu (12/10/2005), saya hadir dalam acara Seminar Nasional “Tafsir Aktual Atas Pluralisme”, di Auditorium Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia. Seminar tersebut diselenggarakan oleh P3M Jakarta, tempat saya “nyantri” dan “nyari rejeki”. Sementara yang menjadi narasumber dalam seminar tersebut yaitu: Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, (Rohaniawan Katolik), KH. Masdar F. Mas’udi, (ketua PBNU), dan Goodwill Zubir, (sekretaris PP Muhammadiyah). Tulisan yang saya sajikan kali ini merupakan catatan pribadi saya hasil dari seminar tersebut, yang kemudian diracik dengan pendapat pribadi saya, terkait dengan fatwa haram MUI pada waktu itu.

Mengawali paparannya Romo Magnis, menjelaskan bahwa sebagai negara paling plural (majemuk) di dunia, Indonesia hanya bisa bersatu, kalau kemajemukan itu diakui. Segala usaha untuk menyamaratakan semua dengan satu pola budaya atau beragama, adalah sama dengan dominasi sebagian warga atas yang lainnya, dan pasti akan mengakibatkan kehancuran Indonesia. Menurutnya, persatuan di Indonesia sekarang ini diancam oleh satu kelompok yang keras dan eksklusif, yang mau memaksakan pandangan totaliter mereka kepada yang lain. Eksklusivisme mereka mengancam eksistensi Indonesia. Bangsa seplural Indonesia hanya bisa ditata secara inklusif. Indonesia masih bisa bersatu karena sampai sekarang semua eksklusifisme tegas-tegas ditolak!

Dalam pandangannya, agama selama ini selalu mengclaim akan membawa berkah dan keselamatan kepada seluruh manusia. Tetapi dalam kenyataannya sebagian sejarah, agama-agama monotheisme –Islam, Kristen dan Yahudi– ditulis dengan ‘darah’. Itu beda dengan agama misionaris besar keempat di dunia, Budhisme. Menurutnya, “Sejarah buruk jangan ditutup-tutupi, melainkan diingat untuk tidak diulangi lagi, atau lebih tepatnya, untuk membebaskan diri dari padanya”. Seharusnya agama dijadikan sebagai kekuatan yang ramah, mendukung kehidupan, mendamaikan, yang acuh tak acuh terhadap ketidakadilan, penindasan dan peminggiran mereka yang lemah dimanapun dan dari golongan apapun.

Agama harus nyata-nyata mendobrak batas-batas kecemburuan, kecurigaan, kebencian, dendam, dan arogansi. Jadi agama harus membawa diri dengan rendah hati, tidak beringas, anti kekerasan, komunikatif, mampu membangun hubungan atas dasar saling percaya. Atas nama pluralisme, agama-agama diminta agar jangan menganggap dirinya paling benar. Maka kalau pandangan ini mau ditolak, sebaiknya jangan disebut pluralisme melainkan relativisme. Relativisme menganggap semua agama sama benarnya. Oleh karena itu, apabila pluralisme dikutuk, perlu dikatakan dengan jelas apa yang dikutuk dan apa yang tidak dikutuk?

Menurut Romo Magnis, pluralisme dalam arti yang sebenarnya merupakan implikasi dari sikap toleran; yaitu kesediaan untuk menerima baik kenyataan pluralitas agama-agama. Ini mengandung makna bahwa dalam suatu masyarakat dan negara hidup orang dan kelompok orang dengan keyakinan agama berbeda. Liberalisme, dalam pandangan Romo Magnis, diartikan sebagai sikap orang yang masih mau belajar, yang sadar bahwa manusia tidak pernah bisa memahami seluruh maksud dan kekayaan wahyu Tuhan. Sementra sekularisme adalah sikap negara untuk tidak memaksakan kelakuan religius kepada masyarakat, dan dalam negara sekuler, agama tidak dapat memaksakan ajaran-ajaran mereksa pada negara. Jadi tidak secara arogan mengklaim sudah mengetahui segala sesuatu tentang agamanya.

Dilain pihak, menanggapi paparan Romo Magnis, Goodwill Zubir, narasumber yang juga penggagas fatwa MUI tentang pluralisme, liberalisme, sekularisme dan ajaran sesat Ahmadiyah, menjelaskan bahwa, ada beberapa penyebab yang melatari keluarnya fatwa tersebut. Menurutnya, pluralisme yang diharamkan oleh MUI adalah paham yang menganggap semua agama benar. Liberalisme diharamkan karena mendewakan kekuatan akal ketimbang wahyu Tuhan, sementara sekularisme karena ingin memisahkan agama dari kepentingan dunia. Selain itu, doa bersama yang dipimpin oleh kalangan non-muslim, juga diharamkan oleh MUI. Sama halnya dengan ajaran Ahmadiyah yang menyesatkan.

Sementara itu, Masdar F. Mas’udi, dalam memaparkan makalah “Membangun Damai di Tengah Pluralisme Agama di Indonesia”, menjelaskan bahwa, pluralisme pada dasarnya adalah pengakuan atas hak-hak dasar setiap manusia, tanpa membedakan latar belakang primordial apapun, baik etnis, warna kulit, agama, gender dan sebagainya. Dalam pandangannya, perbedaan suku, agama dan ras adalah anugerah Tuhan yang harus kita terima sebagaimana adanya, untuk selanjutnya kita renungkan dan kita temukan hikmah ilahiyah yang ada dibalik perbedaan itu. Sementara ketegangan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, juga disebabkan karena faktor primordial tersebut, disamping karena faktor kesenjangan dan ketidakadilan sosial. Hal ini menyebabkan situasi kenegaraan dewasa ini semakin terpuruk, bahkan terancam disintegrasi.

Dari paparan ketiga narasumber di atas, paling tidak saya mendapat beberapa kesimpulan. Pertama, saya termasuk yang tidak percaya bahwa perbedaan suku, ras, dan agama, merupakan sumber masalah, apalagi memandangnya sebagai sumber kedzaliman diantara umat manusia. Bagi saya, mempercayai hal itu sama saja dengan menuduh Tuhan bersikap dzalim karena telah menyengsarakan umat. Oleh sebab itu, pikiran yang selalu mengaitkan konflik sosial dengan faktor SARA sebagai given factor, adalah superfisial dan tidak memberikan kegunaan apa-apa.

Kedua, tatkala MUI mendefinisikan, bahwa pluralisme adalah semua agama sama, sesungguhnya menyimpan kemusykilan tersendiri. Definisi tersebut sangat jorok, bahkan bisa memecah-belah umat. Setidaknya definisi seperti itu bisa dianggap menyederhanakan dan menyempitkan arti pluralisme. Alasan terpenting, karena pluralisme tidak ada hubungannya dengan “menyamakan agama-agama”. Bahkan, upaya tersebut tidak sejalan dan jauh dari hakikat pluralisme. Untuk itu, hemat saya, perlu rekonstruksi pemahaman atas pluralisme dalam rangka memberikan pemahaman yang lebih luas dan lengkap.

Menurut referensi yang saya baca, Diana Eck (2002), pimpinan Pluralism Project, Harvard University memberikan tiga garis besar tentang pluralisme: Pertama, pluralisme adalah keterlibatan aktif (active engagement) di tengah keragaman dan perbedaan. Pluralisme meniscayakan munculnya kesadaran dan sikap partisipatif dalam keragaman. Oleh karena itu, pluralisme sesungguhnya berbicara dalam tataran fakta dan realitas, bukan berbicara pada tataran teologis. Artinya, pada tataran teologis kita harus meyakini bahwa setiap agama mempunyai ritualnya tersendiri, yang mana antara suatu agama atau keyakinin berbeda dengan yang lain. Tapi dalam tataran sosial, dibutuhkan active engagement di antara semua lapisan masyarakat untuk membangun sebuah kebersamaan. Karena hanya dengan kebersamaan sebuah bangsa akan tumbuh dengan baik dan mampu melahirkan karya-karya besar. Oleh karena itu, pluralisme dalam tataran sosial lebih dari sekadar “mengakui” keragaman dan perbedaan, melainkan “merangkai” keragaman untuk tujuan kebersamaan.

Kedua, pluralisme lebih dari sekadar toleransi. Dalam toleransi akan lahir sebuah kesadaran tentang pentingnya “menghargai” orang lain. Tapi pluralisme meniscayakan adanya upaya untuk membangun pemahaman yang konstruktif (contructive understanding) tentang “yang lain”. Artinya, karena perbedaan dan keragaman merupakan sunnatullah, maka yang diperlukan adalah pemahaman yang baik dan lengkap tentang yang lain. Harus diakui bahwa setiap entitas dalam masyarakat selalu terdapat perbedaan dan persamaan. Karena itu, setiap entitas tersebut harus memahami dengan baik dan tepat tentang perbedaan dan persamaan tersebut.

Ketiga, pluralisme bukanlah relativisme. Pluralisme adalah upaya untuk menemukan komitmen di antara partikularitas. Komitmen merupakan landasan moral untuk mewujudkan tatanan keragaman yang lebih baik. Keragaman bukan justru dihilangkan dengan langkah-langkah unifikasi, melainkan dibina melalui komitmen bersama untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, pluralisme sangat berbeda dengan relativisme yang menafikan pentingnya upaya membangun komitmen bersama di antara pelbagai komunitas masyarakat.

Bila ketiga hal tersebut direkonstruksi dalam sebuah istilah yang sangat populer, maka kata kunci dalam pluralisme adalah “Dialog”. Untuk mengukur sejauh mana pluralisme dalam masyarakat itu tumbuh dan berkembang, maka salah satu ukurannya adalah tersedianya kanal-kanal dialog dan berkurangnya fatwa-fatwa keagamaan yang cenderung menghakimi orang lain. Wallohu’alam!

-----------------
Nana Suryana
Cijagra, 31 Juni 2011, 11.40 WIB