<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Jumat, 11 Februari 2011

Memoar Luka Seorang Isteri…


“Kau telah menuntaskan semuanya. Kau sudah tuntaskan, kau sudah genapkan kehancuranku. Kau menang laki-laki. Kau telah menotalkan kehancuranku, dan sekarang aku akan pergi…”
[Muhidin M. Dahlan]

//1//

Di suatu malam, diujung waktu...
Cukup dingin malam ini. Aku menikmatinya di dalam kamar saja. Di sini ada pisau, segelas kopi, sebungkus rokok, dan kata. Oh, aku lupa, telah tersedia juga buku dan notebook mini di meja. Tanganku ini selalu merasa gatal saat teringat dan mengingat cerita kenangan, dan ingin sekali berdongeng untuk aku sendiri, sebagai ramuan agar mataku merasa lelah dan ngantuk.

Sesekali ku teguk kopi pahit itu, terasa nikmat, senikmat menelan kenangan. Dan belum lengkap kiranya kenikmatan itu kalau tanpa rokok. Ku ingin mulai cerita bersama monitor, pisau, kata dan meja. Karena kenangan itu sudah memaksaku untuk bersua. Ku jelajahi dunia maya, sementara mata melirik pada pisau. Melihat pisau itu, aku jadi ingat Sapardi, ‘Pisau, apa gunanya kalau ujungnya tidak ada darah. Kata apa gunanya kalau tidak berbisa’. Aku tersenyum pada diriku sendiri. “Baiklah…” kataku di hati.

//2//

Perempuan . . .
Kutulis catatan ini atas permintaan dan restu cahaya matamu. Tatap seorang sahabat yang mewartakan bening pada kesunyian ruang gerakku, keteduhan ranah nafasku. Kau datang dari suara yang lirih, bernyanyi tentang puing bahtera dan serpih. Meleburkan asa pada keyakinan bahwa engkau adalah pemangku terbaik dalam mengatasi kecamuk yang menyergap heningku. Meski membawa percakapan ini menuju garis nasibmu yang perih dan berliku.

Sungguh, mengingat ceritamu selalu jadi persoalan yang membuat murungku memuncak. Tak hanya memaksaku mengendapkan isak, meremukkan gerak, tapi juga menipiskan keluh pada perihal yang terus retak. Berpuluh tahun kau melipat muram di jendela senja yang terus melegamkan harap. Berkerut di pintu cuaca zaman yang terlelap. Mendedahkan segala peristiwa dengan banal. Hingga akhirnya lewat lembaran ini cerita duka dan aibmu terkuak. Maafkan aku, bukankah ini juga atas permintaanmu?

Perempuan . . .
Adakah kau tahu, saat kutulis cerita hasil dedahanmu ini, ada gulita mengitari malam. Rasaku hanya mampu bersenda pada dekapan angin kelu. Dan bila fajar menjelang, ia cuma sempat tersulangkan pada jernih embun sewaktu subuh. Hatiku terus merangkum detik-detik kata yang kau ucapkan, sembari melipat cibir pada nasibmu yang nyinyir. Berulang kali jemariku coba merangkai kata, bersama untaian do’a-do’a gelap untuk rasa yang semakin kusam.

Lalu, bila cukup waktuku menyapa jalan dirimu berada, aku kembali teringat bahwa jalan hidupmu adalah senandung tanpa suara. Nyanyian tak bernada. Namun, di titik itu, semangatku terus tergugah, aku mengerti diammu dalam memendam pilu, meski kau ingin berontak dalam kata, tapi kau tak kunjung bisa mengungkapkannya. Memang begitulah hidup adanya, banyak perihal kupahami dari alur kisahmu, namun sedikit di antaranya yang bisa kutuliskan. Satu hal yang tak pernah beranjak dari tempuhanku adalah pencarian akan makna hadirmu. Engkau tetap senandung ambang getir, bagiku!

//3//

Di suatu malam, kau datang lewat ketukan chat dunia maya. Awalnya pelan dan lembut. Makin lama suara itu kian bising. Kesal juga pikirku. Selalu saja ada yang mengganggu setiap aku dan kenangan manis ingin bercumbu.

“Met malem, Na’. lagi ngapain?”, tanyanya.
“Kamu! koq tumben oll?” tanggapku setelah melihatnya, yang ternyata teman lama.
“Sengaja, aku bête, ingin curhat, ada waktu kan?” katanya dengan mimik serius.
“Bete kenapa?”
”Tau tuh, cuma pengen nangis aja”.
“Nangis? Ada masalah apa lagi emang?”
”Nggak. Rasanya sedih aja…”

Aku tersenyum, dan melepaskan mouse yang melekat di tangan. Ku baca sejenak lirik kalimat itu, nadanya kelihatan tidak seperti biasanya, seorang teman waktu SMA yang dulu ceria dan tegar, kini datang dengan wajah buram sedikit pucat, seakan menyimpan banyak kejemuan. Padahal, aku sendiri banyak menyimpan amuk, yang mungkin orang lain tidak mengetahuinya. Ya, hidup selalu bersamaan dengan air mata dan tawa.

“Ceritalah...!” Kataku serius.
“Aku ada masalah…”. Ia tidak menyebutkan masalah itu, mungkin karena aku telah mengenalnya. ”Malam ini aku ingin terbuka semuanya padamu, cerita yang sudah 17 tahun kusimpan rapat-rapat, aku sudah ga kuat lagi untuk menyimpan sendiri. Tolong buatkan alur kisahku ini jadi seberkas cerita, walau itu aib sekali pun.... Aku percaya sama kamu, Na”.

Ia menarik nafas panjang. Dan, setitik air matanya menetes dari mata yang redup. Kepalanya tertunduk, seperti menyatakan bahwa ia sudah tidak berdaya lagi. “Aku tahu perasaanmu, walau aku tidak mungkin merasakan seperti yang kau rasakan. Kalaupun kau ingin menangis, menangislah! Barangkali air matamu bisa menghapus lukamu”, tandasku.

Lalu kami terdiam dan diam. Suasana malam jadi sunyi mencekam. Sesekali aku hisap rokok dan meneguk kopi yang masih hangat. Sebenarnya aku merasa sakit ketika dia menceritakan bahwa ia mendapatkan luka dan perih. Karena aku juga memiliki dan menyimpan kisah yang getir dengannya, walau tidak seutuhnya sama. Hanya aku belum berani menceritakan kisahku kepada siapapun. Kecuali kepada diriku sendiri.

“Na, bahkan untuk menangis pun aku tak bisa. Aku tak mengerti mengapa bahtera rumah tangga memilihku untuk segera karam. Mungkin karmaku memang buruk nasib, mungkin diriku kurang berani, mungkin juga dia tak pernah menganggapku ada, atau mungkin Tuhan lebih suka melihatku terluka? Aku memang tak mengerti, mengapa kasih sayang lebih memilihku untuk patah hati. Mungkinkah karena bangunan rumah tangga yang kubangun tidak berpondasikan cinta, melainkan melalui alur tragedi?

Na, rasa sakit itu sampai sekarang terus membayang, sesaat di antara ribuan harap yang terus menjalar, rasa itu tak pernah berhenti, tapi semakin menjadi-jadi. Ironisnya, aku tak pernah punya kemampuan untuk menghancurkannya. Kalau aku ingat sisifus, seolah dia menertawakan prahara diri, bahwa apa yang kualami tidaklah berarti apa-apa dibandingkan hukuman mendorong batu di keabadian masa. Tapi, siapa yang mau membayangkan bahwa aku haruslah bahagia? Aku benar-benar tidak mengerti…

Aku hanya ingin ini berlalu, dan waktu kembali berpihak kepadaku. Tidak lagi seperti ini; aku yang luruh dalam detik-detik perasaan percuma yang hadir dan memenuhi setiap jengkal kata”.

Tiba-tiba wajahnya berjuntai di pelupuk yang perlahan-lahan membuka diri, ah, rasa sakit ini bukan mimpi.. Dan aku hanya bergumam sendiri dalam diri. ‘Sobat, kau memiliki kisah yang tragis. Tidak usah menyesal dan meratapi, kita tidak berhak untuk itu. Bolehlah kita tersesat dalam pengembaraan ini. Itu lebih baik, daripada kita tersesat tanpa sebuah pengembaraan. Muara lukamu ini, yakinlah, suatu saat akan menjadi taman bermain yang indah. Dan seharusnya kau belajar tersenyum’.

//4//

Setelah cukup lama kami terdiam dalam diri. Dia mengangkat mukanya dan menghapus air mata yang masih membasahi pipinya, lalu meneruskan ceritanya.

“Aku sedih bukan karena sikapnya padaku. Penganiayaan padaku sudah kuanggap biasa, penghinaan yang dilontarkan sudah tak ku anggap. Semua pekerjaan kulakukan sendiri, tapi bagiku tak apa, selagi aku bisa. Hal yang aku tak terima dan kadang sangat sakit, adalah perlakuannya sama anak-anak. Mereka cuma jadi tanggung jawabku saja. Baginya, dengan memberi materi, sudahlah cukup. Padahal harusnya nggak seperti itu kan? Karena menurutku, dalam rumah tangga harus ada kebersamaan, saling membantu, pengertian, juga saling mengisi, yang semuanya dilandasi cinta dan kasih saying. Bukan begitu, Na?”.

Aku hanya menganggung pertanda setuju. Sambil mendengarkan kelanjutan kisahnya, lamat-lamat aku teringat ucapan Kahlil Gibran, “Anakmu bukanlah anakmu. Mereka adalah putra-putri kerinduan kehidupan terhadap dirinya sendiri. Mereka terlahir lewat dirimu, namun tidak berasal darimu. Dan meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu…”

Lagi-lagi air matanya menetes, dan kini ada isak yang tertahan. Air matanya semakin deras. Kali ini kami terkurung dalam diam. Aku pun tidak tahu harus berkata apa. Antara aku dan dia bukan suatu kebetulan berada dalam satu kisah. Aku mengenalnya sudah cukup lama, 15 tahun yang lalu…

Tapi entahlah... setiap orang menyimpan luka dan air matanya sendiri. Barangakali hanya dalam hal judul yang berbeda, dan cara membalut keperihannya. Ada yang membutuhkan telinga untuk meluapkan segala ‘dendam’ dalam luka yang diterimanya. Ada juga yang hanya bernyanyi sendiri dalam ruang sunyinya sendiri, hinga tangisannya tidak terdengar di luar dan tanpa air mata. Akan tetapi perih itu akan selalu menyayatnya hingga tidak ada lagi darah yang akan dilelehkan. Aku dan kau hanya memiliki tangisan yang berbeda.

Sementara laki-laki itu, yang telah menjadi biang penderitaan perempuan itu, bukan sesuatu yang hebat. Karena belum tentu dia bisa dan mampu menerima muara luka seperti yang dialami temanku. Konon, laki-laki belum sempurna kalau belum teruji. Kaum lelaki sering mempersoalkan kelemahan wanita karena sering mengalirkan air mata. Tetapi, segagah-gagah dan seperwiranya lelaki, sadarlah bahwa suatu hari nanti mereka juga akan mengalirkan air mata syahdu, kerana satu perkara kecil, yaitu karena cinta.

Alangkah misterinya cinta seorang wanita yang dianggap lemah sehingga boleh mengalirkan airmata seorang pria! Aneh, tetapi itulah hakikatnya cinta. Dan tampaknya lelaki itu memang menang, berhasil mengkebiri wanita itu, lewat tragedi sadis dan terencana, di malam pergantian tahun baru.

Sedangkan perempuan itu, ia tidak akan menemukan ketenangan dalam hidupnya. Karena sebagian jiwa dan cintanya sudah tak melekat lagi dalam diri. Bukankah seharusnya cinta mengutuhkan diri? Sekarang boleh perempuan itu menikmati luka dan senyum dendam. Besok, belum tentu. Sekali kita buat goresan, maka takkan terlupakan selamanya. Sebagaimanapun kita menguburnya, tetap akan ada. Luka itu kan tetap ada dan selalu menganga. Hmm… tidak semua orang mampu melewati muara luka, setegar temanku ini.

Ah, pada akhirnya aku sadar, bahwa cinta laki-laki seumpama gunung, ia besar tapi konstan, dan sayangnya rentan. Ada waktu ia meletus memuntahkan lahar, menghanguskan apa saja yang ditemuinya. Sementara cinta perempuan seumpama kuku, ia hanya seujung jari, tapi tumbuh perlahan-lahan, diam-diam dan terus menerus bertambah. Jika dipotong, ia tumbuh dan tumbuh lagi…

//5//

Semuanya berawal saat aku memutuskan untuk menikah, sebuah keputusan yang diambil atas dasar dorongan keluarga, meski itu diluar naluri kesadaran dan kehendakku. Mereka tak tahu tragedy apa yang telah menimpaku. Bukannya aku tak ikhlas menjalani semuanya, namun rasa sakit itu, selalu saja membelenggu.

“Maksudmu?”
Ya, saat aku ngambil keputusan untuk bertunangan dengannya, itu bukan mauku, tapi atas desakan dari keluarga. Maklum dia itu masih ada ikatan saudara denganku. Namun saat menuju jenjang pernikahan, aku menolaknya. Bukan menolak, tapi menunda, karena aku ingin menyelesaikan sekolah dulu yang tinggal setahun lagi. Aku sadar betul atas keputusanku ini, karena menurut hematku, kalau toh jodoh tak akan lari kemana. Waktu setahun tidak lama. Aku hanya berharap bercinta dengan pelajaran, bertunangan dengan mengkaji ulang, berkawin dengan periksaan, dan berbulan madu dengan kejayaan.

“Lalu kenapa akhirnya kau memutuskan untuk menikah, meninggalkan bangku sekolah? Padahal waktu itu ujian kenaikan kelas sudah di pelupuk mata. Yang amat disayangkan, kau adalah murid yang berprestasi”, jengahku. Perempuan itu hanya sedikit tersenyum di kulum.

“Aku memutusan untuk menikah, hanya karena rasa frustasi semata, atas perlakuan yang dia lakukan padaku, dia yang telah merusak kepercayaanku, yang telah merenggut mahkota paling berhargaku dengan cara paksa, yang telah memupus segala harapan dan impianku, yang telah merampas kebahagiaan masa remajaku… Padahal kamu sendiri tau kan, Na, aku paling sok' kalau terkait dengan masalah hubungan intim! Kamu ngerti kan maksudku??

Aku cuma menggeleng tanda tak paham. “terbukalah…!”
”Iya, aku putuskan untuk menikah, karena aku sebenarnya sudah dinodai! Tak disangka, akibat penolakanku itu, dia menyimpan bara dendam di hati. Lalu dia menyusun sebuah rencana keji itu dengan matang, agar aku tak bisa lepas dari jerat cintanya”.

“Saya bingung mencerna ucapanmu”, sanggahku.
“Dia telah memperkosaku!”, tandasnya dengan sorot mata geram dan tangis tertahan.
“Kapan kejadiannya?”

“Waktu itu, aku masih kelas 2 SMA, usia remaja kisaran 16 tahun. Usia belia yang penuh keceriaan. Usia muda yang seharusnya dipenuhi limpahan ilmu. Tapi dia telah merampas semua kebahagiaanku itu. Merenggut masa mudaku ke dalam lembah kehinaan.

Malam itu, pas tahun baru ‘97. Aku lupa, apakah hujan atau tidak. Dibawah ancaman dan todongan senjata, dia mendekapku dengan paksa. Diantara telanjangnya guling dan lukisan pulau pada bantal, ada tubuhku yang luruh tak berdaya. Ada kecupan yang sama sekali tak merangsang. Ada isak tangisku yang hampa. Bagai lolongan hewan jalang yang ingin bertukar rasa, dia coba menggagahi dan meracuni kesucianku yang sama sekali belum dikukuhkan oleh tradisi ikatan pernikahan.

Pada akhirnya tenaga perlawananku habis, lalu yang kurasa hanya ada buliran keluar membasahi selangkangan. Dan dentuman jantung seperti dikejar ombak, rintihan suaraku dikalahkan oleh nafsu bejatnya. Disaru deru ombak yang menepi di daun telinga. Seperti sebuah pelayaran, malam itu aku diterjang ombak yang berkejaran dan tak mengharapkan pasir ditemukan.

Ketika semua tabu usai diguratkan diatas tubuhku yang rapuh, yang tersisa dan melilit dalam mulut rasaku adalah luka sakit yang menggiris. Darah itu tak pernah tumpah, karena telah habis dirampas oleh hatiku yang terluka. Imanku telah dilukai. Nalarku telah dicampakan. Lelaki itu telah diutus oleh penguasa kegelapan untuk melukai keperempuananku.

Paginya aku merasakan kehampaan, rasa kosong yang tak pernah bisa kusibak. Begitu kurasai bahwa hidup ini hanya sederet kekosongan diantara lorong kegelapan yang tak ada jalan keluarnya. Dan setelah semua itu, aku pun dikerubuti oleh rasa takut yang luar biasa dengan ancaman kehamilan. Hamilkah aku ketika berkali-kali guagarbaku dibasahi oleh cairan kehidupan lelaki itu? Tidak, jangan, aku tak boleh hamil. Aku tak boleh mengandung anak lelaki itu. Aku tak ingin!

Semakin lama hatiku terus meronta agar dibebaskan dari ketakutan yang terus menggempurku. Aku pun kembali terpuruk. Hidup seperti tidak beranjak, selalu berada dalam lingkaran tragedy dan keraguan. Terus dan terus tragedy itu mengejar dan menghantuiku. Tapi rupanya Tuhan belum puas menggodaku. Ketakutan akan kehamilan akhirnya jadi kenyataan. Aku mengandung anak haram itu!

Setelah tubuhku ternoda, kegadisanku direngut paksa, kini janin itu mulai tumbuh di rahimku. Aku merasakan hampa yang menjadi-jadi. Aku tak tahu bagaimana melukiskan perasaanku. Maka saat itu pula aku memutuskan untuk keluar sekolah. Bahkan sampai sekarang pun aku tak paham, kalau benar dia cinta padaku, kenapa tega dia melukaiku, membuatku terkapar berkalang tanah seperti ini”.

Perempuan itu sekarang benar-benar menangis tersedu. Tenggelam dalam suasana yang sangat menyeramkan. Aku mengerti, ia tidak memiliki dendam kepada laki-laki yang sekarang menjadi suaminya itu. Karena rasa sayang pada keluarga telah memenuhi sukmanya. Ia bukan buta, melainkan kian terbuka hati, melihat kelancangan pada moral dan harapan yang dulu tersusun rapi. Hmmm… pada akhirnya aku sadar akan kebenaran kata Mahatma Ghandi, “Cinta tidak pernah meminta, ia sentiasa memberi. Cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta, di situ ada kehidupan”.

//6//

Malam mulai larut dan semakin dingin. Rusuk tubuh seakan mau dipatahkan oleh kedinginannya. Sedang benak semakin hangat. Sebenarnya tanpa sebuah alas pun, aku sudah bercumbu dengan kenangan. Apalagi temanku, mungkin ia lagi bersetubuh dengan kisahnya. Walau orang lain bilang dia tidak bahagia, tapi aku puas karena sudah mengerti. Biarpun kami sedikit egois. Ini bukan hal yang ringan.

Sahabatku, kemuakan yang membuatmu nyinyir, akan terus menyelimut jiwa yang mau melihat. Tidak harus dengan mata untuk melukis dunia. Tidak harus dengan tangan untuk menampar. Tidak harus dengan telinga untuk mengetahui bahasa. Tidak harus dengan apapun. Cukup dengan kisah itu sendiri. Kisah bukan hanya sebatas pemaparan semu. Kisah adalah pedang yang bisa digunakan membabat apa saja untuk sebuah jalan. Kita berangkat dari titik yang sama. Aku dan kamu!

Tanpa sengaja aku melihat pisau di atas meja. Buku yang seharusnya menjadi alas bercumbu, belum sempat dirapikan. Kopi tinggal setengah lagi dan sudah dingin. Sedangkan rokok terus hangat dimulutku hingga asapnya melembabkan kamarku. Aku baru mengerti bahwa ‘kata bukan hanya sekedar kata yang terlontar dari baunya mulut’. Dan ujung pisau memang berdarah, darah dari kisah yang dituturkannya.

“Na, apa kamu tidak merindukanku?” Tanya perempuan itu seperti merayu.
“Tidak”. Kataku tegas.
“Kamu kan pernah mencintaku?”.

“Ya, dulu aku tak sempat tahu siapa dirimu sesungguhnya, pun sekadar mengeja namamu dalam ingatku. Tapi untuk setiap catatan yang aku buat, dirimu selalu hadir menyerupai tanda seru. Aku tak percaya bahwa rasa sakit adalah sisi lain dari rindu. Aku setuju bahwa apa yang ada tidak harus selalu kubaca sebagai luka. Hanya saja apa yang tak mampu kuuraikan bisa saja membunuhku. Dan itu adalah dirimu!

“Tapi, Na, bukankah cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan, walaupun mereka telah dikecewakan? Pada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti, dan kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan?”, desaknya.

“Barangkali untuk setiap kenangan selalu ada waktu untuk terlupakan. Tapi tidak kali ini. Tidak rasa ini. Di pelupukku sudah tumbuh pelangi sejak dirimu menjemput sunyi. Tapi itu pula yang sering membuatku mati oleh riuh tatapku sendiri”. tandasku! Hmmm… aku sadar betul dengan apa yang kuucapkan barusan, karena aku tahu, bahwa ‘cinta lebih mudah mekar di hati yang sedang dilanda kecewa. Cinta seperti ini adalah cinta yang mengharapkan belas kasihan, sebab itu bila sepi telah punah, maka sejatinya cinta juga akan turut terbang’.

Perempuan itu diam, seperti tidak punya alasan. Sedangkan aku semakin merasa bersalah pada diri. Penyesalan dan kekesalan menjadi satu dalam kecamuk. Dan benak telah memuntahkan kata, pisau, air mata, darah dan sebagainya. Sehingga aku bingung harus berlabuh kemana dan dimana. Hanya karena perempuan, ya, perempuan itu telah membuka pintu jiwaku. Mengantarkan aku pada pengetahuan hidup yang bermuara kemuakan. Tidak ada harapan yang dapat diperjuangkan. Tidak ada janji yang harus di panjatkan. Karena semua kini menjadi omong-kosong. Namun, pertanyaan perempuan itu, telah membawaku pada kisah masa lalu, dimana cinta pertamaku mulai bersemi…

//7//

Waktu itu, 15 tahun yang lalu… hal yang wajar bagi siapa pun untuk mengalaminya, dunia puberitas. Dan tak ada seorang pun yang tidak melewati garisnya. Itu pasti! Bukan kebetulan! Memang kita harus melewatinya supaya mendapatkan makna hidup, agar hidup berjalan dengan garis metaforis.

Begitu juga dengan diriku. Dalam hal ini, hidup tak ada pilihan. Hidup memang telah di program begitu. Namun ini bukan berarti kita tak berdaya dan menjadi statis, karena manusia memiliki kuasa akal untuk meloncat diantara garis metaforis. Kita akui, bahwa hidup dalam garis metamorfosa tidak ada bedanya. Yang membedakan manusia dan mahluk lainnya cuma akal sebagai potensi menilai dan memilih garis hidup yang sudah ditentukan. Maka setiap manusia memiliki kisah yang berbeda, walaupun pada tataran metaforisnya sama.

Maka, hal yang wajar kalau aku memiliki kisah yang sedikit berbeda dengan orang lain. Aku pun tak pernah malu menceritakannya. Karena bagiku dalam hidup ini tidak ada kisah yang mesti disembunyikan dan ditertawakan. Toh segala sesuatu yang hidup pasti juga memiliki kisah. Entah kisah yang memuakkan atau pun menyenangkan. Dua-duanya sama saja!

Kisah cinta! Katakan seperti itu. Tapi aku bukan Romeo. Bukan Qais. Bukan Gibran. Bukan Schoupenhauer. Bukan Sartre. Bukan pula Plato. Aku bukan siapa-siapa. Aku adalah aku. Pada usia muda, waktu kelas satu SMA, aku hadir dengan penuh kesadaran sebagai lelaki yang lagi jatuh hati pada lawan jenis. Kepada perempuan yang kini mengadukan nasibnya padaku. Sangat cantik, bagi siapapun yang mencintainya. Apa lagi juara kelas selalu diraihnya. Ia datang pada pikiran dan jiwaku dengan sempurna, sehingga aku tak sempat menilai keburukannya.

Inilah masa pertama kali aku belajar merayu dan membujuk. Dengan pancaran sinar cinta aku mulai belajar, terutama tentang kelembutan. Perempuan itu telah mengajari aku sastra dan filsafat. Entah seberapa banyak karya sastra, puisi, surat cinta, yang aku layangkan sebagai persembahan padanya. Entah seberapa banyak siasat dan rayuan yang aku lakukan untuk mendapatkan simpati hatinya. Entah seberapa banyak teori yang aku terapkan untuk sampai pada tujuan. Paling tidak aku sudah melakukan sesuai pilihanku. Hmm… cinta pertama adalah kenangan, cinta kedua menjadi pengajaran, dan cinta yang seterusnya adalah satu keperluan…

Orang lain bilang ini ‘cinta monyet’. Aku membenarkannya! Tapi aku menyatakan, bahwa aku belajar politik dan strategi menaklukkan orang lain dari cinta monyet. Dan ada satu hal yang harus kutegaskan, aku seorang lelaki yang berprinsip “sekali mencintai, aku tetap mencintai”. Walaupun pada akhirnya tidak ada prinsip yang abadi. Karena seabadinya pikiran, suatu saat akan dirayapi sesuatu yang membuat runtuhnya pendirian. Kuingatkan lagi, kita hidup dalam dunia yang penuh dengan prosesi dan garis metaforis.

Lebih dari setahun aku menjadi pemujanya. Tanpa ada imbalan dan balasan apa pun. Tapi aku setia menjadi pemujanya. Bagiku, dia perempuan yang sempurna. Perempuan yang membuatku berani belajar siasat apa pun untuk menaklukkan. Aku melakukan apa saja untuk mendapatkan kasih sayangnya. Padahal, aku tidak mengharapkan apa pun kecuali harapan kasih sayang dari yang aku puja. Barangkali karena aku belum bisa menghitung-hitung hasil. Dan wajar saja, aku masih berada dalam dunia puberitas. Artinya, aku dalam prosesi pembelajaran tentang hidup.

Namun pada akhirnya yang paling kubenci datang juga; keputus-asaan. Aku patah arang, karena perempuan yang ku puja, dijodohkan dengan orang lain. Aku hanya bisa meratapi nasibku dan nasibnya, karena harus menjalani hidup dalam ruang yang bukan pilihannya. Di tengah kerumunan, saat pengantin duduk di pelaminan, aku melihat ada air mata menetes dari matanya yang bening. Seakan ia berkata, “Aku tak berdaya melawan takdir”. Aku pun menangis tanpa air mata!

Dari kisahku ini, aku tak membenci Tuhan. Aku hanya sedikit muak pada diriku yang terdidik dari air mata. Tentang nasibku, aku tak pantas menyalahkan siapa pun, karena ini akibat dari pilihanku sendiri. Tapi aku mulai jijik pada pranata sosial yang dibangun manusia dengan tidak manusiawi. Seorang perempuan seakan tak punya hak untuk memilih jalan hidupnya. Orang tua adalah penentu hidup sang anak!

Kenapa perempuan di tanah kelahiranku ini tidak dipandang sebagai manusia yang sama haknya seperti laki-laki? Kenapa tanah tercintaku selalu menumpahkan air mata perempuan? Terkadang aku berpikir, hidup penuh dengan ketidakadilan, kemuakan dan kekejian. Tatanan sosial yang seharusnya memanusiawi malah membinatangi manusia itu sendiri. Orang tua yang seharusnya mengajarkan kebijakan malah mencontohkan kebejatan.

Aku adalah orang yang ingin memberontak terhadap keputusan tatanan sosial itu. Tapi aku sendirian. Aku pun pada akhirnya tak berdaya. Aku hanya satu lidi yang mudah dipatahkan. Entah kemuakanku ini harus bermuara kemana…

//8//

Aku tak kunjung mengerti mengapa kalimatku retak sebelum utuh rinduku tercatat. Sedang apa yang perlu kukutip, dari mendung, awan, tanah berbatu, dan senja yang kelabu, telah tersisipkan dalam benakku. Luruhku diam, lirihku kusam, dan rinduku semakin muram. Sementara aku dan perempuan itu telah mengikatkan nasib. Sehingga ini yang menjadi beban moral dalam diri. Entah perempuan itu punya ‘keberanian’ untuk melepas ikatan sebelum saatnya.

Sahabatku, tak usah diratapi kegagalan dalam berumah tangga, karena hakikatnya jodoh itu bukan di tangan manusia. Atas kasih sayang Tuhan, kau dan dia bertemu, dan atas limpahan kasih-Nya jua, kau dan dia dipisahkan bersama hikmah yang tersembunyi. Pernahkah kau terpikirkan kebesaran-Nya itu?

“Tapi, Na, apa perlu aku mempertahankan bahtera kalau akibatnya hanya mendatangkan siksa dan kecewa?" tanyanya.

Pertanyaan ini seolah menyentuh batas nalarku. Sebuah kerinduan yang mengunjungi diam. Bahwa aku ingin merapatkan keteguhan di hatinya. Menjujurkan hasratku di benakmu. Meski dengan itu aku telah membelah malam, memadatkan makna rembulan. Berharap datangkan yang tertulus dalam ucap yang tepat. Dan tahukah engkau? Yang terlontar hanya itu dalam mampuku.

“Kecewa dalam rumah tangga bukan bermakna dunia sudah berakhir. Masa depan yang cerah berdasarkan pada masa lalu yang telah dilupakan. Kamu tidak dapat melangkah dengan baik dalam kehidupanmu, sampai kamu melupakan kegagalanmu dan rasa kekecewaan itu.

“Dia....!” kataku pelan.
“Bagaimana aku membuangnya?” serobotnya dengan nada seperti putus asa.
“Tidak akan. Nikmati saja. Kalau kamu bisa, kamu akan merdeka.”
“Aku masih ragu!”.
“Karena kamu menyimpan harapan”.
“Aku mengerti. Harapan melemparkanku ke lembah kekecewaan”.
“Kamu sudah ngerti. Kosongkan dirimu. Buang jauh-jauh kemenangan dan kekalahan. Lewati saja seperti kamu melewati siang dan malam. Memang susah, apa boleh buat, kau harus terus mencobanya. Jangan sesekali mengucapkan selamat tinggal, jika kamu masih mau mencoba! Jangan sesekali menyerah, jika kamu masih merasa sanggup! Jangan sesekali mengatakan kamu tidak mencintainya lagi, jika kamu masih tidak dapat melupakannya”

Ah… Aku tak kuasa melanjutkan kata itu. Selain gumam dalam diam “kita sama-sama tahu, bahwa di balik selokan kerling yang pernah kita suakan, ada luka sejarah yang menganga, membaluri perjalanan kita. Begitu serut, getir dalam bayang, dan aku tak jua kunjung bisa membalutnya. Bagiku keyakinan, dan bagimu ketabahan. Aku teguhkan hati padamu di teras nurani yang terbening. Tapi kita selalu mengerutkannya dalam maaf dan lupa. Aku yang kehilangan kuasa, dan engkau yang dikejar masa. Sebab, di balik itu lampiran doa kita menjernihkan segala.

//9//

“Na, aku adalah manusia yang terampas kebebasannya. Terampas! bukan hilang kebebasan. Dan aku benci menghitung lelehan air mata. Atau aku tak suka melihat ceceran darah luka, luka yang berkobar menjadi api amarah. Tak perlu aku atau kamu berbakar diri untuk mengetahuia panasnya dendam. Karena pada dasarnya semua akan menjadi sia-sia dan tersia”, lirihnya.

“Lalu apa yang kau harapkan sekarang?”, tanyaku tanpa beban.
Aku hanya ingin dia memperlakukanku selayaknya seorang isteri, dan mengerti akan keadaanku, juga anak-anak yang juga merupakan tanggung jawabnya. Aku tak menuntutnya dari segi materi, sebagaimana yang ia pikirkan. Aku hanya ingin diperlakukan selayaknya manusia, yang dipenuhi dengan sesak cinta. Meski aku sadar betul bahwa cinta itu tidak menjanjikan sebuah rumah tangga yang aman damai, tetapi penerimaan dan tanggung-jawab adalah asas utama kebahagiaan dalam rumah tangga. Cinta hanya sebuah keindahan perasaan. Cinta akan bertukar menjadi tanggung jawab apabila terbinanya sebuah rumah tangga”.

“Bila harapanmu itu tak kesampaian, apa yg akan kau lakukan?”, desakku.
Sekarang ini aku sudah merasa cape, letih sekali, dan ingin mengakhiri semua penderitaan ini, tapi aku tak punya nyali untuk meminta keputusan. Aku ingin dia yang memberi putusan itu. Berbagai cara sudah kulakukan, termasuk dengan ‘sengaja’ berbuat kesalahan, tapi tetap saja tak bisa. Malah dia berucap, ‘sampai kapan pun juga, dia tak akan pernah melepaskanku, apapun kesalahan yang ku perbuat. Sementara sikapya tetap saja tak berubah. Malah lebih over protektif! Bukannya introspeksi dengan kesalahan yang kulakukan.

“Apa penyebab kamu tak punya keberanian? Apa karena gamang menghadapi masa depan?”

Hmm… ya, awalnya ada pemikiran seperti itu. Cuma akhirnya aku sadar diri, bahwa Tuhan memberi kita dua kaki untuk berjalan, dua tangan untuk memegang, dua telinga untuk mendengar dan dua mata untuk melihat. Tetapi mengapa Tuhan hanya menganugerahkan sekeping hati pada kita? Kerana Tuhan telah memberikan sekeping lagi hati pada seseorang untuk kita mencarinya. Menurutku, mungkin itulah yang disebut dengan cinta. Dan aku ingin mencari kesejatiannya. Aku yakin, Tuhan menginginkan aku bertemu dan bercinta dengan orang yang salah, sebelum bertemu dengan orang yang tepat, aku harus mengerti bagaimana berterima kasih atas kurniaNya itu”.

“Na, bukankah dulu Buya Hamka sempat bilang ‘cinta bukan mengajari kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat. Jangan kerana cinta, kita gugur dari perjuangan. Dan jangan kerana cinta juga, prinsip kita menjadi larut dan cair…

Segulung asap menyelimuti rumput yang teduh. Di derap nafas yang terpukul angin malam, memuntahkan nyeri pada ladang ketidakberdayaan. Kelopak hati mengelupas dipeluk matahari. Dan daun kering merintih kehausan disudut musim yang gersang. Inilah keluh tanah yang terlantar di gurun hati. Meraup bibir jiwanya yang terluka dengan kepiluan, yang ditikam pelipis bunga dihalaman kehidupan. Hingga kesunyian membelai rambut yang kusut dengan air mata.

Atas pengakuanmu itu, lamat-lamat aku jadi teringat bisik lirih filosof Nietzche, “Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, percayalah. Jika engkau ingin setia pada kebenaran, carilah”. Maka kalau kau hanya sekedar ingin damai dan bahagia, tanpa memiliki kebenaran, tak usah kau gelisah atau pun kesepian sepanjang nafasmu, percaya sajalah. Kecuali, kau percaya pada kata filosof gila itu, bahwa kau bisa bahagia dan damai jika mendapatkan kebenaran. Jadi, aku tak terima kalau ada yang mengatakan hidup hanya sebatas kebahagiaan dan kedamaian jiwa bukan karena kebenaran. Artinya, aku setuju pada kata Nietzche, walau ia gila!

//10//

Dan diatas semua cerita itu, kuucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepadamu, karena dari kisahmu terkuak juga segala yang tersembunyi, yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh nalar pikirku; bahwa betapa bijak dan bajing amat tipis hijabnya dalam kehidupan ini. Kau memberi tahu padaku untuk jangan terlalu percaya atas status social yang diberikan, sebab disana ada retak, ada kerapuhan.

Terima kasih kuucapkan padamu yang telah mengizinkan aku untuk masuk dan menguping jalan hidupmu, lalu membiarkanku secara bebas merekamnya, mentranskip, mengulur kalimat, dan menciptakan kata baru yang tak kalah serunya dengan jalan hidupmu. Aku hanya pengantar dari memoar lukamu. Aku hanya menuliskan kembali. Dasar cerita sepenuhnya didasarkan pada liku perih hidupmu yang bercadas, kering, dan penuh lubang luka. Kau lah yang menciptakan alur dan plot. Dan aku, aku hanya menggurat, memoles dan menyambung-nyambungkan retak-retak kisahmu menjadi cerita utuh. Terima kasih…


----
Cijagra, Kamis, 03 Februari 2011
Kupersembahkan hanya untumu, yang telah mengizinkanku untuk menguping kisahmu.

Tidak ada komentar: