<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Minggu, 13 Februari 2011

RELASI GLOBALISASI DENGAN KAPITALISME PENDIDIKAN DI INDONESIA


PROLOG

Karl Heinrich Marx sebagai “the founding father” Marxisme menjelaskan dalam Ekonomi-Politik Marxis (EPM) nya, bahwa social system society terdiri dari dua bagian struktur; yaitu infra struktur dan supra struktur. Infra struktur adalah ekonomi sebagai basic material yang akan membentuk supra struktur (basic spritual) yang terdiri dari ide (pendidikan, politik, dan agama) dan pelaksana ide (sekolah, parpol, ormas agama, dll.). Secara eksplisit menurut Marx, bahwa supra struktur akan selalu menggambarkan dari infra strukturnya. Demikian halnya dengan pendidikan yang merupakan bagian dari supra struktur system masyarakat akan selalu inheren dengan konstelasi ekonomi yang ada. Artinya, apabila ekonomi sebagai basic material-nya kapitalistime; system pendidikannya pun jelas akan kapitalistik, eksploitatif, dan alienatif. Maka apabila analisa kapitalisme pendidikan lepas dari analisa ekonomi-politik akan terjadi reduksi dan distorsi ¬¬–tidak akan pernah sampai pada radikalisasi analisis yang lebih komprehensif.

Apalagi hari ini kapitalisme dengan proyek globalisasinya tengah menjadi weltanschauung atau mainstream ekonomi global. Kapitalisme dengan globalisasinya adalah “monster super biadab” yang sedang menancapkan kuku-kukunya di setiap lini kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Implikasinya, pendidikan pun menjadi komoditas atau mengalami komodifikasi yang sangat mahal hanya bisa dijangkau oleh orang-orang yang berkapital besar. Pada ultimate reality-nya, pendidikan memperlebar jurang sosial (ketidak-adilan).

Berangkat dari landasan pemikiran di atas, maka penulis akan menarik relasi globalisasi pada proses penciptaan sistem pendidikan sekarang yang tengah mengalami kapitalisasi (Kapitalisme Pendidikan).

GLOBALISASI SEBAGAI NEO IMPERIALISME-KAPITALISME

Di sini penulis mencoba mengungkap “kebohongan” beberapa premis mengenai globalisasi yang sekarang lagi menjadi trand of discourse dikalangan intelektual karbitan (pro-status quo). Banyak kalangan pro-status quo (kapitalis) menganggap, bahwa globalisasi merupakan puncak kompetisi sehat dalam era ekonomi global yang akan membawa implikasi pada tingkat grow-up kemakmuran di setiap penjuru dunia atau terciptanya welfare state seperti cita-citanya Adam Smith. Banyak memang justifikasi yang dilakukan oleh intelektual-intelektual karbitan tersebut, seperti halnya Francis Fukuyama dalam karya monumentalnya “The End of History and the Last Man; Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal” mengatakan, bahwa kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal hari ini merupakan akhir dari sejarah atau ultimate reality of history, termasuk globalisasi sebagai proyek besar kapitalisme. Secara tegas Francis Fukuyama mengatakan: “bahwa kapitalisme dengan demokrasi liberalnya itu merupakan puncak tertinggi tatanan sosial yang telah sesuai dengan cita-cita ideal seluruh manusia”. Margaret Thathcher sebagai justifikasinya pada sistem kapitalisme dengan statement TINA (There is No Alternatives), bahwa tidak ada lagi tatanan sosial alternatif yang sesuai dengan cita-cita ideal manusia selain sistem kapitalisme dengan demokrasi liberalnya.

Wajar memang, sebagai komprador kapitalisme mereka melakukan propaganda seperti itu. Tetapi kemudian, akan kah kita terjebak dengan muatan propaganda politis mereka yang akan menjerat dan mencekik sendi-sendi kemanusiaan kita? Maka oleh karena itu, mari kita bongkar “imperialisme” mereka lewat proyek globalisasinya itu, supaya kita tidak terjerat janji-janji manis mereka dengan tawaran globalisasinya yang akan menciptakan welfare state, padahal sebenarnya racun yang setiap saat siap membunuh humanisme yang kita miliki, serta siap menciptakan verelandung (kemiskinan semesta) state, terutama bagi negara-negara dunia ketiga.

Supaya tidak terjadi absurditas pemaknaan tentang globalisasi, serta supaya lebih komunikatif antara maksud yang ingin disampaikan oleh penulis dengan pemahaman pembaca. Karena dalam sebuah “term” yang digunakan selalu inheren dengan selubung makna dan ideologi yang dibawanya, begitu pula halnya dengan globalisasi. Maka dalam pembahasan ini penulis merasa perlu mengawalinya dengan definisi globalisasi itu sendiri, baik secara linguistik (etimologi) atau pun terminologi yang sering dipakai oleh pakar ekonomi-politik, terutama pakar ekonomi politik Marxian, seperti V.I. Lenin. Mungkin di sini penulis hanya akan mengambil terminologi yang menjadi premis V.I. Lenin dalam mengungkapkan imperialisme-kapitalisme. Karena memang terminologi yang digunakannya itu lebih mengena & lebih radiks dalam mengungkap selubung makna globalisasi sesungguhnya.

Adapun globalisasi menurut etimologi yaitu, diambil dari kata global dan sasi, yang berarti penduniaan atau penyatuan dunia dalam satu tatanan global. Tatanan yang dimaksud adalah “liberasi pasar” dengan capital power dan ekspansi kapital sebagai pilar utamanya, serta akumulasi kapital (surplus value) sebagai parameter keberhasilannya. Sama halnya dengan terminologi yang diungkapkan V.I. Lenin dalam buku “Imperialism, the Highest Stage of Capitalism” nya, bahwa “imperialisme merupakan puncak tertinggi dari kapitalisme”. Globalisasi itu sendiri merupakan imperialisme bentuk baru atau merupakan new-imperialism yang sengaja digulirkan oleh kaum kapitalis demi kepentingan kapitalnya.

Kalau kita mencoba merunut sejarah, bahwa menguatnya wacana globalisasi adalah pasca perang dingin (cold war) antara kapitalisme dan komunisme. Globalisasi merupakan indikator dari kemenangan kapitalisme atas komunisme secara ideologi. Karena ternyata mau tidak mau sekarang kapitalisme tengah menjadi mainstream ideologi (ekonomi) global dengan semangat globalisasinya itu; sebagai lanjutan proyek besar dari sistem ekonomi liberasi pasar. Namun sebenarnya globalisasi itu sendiri telah berlangsung sejak ditemukannya benua Amerika oleh orang Eropa bernama Colombus. Penduduk asli Amerika yang terdiri dari suku bangsa Maya, Aztec, Inca, dan Indian adalah sebagai korban pertamanya. Globalisasi pada dasarnya merupakan imperialisme dalam bentuk baru (new imperialism), atau kalau meminjam istilah V.I Lenin merupakan puncak tertinggi (ultimate reality) dari kapitalisme. Sebab globalisasi adalah ekspansi kapital yang dilakukan oleh negara-negara kapitalis sebagai impact dari over produksinya dan tuntutan Demand & Suplay. Sehingga pasar domestik mereka tidak lagi mampu membeli barang-barang hasil produksinya, dan juga bahan baku yang diperlukan sudah tidak lagi mencukupi untuk produksi selanjutnya. Kemudian hal inilah yang mendorong mereka untuk melakukakan ekspansi dan invasi ke negeri-negeri lain yang masih memiliki bahan baku serta masih memiliki kemampuan mengkonsumsi produk-produk mereka.

Banyak usaha yang dilakukan kapitalis-imperialis untuk melancarkan proyek besarnya ini, seperti pada zaman imperialisme fisik sebagai penyemangatnya, yaitu: gold (emas atau kekayaan), gospel (ajaran-ajaran Yesus), glory (gengsi atau kekuasaan). Dengan melakukan agresi militer sebagai usaha menguasai tanah jajahan –tidak sedikit menelan korban nyawa rakyat negeri jajahan. Berarti bukan hanya eksploitasi SDA yang dilakukan imperialis-kapitalis lewat globalisasinya itu, tetapi juga eksploitasi SDM sebagai bagian dari harga diri manusia (humanisme). Demi kelancaran akumulasi kapital (surplus value)nya, bagi mereka sah untuk melakukan penindasan, eksploitasi, dan alienasi pada sesama manusia dengan kekuatan kapital yang mereka miliki sebagai instrumen legitimasi despotisnya itu. Maka humanisme pun diinjak-injak sebagai fitrah kemanusiaan yang telah diberikan oleh Tuhan.

Selain itu, pasca Perang Dunia II ketika banyak negara jajahan (negara ketiga) yang mengadakan perlawanan demi kemerdekaan negaranya dan demi harga dirinya sebagai bangsa. Banyak usaha yang dilakukan negara ketiga untuk memperoleh kemerdekaannya itu, baik secara fisik ataupun diplomatik. Namun menanggapi hal itu, negara-negara imperialis-kapitalis sebagai pelopor globalisasi segera melakukan konsolidasi politiknya. Karena mereka tidak mau kehilangan atas penguasaannya itu. Sebab misi inti dari globalisasi adalah penguasaan (hegemoni) demi surplus value lewat ekspansi-ekspansi kapital yang mereka lakukan, dan perang atau invasi (agresi militer) itu merupakan varian terkecil (derivasi) dari strategi kepentingan ekspansi kapitalnya tersebut.

Dengan membentuk Blok Alies (sekutu), mereka mengumpulkan para pakar sosiologinya yang diadakan di MIT AS pada tahun 1930-an. Pertemuan MIT tersebut tiada lain untuk membuat atau merumuskan formulasi (teori) yang akan diterapkan di negara bekas jajahan (dunia ketiga) agar mereka tetap bisa menghegemoni negeri bekas jajahan tersebut. Maka dari pertemuan tersebut dihasilkan teori rekayasa sosial (social engineering) oleh sosiolog terkenal Amerika yaitu, Talcott Parsons yang dikenal dengan teori “strukturalisme fungsional”-nya. Pada fase berikutnya baru kemudian direalisasikan di dunia negara ketiga dengan teori “Developmentalisme” ala W.W. Rostow [1948] sebagai pengembangan dari teori strukturalisme fungsional Talcott Parsons.

Selain pertemuan MIT, masih ada pertemuan yang dilakukan oleh kaum kapitalis dengan sekutunya guna melancarkan proyek globalisasinya itu, yaitu pertemuan di Bretton Woods pada juli tahun 1944 yang menghasilkan kesepakatan membentuk badan dunia dalam usaha hegemoni dan neo-kolonialismenya terhadap negara dunia ketiga. Badan dunia tersebut di bidang keuangan, yaitu IMF dan Word Bank yang berfungsi memberi pinjaman kepada negeri yang rusak akibat perang (penjajahan) dengan disiplin finansial yang ditentukan oleh kapitalis-imperialis. Dengan memberikan pinjaman keuangan seolah-olah mereka (imperialis-kapitalis) membantu pembangunan negara-negara ketiga, padahal menjerat dengan telikungan hutangnya. Bidang perdagangan, yaitu WTO dan GATT yang berfungsi mengatur dan memajukan perdagangan dunia agar sesuai dengan kepentingan proyek globalisasi kapitalis. Di bidang politik, yaitu PBB sebagai alat legitimasi untuk melakukan invasi, intervensi, dan ekspansinya pada negara-negara lain yang menjadi rival politik (pengganggu kelancaran proyek globalisasi)nya. Seperti invasi yang dilakukan Amerika dan sekutunya ke Irak, PBB hanya diam tidak memberikan sanksi politik yang tegas kepada Amerika dan sekutunya itu, bahkan berkesan mendukung. Padahal invasi itu banyak memakan korban dari pihak sipil Irak yang tidak berdosa.

Semangat kapitalisme dengan proyek globalisasinya ini merupakan bagian dari teori ekonomi klasik Adam Smith & David Ricardo yang dikembangkan oleh ilmuwan neo-liberal (new rightist) Friederich Von Hayyek dengan paham liberalisme pasar yang berpijak pada kompetisi penuh tanpa intervensi (deregulasi) pemerintah (negara). Hal ini berbeda sekali dengan teori ekonomi proteksionisme ala John Maynard Keyness. Karena dalam liberalisme pasar (pasar bebas), keputusan ditentukan oleh pasar yang selalu inheren dengan capital power, dan tentunya dalam logika pasar___keputusan pasar ditentukan oleh para pemegang capital besar, sebab mereka yang mampu menguasai dan memainkan pasar (monopolistik) dengan kekuatan kapitalnya (capital power). Dalam system ini, pasar memberikan kebebasan sebesar-besarnya kepada individu atau swasta pelaku bisnis untuk mengeruk keuntungan tanpa batas dengan capital power sebagai standar. Sebagai kulminasi dari paham pasar bebas ini, yaitu terciptanya “globalisasi” ala Mc. Luhan atau terciptanya “World Goverment” cita-cita Bill Clinton dan Tony Blair.

Selanjutnya pada masa kontemporer sekarang, sistem liberasi pasar yang lebih populer dikenal dengan istilah globalisasi dengan Struktural Adjustment Programe (SAP) sebagai paketannya, yang sengaja digemboskan oleh negara-negara kapitalis demi kepentingan capital power-nya dalam memperoleh surplus value (deviden/profit) yang lebih besar. Sebab dalam logika globalisasi, dunia telah menjadi satu tatanan global. Maka menuntut adanya program penyesuaian sistem (struktural adjustment programe) di setiap negara, agar sesuai dengan tuntutan globalisasi. Seperti halnya mesti menghilangkan persyaratan (deregulasi) passport dan visa untuk travel keluar negeri. Begitu juga dengan sirkulasi komoditi (eksport-import) atau pun investasi, semuanya harus bebas dari intervensi negera; dengan tidak berlakunya lagi regulasi pajak dan bea cukai.

Dalam konteks Indonesia pun ternyata begitu dominannya intervensi & hegemoni kapitalis dengan instrumen globalisasinya itu. Bukti historis pada tahun 1997, pemerintahan rezim Soeharto menyepakati Letter of Intens dengan IMF yang merupakan instrumen globalisasi. Globalisasi lewat ekspansi financial-debt yang diberikan IMF kepada Indonesia, terbukti telah menjerumuskan Indonesia ke dalam jebakan hutang dan krisis multi-dimensi yang tak kunjung selesai. Bukti yuridis, dengan adanya UU. Penanaman Modal Asing (PMA) PP. No. 20/1994 sebagai peraturan pelaksanaan dari UU No. 1/1967 tentang PMA. Dimana dengan jelas, telah memberikan kebebasan sebesar-besarnya bagi investor asing untuk berinvestasi 95%-100%. Padahal dengan keinklusifan Indonesia untuk investasi bagi investor asing telah banyak menimbulkan kesenjangan sosial secara ekonomi dan keseimbangan alam pun rusak karena terus dieksploitasi. Sebagai contoh, perusahaan-perusahan TNC/MNC (Transnational Coorporation / Multinational Coorporation) telah mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia yang terwakili oleh PT. Freeport Internasional, COMEXON, dan lain-lain.

Dalam bidang finansial-perbankan, HSBC dan City Bank milik Amerika serta IFIs (International Financial Institution) menguasai dan memainkan dunia finansial-perbankan Indonesia—menjadikan banyak bank yang dilikuidasi serta colapsnya kurs nilai mata uang rupiah terhadap mata uang asing terutama terhadap dolar. Intervensi globalisasi dengan sistem monopolistiknya kembali mempengaruhi kebijakan pemerintah kita, seperti pada bulan Januari 2003, pemerintah Indonesia menaikan tarip BBM, TDL, dan Telpon. Selain itu, divestasi & privatisasi BUMN, seperti privatisasi 55% saham BCA, divestasi saham Indosat, divestasi saham PT. Semen Gresik kepada PT. Cemex, dan sekarang penjualan aset PT. Dirgantara Indonesia.

Dari kebijakan-kebijakan tersebut mengakibatkan kemiskinan-struktural yang sangat tinggi. Menurut data UNICEF pada tahun 1999, 2–3 juta anak Indonesia akan menjadi “The Lost Generation” atau generasi yang hilang akibat kurang pendidikan, kesehatan, dan busung lapar. Semuanya itu tidak terlepas dari intervensi kapitalis lewat globalisasi (ekspansi kapital) nya berupa “odious-debt” yang diberikan oleh IMF pada Indonesia.

SKETSA “WAJAH BURAM” SEJARAH PENDIDIKAN

Pendidikan merupakan hak bagi setiap manusia tanpa melihat agama, suku, bangsa, dan status sosial (baca: stratifikasi sosial). Hal ini pun telah menjadi konvensi di seluruh dunia, dengan lahirnya Declaration of Humans Right. Dalam Declaration of Humans Right atau Deklarasi Universal HAM yang diproklamasikan pada akhir Perang Dunia II tersebut, adalah merupakan komitmen umat manusia untuk menetapkan bahwa pendidikan merupakan hak azasi manusia.

Itulah sebabnya dapat disimpulkan bahwa setiap kegiatan politik, ekonomi, maupun sosial yang bertujuan untuk menghalangi, ataupun yang akan menyebabkan anggota masyarakat tidak mendapatkan pendidikan bisa dikategorikan sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia.

Pendidikan diyakini oleh setiap manusia sebagai instrumen untuk memanusiakan manusia, atau kalau menurut Paulo Freire, “sebagai sarana penyadaran manusia pada realitas kediriannya”. Bahkan pendidikan diyakini dapat memberikan kontribusi pada peningkatan kesejahteraan dan status sosial seseorang. Namun pada perjalanannya, pendidikan terus menerus mengalami devolusi berkaitan dengan kepentingan dari konstelasi ekonomi politik yang ada (economic political interest), sekarang lebih dikenal dengan ekonomi liberalisme pasar atau globalisasi.

Pendidikan tidak terlepas dari economic political interest sudah sejak tahun 900-an SM. Ketika sistem pendidikan mulai diinstitusikan di kota Sparta dan Athena (500 SM), yang dikenal dengan Academia. Pendidikan tidak pernah diarahkan untuk dirinya sendiri. Sparta dan Athena dengan sistem ekonomi kota dan perdagangan pantai membutuhkan serdadu serta teknik perang tinggi untuk pertahanan dan ekspansi daerah jelajah dagang. Lembaga pendidikan pun diarahkan untuk menguasai wilayah dagang dengan ilmu perang. Pada zaman Renaissance (1400-1600 M), telah melahirkan pendidikan sistem magang dengan tumbuhnya sistem ekonomi perdagangan industri dan perbankan. Pada abad ke-18, di Prancis kesadaran akan pembaharuan ekonomi politik negara pasca Revolusi Prancis telah menjadikan pendidikan sebagai instrumen menciptakan birokrat yang mampu untuk mengurus negara, atau kalau menurut Ivan Illich dalam buku, “Menggugat Kaum Kapitalis” untuk menciptakan kaum profesional yang melumpuhkan masyarakat atau rakyat.

Di Indonesia masa lampau, yang banyak berperan adalah sistem politik ekonomi theokrasi feodalis, seperti kerajaan Tarumanagara, Sriwijaya, dan Majapahit. Kerajaan-kerajaan ini pun untuk menjaga kelanggengan dan keagungan negara theokrasinya dengan memompakan pendidikan-pendidikan akhlak dan keagamaan pada sistem pendidikannya. Kemudian di masa kolonial Belanda dengan adanya politik etis yang diajukan oleh Van De Vanter, didirikanlah sekolah-sekolah untuk warga bumi putera (bangsa Indonesia), seperti ILO dan AMS. Pendidikan pun diarahkan untuk menghasilkan buruh terdidik dengan upah yang murah, intinya demi establisitas ekonomi kolonial. Pada masa Orde Baru, sistem theokrasi feodalis itu mengambil bentuk baru, yakni kapitalis feodalis yang ditujukan bukan pada kejayaan jelajah budaya dan politik raja-dewa, melainkan jelajah ekonomi dan politik presiden-raja. Pada akhirnya pendidikan menjadi alat kuasa dan melebarkan cengkeraman kerajaan ekonomi presiden-raja dengan para kroni.

GLOBALISASI TRANSFORMASI KAPITALISME PENDIDIKAN DI INDONESIA

Ternyata pendidikan sangat syarat dengan berbagai kepentingan. Pendidikan dalam perjalanannya searah dengan eskalasi ekonomic political interest yang terjadi. Pendidikan dalam setiap fase sejarah mengalami involusi dari fitrahnya sebagai instrumen untuk memanusiakan manusia. Bahkan sekarang pendidikan menjadi pasar potensial untuk mengakumulasi kapital, yang lebih dikenal dengan kapitalisme pendidikan. Hal ini sebagai implikasi dari ideologi liberalisme pasar dengan proyek globalisasinya itu.

Tesis Darmaningtyas dalam buku “Pendidikan Pada dan Setelah Krisis; Evaluasi Pendidikan di Masa Krisis” bahwa, sekolah kita mempunyai jumlah siswa dari TK sampai SLTA per tahun rata-rata 37 juta. Ini merupakan pasar besar untuk perusahaan-perusahaan swasta ( penerbit buku, alat tulis, kain seragam, biro wisata, dan lain sebagainya) adalah benar adanya. Fakta di lapangan membuktikan, bahwa guru dan lembaga sekolah ikut berbisnis dengan menjadi relasi (partner) perusahaan-perusahaan tersebut. Seperti halnya, guru mewajibkan kepada siswanya untuk membeli LKS (Lembar Kerja Siswa) dan buku mata pelajaran terbitan perusahaan tertentu, mewajibkan membeli seragam yang telah disediakan sekolah, study tour ke luar kota dengan biaya yang cukup besar, bahkan jual beli nilai oleh sementara oknum guru melalui les maupun langsung di atas kertas garapan.

Pada massa Orde Baru dengan misi negara “developmentalisme” ala W.W Rostow, sebagai tuntutan globalisasi melahirkan paradigma pendidikan nasional “kompetisi” dengan pendekatan “ sumber daya manusia”. Paradigma kompetisi ini termanifestasi dalam “kurikulum berbasis kompetensi”. Tujuannya, tiada lain agar sekolah atau Perguruan Tinggi bisa bersaing dalam menghasilkan peserta didik yang siap kerja (profesional) untuk memenuhi tuntutan pasar. Pendekatan “sumber daya manusia” mengandaikan investasi dalam bentuk uang maupun tenaga kerja. Dalam model produksi, baik “capital” maupun “labour” diperlakukan sama dalam maksimalisasi “output”. Pendekatan ini menghitung keuntungan pendidikan dari segi biaya investasi uang dan hasil upah yang diterima oleh peserta didik ketika masuk pasar. Implikasi dari pendekatan ini, menuntut pembiayaan pendidikan yang amat mahal dan dunia pendidikan menjadi pabrik tenaga kerja. Proses komodifikasi manusia pun terjadi. Peserta didik dicetak menjadi komoditi yang siap dijual ke pasar tenaga kerja.

Dominasi globalisasi dalam penciptaan kapitalisme pendidikan di Indonesia nampak begitu jelas, seperti sekolah dan perguruan tinggi negeri harus didivestasikan (baca; di-BHMN-kan)dan pengamputasian subsidi pendidikan. Pada tahun 1998/1999, pemerintah mengeluarkan kebijakan pengurangan budget subsidi pendidikan, semula 8 % menjadi 6,7 %. Karena subsidi pendidikan tidak sesuai dengan tuntutan pasar bebas yang tertuang dalam SAP-IMF. Dan hal ini akan menghalangi “kompetisi” penuh upaya pertumbuhan ekonomi dalam pendidikan. Pendidikan pun menjadi sangat mahal, bahkan pendidikan menjadi komiditi atau barang dagangan. Logikanya, siapa mampu bayar, itu yang akan menikmati dan mendapatkan pendidikan dengan layak; pasti hanya mereka yang punya kapital besar (capital power). Sementara bagi mereka (rakyat kecil) yang tidak mampu bayar, hanya bisa merintih dan menangis menahan kesakitan dari ketidak-adilan sistem pendidikan yang kapitalistik.

Di sini jelas, bahwa ada sebuah setting integritas relasi globalisasi sebagai proyek besar kapitalisme dengan penciptaan system pendidikan Indonesia yang kapitalistik. Kapitalisme lewat proyek globalisasinya ini akan menjerat serta mencekik sendi-sendi kemanusiaan kita dan sangat “bestialitas” dengan menjadikan pendidikan sebagai komoditi; instrumen untuk akumulasi kapital, pendidikan bukan lagi sebagai instrumen untuk memanusiakan manusia. Pendidikan menjadi privilese bagi orang yang punya capital power ansich. Orang miskin hanya punya hak dieksploitasi; dilemparkan ke lorong-lorong kebodohan dan kemiskinan seumur hidupnya.

EPILOG

Kalau kita mau inventarisir semua kasus yang terjadi dalam sejarah kebangsaan kita (Indonesia) khususnya, ternyata masih banyak despotisme atau bestialitas yang dilakukan kapitalisme lewat proyek globalisasinya itu. Contoh kongkrit, kapitalisme lewat globalisasnya telah menjadikan pendidikan sebagai sesuatu yang teramat mahal—tidak bisa dijangkau dan didapatkan oleh semua orang, kecuali bagi meraka yang punya capital power. Pendidikan menjadi pasar potensial untuk akumulasi kapital. Pada ultimate reality-nya pendidikan memperlebar jurang sosial (ketidak-adilan). Maka jelas, globalisasi bukan merupakan harapan yang bisa memberikan kemakmuran dan pemerataan (keadilan) bagi manusia, seperti yang dipropagandakan oleh kaum kapitalis dan kompradornya. Tetapi globalisasi, merupakan neo kolonialisme-imperialisme (nekolim) yang akan menciptakan verelandung bagi seluruh umat manusia. Globalisasi hanya akan menciptakan “manusia-manusia yang menjadi srigala bagi manusia yang lainnya”, atau Thomas Hobbes menyebutnya sebagai “homo homoni luvuz”.

Hanya satu kado dari kita buat kapitalisme dengan globalisasinya, yaitu “perlawanan”. Perlawanan yang kita lakukan adalah perlawan kontradiksi-antagonis yang berdasarkan massifikasi kesadaran kelas proletariat. Selamat berjuang, baca dan lawan segala bentuk penindasan & ketidak-adilan !! Perlawanan kita tidak akan pernah berhenti selama keadilan belum tercipta & selama hayat dikandung badan.

* * * * *

Tidak ada komentar: