<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Sabtu, 20 Maret 2010

UNTUK ULANG TAHUN ISTERIKU


Isteriku... tanpa terasa dua tahun sudah kau bersusah payah mendampingiku, arungi samudera kehidupan dalam bahtera rumah tangga. Disana ada tawa, disana ada canda, disana ada derita, disana ada derita, dan disana pula ada cinta!

Tak terasa pula kalau hari ini usiamu telah bertambah. Kau berulang tahun. Pikir-pikir, ternyata usia kita telah menua ya? Kehadiran Syahda, buah dari cinta kita, itu sebagai bukti. Sebentar lagi, anak semata wayang kita kan genap satu tahun. Meski belum begitu ketara, tapi panggilan "Ayah" dan "Mamah" kerap terdengar dari logatnya yang lucu. Ohh... Betapa bahagianya aku sebagai bapaknya melihat perkembangan Syahda yang cantik, lucu, lincah nan cerdas. Apa kecerdasannya mawarisi pemikiran bapaknya ya? Hehehe.... Tentu itu semua berkat sentuhan tanganmu yang penyabar, telaten dan penuh kasih sayang dalam mengasuh, membimbing dan mendidiknya. Maklum, aku terlalu sibuk menantang kerja, demi keberlangsungan hidup keluarga kecil kita.

Isteriku... Disaat kau menapaki umur baru, ingin rasanya kugoreskan kata sebagai bukti keabadian rasa cintaku. Bukan aku tak mau memberikan hadiah lebih seperti yang kau pinta, tapi karena keabadian kata kan terasa lebih bermakna ketimbang perhiasan semata?

Isteriku... Biar tak ada pesta di rumah kita, biar tak ada kerlip lilin menyertai kita, biar tanpa undangan teman & handai taulan bersama kita, tapi semuanya terasa ada dalam dekapan hati sanubari kita. Hati kita berpesta dalam sujud syukur kehadirat-Nya, kerlip lilin senantiasa menyala dalam gemuruh cinta kasih kita, kebersamaan tanpa teman terasa lebih indah dalam lantunan keluarga kecil kita; Kau, Aku dan buah hati kita; Khalis Syahda Kirana Mahardhika Galur Suryana Putri.

Isteriku... Maafkan aku bila selama ini aku belum bisa membahagiakanmu. Aku belum mampu memberikan semua yang kau harapkan. Jerih payahku selama ini hanya bisa memenuhi kehidupan kita apa adanya. Kesederhanaan, kebersamaan, pengorbanan dan penantian, selalu saja berkelindan dalam amuk rasa keseharian kita. Tapi bersamamu, wahai isteriku, aku merasakan hidupku tak lagi sia-sia. Ada penantian dari seluruh peluh keringatku, ada penghidupan dari jerih payahku. Tak mengapa menahan rindu di selang waktu, tak apa pikiran beku tak kenal buku, tak peduli ocehan teman karena tekanan, tak apa peringatan atasan karena kerjaan, tak apa menahan lapar karena tuntutan, itu semua demi kau, anak isteriku.

Isteriku... Kini akhirnya kusadari semuanya, kiranya benar apa yang digoreskan Mira W dalam karyanya, "Ada yang lebih penting dari pekerjaanku, ada yang lebih penting dari teman-temanku, ada yang lebih penting dari semua aktifitasku... Dia adalah keluargaku...".

Semuanya kini berubah, wahai istriku! Hasrat mengubah dunia yang aku kumandangkan saat gelora muda masih membara, kehendak bebas mengguncang negara yang kuledakkan dalam arena wacana dan dialektika, kini semuanya tinggal sepenggalah. Sebatas harapan dalam kenangan. Tak apalah, duhai isteriku! Aku tak menyesali hal itu! Biar dikata orang aku telah kehilangan roh gerakan dan idealisme, biar dikata orang aku bukan lagi sosok pemikir dan berjiwa sosialis lagi, semua itu tak penting lagi bagiku, asal aku tak kehilangan identitas dan jati diri sebagai suami saja.
Kini aku hanya ingin bersamamu, duhai isteri dan anakku... Aku hanya ingin senantiasa menggendong anak kesayanganku, membimbingnya, memapahnya, mengganti popoknya yang basah, dan mendongengkan kisah kejayaan Nusantara, para patriot bangsa, dan keperkasaan leluhur kita, agar kelak ia tak menjadi insan yang buta akan riwayat dan sejarah para pendahulunya. Itulah yang ingin kuwariskan pada putri semata wayangku, disamping deretan buku dengan ratusan judul yang sengaja ku simpan di rak itu.

Kau pun tak melarangnya, isteriku, saat aku nyanyikan lagu "Indonesia Raya", "Ibu Pertiwi", "Desa Tercinta", "Internationale", dalam menina-bobokan anak kita. Kau juga membiarkannya saat ku ceritakan dongeng kepahlawanan Balaputra Dewa, Gajah Mada, Sri Baduga Maharaja, Ken Arok, Wali Songo, Diponegoro, HOS Tjokroaminoto, Soekarno, Semaun, Kartosoewiryo, pemikiran Syeikh Lemah Abang, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy'ary, maupun Gus Dur.

Kau bahkan tersenyum simpul saat melihatku berjingkrak memperagakan sosok Hanoman dalam epos Ramayana, Bima dalam serial Mahabharata, kisah Jenghis Khan, Napoleon Bonaparte, Julius Caesar, Laksamana Cheng Ho, Umar bin Khottob, Salahuddin al-Ayubi, Karl Marx, Ivan Illich, Paulo Freire, maupun Adolf Hitler.

Kau bahkan ikut tertawa saat mendengarkan dongengku tentang Abu Nawas, Putri Cinderella, Peter Pan, si Kabayan, si Kancil, Lutung Kasarung, maupun Ciung Wanara.
Isteriku, aku tahu itu semua kau biarkan karena kau tahu misi terpendamku. Dan aku pun tak menyangka, kalau kiranya kau juga punya misi tersendiri. Sering kudengar lantunan ayat suci al-Qur'an dan gema "Sholawat Badar" saat kau hentikan tangisan Syahda. Kau ceritakan penggalan sejarah Adam-Hawa, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad, Khulafaur Rosyidin, Al-Ghozali, Samarqandi, Ibnu Katsir, bersama referensi deretan kitab klasik lainnya. Selalu kau bisikan do'a-do'a disetiap aktivitas yang akan Syahda lakukan. Rutin kau ajarkan huruf "Alif, Ba, Ta, Tsa" disaat senja mulai temaram, dan sering kudengarkan panjatan do'a untuk Syahda, dan juga untukku, suamimu, diakhir sholat tahajudmu. Oohh... Kiranya nafas Islam yang kau bawa. Dan aku, membiarkan hal itu. Biarkan Syahda tumbuh dari ruang dua dimensi yang berbeda itu, karena dia memang mewarisi dua trah yang berbeda. Trah Abangan yang diwariskan bapaknya dari silsilah Rimpaknangsi, Hanum, Dayeuhluhur, dan trah kyai-santri bawaan Ibunya dari Bugelan, Kawalu, Tasikmalaya. Sungguh dua perbedaan yang bersatu padu, yang akan membentuk watak pluralisme, egaliter dan humanis dalam diri Syahda.

Tapi pada akhirnya, Isteriku, seperti yang dikatakan Apha pada kita berdua, pada dasarnya kita selaku orang tua hanya berkewajiban untuk membesarkannya, merawatnya, mendidiknya, membimbingnya dan mengarahkan. Mulai sekarang, mari kita besarkan Syahda dengan rizki yang halal, kita rawat dia agar senantiasa mendapat perlindungan, kita didik dia dengan ilmu yang bermanfaat, kita bimbing dia ke jalan yang benar, dan kita arahkan dia agar kelak mampu mengaktualisasikan hasil dari jerih payah kita semua. Dan aku yakin seyakin-yakinnya, wahai isteriku, kelak Syahda akan tumbuh sesuai harapan kita, dia kan besar menjadi kebanggaan kita.
Akhirnya, Selamat ulang tahun isteri tercintaku... Aku sangat mencintaimu!
* * *
Bandung, Jum'at, 19 maret 2010

Tidak ada komentar: