<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter
  • "....ada kisah yang belum usai...."

    Akhirnya langkah ini tiba pada sebuah sketsa. Dalam kecamuk, amuk dan peluk. Ada yang terkunci saat ingin membuka segala. Meski cuma lewat kata. Satu hal yang kuyakin; adalah jengahku pasti hadir dalam lembaran ini. Hanya, bacalah! Simaklah! Lalu silahkan saja sinismu terngiang dan kan ada rutuk yang melenggang. Atau paling tidak, pandanglah! Dan jauhkan ia pelan, kelak tak ada perihal yang membayang. Hingga entah kapan kan terhiba kata yang dikurung naifnya keangkuhan...

  • Kuwariskan semua ini hanya untukmu...

    Mahakarya inilah salah satu warisan yang akan kuberikan. Maka kutulis sabda ini untukmu, Anakku. Meski Ayah sendiri sebenarnya tak mengerti di mana bermula maksud ini. Tapi ayah tidak memiliki kemampuan menuliskan isyarat hati. Ayah juga berharap dirimu damai adanya. Sebab doaku telah kurangkumkan pada mega. Ia kan menaungimu dari durja dunia. Dan bagi ayah, beritamu adalah segalanya. Apa yang ayah jalani tidak lagi berarti bila kamu, anakku, tak lagi mengilhami! Kamu adalah anakku, dan anak dari ingatan yang kuwariskan padamu...

  • Merayakan Keberagaman Keberagamaan...

    Setidaknya ada tiga hal yang ingin disampaikan tafsir emansipatoris; Islam Emansipatoris ingin memberikan perspektif baru terhadap teks, Menempatkan manusia sebagai subyek penafsiran keagamaan, Memiliki konsern kepada persoalan kemanusiaan ketimbang pada persoalan teologis. Islam Emansipatoris ingin mengalihkan perhatian agama dari persoalan langit (teosentrisme) menuju persoalan riil yang dihadapi manusia (antroposentrisme). Penekanannya pada aspek praksis, sehingga agama tidak hanya dipahami sebagai ritualisme melainkan pembebasan masyarakat dari segala penindasan!

Twitter

Selasa, 20 September 2011

Remaja; Problem & Solusinya!

Brak!!! Mira membanting pintu kamarnya dengan keras. Brug!!! Tas sekolahnya dilempar ke kasur. Pluk!!! Seekor cicak terjatuh saking kagetnya mendengar pintu dibanting. Waaa!!! Kalau ini Mira ngejerit karena cicak itu jatuh tepat di kakinya. Setelah berjingkrak-jingkrak tak karuan, badannya pun ikut ambruk menyusul tasnya. Di sudut matanya terlihat aliran bening air mata. Mira sedih bukan lantaran kejatuhan cicak. Bukan juga lantaran tidak diizinkan pak RT jadi peserta lomba panjat pinang. Pelsajar kelas 3 MTs ini lagi ngambek sama mamanya. Soalnya mama tidak mengijinkan dia untuk jalan-jalan ke mal sampe sore sepulang sekolah; atau minta jatah uang sakunya dijadiin bulanan; atau ikut clubbing di malam minggu bareng teman-temannya; atau pakai baju tang top ngikuti tren; atau punya teman deket laki-laki dan masih banyak lagi tren remaja yang mau Mira ikutin. Padahal Mira sudah udah tiga belas tahun. Dan teman-teman sebayanya pada bisa ngikut tren. Kenapa Mira tidak boleh? Makanya dari sepulang sekolah tadi, dia mogok keluar kamar. Kecuali pas lagi lapar, mau ke toilet, pas mamanya nawarin es krim, atau pas tukang somay kesenangannya lewat. Kasus model Mira di atas kayaknya sering sekali kita dengar. Bisa jadi kita juga pernah ngalami. ehm...ehm...jadi malu!!! Di usia yang menginjak remaja, kita sering merasa orang tua belum memberikan kebebasan. Orang tua masih menganggap kita anak kecil. Setiap jengkal keseharian kita masih diatur sama orang tua. Dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Sementara di luar rumah, alam kebebasan yang mulai banyak digandrungi teman-teman remaja menggoda kita untuk mencicipinya. Seks bebas, lari dari rumah (broken home), buang bayi, mengedarkan narkoba, alkohol, bolos sekolah, dan prilaku buruk remaja lainnya menumbuhkan perkara haram. Semua perbuatan itu hanya sebagian kecil dari permasalahan sosial di kalangan remaja kita. Ini adalah ciri-ciri remaja yang tidak merdeka. Siapakah yang bersalah? Remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada usia tersebut mereka sangat naif terhadap berbagai perkara, mereka selalu ingin mencoba semua yang ada di dunia ini tanpa memikirkan akibatnya di masa yang akan datang. Masalah sosial remaja memang sedang dibicarakan di mana-mana. Bukan saja masalah ini terjadi di Indonesia, tetapi di negara maju dan juga dunia ketiga. Remaja masa kini hidup penuh dengan godaan demi kemajuan dan kemodernan sehingga mereka kini hidup dengan penuh kebebasan. Kebebasan remaja kini tiada terbatas lagi hingga berlaku yang menimbulkan masalah sosial di kalangan mereka yang bergelar remaja. Permasalahan sosial di kalangan remaja masa kini amat membimbangkan banyak pihak terutama sekali golongan orang tua dan golongan pendidik atau guru. Adakah keruntuhan akhlak remaja ini berlaku seiring dengan pembangunan negara dan kemajuan teknologi? Adakah akhlak remaja semakin jatuh dan tidak dapat dibendung lagi? A. Pengertian Remaja Istilah remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence (dari bahasa Inggris) yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang cukup luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Masa remaja adalah usia dimana seseorang mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Remaja tidak lagi merasa di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Masa remaja juga sebagai masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada periode remaja terjadi perubahan besar mengenai fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah. Yang sangat menonjol pada periode ini adalah kesadaran yang mendalam mengenai diri sendiri dimana remaja mulai meyakini kemampuannya, potensi dan cita-cita sendiri. Dengan kesadaran tersebut remaja berusaha menemukan jalan hidupnya dan mulai mencari nilai-nilai tertentu, seperti kebaikan, keluhuran, kebijaksanaan, dan keindahan. Pada remaja terdapat tugas-tugas perkembangan yang sebaiknya dipenuhi. Semua tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Adapun tugas perkembangan remaja itu adalah : 1. Mencapai peran sosial pria dan wanita 2. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita 3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif 4. Mencapai kemadirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya 5. Mempersiapkan karir ekonomi untuk masa yang akan datang 6. Mempersiapkan perkawainan dan keluarga 7. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku dan mengembangkan pemikiran. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa masa remaja merupakan masa penghubung antara masa anak-anak menuju masa dewasa. Pada masa remaja terdapat berbagai perubahan, di antaranya terjadi perubahan intelektual dan cara berpikir remaja, terjadinya perubahan fisik yang sangat cepat, terjadinya perubahan sosial, dimana remaja mulai berintegrasi dengan masyarakat luas serta pada masa remaja mulai meyakini kemampuannya, potensi serta cita-cita diri. Selanjutnya pada masa remaja terdapat tugas-tugas perkembangan yang sebaiknya dipenuhi sehingga pada akhirnya remaja bisa dengan mantap melangkah ke tahapan perkembangan selanjutnya. B. Konsep Diri Remaja Pada masa remaja terdapat 8 kondisi yang mempengaruhi konsep diri yang dimilikinya, yaitu : Pertama, Usia kematangan. Remaja yang matang lebih awal dan diperlakukan hampir seperti orang dewasa akan mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Tetapi apabila remaja matang terlambat dan diperlakukan seperti anak-anak akan merasa bernasib kurang baik sehingga kurang bisa menyesuaikan diri. Kedua, Penampilan diri. Penampilan diri yang berbeda bisa membuat remaja merasa rendah diri. Daya tarik fisik yang dimiliki sangat mempengaruhi dalam pembuatan penilaian tentang ciri kepribadian seorang remaja. Ketiga, Kepatutan seks. Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat dan perilaku membantu remaja mencapai konsep diri yang baik. Ketidakpatutan seks membuat remaja sadar dari dan hal ini memberi akibat buruk pada perilakunya. Keempat, Nama dan julukan. Remaja peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompok menilai namanya buruk atau bila mereka memberi nama dan julukan yang bernada cemoohan. Kelima, Hubungan keluarga. Seorang remaja yang memiliki hubungan yang dekat dengan salah satu anggota keluarga akan mengidentifikasikan dirinya dengan orang tersebut dan juga ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. Keenam, Teman-teman sebaya. Teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara. Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep temanteman tentang dirinya dan yang kedua, seorang remaja berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui oleh kelompok. Ketujuh, Kreativitas. Remaja yang semasa kanak-kanak didorong untuk kreatif dalam bermain dan dalam tugas belajar, mengembangkan perasaan pribadi dan identitas yang memberi pengaruh yang baik pada konsep dirinya. Sebaliknya, remaja yang sejak awal masa kanak-kanak didorong untuk mengikuti pola yang sudah diakui akan kurang mempunyai perasaan identitas dan pribadi. Kedelapan, Cita-cita. Bila seorang remaja tidak memiliki cita-cita yang realistik, maka akan mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan reaksi-reaksi bertahan dimana remaja tersebut akan menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Remaja yang realistis pada kemampuannya akan lebih banyak mengalami keberhasilan daripada kegagalan. Hal ini akan menimbulkan kepercayaan diri dan kepuasan diri yang lebih besar yang memberikan konsep diri yang lebih baik. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa Konsep diri pada remaja dipengaruhi oleh usia, kematangan, penampilan diri, kepatutan seks, nama dan julukan, hubungan keluarga, teman sebaya, kreativitas, cita-cita serta jenis kelamin. C. Batasan Usia Remaja Banyak batasan usia remaja yang diungkapkan oleh para ahli. Diantaranya adalah pendapat Kartono yang membagi masa remaja menjadi masa pra pubertas, masa pubertas dan masa adolesensi. Sementara Monks, dkk membagi fase-fase masa remaja menjadi tiga tahap, yaitu : 1. Remaja Awal (12 sampai 15 tahun) Pada rentang usia ini, remaja mengalami pertumbuhan jasmani yang sangat pesat dan perkembangan intelektual yang sangat intensif, sehingga minat anak pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi namun belum bisa meninggalkan pola kekanak-kanakannya. Selain tu pada masa ini remaja belum tahu apa yang diinginkannya, remaja sering merasa sunyi, ragu-ragu, tidak stabil, tidak puas, dan merasa kecewa. 2. Remaja Pertengahan (15-18 tahun) Pada rentang usia ini, kepribadian remaja masih bersifat kekanak-kanakan, namun pada usia remaja sudah timbul unsur baru, yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menemukan nialai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap pemikiran dan etika. Maka, dari perasaan yang penuh keraguan pada usai remaja awal maka pada rentang usia ini mulai timbul kemantapan pada diri sendiri yang lebih berbobot. Rasa percaya diri pada remaja menimbulkan kesanggupan pada dirinya untuk melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang telah dilakukannya. Selain itu pada masa ini remaja mulai menemukan diri sendiri atau jadi dirinya. 3. Masa Remaja Akhir (18-21 tahun) Pada rentang usia ini, remaja sudah merasa mantap dan stabil. Remaja sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan sendiri, dengan itikad baik dan keberanian. Remaja mulai memahami arah kehidupannya, dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditemukannya. D. Karaktertistik Remaja Memasuki umur belasan tahun, biasanya remaja mulai merasakan perubahan yang terjadi pada dirinya. Dari mulai perubahan fisik sampai non fisik yang meliputi kelabilan emosi, perkembangan jiwa, dan pembentukan karakter. Suara yang pecah, adanya jakun pada laki-laki, atau mulai tumbuhnya payudara pada wanita menunjukkan adanya perubahan fisik. Orang yang telah beranjak remaja umumnya mempunyai ciri-ciri khusus dalam fisik atau badannya, terutama melihat perubahan yang terjadi pada badannya. Ciri-ciri tersebut ditetapkan dalam hukum Islam, yaitu baligh, artinya sudah sampai pada usia tertentu, hingga siap untuk menerima hukum yang ditentukan oleh Islam, sehingga orang tersebut harus mempertanggungjawabkannya sendiri. Adapun ciri-ciri fisik orang yang sudah baligh diantaranya: a. Ihtilam, artinya keluar air sperma ketika tidur yang disebabkan oleh mimpi jima atau lainnya, keluarnya sperma biasanya ketika menginjak usia 12 atau 15 tahun lebih bagi laki-laki. b. Bertumbuhnya rambut pada bagian-bagian tertentu, seperti kumis atau janggut bagi laki-laki atau rambut yang ada di atas kemaluan. c. Bertumbuhnya bagian tubuh tertentu, seperti tumbuh jakun atau benjolan pada leher seorang laki-laki, atau tumbuhnya dada (payudara) bagi perempuan. d. Membesarnya suara, hal ini disebabkan pita suara yang ada ada di dalam kerongkongan membesar, hingga berpengaruh pada suara yang dikeluarkannya. e. Keluar haid bagi perempuan, yaitu darah yang keluar dari kemaluan peremuan atas jalan sehat dalam waktu-waktu tertentu. Haid atau menstruasi bisanya keluar jika perepuan sudah menginjak 9 tahun atau 15 tahun. Apabila ciri-ciri tersebut tidak ditemukan, misalnya karena ada gangguan jasmani, maka karakteristik fisik remaja dapat ditentukan oleh usia. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat dalam menentukan usia yang di capai oleh seseorang yang telah baligh atau masuk masa remaja. Menurut Imam Maliki dan Imam Hanafi, usia baligh bagi laki-laki adalah 18 tahun dan bagi perempuan adalah 17 tahun. Sementara menurut Imam Syafi’i, usia baligh bagi laki-laki dan perempuan sama, yaitu 15 tahun. Tapi untuk perubahan non fisik, tidak terlalu keliatan. Kita cuma bisa menebak dari gejala yang ditunjukkan remaja dalam perilakunya. Pakar psikologi bilang, fase ini dikenal dengan proses “pencarian jati diri” yang dilalui remaja untuk mengetahui peranan dan kedudukannya dalam lingkungan sekaligus mengenali dirinya lebih dekat. Sifat remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal dan teman bergaul. Apabila semua faktor tersebut benar-benar baik, maka sifat remaja pun akan baik, sebaliknya jika faktornya buruk, maka sifatnya pun akan buruk pula. Dalam proses pencarian jati diri, remaja biasanya memerlukan kemandirian yang meliputi: Perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. Ya, lambat laun remaja berusaha melepaskan ikatan psikis dengan orang tua. Mereka mau dihargai sebagai orang dewasa. Mau bisa berpikir secara merdeka; bisa mengambil keputusan sendiri; punya hak untuk menerima atau menolak masukan dari pihak lain; dan belajar bertanggung jawab terhadap setiap perbuatannya. Pada dasarnya kemandirian remaja terdiri dari beberapa aspek, yaitu: 1. Emosi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua. 2. Ekonomi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang tua. 3. Intelektual, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. 4. Sosial, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain. Itulah sedikit tinjauan psikologis akan kebebasan yang dikehendaki remaja. Intinya, remaja mau mandiri! Tidak cuma makan atau mandi sendiri, tapi juga dipercaya dalam berpikir, berbuat, dan bersikap sesuai dengan keinginannya. E. Ketika Kebebasan Menjadi Kebablasan Setiap orang tua pasti mengerti kalau suatu saat nanti, mereka harus rela melepaskan anaknya hidup mandiri. Dan memang bagusnya, proses itu diawali oleh orang tua ketika sang anak menginjak usia remaja. Namun, pergaulan remaja modern yang kental dengan nuansa kebebasan membuat sebagian orang tua keberatan untuk memenuhi keinginan anaknya. Ya, bagaimana tidak, gencarnya arus budaya Barat yang membidik remaja membuat tuntutan kebebasan remaja bergeser menjadi liar tak terkendali. Pola hidup sekuler yang dipraktekkan masyarakat Barat jelas-jelas bertolak belakang dengan kehidupan kita selaku muslim. Parahnya, gaya hidup sekuler itu makin populer di mata remaja dan sering kali menjadi acuan dalam perjalanannya mencari identitas diri. Beberapa akibat kebebasan yang kebablasan hasil jiplakan remaja terhadap budaya barat adalah: Pertama, free thinker alias bebas berpikir. Remaja merasa punya hak untuk berpikir tanpa dibatasi oleh norma-norma agama. Terutama dalam upaya mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi atau cara untuk meraih keinginannya. Tidak ada yang ngontrol saat benaknya memberi jalan pintas untuk membereskan masalahnya. Bisa bunuh diri, nge- drugs , atau nyekek botol minuman keras. Bisa juga jadi pelaku kriminal atau wanita “bispak” pas lagi tidak punya uang. Tidak ada juga yang memberi pengarahan di benaknya saat kebutuhan nalurinya minta dipenuhi. Demi popularitas dan limpahan harta, harga diri dan kehormatan rela dipertaruhkan di kontes kecantikan. Ketika pornoaksi bin pornografi yang mudah ditemui menggedor hasratnya, apa saja bakal dilakukan asalkan terpuaskan. Urusan dosa atau penjara, itu urusan belakangan. Kedua, permissif alias bebas berbuat. Mau apa saja di mana saja jadi prinsip remaja dalam berbuat. Pokoknya serba boleh! Mulai dari cara berbusana, berdandan, berbicara, bergaul, atau berperilaku. Bangga jika daya tarik seksualnya disapu setiap mata lawan jenis yang jelalatan. Anti malu jadi pusat perhatian orang lantaran dandanannya yang urakan, norak, dan kekurangan bahan. Dan tidak punya rem buat ngendalian tutur katanya. Ceplas-ceplos alias asal bunyi. Dan semuanya dilakukan tanpa risih dengan mengantongi label kebebasan berekspresi. Ketiga, free Sex alias pergaulan bebas. Saat ini, pergaulan bebas antar lawan jenis yang banyak digandrungi remaja sangat mudah terkontaminasi unsur cinta dan seks. Apalagi ditambah dengan kampanye terselubung “anti jomblo” yang diopinikan media via sinetron remaja. Setiap remaja merasa harus punya pacar biar eksis dalam pergaulan. Tidak sebatas punya pacar, pergaulan bebas pun sangat membuka peluang bagi remaja untuk aktif melakukan aktivitas seksual. Pemicunya, bisa karena nonton vcd porno yang dijual bebas atau melihat tayangan erotis di televisi. Kurangnya kontrol dari orang tua, sekolah, atau masyarakat membuat mereka enjoy berpetualang menikmati kepuasan sesaat. Q.S Al Alaq : 6 Artinya : “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas”. (Q.S Al Alaq : 6) Nah coba saja bayangkan oleh kita, bagaimana tidak keder orang tua dengan akibat kebebasan remaja yang kebablasan seperti dipaparkan di atas. Niat orang tua memberi kebebasan agar mandiri, bisa-bisa nyasar malah anak remajanya kehilangan harga diri. Makanya kita pantas ber-husnudzan sama orang tua. Kalau mau dipercaya orang tua, jalin komunikasi dan tunjukkan dong kalau kita sudah dewasa dan siap belajar mandiri. Tidak perlu pakai ngambek. Malu donk sama seragam sekolahnya? F. Dewasa Di Usia Remaja Kemandirian bagi remaja memang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan jiwanya. Tapi kita harus berpikir seribu kali kalau remaja dibiarkan menafsirkan sendiri kebebasan yang dikehendakinya. Jiwa remaja yang labil, sangat mudah terwarnai oleh lingkungan sekitar. Gelora jiwa mudanya paling gampang terpincut sama budaya Barat yang steril dari aturan Islam. Makanya harus ada perhatian agar generasi muda Islam tidak salah langkah dalam menapaki jalan panjang mencari jati diri. Sebagai remaja muslim wajib sadar kalau kebebasan dalam berpikir dan berperilaku tidak pernah disejajarkan dalam Islam. Islam mengajarkan adanya kehidupan akhirat yang akan memintai pertanggungjawaban setiap amal perbuatan kita di dunia. Otomatis ini nyambung dengan tabungan pahala dan dosa yang kita kumpulkan sepanjang hidup di dunia. Tiket surga bakal kita peroleh kalau pahala kita surplus. Sebaliknya, kita bakal diceburkan ke dalam neraka seandainya dosa kita yang surplus. Dan pahala itu baru kita dapatkan kalau Allah ridha dengan perbuatan kita. Itu berarti keterikatan dengan aturan Islam seharusnya jadi standar perbuatan dalam keseharian kita. Kalau sudah seperti ini, masa iya kita mau melepaskan diri dari aturan Allah demi sebuah kebebasan? Allah Swt. berfirman: QS. Al-Maidah : 50 Artinya: Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang yang yakin? (QS. al-Maidah : 50) Sebagai pengingat, kita bisa renungkan firman Allah Swt.: QS. Al-Mudatsir : 38 Artinya: Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, (QS. al-Mudatsir : 38) Usia remaja mengharuskan kita belajar untuk bertanggung jawab. Masa depan di dunia dan akhirat ada di tangan kita. Bukan dalam genggaman orang tua atau uluran tangan dari seorang teman. Proses pembelajaran itu bisa kita awali dengan mengkaji Islam dengan giat. Agar keimanan kita terhadap hubungan kehidupan dunia dan akhirat terpatri dengan kuat. Selain itu, aturan Islam yang komplit juga menawarkan solusi untuk setiap permasalahan hidup yang kita temui. Pemahaman Islam seperti ini yang akan membiasakan kita untuk berpikir panjang sebelum berbuat. Hawa nafsu dan godaan setan mampu kita tundukkan. Sehingga setiap langkah yang kita ambil bisa memberikan kebaikan. Inilah cerminan dari kedewasaan kita dalam bersikap dan berbuat. Kebebasan berekspresi bagi remaja tidak seharusnya dapet dukungan penuh dari orang tua dan pihak sekolah. Khawatir kebablasan dan menjerumuskan mereka ke dalam kemaksiatan. Orang tua dan pihak sekolah akan lebih berperan jika bersedia memfasilitasi dan mengizinkan adanya pengajian yang menjembatani remaja dalam melalui masa transisinya dengan positif. Dan kekhawatiran akan pengaruh buruk lingkungan akan sedikit terkurangi. Sebab ketika remaja jauh dari pantauan orang tua dan pengawasan pihak sekolah, akidah Islam akan menjaganya. Bukankah ini yang kita kehendaki? G. Gaul Bebas Itu Tidak Sehat! Lelaki mana sih yang tidak punya teman wanita? Tarzan saja yang tiap hari gaul sama penghuni hutan senang bisa bisa bersahabat sama Jane. Manusia memang harus berinteraksi satu sama lain. Biar tidak ketinggalan informasi. Itu barang kali yang suka dijadikan alasan pentingnya jadi anak gaul. Dan belum bisa dibilang gaul kalau cuma berkecimpung di dunia sejenis. Wanita sama teman wanita atau lelaki ama teman lelaki. Tapi harus ada kolaborasi antara pergaulan wanita-lelaki. Q.S Al-Hujurat : 13 Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal”. (QS. Al Hujurat : 13) Gaul bebas memang sudah jadi budaya remaja. Karena secara alamiah, remaja mulai mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara fisik, psikologis, dan sosial. Secara fisik, organ-organ tubuh termasuk organ reproduksi mulai matang. Secara psikologis, remaja mulai mengurangi ketergantungannya dengan orang tua. Dan secara sosial, remaja mulai mengenal dunia luar. Gaul sama teman-teman sebaya maupun masyarakat luas. Pada usia remaja juga rasa ketertarikan dengan lawan jenis lagi hangat-hangatnya. Virus ‘merah jambu' pun mulai menjangkiti. Dampaknya sudah bisa kita lihat dengan mata kepala dan mata kaki sendiri. Pacaran yang diawali dari PDKT, kencan, dan membuat komitmen makin populer di kalangan remaja. Seolah ada aturan tak tertulis yang mengharuskan remaja punya pacar. Katanya pacaran bisa memupuk kedewasaan dalam emosi dan kepribadian. Pacaran yang identik dengan gaul bebas tidak akan pernah aman dari bidikan panah beracun berlumur nafsu yang dilontarkan setan. Pacaran hanya menjadi ajang baku syahwat. Karena unsur nafsu seksual kian mendominasi. Pegangan tangan, cipiki (cium pipi kiri) cipika (cium pipi kanan) plus cibi (cium bibir) yang katanya jadi bumbu penyedap orang pacaran tidak tabu lagi dilakukan. Kita juga tidak asal ngomong kalau batas antara gaul bebas atau pacaran dengan seks bebas kian bias. Buktinya, sekitar 18-20% remaja di Indonesia pernah melakukan hubungan seks bebas. Belum lagi berita menghebohkan ketika suatu penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora menunjukkan hampir 97,05% mahasiswi di Yogyakarta sudah hilang keperawanannya saat kuliah. Yang lebih mengenaskan, semua responden mengaku melakukan hubungan seks tanpa ada paksaan. Semua dilakukan atas dasar suka sama suka dan adanya kebutuhan. Selain itu, ada sebagian responden mengaku melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu pasangan dan tidak bersifat komersil. H. Resiko Gaul Tidak Sehat Banyak akibat gaul bebas yang tidak sehat itu. Ibaratnya kulit kita yang luka terus terinfeksi kuman. Sudah suhu badan kita naik, basah sama keringat dingin, lukanya juga bisa korengan, terus dihinggapi lalat lagi. Bukannya kita mendramatisir keadaan, tapi memang itu kenyataannya. Gaul bebas yang berujung seks bebas itu bisa berakibat pada Kehamilan yang Tidak Dikehendaki alias KTD. Sudah begitu tidak sedikit yang depresi. Parahnya, remaja yang ketahuan hamil di luar nikah suka mengambil keputusan nekat. Apalagi pacarnya tidak mau bertanggung jawab atau belum siap berumah tangga. Jadinya ada yang tega-teganya membuang bayi. Bahkan tidak sedikit yang mengambil keputusan mengaborsi janin yang tengah dikandungnya. Tidak salah kalau ada yang bilang mereka cuma ingin enaknya, tapi tidak mau anaknya. Ada juga nasib remaja putri yang masuk ke dunia PSK karena merasa sudah tidak suci lagi. Selain KTD, resiko gaul bebas juga bisa berupa menjangkitnya virus HIV/AIDS atau penyakit menular seksual. Karena bisa jadi maraknya seks bebas itu memancing remaja masuk di tempat lain yang tidak steril. Atau akibat penyalahgunaan narkoba. Survey yang dilakukan oleh BKKBN LDFE UI (2000) memperlihatkan di Indonesia terjadi 2,4 juta kasus aborsi per tahun dan sekira 21% (700-800 ribu) dilakukan oleh remaja. Hal lain yang lebih menarik adalah sekira 11% dari seluruh kelahiran di Indonesia adalah usia remaja dan 43% wanita melahirkan anak pertama kurang dari 9 bulan sejak tanggal pernikahannya. Dilaporkan pula angka PMS di kalangan remaja sekira 4,18% serta 50% jumlah penderita HIV/AIDS di Jawa Barat adalah usia 15-29 tahun (KPAD Jawa Barat, Desember 2001). Angka pengguna narkoba oleh remaja berjumlah 2736 (BPS, 2000). I. Gaul Sehat yang Pakai Syariat Di tempat pengajian kita bakal dapatkan wawasan bagaimana Islam mengatur pergaulan manusia. Secara prinsipil, kehidupan Islam memang memisahkan antara pria dan wanita. Biar tidak sama dengan gaulnya hewan yang bebas tanpa aturan. Tapi, Islam juga memperbolehkan adanya hubungan antar lawan jenis jika hal itu mengharuskan keduanya untuk berinteraksi. Seperti dalam aktivitas jual beli, perburuhan, kedokteran, paramedis, pertanian, industri, dan sejenisnya. Untuk urusan gaul bebas remaja, dari awal Islam sudah mengatur biar tidak kebablasan. Di antaranya larangan untuk berkhalwat alias berdua-duaan dengan lawan jenis. Seperti orang pacaran, bawaannya mau mojok melulu. Padahal setan tidak pernah absen untuk menggoda orang yang lagi berkhalwat. Tidak salah kan kalau aktivitas pacaran itu merupakan pintu menuju zina. Q.S Al Isra : 32 Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S Al Isra : 32). Islam juga memerintahkan kepada muslim dan muslimah untuk menundukkan pandangannya. Biar kita bisa jaga mata dan hati kita dari bisikan setan. Kewajiban muslimah untuk menutup aurat secara sempurna di tempat umum akan menjaga kesucian mereka. Plus tidak akan memancing desir adrenalin dari lawan jenisnya. Negara pun akan melarang peredaran informasi atau acara televisi yang berorientasi seksual dalam memandang hubungan antar manusia. Q.S Al-Ahzab : 59 Artinya: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, dan anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah merteka mengulurkan jilbabnya (kerudung) ke seluruh tubuh mereka, demikian itu supaya mereka di kenal, karena itu mereka tidak diganggu”. (QS. Al-Ahzab : 59) Nah, kalau kita sudah tidak tahan menahan nafsu dan takut terjerumus ke perzinahan, segeralah menikah. Seperti sabda Rasulullah saw: Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kamu memiliki kemampuan untuk menikah, maka nikahlah, sebab nikah itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan; tetapi barang siapa belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu baginya merupakan pelindung. (HR. Bukhari). Tapi kalau dirasa kamu belum memiliki kemampuan untuk menikah, maka isilah hari-harimu dengan belajar. Terutama memperdalam Islam. Dengan belajar dan fokus kepada kegiatan lain, kita jadi terpalingkan dari pikiran yang menjurus. Belajar juga bisa membuat kita punya benteng dalam menghadapi gempuran budaya Barat. Jangan lupakan juga kewajiban kita belajar di sekolah atau mengasah keterampilan untuk bekal kerja. Sekaligus dengan segera menyehatkan pergaulan kita pakai aturan Islam. Biar sehat dan tidak terkontaminasi maksiat. Dari tata cara bergaul di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa sebagai remaja muslim harus menunjukan perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam. Perilaku-perilaku tersebut diantaranya: 1. Rajin belajar dan mengaji. 2. Meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. 3. Bertaubat dan ampunan kepada Allah Swt atas dosa yang telah kita perbuat. 4. Berbicara yang baik dan benar. 5. Bergaul tidak hanya dengan orang yang seusia 6. Bergaul dengan tidak menyakiti orang lain. 7. Selalu menutup aurat dan menjauhi perbuatan zina. IKTISAR 1. Istilah remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa remaja terdapat berbagai perubahan, di antaranya terjadi perubahan intelektual dan cara berpikir remaja, terjadinya perubahan fisik yang sangat cepat, terjadinya perubahan sosial, dimana remaja mulai berintegrasi dengan masyarakat luas serta pada masa remaja mulai meyakini kemampuannya, potensi serta cita-cita diri. Selanjutnya pada masa remaja terdapat tugas-tugas perkembangan yang sebaiknya dipenuhi sehingga pada akhirnya remaja bisa dengan mantap melangkah ke tahapan perkembangan selanjutnya. 2. Konsep diri pada remaja dipengaruhi oleh usia, kematangan, penampilan diri, kepatutan seks, nama dan julukan, hubungan keluarga, teman sebaya, kreativitas, cita-cita serta jenis kelamin. 3. Kartono yang membagi masa remaja menjadi masa pra pubertas, masa pubertas dan masa adolesensi. Sementara Monks, dkk membagi fase-fase masa remaja menjadi tiga tahap: Remaja Awal (12 sampai 15 tahun), Remaja Pertengahan (15-18 tahun), Masa Remaja Akhir (18-21 tahun). 4. Orang yang telah beranjak remaja umumnya mempunyai ciri-ciri khusus dalam fisik atau badannya. Ciri-ciri tersebut ditetapkan dalam hukum Islam, yaitu baligh. Adapun ciri fisik orang yang sudah baligh diantaranya: Ihtilam, bertumbuhnya rambut pada bagian-bagian tertentu, bertumbuhnya bagian tubuh tertentu, membesarnya suara, dan keluar haid bagi perempuan. 5. Untuk perubahan non fisik, tidak terlalu keliatan, tapi bisa dilihat dari gejala yang ditunjukkan remaja dalam perilakunya. Fase ini dikenal dengan proses pencarian jati diri yang dilalui remaja untuk mengetahui peranan dan kedudukannya dalam lingkungan sekaligus mengenali dirinya lebih dekat. 6. Pada dasarnya kemandirian remaja terdiri dari beberapa aspek, yaitu: Emosi (kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua), Ekonomi (kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang tua), Intelektual (kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi), Sosial (kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain). 7. Sifat remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal dan teman bergaul. Apabila semua faktor tersebut benar-benar baik, maka sifat remaja pun akan baik, sebaliknya jika faktornya buruk, maka sifatnya pun akan buruk pula. 8. Masalah sosial remaja memang sedang dibicarakan di mana-mana. Seks bebas, lari dari rumah, buang bayi, mengedarkan narkoba, alkohol, bolos sekolah, dan prilaku buruk remaja lainnya menumbuhkan perkara haram. Semua perbuatan itu hanya sebagian kecil dari permasalahan sosial di kalangan remaja. 9. Beberapa akibat kebebasan yang kebablasan hasil jiplakan remaja terhadap budaya barat adalah: free thinker (bebas berpikir), permissif (bebas berbuat), free Sex (pergaulan bebas). 10. Sebagai remaja muslim harus menunjukan perilaku yang sesuai dengan ajaran islam. Perilaku-perilaku tersebut diantaranya: rajin belajar dan mengaji, meningkatkan keimanan kepada Allah Swt, bertaubat atas dosa yang telah diperbuat, berbicara yang baik dan benar, bergaul tidak hanya dengan orang yang seusia, bergaul dengan tidak menyakiti orang lain, selalu menutup aurat dan menjauhi perbuatan zina.

Senin, 22 Agustus 2011

ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR





Selama ini yang kita pahami tentang Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) adalah sebuah madzhab yang dalam Aqidah, mengikuti salah satu dari Imam Abu Hasan al-Asy’ary atau Imam Abu Mansyur al-Maturidy; dalam Ubudiyah (praktek peribadatan) mengikuti salah satu madzhab empat (Abu Hanifah, Maliky, Hanbali, dan Syafi’y); dan dalam Tasawuf, mengikuti salah satu dari dua Imam (Al-Ghozaly atau Abu Qasim al-Junaidy al Baghdady.

Tidak sekedar itu, kalau mempelajari Aswaja dengan menggunakan batasan-batasan itu, sungguh terlalu simpel dan sederhana. Sebab pengertian itu adalah definisi yang sangat sempit dan ekslusif. Untuk memahami secara mendalam, harus ditekankan bahwa Aswaja bukanlah madzhab, Aswaja hanya sebuah Manhaj al-Fikr (cara berfikir) tertentu yang telah digariskan oleh para sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi politik saat itu.

Meski demikian, bukan berarti Aswaja dalam kedudukannya sebagai manhajul fikr sekalipun merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun sosio politik yang melingkupinya.

Kronologi Munculnya Aswaja

Ditengah kekacau-balau dan kondisi politik yang amburadul, setelah terbunuhnya Husain di padang Karbala, ternyata masih ada tabi’in yang masih stabil. Berfikir jernih dan netral dalam menyikapi segala sesuatu. Di antaranya adalah Sufyan al-Tsaury bin Uyainah dan Abu Hanifah. Dengan bersikap dingin, mereka memancangkan doktrin ”Untuk tetap berada di jalan lurus, satu-satunya cara adalah kembali pada Al-Qur’an”.

Surat Al-Hajj ayat 54 berkesimpulan, bahwa untuk mencari kebenaran harus dengan nalar atau berlogika. Berawal dari sini, Sufyan al-Tsaury bin Uyainah, Abu Hanifah, Muhammad Abu Yusuf berpandangan bahwa, kebenaran bisa dicapai dengan rasio, logika, ilmu pengetahuan, menggunakan nalar, dan dengan cara ilmiah. Setelah didapat kebenaran, lalu fa yu’minu bih diimani. Kalau sudah beriman, hati akan menjadi jernih, bersih dan bersinar. Dari dasar ini muncul tori-teori kebenaran, seperti ilmu Al-Bayan, ilmu Al-Burhan, dan ilmu Al-Irfan.

Berangkat dari sini, Abu Hanifah mengambil teori Tawasuth (moderat) dan Tasamuh (toleran) –embrio Aswaja– sebagai pola pikir dalam memperoleh sesuatu kebenaran. Mengingat pada saat itu terjadi perang ideologi antara Mu’tazilah yang sangat rasional dan Syi’ah yang Mistis, posisi moderat (tawasuth) diambil guna mengurangi kebingungan masyarakat yang berada di posisi serba sulit dengan kedua ideologi tersebut.

Sepeninggal Abu Hanifah, generasi Abdullah bin Kullam dan Abu Haris al-Muhasibin tetap konsisten dengan tawasuth itu. Tapi lama-kelamaan mulai tampak kesimpang siuran. Ada yang lebih condong ke aspek Burhan sehingga mendekati Mu’tazilah dan ada yang condong ke Irfan sehingga mendekati Syi’ah.

Ternyata perang ideologi ini semakin menjadi. Terbukti dengan kemenangan Mu’tazilah menjadi madzhab resmi negara pada zaman Al-Makmun. Tindakan Represif terlihat ketika Ahmad bin Hanbal dicambuk 100 kali, karena tidak mau masuk medan perdebatan Mu’tazilah. Sungguh keadaan yang menjijikkan, menjenuhkan masyarakat dalam pemerintahan Bani Abbasiyah saat itu.

Pada masa al-Mutawakil Alallah, Mu’tazilah bubarkan. Saat itu, hadits “sataftariqu ummati…” menjadi begitu menggema, sehingga al-Mutawakil disebut sebagai nashir al sunnah (pembela madzhab Ahlus Sunnah).

Lalu muncullah sosok Abu Hasan al-Asy’ary, seorang eks-Mu’tazilah, yang ingin membangkitkan kembali pemikiran Abu Hanifah dkk tentang tawasuth dan tasamuhnya. Karena kerjasamanya dengan pemerintah Abbasiyah, maka mulai saat itu tersebar resminya madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa Aswaja adalah sebuah sistem pikir, pola pikir, manhaj al fikr yang diturunkan dari surat Al Hajj 154, terlepas dari madzhabnya siapa, atau partainya apa. Buktinya Abu Hanifah adalah politikus Syi’ah tapi pola pikirnya Ahlus Sunah, begitu juga Imam Syafi’i. Adapun istilah Aswaja sebagai madzhab hanyalah move politik atau ikhtikar siyasah pada masa al-Mutawakil, sebagai upaya meredam kebingungan masyarakat pada situasi masa itu.

Upaya Al-Asy’ary yang disusul oleh Al Maturidy tersebut menyuebabkan keduanya dikenal sebagai pembawa Aswaja. Sebenarnya inilah yang menjadi persoalan, upaya mereka oleh para pengikutnya malah justru dilembagakan menjadi madzhab Asy’ariyah. Dampaknya sangat luar biasa. Di Indonesia pun konsumsi kitab hanya disekitar kitab yang dikarang kedua tokoh ini. Sejak itu dunia pemikiran Islam khususnya Sunni mengalami kemerosotan. Tidak produktif lagi, akan tetapi hanya mengutak-atik yang sudah ada.

Aswaja dalam Tradisi Masyarakat Islam Indonesia

Ormas Islam yang secara tegas membela dan menyatakan diri sebagai penganut paham Ahlussunnah Wal jama’ah di Indonesia adalah Nahdlatul Ulama (NU). Tak dapat dibantah bahwa nilai-nilai Aswaja telah lama merajut jaring-jaring rumit dalam tradisi NU yang berpusat di pesantren-pesantren. Ini suatu kenyataan yang tidak bisa diabaikan jika ingin membuka wacana pemikiran Islam yang transformatif dalam umat Islam Indonesia.

Pertama, Islam sebenarnya merupakan agama datang bagi masyarakat pribumi kita. Jika tradisi dimaknai sebagai warisan sosio-kutural masa lalu yang dilestarikan dalam masyarakat atau dalam kelompok sosial dalam kurun waktu yang panjang, maka dalam kaitan ini kita mewarisi siapa dasar-dasar nilai Islam ini?

Kedua, dalam membangun tradisinya, NU sejak awal telah menegaskan sebagai penganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah. Menurut Martin van Bruinessen, Antropolog Belanda, kelahiran NU pada tahun 1926 di Surabaya itu tidak hanya sebagai reaksi atas serangan Islam Reformis secara nasional (Muhamaddiyah dan Serikat Islam), tetapi juga merupakan respon atas bangkitnya kekuasaan Islam puritan Wahabi Internasional di Mekkah. Hal ini cukup meresahkan ulama tradisional, sehingga ketika diadakan kongres Al-Islam oleh Ibnu Sa’ud di Makkah, mereka mengirimkan delegasi agar dibolehkannya praktek keagamaan tradisional, dan minta untuk menghormati madzhab fiqh ortodoxs, berkaitan dengan pengelolaan tempat suci Ka’bah di Makkah dan masjid Nabawi di Madinah. Peristiwa tersebut merupakan momentum penting untuk mendeklarasikan ideologi (qonun asasi) keagamaan NU, yang belakangan lebih tepat disebut ideologi politik. Adapun Isi dari qonun asasi tersebut adalah “Dalam akidah mengikuti dua Imam, dalam Ubudiyah mengikuti empat Imam, dan dalam Tasawuf mengikuti dua Imam.

Nahdlatul Ulama sangat identik dengan pesantren. Sebab NU didirikan oleh sejumlah kiai pimpinan pondok pesantren, seperti K.H. Hasyim As'ary, pendiri dan sesepuh Pesantren Tebuireng, Jombang; K.H. Khalil (Bangkalan); K.H. Wahab Hasbullah (Jombang); K.H. Bisri Syamsuri (Denanyar); K.H. Asnawi (Kudus); K.H. Nawawi (Pasuruan); K.H. Ridwan (Semarang); dan lain sebagainya.

Hampir delapan puluh persen dari seluruh pesantren di Indonesia --terutama di Pulau Jawa-- merupakan pesantren NU. Walaupun para kiai dan santrinya tidak resmi menjadi anggota NU, namun dianggap simpatisan NU, karena menjalankan tradisi dan kultur NU. Mereka antara lain, mempraktikkan talafuz bin niyat (mengucapkan niat) ketika akan salat, wiridan (membaca rangkaian doa dengan suara keras berirama) seusai salat magrib dan subuh, marhaba (membaca Kitab Barzanji) pada malam Jumat, tahlil (mendoakan mayat), qunut (membaca doa pada rakaat terakhir salat subuh). Pada tahun-tahun 1930-1960-an, tradisi dan kultur NU yang menjadi ciri khas sebagian pesantren itu, sering menjadi bahan perdebatan dengan kelompok lain yang dimotori Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis).

Selain hal-hal di atas, tradisi dan kultur NU juga menempatkan kitab kuning sebagai acuan utama dalam kehidupan sehari-hari. Terutama yang menyangkut masalah hukum ibadah (ritual), akhlak (perilaku) dan mu'amalah (sosial). Disebut "kitab kuning" karena dibuat dari kertas berwarna kuning. Isinya adalah hasil pemikiran para ulama abad 9 - 14, baik ulama mujtahid (ahli ijtihad) yang menciptakan mazhab hukum (fiqh), maupun ulama-ulama pengikutnya.

Walaupun Anggaran Dasar NU mengakui keberadaan mazhab fiqh yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali), tapi pada praktiknya sebagian besar ulama dan anggota NU, mengikuti mazhab Imam Syafi'i. Sehingga, kitab-kitab yang dikaji di pesantren-pesantren, kebanyakan kitab-kitab karya para ulama Syafi'iyah. Mulai dari kitab-kitab fiqh tingkat dasar, seperti "Safinatun Naja", "Taqrib", "Kifayatul Ahyar"; menengah seperti "Fathul Qarib", "Fathul Wahab", "Fathul Mu'in", "I'anatuth Thalibin", "Hasyiyah Bajuri", "Muhazzab", hingga tingkat tinggi; "Nihayatul Muhtaj", "Hasyiyah Qalyubi wa Umairah", "Al-Muharrar", "Majmu Syarh Muhazzab". Semuanya merupakan susunan para ulama mazhab Syafi'i.

Kitab-kitab tersebut, berisi paparan mengenai hukum-hukum hasil penggalian (istinbat) Imam Syafi'i, yang kemudian diuraikan lagi oleh para ulama pengikutnya dari abad ke abad. Hasil pemikiran ijtihad Imam Syafi'i sendiri, didiktekan (imla) kepada muridnya, Al-Buwaithi, yang menyusunnya lagi menjadi kitab Al-Umm (Induk). Dari Al-Umm inilah lahir kitab-kitab fiqh susunan para ulama mazhab Syafi'i, baik yang ringkas dan tipis, seperti Taqrib karya Abu Suja, maupun yang panjang lebar dan tebal-tebal seperti Nihayatul Muhtaj karya Ar-Ramli, atau Majmu Syarah Muhazzab karya An-Nawawi.

Sistimatikanya nyaris sama satu sama lain. Dibuka dengan uraian tentang hukum bersuci (thaharah), kemudian hukum salat, hukum zakat, hukum puasa, hukum haji, yang termasuk ibadah ritual (mahdlah). Kemudian hukum-hukum jual-beli (al buyu') yang meliputi berbagai masalah ekonomi praktis, hingga masalah ju'alah (pemberian uang perangsang atau bonus), wakaf, hibah, luqathah (barang temuan) dan wadi'ah (barang titipan).

Kemudian tentang hukum waris dan wasiat, hukum perkawinan dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, hukum jinayat (pidana), macam-macam hukuman bagi berbagai tindak kejahatan (had), hukum jihad, hukum-hukum binatang buruan, dan sembelihan. Juga hukum tentang berbagai makanan (ath'imah) yang halal dan haram, hukum melakukan korban dan akikah, hukum perlombaan dan memanah, peradilan dan persaksian, serta memerdekakan budak (al-itqu).

Memang ada beberapa kitab yang memasukkan masalah-masalah khusus, seperti tentang khuntsa (banci), tapi pada umumnya materi dan sistimatika kitab kuning seperti yang dipaparkan di atas, yang dapat dianggap cukup komprehensif.

Bahasan hukum-hukum dalam kitab kuning, bersumber dari hasil ijtihad para ulama mazhab (disebut mujtahid shagir dan ulama pendiri mazhab yang merupakan mujtahid kabir, atau mujtahid mutlaq), yang menggali langsung dari Alquran dan sunnah Rasulullah saw. Yang mereka gali dan dijadikan bahan ijtihad, adalah hal-hal yang bersifat temporer, aktual, namun belum terdapat nash yang jelas di dalam Alquran dan Al-Hadis. Untuk hal-hal yang sudah dijelaskan di dalam Alquran dan Hadis, tidak lagi dijadikan bahan ijtihad.

Karena itu, tradisi dan kultur NU sangat kental dengan warna taqlid. Mengikuti tanpa reserve pendapat ulama anutan mereka. Rata-rata warga NU --termasuk tingkatan ulamanya-- mengaku sebagai muqallid (pengikut patuh) para ulama sebelumnya, yang menjadi guru langsung atau tak langsung (yang kitab-kitabnya dijadikan pegangan).

Mengembalikan Aswaja Sebagai Manhajjul Fikr

Setelah kita ketahui latar belakang kelahiran, perkembangan Aswaja (Abad pertengahan) maka batasan Aswaja yang dimaknai sebagai madzhab yang berkiblat pada Imam tertentu, merupakan batasan-batasan yang sangat sempit dan sederhana, karena ternyata pada hakekatnya Aswaja bukan madzhab dan cara peribadatan yang telah digariskan oleh Imam tertentu, akan tetapi Aswaja adalah Manhajul fikr (metode berpikir) yang berlandaskan pada tawassuth, tawajjun, taaddul, dan tassamuh.

Potret Pikada dalam UU No 5 Tahun 1974, UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 32 Tahun 2004



Latar Belakang

Perubahan dalam bidang politik pasca orde baru telah membuka peluang bagi daerah untuk mengembangkan sistem politik di daerah yang disesuaikan dengan potensi yang dimilikinya. Era reformasi yang muncul dalam paradigma pemerintahan daerah, memberikan titik cerah terhadap penyelenggaraan otonomi daerah, dalam kaitannya membangun demokrasi tingkat lokal. Paradigma baru ini banyak memberikan perubahan yang signifikan dalam pengelolaan dan perencanaan otonomi daerah, seperti diperbaharuinya prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi yang mengedepankan kemandirian daerah dalam mengelola potensi daerah. Dalam mengimplementasikan konsep-konsep tersebut, pemerintah era reformasi membuat dua undang-undang mengenai otonomi daerah, yaitu UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 32 Tahun 2004, yang selanjutnya memiliki aturan tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Penafsiran mengenai konsep desentralisasi dan dekonsentrasi pada dua undang-undang ini, diterapkan dengan adanya pemilihan kepala daerah dengan mengedepankan prinsip demokratisasi daerah. Pilkada dalam konteks otonomi daerah, merupakan hal pokok yang harus dilakukan dalam memberdayakan potensi daerah dalam hal pendidikan politik kepada masyarakat. Konsep pilkada ini bertujuan untuk mengakomodir tuntutan reformasi dalam kaitannya dengan Indonesia yang sedang mengalami transisi politik dari sistem otoriter kepada system demokrasi.

Namun penerapan gagasan pilkada tersebut memiliki perbedaan dalam dua undang-undang otonomi daerah, yang dikarenakan adanya perbedaan penafsiran mengenai keadaan masyarakat ditingkat lokal. Seperti konsep pilkada UU No 22 tahun 1999 yang merupakan penyempurnaan UU No 5 tahun 1974 dan konsep Pilkada UU No 32 Tahun 2004 merupakan penyempurnaan UU No 22 tahun 1999. Ini pun dapat kita lihat dari adanya masalah dalam menerapkan konsep pilkada pada masing-masing UU tersebut, yang kemudian menjadi catatan kritis mengenai pelaksanaan pilkada dalam penafsiran dua UU tersebut.

Pilkada era orde baru (UU No 5 Tahun 1974)

Hadirnya Undang-undang otonomi daerah yang baru tersebut telah memberikan peluang bagi terbukanya demokratisasi yang selama ini terkunci rapat. Bagaimana ketika masa orde baru dengan payung hukum UU No 5 Tahun 1974 telah menutup kebebasan daerah untuk dapat mengatur daerahnya sendiri. Pemerintah pusat, dalam hal ini terpusat pada kekuasaan Presiden menjadi satu-satunya pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam menjalankan pemerintahannya. Tanpa “restu” dari presiden, maka mustahil sebuah kebijakan akan diimplementasikan dan berjalan.

Wajah pelaksanaan Pemerintahan Daerah dapat ditelusuri dari Pelaksanaan Pilkada. Kapabilitas dari institusi pemerintahan daerah dapat dinilai dari bagaimana mekanisme pelaksanaan Pilkada atau rekruitmen pemimpinnya. Semakin baik mekanisme rekruitmen, maka akan terbuka kemungkinan semakin baik pula pemerintahannya.

Pelaksanaan Pilkada pada masa orde baru dengan payung hukum UU No 5 Tahun 1974 tidak mampu memberikan peluang bagi siapapun untuk turut berpartisipasi untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Calon kepala daerah dipilih oleh DPRD, yang kemudian diajukan kepada Presiden untuk mendapat persetujuan. Jadi di sini presiden memegang peran sentral dalam menentukan siapa yang layak menjadi kepala daerah. Padahal belum tentu presiden mengetahui permasalahan yang dihadapi daerah secara jelas, dan juga bagaimana kualifikasi dari calon kepala daerah tersebut.

Dari mekanisme yang terpusat ini akan membuka peluang bagi praktek kecurangan dan terbukanya budaya patron client. Presiden dapat menentukan calon kepala daerah hanya berdasakan pertimbangan like and dislike. Oleh karena begitu kuatnya peran pemerintah pusat, maka DPRD selaku legislatif yang seharusnya memilih calon pemimpin daerah, menjadi tidak berfungsi. Sebab walaupun calon yang hendak dipilih telah melalui seleksi, tetapi pemerintah pusat dapat seenaknya menolaknya tanpa alasan jelas.

Walaupun UU menyatakan, gubernur kepala daerah, bupati kepala daerah dipilih DPRD, tapi dalam implementasinya, DPRD memilih calon yang sudah mendapat “restu” pusat. Untuk bupati/walikota harus mendapat restu Mendagri, sedangkan gubernur harus mendapat restu Presiden.

Dari pola rekruitmen dan penempatan jabatan publik yang seperti ini membuka peluang lebar bagi praktek money politics, politik dagang sapi, serta kompetisi yang tidak fair. Dengan demikian orang yang dihasilkan tidak jelas kapabilitas dan kualitasnya.

Dengan sistem yang demikian, elite di daerah berkepentingan untuk mendekatkan diri ke pusat kekuasaan. Nasib kekuasaan elite di daerah berada di tangan pemerintah pusat. Artinya, elite daerah lebih memilih untuk mendekatkan diri kepada pusat kekuasaan daripada masyarakat yang dipimpinnya.

Namun yang menjadi salah satu kelebihan dari sistem ini adalah terciptanya stabilitas keamanan. Sebab pemerintahan orde baru menyelenggarakan pemerintahannya berdasarkan tiga pilar, yaitu stabilitas keamanan, pembangunan ekonomi, dan pemerataan. Dengan demikian rakyat tidak boleh disibukkan dengan aktifitas perpolitikan.

Pilkada era reformasi

Dalam perspektif desentralisasi dan demokrasi prosedural, sistem pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada Langsung) merupakan sebuah inovasi yang bermakna dalam proses konsolidasi demokrasi di aras lokal. Setidaknya, sistem Pilkada Langsung memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan sistem rekruitmen politik yang ditawarkan oleh model sentralistik “ala” UU No. 5 Tahun 1974 atau model demokrasi perwakilan yang diretas oleh UU No. 22 Tahun 1999.

Secara normatif, berdasarkan ukuran-ukuran demokrasi minimalis, Pilkada Langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi lokal, pertama, sistem demokrasi langsung melalui Pilkada Langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam proses demokrasi dan menentukkan kepemimpinan politik di tingkat lokal dibandingkan sistem demokrasi perwakilan- yang lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukan rekruimen politik di tangan segelitir orang di DPRD (Oligarkis).

Kedua, dari sisi kompetisi politik, Pilkada Langsung memungkinkan munculnya secara lebih lebar preferensi kandidat-kandidat yang bersaing serta memungkinkan masing-masing kandidat berkompetisi dalam ruang yang lebih terbuka dibandingkan ketertutupan yang sering terjadi dalam demokrasi perwakilan. Pilkada Langsung bisa memberikan sejumlah harapan pada upaya pembalikan “syndrome” dalam demokrasi perwakilan yang ditandai dengan model kompetisi yang tidak fair, seperti; praktek politik dagang sapi dan money politics.

Ketiga, sistem pemilihan langsung akan memberi peluang bagi warga untuk mengaktualisasi hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan elite politik-seperti yang kasat mata muncul dalam sistem demokrasi perwakilan. Setidaknya, melalui konsep demokrasi langsung, warga di aras lokal akan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh semacam pendidikan politik; training kepemimpinan politik dan sekaligus mempunyai posisi yang setara untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik.

Keempat, Pilkada Langsung memperbesar harapan untuk mendapatkan figur pemimpin yang aspiratif, kompeten dan legitimate. Karena, melalui Pilkada Langsung, kepala daerah yang terpilih akan lebih berorientasi pada warga dibandingkan pada segelitir elite di DPRD. Dengan demikian, Pilkada mempunyai sejumlah manfaat, berkaitan dengan peningkatan kualitas tanggungjawab pemerintah daerah pada warganya yang pada akhirnya akan mendekatkan kepala daerah dengan masyarakarat-warganya. Kelima, Kepala daerah yang terpilih melalui Pilkada akan memiliki legitimasi politik yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan kekuatan (check and balances) di daerah; antara kepala daerah dengan DPRD. Perimbangan kekuatan ini akan meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan seperti yang muncul dalam format politik yang monolitik.

Mewujudkan Good Governance

Konsep good local governance dalam kaitan ini, diartikan sebagai bentuk pemerintahan lokal yang didalamnya terdapat hubungan yang dinamis antara eksekutif, legislatif dan masyarakat lokal. Keseimbangan hubungan ini yang menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintah membangun kepemimpinan daerah. Sebab awalnya undang-undang otonomi daerah era reformasi dibentuk sebagai pencarian masyarakat akan figure pemimpin yang berdasarkan aspirasi dan keinginan masyarakat, artinya konsep keterwakilan tetap dikedepankan dalam melakukan proses demokrasi local (local democration).

Penerapan UU No 22 tahun 1999 wujud konkret pemerintahan lokal yang baik diwujudkan dengan keterwakilan masyarakat di dewan legislatif daerah (DPRD). DPRD difungsikan sebagai pelaksana pemilihan kepala daerah yang kemudian disahkannya. Kepala daerah dipilih berdasarkan mekanisme yang ada dalam kelembagaan DPRD, yang didalamnya terdapat perwakilan masyarakat melalui partai-partai politik. Cara ini sebenarnya hampir sama dengan cara yang dilakukan pada era orde baru dengan menggunakan mekanisme perwakilan, namun perbedaannya ada pada keterbukaan atau lebih terbukanya untuk masyarakat mengetahui proses berjalannya pemilihan kepala daerah.

Konsep keterwakilan DPRD yang merupakan perwujudan demokrasi lokal, menimbulkan permasalahan yang menyebabkan tidak lancarnya pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugasnya. Pemilihan kepla derah yang notabenenya dilakukan oleh DPRD, dijadikan sebagai alat kepentingan partai politik semata, dengan menggunakan legitimasi dari masyarakat. Pemilihan kepala daerah melalui kepala daerah ini, yang kemudian menimbulkan politik uang dalam prosesnya. Artinya, calon kepala daerah dapat menggunakan lobi-lobi politik kepada partai politik yang nantinya dapat mendukung calon tersebut. Namun konsekuensinya yang harus diterima adalah calon harus memberikan sejumlah dana kepada partai politik untuk melanggengkan langkahnya.

Berbeda dengan UU No 22 Tahun 1999, UU No 32 Tahun 2004 memiliki aturan yang berbeda dalam hal memilih kepala daerah. Berawal dari evaluasi pemilihan kepala daerah oleh DPRD yang cenderung carut marut dan tidak bisa memunculkan sebuah good local governance, maka dibuat aturan baru mengenai pilkada langsung. Proses partisipasi langsung dari masyarakat merupakan prinsip dasar dari diberlakukannya pilkada langsung ini. Inilah yang menjadi sejarah baru dalam pelaksanaan pilkada yang melibatkan seluruh rakyat lokal dalam “hajatan” besar lima tahunan ini. Prinsip pemerintahan lokal yang baik, tetap menjadi prinsip utama dalam kebijakan ini.

Dalam pelaksanaannnya Pilkada langsung tetap melibatkan peran partai politik sebagai kendaraan politiknya, dan kemudian calon kepala daerah itu baru bisa masuk dalam bursa pencalonan pilkada langsung. Bedanya dari UU No 22 Tahun 1999, partai politik berada di luar parlemen dan dijadikan sebagai legalisasi pencalonan. Cara ini digunakan untuk menghindari kemungkinan terjadinya deal-deal politik partai di DPRD, sebab permasalahan ini menyangkut kredibilitas DPRD sebagai perwakilan rakyat ditingkat lokal.

Pencarian sosok seorang kepala daerah melalui mekanisme pilkada langsung, memberikan pencerahan pada masyarakat mengenai solusi terhadap permasalahan yang terjadi didalam pemilihan kepala daerah di DPRD. Namun, pencerahan ini tidak selamanya berjalan dengan baik. Prinsip menggunakan partai politik sebagai kendaraannya, menyebabkan pindahnya praktek KKN yang semula di DPRD, kini di dalam tubuh partai politik. Penyimpangan ini yang kemudian menyebabkan beralihnya fungsi partai politik itu sendiri sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat yang berubah kepada orientasi kekuasaan belaka. Ini yang menimbulakan pula oligarki partai politik, yang menggunakan kekuasaannya untuk menarik dana sebesarnya dari calon kepala daerah.

Dampak dari tidak berjalannya proses kemandirian daerah ini, menyebabkan proses demokrasi yang coba bangkit dari keterpurukan pasca ketidak berhasilan UU No 22 Tahun 1999 tidak berjalan. Proses menuju pemerintahan local yang baik tidak bisa berjalan dengan semestinya, proses yang seharusnya mendapatkan bentuk pemerintahan yang dikehendaki oleh rakyat, dibohongi oleh kelicikan partai poltik sebagai kendaraan politik.

Kecenderungan Konflik dalam Pilkada

Dalam salah satu agenda pilkada, kompetisi politik merupakan hal mutlak yang harus dilakukan dalam proses demokratisasi daerah. Kompetisi dalam hal ini merupakan bentuk bagaimana calon kepala daerah untuk menggunakan cara yang baik untuk merebut simpati masyarakat atau konstituen. Oleh karena itu, selain bertujuan untuk membangun demokratisasi daerah, pilkada digunakan sebagai alat untuk meminimalisir konflik yang terjadi dalam hal pemilihan kepala daerah, sebab dalam hal ini masing-masing pihak diposisikan sama tanpa ada diskriminasi.

Ketidakpuasan masyarakat melihat kenyataan calon kepala daerah mereka kalah yang menyebabkan potensi timbulnya konflik antar masyarakat semakin besar. Pada penerapan UU No 22 Tahun 1999, yang memilih kepala daerah melalui DPRD, memiliki potensi konflik yang besar. Sebab dalam peraturannya, parpol yang berada didalamnya dapat melakukan lobi politik yang dapat berpotensi pada kecemburuan antar parpol yang menyebabkan “kerusuhan” politik di DPRD. Sebab dalam sistem ini, hukum alam akan berlaku, artinya partai yang memiliki jumlah suara yang besar dan didukung oleh lobi partai, akan memenangkan calon yang mereka ajukan.

Terlalu banyaknya kompromi politik di DPRD, karena partai politik dapat melakukan hal yang sesuai dengan kehendak mereka, yang akhirnya menimbulkan ketidakpuasan dari masyarakat melihat mekanisme yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Konflik yang lain adalah konflik antar pendukung calon yang tidak puas dengan kekalahan calon kepala daerahnya, dan berpotensi konflik dengan pendukung calon yang lain. Inilah yang kemudian coba diminimalisir dengan dibuat aturan mengenai pelaksanaan pilkada langsung yang diharapkan memberikan keterbukan kepada masyarakat guna menyalurkan aspirasi yang mereka kehendaki.

Pasca berakhirnya prinsip otonomi daerah berdasarkan UU no 22 tahun 1999, masyarakat mengalami yang dinamakan dengan dengan eforia otonomi daerah dengan dibuatnya suatu konsep pilkada langsung guna memilih kepala daerah dengan menggunakan azas keterbukaan masyarakat. Seperti dijelaskan diawal bahwa pilkada akan menimbulkan kompetisi politik, tidak lupa dengan pilkada langsung yang didalamnya terkandung kompetisi yang lebih terbuka dari masing-masing pasangan calon. Dan ini yang kemudian besarnya harapan masyarakat terhadap makin besarnya peran mereka dalam proses pilkada langsung tersebut.

Namun di balik eforia pilkada langsung dewasa ini, ada masalah lain yang dapat membuat agenda politik lokal ini paradoks, yakni potensi konflik yang dikandungnya. Potensi konflik jelas menjadi salah satu pekerjaan rumah seluruh perencana dan penyelenggara Pilkada langsung. Kalau tidak diantisipasi baik sejak dini, Pilkada nanti bakal menimbulkan konflik politik yang tidak hanya merugikan kepentingan rakyat, tetapi juga merusak benih-benih demokrasi di tingkat lokal. Jika diidentifikasi secara mendalam, maka ada beberapa permasalahan yang menjadi potensi timbulnya konflik politik dalam era pilkada langsung.

Pertama, dalam peraturan UU no 32 tahun 2004 mengenai pilkada langsung, menutup kemungkinan adanya calon independen dalam proses tersebut. Karena partai diberikan otoritas yang penuh sebagai sarana calon untuk menuju kursi kepala daerah. Hal ini sangat berpotensi menimbulkan konflik, karena di daerah memiliki sosok figur yang mereka sukai dan figur itu merupakan non-partai.

Kedua, besarnya ambisi partai politik untuk mencalonkan seseorang menjadi kepala daerah menyebabkan tidak diperhatikannya polarisasi politik yang ada dalam arus politik daerah. Ini yang kemudian menimbulkan konflik terhadap kutub politik yang tidak bisa diakomodir, yang seharusnya pencalonan kandidat calon harus memperhatikan kekuatan politk dan sosial yang ada di masyarakat bersangkutan.

Ketiga, pelaksanaan pilkada langsung memang dilaksanakan oleh KPUD dengan tanggung jawab langsung kepada DPRD. Ini yang kemudian membuka peluang adanya intervensi dari partai politik kepada KPUD melalui lembaga DPRD (didalamnya terdapat partai politik). Peran besar dari legislatif lokal ini jelas menjadi faktor distortif bagi Pilkada langsung.

Keempat, potensi konflik pasca Pilkada langsung juga tak kalah krusialnya. Jika potensi-potensi konflik di atas tak bisa diantisipasi dan dimenej dengan baik, maka bakal memicu konflik pasca pelaksanaan Pilkada. Konflik pasca Pilkada juga dimungkinkan, jika terjadi kecurangan dalam proses pemilihan tanpa penyelesaian hukum yang adil, misalnya, menggunakan politik uang. Aturan yang termaktub dalam UU Pilkadal seolah membuka peluang terjadinya persaingan politik uang di antara para kontestan. Hal ini jelas menimbulkan kecemburuan di kalangan kontestan yang "miskin".



Kesimpulan

Berjalannya era reformasi didalamnya memiliki potensi konflik dalam Pilkada jelas sangat menganggu proses penguatan demokrasi, tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga nasional. Potensi konflik itu bukan karena ketidaksiapan masyarakat, tetapi karena tidak utuhnya penerapan sistem demokrasi lokal, terutama yang disebabkan lemahnya aturan pelaksanaannya. Jika potensi konflik dalam Pilkada tidak minimalisir, bukan tidak mungkin proses demokrasi ditingkat lokal akan berjalan lamban. Karena kita tahu bahwa kehidupan yang demokratis yaitu kehidupan yang dimana masyarakatnya memiliki kebebasan untuk merumuskan kecenderungan politik mereka melalui jalur perserikatan atau perkumpulan, yang didalamnya memiliki kompetensi yang sehat dan berjalan damai.

Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalam konteks Pilkada adalah meminimalisir potensi-potensi konflik, baik yang terkandung dalam aturan main seperti UU No 22/1999 dan UU No 32/2004 dan tentang Pilkada, maupun kendala sosial yang masih membelenggu. Agenda ini harus sejalan dengan pembangunan bertahap budaya politik demokratis, ini bukan suatu pandangan yang merendahkan terhadap perilaku masyarakat politik tertentu, tetapi lebih disebabkan sistem yang kini terbangun lewat berbagai aturan main masih berpotensi memicu munculnya budaya anti-demokrasi.

Pilkada langsung merupakan salah satu kemajuan terbesar dalam reformasi politik di Indonesia. Pilkada nanti merupakan perjuangan rakyat Indonesia terhadap demokrasi langsung setelah pilpres 2004. Tetapi di balik itu, kita juga harus waspada terhadap potensi-potensi yang bisa menyebabkan agenda politik lokal berbalik arah, hanya karena ketidakmampuan dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya.





DAFTAR PUTAKA


Dwipayana, Ari. 2005, “Pilkada Langsung dan Otonomi Daerah”, dalam http://www.plod.ugm.ac.id/makalah/pilkadal_dan_otoda.htm

Huda, Ni’matul. 2005, Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Manan, Bagir. 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH FH-UII, Yogyakarta.

Nurhasim, Moch. Dhurorudin, Mashad Heru Cahyono, Irine Hiraswari Gayatri, Syafuan Rozi, Tri Ratnawati. 2005, Konflik Antar Elite Politik Lokal dalam Pemilihan Kepala Daerah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Rozaki dkk, Abdur. 2005, Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, IRE Press, Yogyakarta.

Tim IRE. 2002, Annual Report 2001-2002 Desentralisasi dan Demokrasi Lokal, IRE Press, Yogyakarta.


SAINS, AGAMA DAN KEYAKINAN



Makna sains di sini tidak hanya sekedar keilmuan dalam lingkup akademis, tetapi mencakup pengetahuan yang tersistemasikan dalam alam pemikiran manusia tentang berbagai hal yang bisa diukur dengan data-data kualitatif dan kuantitatif. Jadi sains akan lebih meluas maknanya dan fungsinya dalam perilaku manusia dalam mengelola kehidupan dunia ini. Dengan kata lain, barangkali sains merupakan amanat Tuhan yang diemban oleh manusia sebagai khalifatullah di muka bumi ini. Menurut Sahirul Alim, sains menjadi salah satu persoalan yang dipelajari manusia, di samping syariat agama, teknologi dan seni.[1] Sehingga mau tidak mau, manusia muslim harus berilmu dan beramal untuk kepentingannya sendiri dalam lingkup interaksi Ketuhanan dan kemanusiaan.

Al-Quran secara baik merekam bahwa sains itu sudah seusia manusia sendiri dan begitu juga dengan agama, terlepas dalam motif dan nalar apa manusia beragama. Ketika Tuhan menciptakan Adam sebagai manusia pertama, maka Tuhan juga memberikan seperangkat persepsi keilmuan untuk tugas-tugas fungsional kemanusiaan. Dalam hal ini berarti Tuhan tidak membiarkan manusia (Adam) “tersesat jalan” dalam mengaplikasikan kehendak Tuhan dalam menata konsep diri dan alam semesta. Ada tugas (atau penugasan) berarti pula ada term of reference yang menjadi acuan dan rujukan dalam menjalankan tugas tersebut secara baik dan benar. Dan Adam sudah diberikan Tuhan seperti itu. Karena itu, Adam secara sadar akan terus menampakkan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang “cerdas”, dibandingkan dengan ciptaan-Nya yang lainnya. Dalam penampakan sebagai makhluk cerdas ini, Adam (baca: manusia) tentunya akan berdialektika dan berinteraksi dengan realitas kealaman sebagai bentuk wujud dari eksistensi Tuhan.

Maka tradisi Adam itu diwariskan juga kepada para nabi-Nya, agar kesinambungan kekhalifahan itu tidak mandeg. Namun Tuhan hanya memberikan ilmu kepada manusia (khususnya) sangatlah sedikit. Karena itu pembacaan manusia terhadap ilmu Tuhan itu berarti “Ilmu Tuhan itu tidak terhingga” dan “Ilmu makhluk sedikit tidak terhingga”. Dengan pembacaan yang seperti ini, menggambarkan bahwa manusia itu sesungguhnya sangat bodoh[2] dan tidak mempunyai citra kecerdasan, bila tidak mau dan mampu membangun interaksi dengan Tuhan, sesamanya dan alam semesta. Keterbodohan ini akan semakin meningkat, ketika manusia justru melawan Tuhan dan menanggalkan peran kekhalifahannya itu.[3] Dengan demikian, manusia tidak layak menyandang gelar kebodohan, kalau ia masih ingin eksis dalam kediriannya.

Dalam kesedikitan ilmu Tuhan itu, Tuhan tidak membiarkan manusia tetap dalam kebodohannya dan berada dalam gua kediriannya yang mencerminkan ketertutupan fitrahnya. Tuhan memberikan ciptaan-Nya yang terhampar luas dalam dunia kasat mata, termasuk diri manusia itu sendiri. Karena itu, Nabi Muhammad diperintahkan untuk iqra` dalam proses pewahyuan kepadanya. Perintah iqra` ini bermakna sangat luas, karena obyek iqra` ini tidak hanya apa yang tertulis (teks), tetapi mencakup realitas keghaiban, realitas sosial sebagai perwujudan eksistensi kedirian makhluk-Nya.

Karena itu menjadi tugas manusia untuk meng-iqra`-i Tuhan dengan semua ciptaan-Nya, termasuk diri manusia itu sendiri. Tuhan memberikan cara dalam membimbing manusia untuk iqra` ini supaya ke-Ghaiban Tuhan dan realitas makhluk-Nya di dunia ini bisa terjelaskan dalam kesadaran kosmis manusia. Adapun cara itu adalah melalui wahyu (wahyu tertulis yang terdiri dari Al-Quran dan hadits Nabi) dan fenomena alam semesta (Al-Kaun).

Wahyu tertulis memuat beberapa konsep dan bahasa serta kalam Tuhan dalam berbagai hal yang menyangkut syariat, muamalah, akidah, akhlak, maupun kehendak Tuhan yang tidak berkaitan dengan “kewajiban” terhadap manusia yang terkodifikasikan dalam Al-Quran maupun sunnah-sunnah Nabi. Tuhan membicarakan diri-Nya juga dalam wahyu tertulis ini. Maka, manusia yang mengimani-Nya harus membaca dan menangkap secara substansial dan literal dari wahyu tertulis ini.

Sedangkan Al-Kaun lebih luas dan meluas dalam pemahamannya, bahkan cenderung tak terbataskan dalam pembacaan terhadap lembarannya. Al-Kaun akan memperkuat wahyu tertulis untuk membentuk manusia yang kaffah sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Quran sendiri. Al-Kaun juga banyak dibicarakan dalam Al-Quran, sehingga dapat dikatakan bahwa keduanya menjadi dua sumbu yang mengantarkan akan eksistensi hakiki Tuhan dan ketundukan dalam keterbatasan ciptaan-Nya, terutama sekali manusia, yang diberi amanat sebagai khalifah dan diberikan sebuaah kitab suci untuk selalu membangun interaksi dengan Tuhan dan makhluk-Nya itu.

Untuk membaca Al-Kaun ini, Tuhan memberikan potensi yang lebih baik, yakni akal. Dalam pemikiran Sahirul Alim, akal ini menjadi anugerah Tuhan yang sangat berharga, sehingga manusia mampu berfikir kritias dan logis. Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW membawa sifat memuliakan sekaligus mengaktifklan kerja akal serta menuntunnya ke arah pemikiran Islam yang rahmatan lil alamin. Maka Islam menempatkan akal sebagai perangkat untuk memperkuat basis pengetahuan tentang keislaman seseorang sehingga ia mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mampu membuat pilihan yang terbaik bagi dirinya dan agamanya, serta mampu membuat argumen yang rasional tentang keberagamaan dan keyakinan-keyakinanya. Dengan begitu, maka segala putusan dan perilaku yang dilaksanakannnya merupakan artikulasi dari nilai-nilai keislaman dan pertimbangan rasional yang matang, yang sudah terinternalisasikan dari dalam pribadinya. Di samping akal, juga ada karunia kemampuan lainnya, seperti kognitif, emosif dan afektif dan kemampuan jasmani (panca indera).[4]

Akal akan membantu dan menyeimbangkan kesadaran dan aksi pembacaan terhadap ilmu-ilmu Tuhan yang tidak tersimbolkan dalam wahyu tertulis. Akal akan mengurai dan menganatomi hakikat dan makna terdalam yang ditulis oleh Tuhan dengan bahasa alam (Al-Kaun). Tetapi, akal tidak juga secara bebas dalam menjustifikasi kebenaran tentang makhluk-Nya. Keimanan menjadi kunci pokok untuk kesempurnaan pemahaman dan pembacaan terhadap segala sesuatu yang disediakan oleh Tuhan untuk kepentingan manusia, baik dalam kapasitasnya sebagai khalifah maupun hamba-Nya.

Karena itu, keimanan dan akal akan melahirkan kemampuan ganda, yakni kemampuan membangun hablum min Allah dan kemampuan mengartikulasikan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan di dunia ini, yang tentunya dengan seperangkat pemahaman yang benar.

Tentang Wujud Materi dalam Sains

Ketika anda melihat ke luar jendela, anda berpikir bahwa anda melihat sebuah citra dengan kedua mata anda, demikianlah yg diajarkan kita selama ini. Sesungguhnya, bukan begitu cara kerjanya. Anda tidak melihat dunia ini dengan kedua mata anda, tetapi anda melihat citra yang tercipta dalam otak anda. Ini bukan sebuah perkiraan, spekulasi filosofis, melainkan kebenaran ilmiah.

Setiap orang sepanjang hidupnya menyaksikan segala hal di dalam otaknya dan tidak dapat menjangkau benda-benda material tertentu yang dianggap mengakibatkan apa yang dialaminya. Citra-citra yang kita lihat adalah salinan di dalam otak kita dari benda-benda yang kita asumsikan ada di luar diri kita. Kita tidak pernah tahu sebatas manakah salinan-salinan tadi sesuai dengan wujud aslinya, atau apakah wujud aslinya itu sendiri memang ada atau tidak. Pernahkah kita berpikir apa yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan itu sama dengan apa yang di lihat, didengar, dan dirasakan oleh orang lain? Wallahu’alam

Apa yang ada di depan kita dengan bentuknya yang utuh dan apa yang dipandang oleh mata kita bukanlah ”dunia” ini. Ia hanyalah bayangannya saja, suatu penyerupaan, sebuah proyeksi yang hubungannya dengan wujud aslinya masih terbuka untuk diperdebatkan.

Terkait dengan persoalan ini, maka ketika ada yang mempertanyakan wujud Allah yang tidak ”nyata” atau tidak ”nampak” sebenarnya masih dapat diperdebatkan. Karena apa yang kita lihat dan kita pegang pun sebenarnya masih bersifat asumsi bahwa benda itu memang ada dan berbentuk seperti ”itu”, dan asumsi ini berdasarkan citra yang terbayang dalam otak kita. Oleh karena itu betapa banyaknya ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk ”membaca”, berpikir, merenungkan tentang semua ciptaan Allah ketika seorang mahluk hendak mengetahui dan mengenal ’wujud’ Tuhannya.

Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir. (Yunus: 24)

Untuk permasalahan ini, Allah menjawabnya dalam Al-Qur’an bahwa keberadaan Allah sangat dekat dengan hamba-Nya seperti yg diterangkan dalam surat berikut ini:

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Al-Baqarah: 186)

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya (Al-Qaaf: 16)

Sistem Keyakinan dalam Islam

Keyakinan merupakan dasar dari setiap gerak dan aktivitas hidup manusia. Karena itu manusia secara fitri membutuhkan keyakinan hidup yang dapat menjadi pegangan dan sandaran bagi dirinya. Tiap-tiap sistem keyakinan memiliki konsepsi tersendiri dalam mengantarkan pengikutnya pada pemahaman dan kepercayaan terhadap tuhan. Pertama, sistem keyakinan yang obyeknya didasarkan pada sesuatu yang nyata. Kebenaran diukur melalui indera dan pengalaman. Sistem ini disebut kebenaran ilmiah. Secara filosofis kebenaran ilmiah memiliki kelemahan karena tidak dapat menjelaskan sisi kehidupan yang berada di luar pengalaman inderawinya. Salah satu di antaranya adalah mengenai Tuhan. Tuhan tak dapat diyakini keberadaannya lewat bantuan sistem keyakinan ilmiah.

Kedua, sistem keyakinan yang didasarkan pada doktrin literal. Pada dasarnya, sistem keyakinan literal mengingkari arti pentingnya akal sebagai sarana verifikasi kebenaran. Baginya, kebenaran adalah sesuatu yang sudah jadi secara sempurna dan harus diterima tanpa perlu menyadarinya terlebih dahulu. Akibat sistem keyakinan literal, manusia potensial melarikan diri dari kenyataan dan tantangan zaman setelah telanjur mendikotomi antara doktrin ketundukan pada ayat suci dengan peran-peran peradaban manusia.

Islam mengajarkan sistem keyakinan yang disebut Tauhid. Tauhid berbeda dengan dua sistem keyakinan di atas karena cara pandangnya terhadap eksistensi (wujud). Tauhid merupakan konsepsi sistem keyakinan yang mengajarkan bahwa Allah SWT adalah zat Yang Maha Esa, sebab dari segala sebab dalam rantai kausalitas. Ajaran Tauhid membenarkan bahwa manusia dibekali fitrah yaitu suatu potensi alamiah berupa akal sebagai bekal untuk memilih sikap yang paling tepat serta untuk mengenali dan memverifikasi kebenaran dan kesalahan (haq dan bathil) secara sadar.

Pada sistem keyakinan lainnya, “Yang Maha” atau yang dirumuskan sebagai Tuhan, hanya dijelaskan berdasarkan persepsi dan alam pikir manusia sendiri. Sedangkan dalam konsepsi Tauhid, selain pencarian akal manusia sendiri sebagai alat mendekati kebenaran mutlak, juga melalui wahyu di mana Tuhan menyatakan dan menjelaskan diri-Nya kepada manusia. Jadi, Tauhid memberi tuntunan berupa wahyu Allah melalui para nabi. Tauhid merupakan inti ajaran yang disampaikan pada seluruh manusia di setiap zaman. Ini berarti bahwa ajaran Tauhid adalah ajaran universal.


[1] Sahirul Alim, Sains, Teknologi, dan Islam, Yogyakarta: Dinamika, 1996, hlm. 85.

[2] Bodoh di sini tidak berarti tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun. Tetapi kebodohan yang menunjukkan ketidakmampuan yang bersangkutan untuk menangkap sinyal-sinyal Ke-Tuhanan dan pesan-pesan Tuhan dalam bahasa manusia dan kebumian.

[3] Ada seorang sufi yang membagi manusia menjadi empat macam, yakni (1) manusia yang mengerti dan dia mengetahui kalau dirinya itu berpengetahuan; (2) manusia yang mengerti dan dia tidak mengetahui kalau dirinya itu berpengetahuan; (3) manusia yang tidak mengerti dan dia tidak mengetahui kalau dirinya itu memang tidak berpengetahuan; (4) manusia yang tidak mengerti dan dia mengetahui kalau dirinya itu memang tidak mengerti.

[4] Sahirul Alim, Sains, …hlm. 60.

Cinta dalam Tinjauan Analisis Interaksi Simbolik



Fenomena remaja soal cinta sudah bukan menjadi hal yang tabu untuk diperbincangkan dalam ruang-ruang publik. Ini sudah bukan lagi jaman Siti Nurbaya yang mengharuskan adanya tembok-tembok tabu yang membatasi perbincangan seputar cinta. Tak heran juga ketika berpacaran menjadi hal yang wajar. Bahkan saat ini menjadi sebuah ketidakwajaran apabila ada orang yang tidak pernah mengenal cinta di masa remaja. Dalam tulisan kali ini saya mencoba membahas fenomena seputar kehidupan remaja, khususnya tentang percintaan remaja dengan menggunakan analisis interaksi simbolik.

Ketika remaja mulai tertarik dengan lawan jenis, tentu bermacam sikap atau reaksi yang ditunjukkannya. Ada yang dengan agresif menujukkan rasa ketertarikannya, namun ada pula yang dengan jurus diam seribu bahasanya. Dengan berbagai kondisi yang ditunjukkan ini menimbulkan makna cinta yang bermacam-macam sesuai pengalaman subyektif dari masing-masing individu.

Berdasarkan pandangan interaksi simbolik, persoalan mengenai kehidupan sosial manusia pada hakikatnya tidak dapat diabaikan dari sebuah jalinan interaksi sosial yang menopangnya. Bagaimanapun, sebuah kehidupan sosial atau sebuah masyarakat terbentuk dan terpelihara, sesungguhnya menyiratkan kerja-kerja individual manusia yang secara sosial terlibat dalam proses pembentukan realitas di luar dirinya. Begitupun halnya dengan makna cinta dalam kehidupan remaja.

Individu-individu yang beranekaragam dalam melakukan aktivitas secara kolektif (sosial), tentunya meniscayakan adanya pertukaran simbol. Sementara simbol itu sendiri sarat dengan muatan makna. Oleh karena itu, setiap individu pada dasarnya senantiasa melakukan proses pendefinisian situasi, menafsirkan realitas di luar dirinya yang penuh dengan simbol. Misalnya ketika seorang remaja hendak menyampaikan rasa cinta yang ia miliki kepada orang lain, ini melalui proses interaksi simbolik.

Ketika seseorang memaknai perasaannya bahwa ia cinta pada seseorang, makna itu bersifat arbitrer atau sembarang. Makna cinta itu hanya pada pikirannya saja. Yang perlu dicatat adalah bahwa makna dari simbol “cinta” yang perlu diinteraksikan kepada pihak lain itu memerlukan pemahaman makna bersama. Begitupun saat seorang individu merasakan bahwa orang yang dia cinta itu memberikan respon berupa simbol yang ia yakini sebagai makna “cinta” terhadapnya, pada dasarnya itu pun belum dapat dikatakan keduanya punya satu persepsi atau kesepahaman tentang “cinta” yang ia sampaikan.

Sebuah makna simbol dapat diinterpretasikan perdasarkan penilaian orang lain. Namun jika simbol itu ingin disampaikan pada orang yang kita anggap menyampaikan makna yang sama pada kita, maka kita pun harus mengkomunikasikannya. Jadi makana “aku cinta” harus di sampaikan secara bahasa, tidak hanya ditampilakan menggunakan simbol-simbol non verbal semata. Kesimpulannya jika seseorang ingin agar perasaan cintanya diterima dan diketahui oleh orang lain, maka dia harus menyampaikannya secara langsung agar makna tersebut tidak hanya makna subjektif, namun telah menjadi makna sosial.

POTRET POLITISASI BIROKRASI




PENDAHULUAN

Dalam sebuah Negara, birokrasi diperlukan sebagai alat Negara dalam penyelenggaraan negara dan melayani masyarakat. Negara tercipta atas kontrak sosial yang menghendaki terciptanya kesejahteraan bagi rakyatnya. Untuk melayani kepentingan rakyat inilah, Negara memerlukan sebuah unit pemerintahan atau yang dikenal dengan birokrasi.

Dalam kehidupan berbagai negara bangsa di berbagai belahan dunia, birokrasi berkembang sebagai wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Birokrasi bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional, efektif, dan efisisen. Oleh sebab itu, disadari bahwa birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih atau clean government dalam keseluruan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good governance).

Penyelenggaraan pemerintahan di setiap Negara dalam menjalankan fungsinya melayani kepentingan masyarakat selalu berbeda tergantung pengaruh pengalaman sejarahnya serta kondisi sosial politik Negara tersebut. Negara yang pernah mengalami masa kolonialisme pasti pada awal terbentuknya Negara memiliki corak birokrasi warisan kolonial. Begitu juga halnya dengan Indonesia.

Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara.

Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan misi utama birokrasi yang dibangun oleh kolonial adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu.

Indonesia mengalami masa penjajahan yang begitu lama. Dimulai dari kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol. Kemudian disusul oleh bangsa Belanda yang menjajah negeri ini hingga kurang lebih 350 tahun lamanya. Kemudian terakhir, Indonesia dijajah oleh Jepang. Begitu lamanya Belanda menjajah bangsa ini, membuat segala corak sistem pemerintahan di Indonesia dipengaruhi oleh gaya pemerintahan jaman kolonial Belanda.

Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal dan absolute. Segala keputusan ada di tangan raja dan semua masyarakat harus patuh dan tunduk pada kehendak sang Raja. Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi kerajaan, yang memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
1. Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi;
2. Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana;
3. Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja;
4. “Gaji” dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja;
5. Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehndak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya dilakukan oleh raja.

Sedangkan pada masa kolonial Belanda, pelayanan publik tidak terlepas dari sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan penguasa kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan adminitrasi pemerintahan yang berlaku di Indonesia.

Sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah nusantara baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat, motif utamanya adalah menanamkan pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan. Selama pemerintahan kolonial terjadi dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem administrasi kolonial (binnenlandcshe Bestuur) yang mengenalkan sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain, sistem tradisional ( Inheemsche Bestuur ) masih tetap dipertahankan.

Sejarah bangsa ini pada jaman pra kemerdekaan begitu diliputi oleh praktek penjajahan dan otoritarianisme. Kondisi ini memberikan warna bagi dinamika birokrasi di Indonesia pasca kemerdekaan. Lantas bagaimanakah dinamika birokrasi di Indonesia sejak masa awal pasca kemerdekaan, yaitu sejak orde lama hingga jaman reformasi saat ini? Kemudian bagaimana kaitan antara penyelenggaraan birokrasi dengan praktek-praktek politik pada masa-masa tersebut ? Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai perkembangan atau dinamika penyelenggaraan birokrasi di Indonesia pasca kemerdekaan hingga reformasi serta hubungannya dengan praktek politik yang terjadi.


PEMBAHASAN

A. Birokrasi masa Orde Lama

Setelah memperoleh kemerdekaan, Negara ini berusaha mencari format pemerintahan yang cocok untuk kondisi saat itu. Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan–perbedaan pandangan yang terjadi di antara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan.

Pada masa awal kemerdekaan, Negara ini mengalami perubahan bentuk Negara, dan ini yang berimplikasi pada pengaturan aparatur Negara atau birokrasi. Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.

Selain perubahan bentuk Negara, berganti-gantinya kabinet mempengaruhi jalannya kinerja pemerintah. Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Kinerja birokrasi sangat ditentukan oleh kekuatan politik yang berkuasa pada saat itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen.

Dalam memandang model birokrasi yang terjadi seperti ini, Karl D Jackson menyebutnya sebagai bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Jika melihat peta politik pada masa orde lama, peran seorang presiden sangat dominan dalam mengatur segala kebijakan baik dari tingkat daerah hingga pusat terkendali di tangan seorang Presiden. Sistem ini dikenal sebagai sistem demokrasi terpimpin.

Dalam tataran kinerja birokrasi di bawahnya, segala program departemen yang tidak sesuai dengan garis kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah dihapuskan oleh menteri baru yang menduduki suatu departemen. Birokrasi pada masa itu benar-benar mengalami politisasi sebagai instrumen politik yang berkuasa atau berpengaruh. Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birkrasi menjadi tidak professional dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak berdasarkan merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.

Kekuatan politik pada saat itu yang ada adalah Sokarno sebagai seorang Presiden berikut kekuatan pendukungnya, PKI, dan TNI. Namun kekuatan politik terbesar ada pada presiden serta PKI sebagai partai terbesar setelah PNI. Tak heran jika untuk memperkuat posisi kekuasaan presiden, Soekarno “memelihara” PKI sebagai kekuatan pendukung. Untuk dapat mengontrol rakyat yang kritis dan dianggap membahayakan, dibentuklah serikat-serikat atau organisasi yang berbasiskan profesi, atau perkumpulan lainnya yang bertujuan sebaai penampung aspirasi mereka.

Menurut Bahtiar Effendy (dalam Maliki, 2000: xxvii), sejak Indonesia mempunyai perangkat birokrasi, sulit rasanya menemukan suatu periode pemerintahan yang memperlakukan birokrasi sebagai institusi yang bebas dari politik. Baik pada masa demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dan periode transisional sesudahnya, interplay antara politik dan birokrasi merupakan sesuatu yang jelas adanya. Pada masa Demokrasi Parlementer dan terpimpin misalnya, adanya politisasi birokrasi bisa dilihat dari adanya anggapan bahwa Kementrian Pendidikan diasosiasikan dengan PNI. Sementara itu, Kementrian Agama dikaitkan dengan dengan kekuatan politik Masyumi atau NU.

Dari penjelasan tersebut, bisa diartikan bahwa pada masa Orde Lama, birokrasi cenderung terbelah menjadi faksi-faksi dan mesin politik bagi partai-partai politik, seperti PNI, NU, PKI, dan lainnya. Kebijakan yang diturunkan pada birokrasi di tingkat bawah ditentukan oleh partai apa yan berkuasa. Maka tidak heran jika sebuah kebijakan tidak dapat dilaksanakan hingga tuntas, dikarenakan pergantian kabinet.

B. Birokrasi Masa Orde Baru

Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, urusan yang berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efesien.

Melihat realitas birokrasi di Indonesia, sedikit berbeda dengan pendapat Karl D. Jackson, Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang menyebutnya sebagai birokrasi patrimonial dengan ciri-cirinya adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.

Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau bahkan dihegemoni oleh Golkar dan ABRI. Kedua kekuatan ini telah menciptakan kehidupan politik yang tidak sehat. Hal itu bisa dilihat adanya hegemonic party system diistilahkan oleh Afan Gaffar (1999). Sedangkan menurut William Liddle, kekuasaan orde baru terdiri dari (1) kantor kepresidenan yang kuat, (2) militer yang aktif berpolitik, dan (3) birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan (dalam Maliki, 2000: xxiii) .

Sistem birokrasi yang berlaku di Indonesia pada masa orde baru tidak dapat dilepaskan dari sejarah masa lalu dalam pemerintahan kerajaan, pemerintahan kolonial dan pemerintahan Orde Lama. Masing-masing tahap tersebut membawa corak birokrasi sendiri. Dalam zaman kerajaan dimana feodalisme menjadi landasan birokrasi maka dituntut kesetiaan dan kepatuhan sepenuhnya terhadap raja dan para punggawa kerajaan, sebagai kelompok elit pemerintahan.

Kepatuhan harus diwujudkan dengan melaksanakan segala peraturan dan perintah kerajaan dan tidak untuk mempertimbangkan untung rugi dan dampaknya. Sikap atau perilaku yang demikian dibarengi dengan timbulnya perasaan dan kepercayaan rakyat bahwa pihak kerajaan akan melindungi para kawula dari segala macam gangguan dan ancaman. Timbullah hubungan ketergantungan, pelindung dan yang dilindungi. Hubungan demikian oleh James Scott dikategorikan sebagai "patronclient relationship" (dalam Ismani, 2001: 35). Dalam birokrasi timbul hubungan "bapak-anak buah” secara khusus sebagaimana berlaku di Indonesia setelah kemerdekaan.

Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia pada jaman orde baru sebagai birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan.

Birokrasi model Parkinson ini menjelaskan fenomena birokrasi dimana setiap organisasi birokrasi memerlukan dua sifat dasar, yaitu setiap pejabat Negara berkeinginan untuk meningkatkan jumlah bawahannya dan mereka saling memberi kerja yang tidak perlu. Akibatnya, birokrasi cenderung meningkatkan terus jumlah pegawainya tanpa memperhatikan tugas-tugas yang harus mereka lakukan. Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di Indonesia adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisein dan mempunyai pegawai birokrat yang makin membengkak.

Birokrasi Indonesia saat ini tidak bisa terlepas dari faktor sejarah. Sejarah telah menciptakan birokrasi patrimonial. Birokrasi ini mendasarkan pada hubungan bapak buah dengan anak buah (patron client) sehingga segala yang dikerjakan bawahan hendaknya harus sesuai dengan keinginan atasan. Hal ini menimbulkan bawahan selalu tergantung pada atasan. Budaya patronase menimbulkan rasa ewuh pakewuh yang berlebihan terhadap atasan.

Pada masa orde baru ini terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi diarahkan sebagai instrument politik kekuasaan Soeharto pada saat itu. Seperti dalam pandangan William Liddle, bahwa Soeharto sebagai politisi yang mempunyai otonomi relatif, merupakan pelaku utama transformasi—meskipun tidak penuh—model pemerintahan yang bersifat pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi. Birokrasi dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung Soeharto dalam setiap Pemilu. Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar. Meskipun pada awalnya, Golkar tidak ingin disebut sebagai partai, tetapi hanya sebagai golongan kekaryaan. Namun permasalahannya, Golkar merupakan kontestan Pemilu dan itu berarti dia adalah partai politik.

Pegawai negeri yang menjadi pengurus partai selain Golkar, maka dia akan tersingkirkan dari jajaran birokrasi. Selain itu, orang atau sekelompok orang yang tidak berpihak pada Golkar, maka bisa dipastikan akan mendapat perlakuan diskriminatif dalam birokrasi. Jika suatu wilayah tidak merupakan basis Golkar, maka pembangunan akan sangat tertinggal karena pemerintah lebih mengutamakan daerah yang merupakan basis Golkar. Keberpihakan birokrasi terhadap suatu partai, tentu saja dalam hal ini Golkar, akan mengurangi profesionalisme dari birokrasi tersebut. Singkatnya, birokrasi wajib mendukung Golkar sebagai partai pemerintah. Begitu juga dengan kekuatan militer sebagai pendukung pemerintahan pada saat itu. Pada situasi seperti itu, jelas bahwa birokrasi, militer, dan partai politik tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya.

Dukungan yang diberikan oleh PNS atau birokrasi tidak hanya sampai di situ. Anggota keluarga dari pegawai pemerintah pun harus turut mendukung Golkar. Oleh sebab itulah Golkar selalu menang dalam setiap Pemilu, karena jumlah pegawai negeri di Indonesia sangat banyak jumlahnya, belum ditambah lagi dengan anggota keluarganya. Keterlibatan birokrasi dalam partai politik membuat pelayanan terhadap masyarakat menjadi diabaikan, karena mereka lebih mementingkan kepentingan partai politiknya.

Hampir semua orang tahu bahwa birokrasi Negara—dalam pengertian ini termasuk ABRI—sesungguhnya sudah lama mengambil alih peran partai politik dan Golkar, baik dalam perumusan kebijakan maupun proses politik pada umumnya. Karena itu, perlakuan khusus bagi birokrasi dengan menciptakan fraksi tersendiri bagi mereka di DPR akan mempertajam ketimpangan kekuasaan antara unsur-unsur masyarakat yang tak berdaya dan negara yang kekuasaannya sudah berlebih.

Struktur DPR sejak Pemilu 1971 sebenarnya sudah didominasi oleh unsur-unsur birokrasi negara, baik itu anggota Korpri maupun ABRI, sebagian anggota Fraksi Karya Pembanguan (F-KP) di DPR dan DPRD. Sehingga tak berlebihan untuk mengatakan bahwa dalam praktek, F-KP dan F-ABRI adalah "fraksi birokrasi" yang lebih melayani kepentingan birokrasi ketimbang aspirasi masyarakat.

Dalam zaman orde baru juga ada suatu kebijakan yang disebut zero growth. Adanya kebijakan zero growth yang menyebabkan jumlah anggota birokrasi makin membengkak. Hal ini menjadikan birokrasi tidak efisien karena jumlah pekerja dengan pekerjaannya tidak sebanding, inilah yang dimaksud birokrasi Parkinson dan Orwell.

Pada masa orde baru, pemerintahan yang baik belum terlaksana. Misalnya saja dalam pelayanan dan pengurusuan administrasi masih saja berbelit-belit dan memerlukan waktu yang lama. Membutuhkan biaya tinggi karena ada pungutan-pungutan liar. Pembangunan fisik pun juga masih sering terbengkalai atau lamban dalam perbaikan. Masih banyak KKN yang terjadi dalam lingkungan birokrasi khususnya dalam sektor pelayanan publik, hal ini seperti yang dilaporkan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) pada tahun 2000[1].

Hasil penelitian dari PERC (Political and Economic Risk Consultancy, 2000) yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi; dan 9,09 untuk kroniisme diantara negara-negara Asia, dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk. Hasil penelitian tersebut, menempatkan Indonesia pada peringkat bawah atau tergolong pada negara dengan tingkat korupsi yang sangat parah. Selain itu, menurut penelitian tersebut, masalah korupsi juga terkait erat dengan birokrasi. Dalam hubungan ini birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk. Di tahun 2000 Indonesia memperoleh skor 8 (yaitu kisaran skor nol untuk terbaik dan 10 untuk yang terburuk) yang berarti jauh dibawah rata-rata kualitas birokrasi di negara-negara Asia.

Terpuruknya Indonesia dalam kategori korupsi dan birokrasi, juga dilengkapi dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh PERC (2001) dan Price Water House Cooper (2001) tentang ranking negara-negara Asia dalam implementasi good governance. Indonesia menempati ranking/urutan ke 89 dari 91 negara yang disurvei; dan dari sisi competitiveness Indonesia menempati urutan ke-49 dari 49 negara yang diteliti. Berbagai fenomena dan sejarah perkembangan korupsi di Indonesia tersebut menunjukkan adanya kaitan erat antara KKN dengan perilaku kekuasaan dan birokrasi yang melakukan penyimpangan.

Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara yang bertujuan untuk mendukung penetarsinya ke dalam masyarakat, sekaligus dalam rangka mengontrol publik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam mengatur system perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional non-ideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap hilangnya pluralitas sosial, politik maupun budaya. Reformasi birokrasi yang dilakukan pada masa orde baru bersifat semu. Birokrasi diarahkan pada :
1. Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki birokrasi.
2. Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat.
3. Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah.

Birokrasi dalam pemrintahan Orde Baru merupakan sebuah instrumen politik yang sangat efektif dalam memobilisasi massa demi memelihara format politik orde baru. Adapun wujudnya dapat berupa: pertama, dukungan langsung kepada Golkar pada setiap Pemilu; kedua, birokrasi terlibat secara langsung dalam proses pemenangan Golkar pada Pemilu; ketiga, birokrasi merupakan penyedia dana bagi usaha pemenangan Golkar dalam setiap Pemilu (Afan Gaffar, 1999).

Tidak dapat disangkal lagi bahwa masa orde baru, peran birokrasi di bidang politik sangat menonjol. Di lain pihak, peran partai politik dan parlemen lemah. Sistem pemerintahan yang sentralistis didukung penuh oleh sistem birokrasi yang menganut monoloyalitas kepada Partai Golkar. Akhirnya, birokrasi Orde Baru hanya menjadi instrumen hegemonik berupa aparatur negara yang mendukung otoritarianisme.

Menurut Miftah Thoha (2003), birokrasi atau pemerintah yang bukan merupakan kekuatan politik ini seharusnya dibebaskan dari pengaruh dan keterjalinan ikatan politik dengan kekuatan-kekuatan yang sewaktu-waktu bisa masuk birokrasi. Dengan demikian diharapkan pelayanan kepada masyarakat yang diberikan birokrasi netral, tidak memihak dan obyektif (Kuncoro, 2007: 52). Namun dalam pelaksanaannya justru hal ini dilanggar, sebab masih banyak kalangan birokrasi yang terlibat dalam pertarungan politik, misalnya dalam Pemilu, sehingga dalam hal pelayanan menjadi tidak obyektif dan cenderung diskriminasi.

C. Birokrasi Era Reformasi

Setelah reformasi bergulir, usaha untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.

Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di Negara–negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.

Osborne dan Plastrik (1997)[2] mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh Negara–negara yang sedang berkembang seringkali berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju. Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi birokrasi di Negara–negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang dihadapi oleh para reformis di Negara–negara maju pada sepuluh dekade yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang, termasuk di Indonesia.

Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak–tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan– kepentingan golongan atau partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN.

Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat.

Politisasi birokrasi pada masa era oreformasi sudah menandai 100 hari kerja kabinet Gus Dur. Kasus di Departemen Kehutanan menjadi salah satu buktinya. Dalam kasus itu, Menteri Kehutanan yang juga ketua Partai Keailan mengangkat sekjen yagn jelas-jelas dipertanyakan visinya tentang tugas-tugas kementrian ini. Sekjen yang direkrut itu dinilai juga tidak memenuhi ketentuan administrasi kepegawaian, antara lain melewati batas usia yang ditentukan. Pertimbangan ini hanya diambil atas alasan bahwa dia adalah seorang deklarator partai yang dipimpin Menhut. Pembentukan kabinet ini dinilai banyak orang lebih sebagai kabinet ”trima kasih”, sehingga kemudian mudah dipahami mengapa Gus Dur mendukung kebijakan Menhut.

Dalam kasus lain, Miftah Thoha, menyebutkan bahwa:
Upaya untuk netralitas birokrasi di zaman reformasi semakin berkembang. Hal ini bermula ketika ada gerakan happening-art yang moderat berupa pelepasan seragam KORPRI oleh dokter dan pegawai lingkungan UI yang diadakan oleh Forum Salemba (Forsal), kemudian ada gayung bersambut berupa gerakan pernyataan yang sangat keras seperti melakukan penghapusan unit KORPRI di Departemen Penerangan. Selain itu gerakan juga berlangsung di legislatif dalam perbedaan pernyataan sikap kalangan muda FKP agar KORPRI dibubarkan atau bersikap netral dengan kalangan tuanya, faksi Akbar Tanjung. Juga perbedaan pandangan Mendagri Syarwan Hamid yang menginginkan birokrasi netral dan tidak menjadi pengurus politik berlawanan dengan pandangan Mensesneg Akbar Tanjung yang menganggap berpolitik adalah hak asasi PNS (Thoha, 2003).

Kemudian ada pula tindakan Presiden Abdurrahman Wahid yang menghapuskan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, dengan alasan bahwa departemen tersebut bermasalah, banyak KKN, dan departemen itu dianggap telah mencampuri hak-hak sipil warga negara. Penghapusan dua departemen tersebut dapat dikatakan sesuai dengan prinsip reinventing government atau ada pula yang menganggap hal ini sebagai langkah debirokratiasasi dan dekonstruksi cabinet masa lalu yang dianggap terlalu berlebihan mengintervensi kemerdekaan dan kemandirian publik.

Aturan induk netralitas politik birokrasi Indonesia sudah ada pada pasal 4 Peraturan Pemerintah/1999, yang menyatakan bahwa PNS dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khusunya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam pemerintahan Megawati, para menteri dalam kabinet masa itu melestarikan tradisi Golkar, yaitu semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dengan non karier, serta jabatan birokrasi dengan jabatan politik. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa ini harapan untuk melakukan reformasi birokrasi tidak akan terlaksana.

Saat membentuk kabinet yang pertama setelah Gus Dur terpilih, sedang terjadi keributan tentang pengangkatan Sesjen di Departemen Kehutanan dimana sekjen tersebut adalah orang dari partai yang sama dengan menteri kehutanan saat itu. Begitu juga terjadi di beberapa departemen dan di Diknas, BUMN, dan lain-lain. Ada
beberapa eselon yang diangkat yang dia merupakan orang dari partai yang sama dengan menteri yang membawahi departemen tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana suatu birokrasi pemerintahan tidak terlepas dari intervensi partai politik.

Setelah reformasi, pemerintah berusaha memperbaiki keadaan birokrasi Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya beberapa peraturan yang mengatur tentang pemberantasan KKN dan menciptakan aparat pemerintah yang bersih dan bertanggung jawab. Diantaranya adalah Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Meskipun sudah melakukan reformasi di tahun 1998 ternyata untuk melakukan suatu perubahan dalam berbirokrasi atau reformasi birokrasi adalah hal yang sangatlah sulit. Kepentingan-kepentingan partai masih saja mengintervensi birokrasi pemerintahan di Indonesia.

Implikasi dari adanya politisasi birokrasi, pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Karena masih melekatnya budaya birokrasi yang diwariskan masa orde baru, penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi.

Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun
merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat.

PENUTUP

Perjalanan kehidupan birokrasi di Indonesia selalu dipengaruhi oleh kondisi sebelumnya. Budaya birokrasi yang telah ditanamkan sejak jaman kolonialisme berakar kuat hingga reformasi saat ini. Paradigma yang dibangun dalam birokrasi Indonesia lebih cenderung untuk kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Budaya birokrasi yang korup semakin menjadi sorotan publik saat ini. Banyaknya kasus KKN menjadi cermin buruknya mentalitas birokrasi secara institusional maupun individu.

Sejak orde lama hingga reformasi, birokrasi selalu menjadi alat politik yang efisien dalam melanggengkan kekuasaan. Bahkan masa orde baru, birokrasi sipil maupun militer secara terang-terangan mendukung pemerintah dalam mobilisai dukungan dan finansial. Hal serupa juga masih terjadi pada masa reformasi, namun hanya di beberapa daerah. Beberapa kasus dalam Pilkada yang sempat terekam oleh media menjadi salah satu bukti nyata masih adanya penggunaan birokrasi untuk suksesi.

Sebenarnya penguatan atau ”penaklukan” birokrasi bisa saja dilakukan dengan catatan bahwa penaklukan tersebut didasarkan atas itikad baik untuk merealisasikan program-program yang telah ditetapkan pemerintah. Namun sayangnya, penaklukan ini hanya dipahami para pelaku politik adalah untuk memenuhi ambisi dalam memupuk kekuasaan.

Kecenderungan perilaku birokrasi yang masih tetap korup dan belum mengubah kultur pelayanan kepada publik, semakin terlihat pada masa reformasi. Birokrasi di Indonesia saat ini masih dikuasai oleh kekuatan yang begitu terbiasa berperilaku buruk selama puluhan tahun. Birokrasi tidak hanya mengidap kleptomania tetapi juga antireformasi. Kontraproduktif dalam birokrasi tersebut sangat berpotensi untuk terjadinya penularan ke seluruh jaringan birokrasi pemerintah baik Pusat maupun Daerah, baik di kalangan pejabat tinggi maupun di kalangan aparat bawah. Masih belum efektifnya penegakkan hukum dan kontrol publik terhadap birokrasi, menyebabkan berbagai tindakan penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi masih tetap berlangsung.

***

Daftar Pustaka

Anderson, B.R.O.G. 1983, “Negara Kolonial dalam Baju Orde Baru”, diterjemahkan dari “Old State New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective”, dalam Journal of Asian Studies Vol. XLIII, No. 3, May 1983, Hal. 477-496.

Departemen Riset dan Kajian Strategis Indonesia Corruption Watch. 2000, “Laporan Hasil Survey Korupsi di Pelayanan Publik (Studi kasus di Lima Kota: Jakarta, Palangkaraya, Samarinda, Mataram, dan Kupang)”.

Gaffar, Afar. 1999, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ismani. 2001, “Etika Birokrasi”, Jurnal Adminitrasi Negara Vol. II, No. 1, September 2001 : 31 – 41.

Kuncoro, Bambang. 2007, “Netralitas Birokrasi dalam Pilkada”, Swara Politika Volume 10, No. 1, Tahun 2007.

Maliki, Zainuddin. 2000, Birokrasi, Militer, dan Partai Politik dalam Negara Transisi, Galang Press, Yogyakarta.

Thoha, Miftah. 2003, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.

catatan kaki:

[1] Hal ini diungkapkan oleh Departemen Riset dan Kajian Strategis Indonesia Corruption Watch. 2000, “Laporan Hasil Survey Korupsi di Pelayanan Publik (Studi kasus di Lima Kota: Jakarta, Palangkaraya, Samarinda, Mataram, dan Kupang)”.
[2] Dikutip dalam Anderson, B.R.O.G. 1983, “Negara Kolonial dalam Baju Orde Baru”, diterjemahkan dari “Old State New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective”, dalam Journal of Asian Studies Vol. XLIII, No. 3, May 1983, Hal. 477-496