<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Senin, 22 Agustus 2011

ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR





Selama ini yang kita pahami tentang Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) adalah sebuah madzhab yang dalam Aqidah, mengikuti salah satu dari Imam Abu Hasan al-Asy’ary atau Imam Abu Mansyur al-Maturidy; dalam Ubudiyah (praktek peribadatan) mengikuti salah satu madzhab empat (Abu Hanifah, Maliky, Hanbali, dan Syafi’y); dan dalam Tasawuf, mengikuti salah satu dari dua Imam (Al-Ghozaly atau Abu Qasim al-Junaidy al Baghdady.

Tidak sekedar itu, kalau mempelajari Aswaja dengan menggunakan batasan-batasan itu, sungguh terlalu simpel dan sederhana. Sebab pengertian itu adalah definisi yang sangat sempit dan ekslusif. Untuk memahami secara mendalam, harus ditekankan bahwa Aswaja bukanlah madzhab, Aswaja hanya sebuah Manhaj al-Fikr (cara berfikir) tertentu yang telah digariskan oleh para sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi politik saat itu.

Meski demikian, bukan berarti Aswaja dalam kedudukannya sebagai manhajul fikr sekalipun merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun sosio politik yang melingkupinya.

Kronologi Munculnya Aswaja

Ditengah kekacau-balau dan kondisi politik yang amburadul, setelah terbunuhnya Husain di padang Karbala, ternyata masih ada tabi’in yang masih stabil. Berfikir jernih dan netral dalam menyikapi segala sesuatu. Di antaranya adalah Sufyan al-Tsaury bin Uyainah dan Abu Hanifah. Dengan bersikap dingin, mereka memancangkan doktrin ”Untuk tetap berada di jalan lurus, satu-satunya cara adalah kembali pada Al-Qur’an”.

Surat Al-Hajj ayat 54 berkesimpulan, bahwa untuk mencari kebenaran harus dengan nalar atau berlogika. Berawal dari sini, Sufyan al-Tsaury bin Uyainah, Abu Hanifah, Muhammad Abu Yusuf berpandangan bahwa, kebenaran bisa dicapai dengan rasio, logika, ilmu pengetahuan, menggunakan nalar, dan dengan cara ilmiah. Setelah didapat kebenaran, lalu fa yu’minu bih diimani. Kalau sudah beriman, hati akan menjadi jernih, bersih dan bersinar. Dari dasar ini muncul tori-teori kebenaran, seperti ilmu Al-Bayan, ilmu Al-Burhan, dan ilmu Al-Irfan.

Berangkat dari sini, Abu Hanifah mengambil teori Tawasuth (moderat) dan Tasamuh (toleran) –embrio Aswaja– sebagai pola pikir dalam memperoleh sesuatu kebenaran. Mengingat pada saat itu terjadi perang ideologi antara Mu’tazilah yang sangat rasional dan Syi’ah yang Mistis, posisi moderat (tawasuth) diambil guna mengurangi kebingungan masyarakat yang berada di posisi serba sulit dengan kedua ideologi tersebut.

Sepeninggal Abu Hanifah, generasi Abdullah bin Kullam dan Abu Haris al-Muhasibin tetap konsisten dengan tawasuth itu. Tapi lama-kelamaan mulai tampak kesimpang siuran. Ada yang lebih condong ke aspek Burhan sehingga mendekati Mu’tazilah dan ada yang condong ke Irfan sehingga mendekati Syi’ah.

Ternyata perang ideologi ini semakin menjadi. Terbukti dengan kemenangan Mu’tazilah menjadi madzhab resmi negara pada zaman Al-Makmun. Tindakan Represif terlihat ketika Ahmad bin Hanbal dicambuk 100 kali, karena tidak mau masuk medan perdebatan Mu’tazilah. Sungguh keadaan yang menjijikkan, menjenuhkan masyarakat dalam pemerintahan Bani Abbasiyah saat itu.

Pada masa al-Mutawakil Alallah, Mu’tazilah bubarkan. Saat itu, hadits “sataftariqu ummati…” menjadi begitu menggema, sehingga al-Mutawakil disebut sebagai nashir al sunnah (pembela madzhab Ahlus Sunnah).

Lalu muncullah sosok Abu Hasan al-Asy’ary, seorang eks-Mu’tazilah, yang ingin membangkitkan kembali pemikiran Abu Hanifah dkk tentang tawasuth dan tasamuhnya. Karena kerjasamanya dengan pemerintah Abbasiyah, maka mulai saat itu tersebar resminya madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa Aswaja adalah sebuah sistem pikir, pola pikir, manhaj al fikr yang diturunkan dari surat Al Hajj 154, terlepas dari madzhabnya siapa, atau partainya apa. Buktinya Abu Hanifah adalah politikus Syi’ah tapi pola pikirnya Ahlus Sunah, begitu juga Imam Syafi’i. Adapun istilah Aswaja sebagai madzhab hanyalah move politik atau ikhtikar siyasah pada masa al-Mutawakil, sebagai upaya meredam kebingungan masyarakat pada situasi masa itu.

Upaya Al-Asy’ary yang disusul oleh Al Maturidy tersebut menyuebabkan keduanya dikenal sebagai pembawa Aswaja. Sebenarnya inilah yang menjadi persoalan, upaya mereka oleh para pengikutnya malah justru dilembagakan menjadi madzhab Asy’ariyah. Dampaknya sangat luar biasa. Di Indonesia pun konsumsi kitab hanya disekitar kitab yang dikarang kedua tokoh ini. Sejak itu dunia pemikiran Islam khususnya Sunni mengalami kemerosotan. Tidak produktif lagi, akan tetapi hanya mengutak-atik yang sudah ada.

Aswaja dalam Tradisi Masyarakat Islam Indonesia

Ormas Islam yang secara tegas membela dan menyatakan diri sebagai penganut paham Ahlussunnah Wal jama’ah di Indonesia adalah Nahdlatul Ulama (NU). Tak dapat dibantah bahwa nilai-nilai Aswaja telah lama merajut jaring-jaring rumit dalam tradisi NU yang berpusat di pesantren-pesantren. Ini suatu kenyataan yang tidak bisa diabaikan jika ingin membuka wacana pemikiran Islam yang transformatif dalam umat Islam Indonesia.

Pertama, Islam sebenarnya merupakan agama datang bagi masyarakat pribumi kita. Jika tradisi dimaknai sebagai warisan sosio-kutural masa lalu yang dilestarikan dalam masyarakat atau dalam kelompok sosial dalam kurun waktu yang panjang, maka dalam kaitan ini kita mewarisi siapa dasar-dasar nilai Islam ini?

Kedua, dalam membangun tradisinya, NU sejak awal telah menegaskan sebagai penganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah. Menurut Martin van Bruinessen, Antropolog Belanda, kelahiran NU pada tahun 1926 di Surabaya itu tidak hanya sebagai reaksi atas serangan Islam Reformis secara nasional (Muhamaddiyah dan Serikat Islam), tetapi juga merupakan respon atas bangkitnya kekuasaan Islam puritan Wahabi Internasional di Mekkah. Hal ini cukup meresahkan ulama tradisional, sehingga ketika diadakan kongres Al-Islam oleh Ibnu Sa’ud di Makkah, mereka mengirimkan delegasi agar dibolehkannya praktek keagamaan tradisional, dan minta untuk menghormati madzhab fiqh ortodoxs, berkaitan dengan pengelolaan tempat suci Ka’bah di Makkah dan masjid Nabawi di Madinah. Peristiwa tersebut merupakan momentum penting untuk mendeklarasikan ideologi (qonun asasi) keagamaan NU, yang belakangan lebih tepat disebut ideologi politik. Adapun Isi dari qonun asasi tersebut adalah “Dalam akidah mengikuti dua Imam, dalam Ubudiyah mengikuti empat Imam, dan dalam Tasawuf mengikuti dua Imam.

Nahdlatul Ulama sangat identik dengan pesantren. Sebab NU didirikan oleh sejumlah kiai pimpinan pondok pesantren, seperti K.H. Hasyim As'ary, pendiri dan sesepuh Pesantren Tebuireng, Jombang; K.H. Khalil (Bangkalan); K.H. Wahab Hasbullah (Jombang); K.H. Bisri Syamsuri (Denanyar); K.H. Asnawi (Kudus); K.H. Nawawi (Pasuruan); K.H. Ridwan (Semarang); dan lain sebagainya.

Hampir delapan puluh persen dari seluruh pesantren di Indonesia --terutama di Pulau Jawa-- merupakan pesantren NU. Walaupun para kiai dan santrinya tidak resmi menjadi anggota NU, namun dianggap simpatisan NU, karena menjalankan tradisi dan kultur NU. Mereka antara lain, mempraktikkan talafuz bin niyat (mengucapkan niat) ketika akan salat, wiridan (membaca rangkaian doa dengan suara keras berirama) seusai salat magrib dan subuh, marhaba (membaca Kitab Barzanji) pada malam Jumat, tahlil (mendoakan mayat), qunut (membaca doa pada rakaat terakhir salat subuh). Pada tahun-tahun 1930-1960-an, tradisi dan kultur NU yang menjadi ciri khas sebagian pesantren itu, sering menjadi bahan perdebatan dengan kelompok lain yang dimotori Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis).

Selain hal-hal di atas, tradisi dan kultur NU juga menempatkan kitab kuning sebagai acuan utama dalam kehidupan sehari-hari. Terutama yang menyangkut masalah hukum ibadah (ritual), akhlak (perilaku) dan mu'amalah (sosial). Disebut "kitab kuning" karena dibuat dari kertas berwarna kuning. Isinya adalah hasil pemikiran para ulama abad 9 - 14, baik ulama mujtahid (ahli ijtihad) yang menciptakan mazhab hukum (fiqh), maupun ulama-ulama pengikutnya.

Walaupun Anggaran Dasar NU mengakui keberadaan mazhab fiqh yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali), tapi pada praktiknya sebagian besar ulama dan anggota NU, mengikuti mazhab Imam Syafi'i. Sehingga, kitab-kitab yang dikaji di pesantren-pesantren, kebanyakan kitab-kitab karya para ulama Syafi'iyah. Mulai dari kitab-kitab fiqh tingkat dasar, seperti "Safinatun Naja", "Taqrib", "Kifayatul Ahyar"; menengah seperti "Fathul Qarib", "Fathul Wahab", "Fathul Mu'in", "I'anatuth Thalibin", "Hasyiyah Bajuri", "Muhazzab", hingga tingkat tinggi; "Nihayatul Muhtaj", "Hasyiyah Qalyubi wa Umairah", "Al-Muharrar", "Majmu Syarh Muhazzab". Semuanya merupakan susunan para ulama mazhab Syafi'i.

Kitab-kitab tersebut, berisi paparan mengenai hukum-hukum hasil penggalian (istinbat) Imam Syafi'i, yang kemudian diuraikan lagi oleh para ulama pengikutnya dari abad ke abad. Hasil pemikiran ijtihad Imam Syafi'i sendiri, didiktekan (imla) kepada muridnya, Al-Buwaithi, yang menyusunnya lagi menjadi kitab Al-Umm (Induk). Dari Al-Umm inilah lahir kitab-kitab fiqh susunan para ulama mazhab Syafi'i, baik yang ringkas dan tipis, seperti Taqrib karya Abu Suja, maupun yang panjang lebar dan tebal-tebal seperti Nihayatul Muhtaj karya Ar-Ramli, atau Majmu Syarah Muhazzab karya An-Nawawi.

Sistimatikanya nyaris sama satu sama lain. Dibuka dengan uraian tentang hukum bersuci (thaharah), kemudian hukum salat, hukum zakat, hukum puasa, hukum haji, yang termasuk ibadah ritual (mahdlah). Kemudian hukum-hukum jual-beli (al buyu') yang meliputi berbagai masalah ekonomi praktis, hingga masalah ju'alah (pemberian uang perangsang atau bonus), wakaf, hibah, luqathah (barang temuan) dan wadi'ah (barang titipan).

Kemudian tentang hukum waris dan wasiat, hukum perkawinan dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, hukum jinayat (pidana), macam-macam hukuman bagi berbagai tindak kejahatan (had), hukum jihad, hukum-hukum binatang buruan, dan sembelihan. Juga hukum tentang berbagai makanan (ath'imah) yang halal dan haram, hukum melakukan korban dan akikah, hukum perlombaan dan memanah, peradilan dan persaksian, serta memerdekakan budak (al-itqu).

Memang ada beberapa kitab yang memasukkan masalah-masalah khusus, seperti tentang khuntsa (banci), tapi pada umumnya materi dan sistimatika kitab kuning seperti yang dipaparkan di atas, yang dapat dianggap cukup komprehensif.

Bahasan hukum-hukum dalam kitab kuning, bersumber dari hasil ijtihad para ulama mazhab (disebut mujtahid shagir dan ulama pendiri mazhab yang merupakan mujtahid kabir, atau mujtahid mutlaq), yang menggali langsung dari Alquran dan sunnah Rasulullah saw. Yang mereka gali dan dijadikan bahan ijtihad, adalah hal-hal yang bersifat temporer, aktual, namun belum terdapat nash yang jelas di dalam Alquran dan Al-Hadis. Untuk hal-hal yang sudah dijelaskan di dalam Alquran dan Hadis, tidak lagi dijadikan bahan ijtihad.

Karena itu, tradisi dan kultur NU sangat kental dengan warna taqlid. Mengikuti tanpa reserve pendapat ulama anutan mereka. Rata-rata warga NU --termasuk tingkatan ulamanya-- mengaku sebagai muqallid (pengikut patuh) para ulama sebelumnya, yang menjadi guru langsung atau tak langsung (yang kitab-kitabnya dijadikan pegangan).

Mengembalikan Aswaja Sebagai Manhajjul Fikr

Setelah kita ketahui latar belakang kelahiran, perkembangan Aswaja (Abad pertengahan) maka batasan Aswaja yang dimaknai sebagai madzhab yang berkiblat pada Imam tertentu, merupakan batasan-batasan yang sangat sempit dan sederhana, karena ternyata pada hakekatnya Aswaja bukan madzhab dan cara peribadatan yang telah digariskan oleh Imam tertentu, akan tetapi Aswaja adalah Manhajul fikr (metode berpikir) yang berlandaskan pada tawassuth, tawajjun, taaddul, dan tassamuh.

Tidak ada komentar: