<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Rabu, 24 Maret 2010

Parasitisme Media


Oleh: Nana Suryana, S.Sos



Media Pasca Reformasi
Revolusi Mei 1998 yang ditandai dengan tumbangnya rezim Soeharto dan digantikan oleh Habibie, banyak dipahami sebagai bagian dari revolusi yang lebih besar, yakni revolusi kapitalisme global yang bersumber dari kaidah neoliberaslisme dan yang menghendaki liberalisme ekonomi global.
Sebagai bagian dari proses liberalisme global, kebebasan media massa pasca Orde Baru, yang tadinya diharapkan dapat mengembalikan eksistensi media massa pada kekuatan kaum intelektual, malahan mengarah pada suatu kebebasan media massa yang berpihak politik pada kepentingan ekspansi dan akumulasi modal. Dalam konteks ini, kebebasan media massa menjadi tidak sepenuhnya fungsional dan berkorelasi dengan proses demokratisasi seperti yang diharapkan oleh gerakan reformasi.
Pada satu sisi institusi media massa pasca Orde Baru sebagai satu kombinasi antara kegiatan media massa dan kepentingan modal memang telah terbebas dari kekangan rezim penguasa, ketika pemerintah mencabut Permenpen No. 01/1984 tentang hak pembatalan SIUPP oleh Menteri Penerangan, Yunus Yosfiah, lewat Permenpen No. 01/1998.
Imbas dari kebijakan tersebut beberapa media yang ketika zaman Orde Baru sempat (di)mati(kan), terbit lagi dengan semangat dan pemodal baru. Akibat banyaknya pemain yang bermain dilahan yang sama, maka timbullah persaingan yang ketat diantara media baru tersebut. Media melakukan segala macam cara demi menaikkan oplah atau mempertahankan pelanggan lamanya.
Dalam pandangan Winarko (2000), walaupun dari jumlah penerbitan meningkat pesat hingga diatas angka 1.500, khalayak pembaca ternyata tidak menunjukan peningkatan yang sebanding. Sejak sepuluh tahun terakhir, tiras media cetak tidak jauh beranjak dari angka 10 hingga 15 eksemplar. Sementara tiras surat kabar harian berkisar 4 sampai 6 juta eksemplar.

Kebebasan Media
Seharusnya manusia sadar, bahwa kebebasan media membutuhkan berbagai perangkat yang menjadikan media itu leluasa digerakkan, ilusi untuk menciptakan pelarian tentu tak perlu. Sebab, kebebasan mutlak dan pelarian mutlak pernah betul-betul terjadi dalam kenyataan. Di tengahnya, manusia hanyalah makhluk yang tidak pernah bebas dan tak pernah pula tidak bebas.
Konsep kebebasan (freedom), seperti yang diungkapkan oleh Erich Fromm, merupakan suatu kondisi dimana kebebasan dari (free from) dan kebebasan untuk (free to) bisa berjalan secara seimbang dan beriringan. Namun pada sisi lain tampak bahwa media massa semakin tidak bisa melepaskan diri dari cengkraman the invisible hand mekanisme pasar serta proses akumulasi modal yang mengarah pada konsentrasi dan homogenisasi komoditi informasi.
Kebebasan media massa seharusnya mampu menciptakan public sphere dalam sebuah sistem demokrasi. Wacana publik mengenai legitimasi penguasa berlangsung dalam kawasan yang relatif terlindungi dari intervensi politik penguasa dan penetrasi kepentingan modal masih harus diperjuangkan oleh publik. Media seharusnya bersikap independen, objektif, jauh dari prasangka, berpihak pada kepentingan publik, dan terbebas dari selubung ideologi tertentu.
Sayangnya, kebebasan tersebut jauh panggang dari api. Ketika di zaman Orde Baru, kebebasan media massa berada dalam cengkraman penguasa, sementara media massa pasca reformasi kebebasannya dirampas oleh pemilik modal. Media massa yang terbit pasca-Orde Baru, terutama media massa cetak, tampaknya hanya menjadi semacam ajang pelepasan hasrat di masa reformasi setelah sekian lama dikekang dengan berbagai aturan yang melarang lahirnya media massa baru. Media massa baru yang tidak ditopang oleh manajemen yang kuat, tim redaksi yang piawai dan jaringan pemasaran yang handal, akhirnya jatuh satu persatu. Maka peta dunia media massa cetak di Indonesia kembali pada pola pengerucutan beberapa kelompok penerbitan besar.
Selain media massa cetak, kepemilikan media yang terpusat juga terjadi pada media massa elektronik, terutama televisi. Antara tahun 1987 hingga 1998, media Indonesia berada dalam persimpangan antara fungsi pers sebagai instrumen hegemoni negara dengan fungsi pers sebagai institusi kapitalis. Disatu sisi, pemerintah mulai mengadopsi prinsip-prinsip pers liberal, namun disisi lain mempertahankan kebijakan-kebijakan sektor media yang bertentangan dengan semangat liberalisme (Hidayat, 2000).

Cengkraman Media
Media massa Indonesia sekarang memang telah mengalami kemerdekaannya, namun hal itu sama sekali tak praksis menjadikan media massa bebas dan otonom. Dengan berbagai alasan, media massa tetap sebagai entitas yang berkepentingan, sadar atau tidak sadar, terorganisasikan atau tidak teroirganisasikan. Berbagai kepentingan dibalik media massa bisa ditunjuk sebagai faktor tidak bebas dan otonomnya media massa; baik modal, organisasi, ideologi, kultur, hingga soal-soal yang bersifat teknis.
Namun, disaat kondisi politik mulai terbuka, dalam kondisi dimana kemungkinan suara rakyat dapat leluasa dipublikasikan, terjadi pula perkembangan yang mengkhawatirkan pada media. Media massa sekarang berada dalam situasi struktural tertentu dimana kapitalisme semakin revolusioner dan cenderung meniadakan segala bentuk jati diri lama dan menawarkan jati diri baru lewat program liberalisasi, privatisasi dan monopoli. (Dharma, 2003).
Hal tersebut juga terjadi pada media televisi. Sebagai pranata sosial mutakhir, televisi secara bertahap sudah melampaui efektifitas pranata sosial lain, seperti partai politik dan media cetak yang telah memapankan dirinya sejak awal abad ke-20. Melalui televisi, partai politik dan media cetak ide modernisasi tersebar luas.
Kehadiran televisi dalam kaitannya sebagai mediator penyampaian pesan melampaui peran media cetak dalam tiga hal. Pertama, daya jangkau publik yang teramat luas, yang dapat ditunjukkan dengan puluhan juta perangkat TV di rumah-rumah. Kedua, kemampuan televisi untuk mendikte “kebenaran”. Dan, ketiga, relativisasi arti dan signifikasi peristiwa sosial lewat keragaman program.
Saat ini setiap pesawat televisi di Indonesia menjadi media yang dinanti kehadirannya, tak kurang dari 11 stasiun penyelenggara siaran televisi dalam negeri. Termasuk TVRI yang paling tua dan kemudian paling banyak ditinggalkan penonton. Lima di antaranya (Trans TV, Metro TV, Global TV, Lativi, dan Trans7) muncul dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, justru di tengah krisis multidimensi yang juga ditengarai dengan menguatnya kembali kekuatan lama anti perubahan.
Televisi merebut perhatian permisa saat unsur suspens (respon sejenak untuk beralih pikiran) berhasil dikendalikan. Oleh sebab itu televisi disebut kotak ‘sihir’ hitam yang menampilkan gambar dan bunyi. Tanpa sadar, alat ini mengubah cara pemahaman simbolis abjad dan susunan kalimat kembali menjadi gambar dan suara yang tak bisa digugat. Siaran televisi mampu menyeruak masuk ke ruang-ruang kehidupan masyarakat, sebagai pilihan yang paling mudah dan dianggap alamiah untuk mengisi waktu luang di rumah. Ia menyatu dan senafas dengan aktifitas kebanyakan rumah tangga. Dari yang miskin hingga kaya raya.
Seorang pembuat program acara menyatakan, bahwa setiap programmer berupaya mengejar ratting agar pemirsa menjauhkan alat pengendali jarak jauh (remote control) dari jangkauannya. Acapkali pesan semacam ini terungkap dalam kalimat-kalimat manis yang dinyatakan disela program dan tayangan iklan. Pemirsa diajak untuk tidak menggunakan hak prerogatifnya menukar saluran dan menikmati pesan secara utuh.
Untuk mencapai maksud semacam itu, perusahaan televisi merekrut para pekerja artistik terampil sehingga mampu mengadopsi dan mengemas narasi kemapanan yang sebelumnya tersusun dengan kata-kata ke dalam susunan letak latar, gimik, tutur dan pergerakan kamera. Konsekuensinya, televisi berlaku sebagai penerjemah suatu ide dan mengatur tayangan apa pun layaknya pentas drama. Setiap acara wajib merangsang sensasi pemirsa seperti tahap mula kanak-kanak belajar lewat sensasi gambar dan bunyi.

Parasitisme Media
Televisi adalah mesin dolar yang tak pernah berhenti menjual gagasan, mereproduksi makna sejarah dan agenda sejarah. Televisi menawarkan dua ranah bagi manusia; ranah jurnalistik (informasi) dan ranah hiburan. Masing-masing ranah ini mengelola efeknya; realitas sosial adalah sekuen dari ranah jurnalisme. Sedangkan ranah hiburan lebih banyak menggarap efek psikologi yang bersifat personal.
Menurut Halim (2003), dalam hal penyajian informasi atau berita, kemasannya bisa bermacam-macam. Mulai dari siaran berita yang isinya bersifat umum, lalu ada juga informasi kekinian (hardnews) tiap 1 jam sekali, serta berita dengan tajuk khusus yang didominasi oleh dua tema besar yakni tema kriminalitas dan pasar uang (bursa efek). Ada pula kemasan informasi yang dalam tiap penyajiannya berfokus pada satu tema tertentu. Berganti-ganti dari satu tema ke tema lainnya namun tetap bersumber pada program impor yang disajikan dalam kemasan siaran berita umum. Hampir seluruh kemasan informasi tersebut dimiliki oleh setiap stasiun siaran televisi.
Kemasan hiburan pun demikian. Hampir semua acara hiburan di semua stasiun televisi didominasi oleh film import yang berasal dari industri film Hollywood, film India, Mandarin, serta program dokumenter dan beragam show. Masih dalam kategori import adalah siaran olahraga yang didominasi oleh pertandingan sepakbola, bola basket, tinju, otomotif dan dalam porsi yang paling kecil yakni golf.
Produk lokal yang cukup dominan ialah sinetron, kuis (umumnya menjiplak program kuis luar negeri – baca: Amerika) dan acara musik. Juga produk lokal namun dalam porsi yang lebih kecil ialah kemasan hiburan berupa film Indonesia, siaran sepakbola dan tinju, dunia mode, kehidupan selebritis serta variety show yang juga habis-habisan menjiplak program sejenis milik siaran televisi di Amerika. Sama halnya dengan kemasan informasi yang dimiliki oleh setiap stasiun televisi di sini, kemasan hiburan yang disajikan setiap stasiun televisi di Indonesia pun mencirikan pola yang seragam.
Kenyataan ini menunjukan bahwa media punya sifat parasit. Apa saja yang sukses dari suatu media, akan segera ditiru dan diikuti oleh media-media lain (Rivers, 2003). Tanpa banyak disadari pemirsa, sinetron, komedi dan acara televisi lainnya sebenarnya “serupa tapi tak sama”. Judul boleh berbeda, aktor boleh berganti, namun format cerita, logika kisah, plot, penokohan dan setting cerita sesungguhnya serupa. Menurut Sudibyo (2004), sulit misalnya untuk menemukan sinetron yang benar-benar menampilkan hal baru dan inovatif, kecuali segelintir drama televisi lokal yang digarap secara serius.
Wardhana (2001) secara menggelitik menggambarkan kondisi ini. Menurutnya, dengan menutupi tiap-tiap logo stasiun televisi yang berada di kiri atau kanan layat televisi, praktis pemirsa tidak akan tahu stasiun televisi mana yang sedang siaran. Dari tayangan hiburan hingga tayangan jurnalistiknya, stasiun-stasiun televisi itu menunjukan wajah yang sama dan sebangun.
Kondisi ini, menurut Sudibyo (2004, tidak lebih baik ketika terjadi perubahan politik pasca pergantian pemerintahan, Mei 1998. Pergeseran dari state regulation menuju market regulation dalam industri media, tidak selalu berkorelasi dengan kebebasan publik untuk mendapat keragaman isi dan kemasan dalam pasar bebas informasi dan hiburan. Pemirsa benar-benar memasuki era dimana produk-produk media televisi lebih ditentukan oleh the invisible hand mekanisme pasar yang bertumpu pada kaidah permintaan-penawaran, logika sirkuit modal, dan rasionalitas maksimalisasi produksi dan konsumsi.

Kualitas yang Memprihatinkan
Ada beberapa hal yang patut dikritisi dari luberan tayangan-tayangan yang “serupa dan sebangun” itu. Menurut Kitley (2001) persaingan yang begitu ketat antar stasiun televisi untuk program yang sama, keterbatasan kemampuan PH dan in-house production masing-masing televisi untuk memenuhi persaingan itu, mengakibatkan begitu banyak program yang secara kualitas memprihatinkan.
Yang tak boleh dilupakan adalah siaran iklan yang sebenarnya menjadi penopang utama terselenggaranya siaran dari setiap stasiun televisi. Termasuk TVRI yang telah diijinkan kembali untuk menayangkan iklan. Maka saluran televisi apa pun yang dipilih oleh para penonton, serta merta mereka akan disergap bukan hanya oleh format acara yang seragam tetapi juga oleh tayangan iklan yang hampir sebagian besar sama persis (Purwantari, 2003).
Lebih jauh Purwantari menjelaskan bahwa, secara keseluruhan, sekitar 60% hingga 65% dari total mata acara dalam siaran televisi merupakan mata acara yang berisi hiburan, termasuk siaran olah raga di dalamnya. Prosentase ini jelas bertambah jika kita memasukkan pula durasi waktu yang disediakan untuk tayangan iklan. Mengingat teknik periklanan yang terus berkembang, yang memungkinkan iklan hadir dalam visualisasi yang menakjubkan alias mampu membungkus aktivitas menjajakan barang dan jasa dengan cara halus namun tetap persuasif dan menghibur.
Michael Parenti dalam bukunya “Make Believe Media The Politics of Entertaintment”, mengatakan bahwa, media hiburan, termasuk televisi, merupakan media yang mampu membentuk keyakinan kita. Dewasa ini, keyakinan yang terbentuk itu hanya sedikit yang berasal dari permainan anak-anak, cerita lisan, kisah-kisah rakyat, dan dongeng-dongeng, lebih sedikit lagi yang berasal dari sandiwara-sandiwara dan mimpi-mimpi dalam tidur kita sendiri.
Sebaliknya saat ini terdapat industri film Hollywood dan siaran televisi bernilai jutaan dolar yang menghasilkan berbagai citra dan tema yang telah siap untuk dijejalkan dan dipasang memenuhi benak pemirsa. Namun hal itu tidak cukup dipandang sebagai sebuah kegiatan selingan yang tak berarti. Tetapi sebagaimana diargumentasikan dalam keseluruhan buku tersebut, berbagai citra yang ditampilkan lewat layar kaca televisi sering kali mengandung kepentingan ideologis (Mulyana, 1997).
Permasalahan tersebut semakin memprihatinkan jika kita sadari betapa rentannya posisi publik selaku konsumen media ketika dihadapkan dengan muatan ideologis yang dibawa media massa. Misalnya dalam iklan, berapa banyak iklan yang mengeksploitasi anak-anak dan melecehkan perempuan? Lebih buruk lagi, muatan ideologis tersebut telah meremehkan kemampuan kritis manusia dalam menghadapi kenyataan hidup manusia dan sistem sosio-politik pemirsa, dengan cara membenamkan ke dalam benak pemirsa berbagai gambaran yang bersifat sebaliknya, yakni gambaran kehidupan yang dangkal dan serba aman. Bahkan jika ada anggapan yang menyatakan bahwa sebuah industri hiburan tidak membawa kepentingan politis serta ideologis dalam tujuannya, produk hiburan tersebut tetaplah bersifat politis dari segi pengaruh yang ditimbulkannya.
Dikalangan praktisi maupun teoritis komunikasi telah terbentuk suatu konsensus bahwa media massa dalam menjalankan fungsinya harus senantiasa berpegang teguh pada prinsip objektifitas. Konsensus tersebut dalam praktek ternyata tidak mudah disepakati. Masalahnya sering kali terbentur pada kesepakatan atas pengertian “objektif” itu. Kita tahu bahwa media massa pada hakikatnya adalah rekonstruksi tertulis atas suatu realitas yang ada dalam masyarakat. Namanya saja rekonstruksi, ia tidak mungkin sama dan sebangun dengan apa yang direkonstruksi itu, yakni realitas.
Dengan hanya terpancang pada materi hiburan yang ditawarkan televisi, pemirsa jelas bisa pusing tujuh keliling. Tetapi dengan mencoba menelisik lebih jauh ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ hiburan itu dihadirkan, pemirsa akan segera tahu bahwa terdapat motif-motif politik-ideologis tertentu yang ber(ter)sembunyi dibalik teks-teks hiburan tersebut.

Membudayakan Melek Media
Ketidakberdayaan publik ditengah kepungan media tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara maju. Untuk mengatasinya, dibutuhkan lebih dari sekedar reformasi atau regulasi industri media. Dibutuhkan revolusi untuk merubah paradigma dan konstruksi sosial industri media; dari yang semula berpihak pada kapitalis, menjadi berpihak pada publik. Maka untuk mengatasi serbuan media, muncullah gagasan untuk memperkuat publik agar mampu mengatasi sendiri ekses-ekses media. Gagasan ini diwujudkan dalam konsep media literacy atau “melek media”.
Konsep melek media sebagai alternatif memberdayakan publik ditengah kepungan media. Menurut Astuti dalam tulisan “Membangun masyarakat melek media” (Pikiran Rakyat, 30/06/04), konsep media literacy berkehendak untuk mendidik publik agar mampu berinteraksi dan memanfaatkan media secara cerdas dan kritis.
Belajar dari pengalaman negara lain, konsep media literacy ternyata disosialisasikan oleh banyak pihak. Pihak-pihak tersebut tidak saja muncul dari inisiatif perseorangan atau masyarakat. Hebatnya, sejumlah institusi media literacy justru didirikan dan dibina oleh media massa sendiri. Menurut Astuti, dasar kepentingannya ada dua; pertama, menghendaki agar warga negara mampu menyerap dan menggunakan informasi secara cerdas dan kritis. Kedua, media massa tersebut mampu membendung serbuan media “kuning” yang mengutamakan sensasional.
Dalam pandangan penulis, melek media berarti usaha untuk menelaah dan membongkar secara kritis muatan ideologi pada tayangan media. Hal ini atas dasar asumsi bahwa media telah memberikan beberapa pokok produksi teks yang sarat ideologis dan kepentingan pembenaran serta peminggiran sosial masyarakat. Artinya, media telah menciptakan dunia realitas, sistem kebenaran simbolik yang menindas, penuh manipulasi dan sarat dengan kepentingan politis belaka.
Sebagai produk yang lahir dari hasil kombinasi antara teknologi dan modal, media adalah salah satu perangkat ideologis kelompok dominan (ideological state apparatuses), yang bekerja dengan cara sealamiah mungkin. Selain itu, sajian media juga telah menghilangkan nalar kritis penonton dalam melihat realitas atau kenyataan hidupnya.
Meskipun cara berada kenyataan dalam media kita menumpulkan nalar kritis, namun hal itu harus dilihat sebagai sesuatu yang di luar nilai artistik media. Artinya, meskipun terjadi kenyataan yang hiperbola atau tertapi, tetap saja "kenyataan virtual" itu otonom di dalam nalar media.
Artinya, ukuran keberhasilan media tidak bisa dinilai dari seberapa jauh dia merefleksikan kenyataan atau menuntunnya, tapi seberapa jauh kenyataan itu mendukung keseluruhan isi media. Di sini media dilihat sebagai hasil karya yang otonom, dan dinilai berdasarkan unsur-unsur yang membangunnya, bukan dari hal-hal yang berada di luar dirinya, termasuk kenyataan keseharian yang menjadi cermin media tersebut.

* * *

Penulis, Koordinator Komunitas Islam Emansipatoris Bandung.

Tidak ada komentar: