<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Selasa, 23 Maret 2010

Pemekaran Cilacap Barat???


Retrospeksi sosio-yuridis

Pembentukan daerah secara sederhana dapat difahami sebagai proses perubahan dan pemberian status kepada wilayah tertentu sebagai Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, atau Daerah Kota, atas dasar prakarsa, aspirasi, dan kemauan politik dari masyarakat dan pemerintah daerah yang bersangkutan, setelah melalui serangkaian riset dan penelitian intensif, serta mengikuti mekanisme tertentu, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pembentukan daerah merupakan salah satu strategi dan bagian penting dalam kerangka perbaikan sistem penyelenggaraan pemerintahan, untuk menciptakan kehidupan politik, ekonomi, dan sistem pemerintahan yang lebih efisien, demokratis dan mensejahterakan, yang memungkinkan setiap daerah mampu menggali potensi yang dimilikinya, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dan siap menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi.

Secara yuridis, pembentukan daerah memiliki landasan yang kuat, baik secara umum berdasarkan pasal 18 UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maupun secara khusus berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Selain itu, secara filosofis, menikmati kehidupan yang “mandiri” pada hakikatnya adalah hak setiap manusia sebagai makhluk Tuhan. Manusia yang normal pasti mempunyai keinginan untuk mandiri dan berotonomi apabila ia telah merasa mampu untuk mengurus dirinya sendiri , dan semua pihak harus menghargai dan menghormati hak tersebut.

Namun demikian, proses pembentukan daerah, termasuk wacana pembentukan Kabupaten Cilacap Barat hendaknya tidak dilihat dalam ranah geo-politik yang sempit. Artinya, proses itu tidak hanya dilihat semata-mata sebagai sebuah proses deteritorialisasi Kabupaten Cilacap Barat, akan tetapi harus difahami dalam cakrawala yang luas dan holistik. Proses tersebut harus memenuhi prasyarat keperluan (necessary conditions) yang juga diimbangi dengan terpenuhinya prasyarat-prasyarat pokok (sufficient conditions), agar pembentukannya benar-benar dapat mensejahterakan masyarakat di daerah yang baru terbentuk, dan sebaliknya juga tidak berimplikasi negatif bagi masyarakat di daerah induk yang ditinggalkan.

Mekanisme Pembentukan Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang “Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah”, telah mengatur prosedur yang harus ditempuh dalam proses Pembentukan Daerah. Prosedur tersebut adalah:
a. Pembentukan daerah harus didasarkan pada kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat yang bersangkutan; Kemauan politik tersebut diwujudkan dalam pernyataan-pernyataan (kehendak) masyarakat melalui LSM-LSM, organisasi-organisasi politik dan lain-lain, serta pernyataan Gubernur, Bupati/Walikota yang bersangkutan, yang selanjutnya dituangkan secara resmi dalam bentuk persetujuan tertulis melalui Kepala Daerah dan DPRD yang bersangkutan;
b. Pembentukan Daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah;
c. Usul pembentukan Propinsi disampaikan kepada Pemerintah cq. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang berada dalam wilayah Propinsi dimaksud, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD;
d. Usul pembentukan Kabupaten/Kota disampaikan kepada Pemerintah cq. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota serta persetujuan DPRD Propinsi, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD;
e. Dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke Daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
f. Berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut;
g. Para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
h. Berdasarkan saran dan pendapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
i. Apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-undang Pembentukan Daerah kepada Presiden;
j. Apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk mendapatkan persetujuan.

Namun demikian, menurut pasal 3 dan pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tersebut, pembentukan daerah baru bisa dilakukan, bila suatu daerah mempunyai 7 (tujuh) kriteria dan persyaratan-persyaratan, yaitu: (1) kemampuan ekonomi; (2) potensi daerah; (3) kondisi sosial budaya; (4) kondisi sosial politik; (5) jumlah penduduk; (6) luas daerah, dan (7) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.

Kemampuan ekonomi merupakan cerminan dari hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di suatu Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota yang dapat diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan Penerimaan Daerah Sendiri (PDS) yang berasal dari Pendapatan Asli daerah, bagian Daerah dari penerimaan Pajank Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA).

Potensi daerah adalah cerminan tersedianya sumberdaya yang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadap penerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari (1) jumlah lembaga keuangan (2) sarana ekonomi (3) sarana pendidikan (4) sarana kesehatan (5) sarana transportasi dan komunikasi (6) sarana pariwisata (7) ketenagakerjaan.

Kondisi sosial adalah cerminan yang berkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya masyarakat. Kondisi sosial budaya masyarakat tersebut dapat diukur dari (1) jumlah tempat peribadatan (2) tempat/kegiatan institusi sosial dan budaya, dan (3) sarana olah raga. Kondisi sosial politik merupakan cerminan kondisi sosial politik masyarakat yang dapat diukur dari (1) partisipasi masyarakat dalam berpolitik, dan (2) jumlah organisasi kemasyarakatan.

Sementara pertimbangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah pertimbangan untuk terselenggaranya Otonomi Daerah yang dapat diukur dari (1) kondisi keamanan dan ketertiban (2) ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan (3) rentang kendali, yakni jarak rata-rata dan waktu tempuh dari rata-rata Kecamatan ke pusat pemerintahan; (4) Propinsi yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) Kabupaten dan atau Kota; (5) Kabupaten atau Kota yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan.

Cara pengukuran dan penilaian pembentukan Daerah tersebut dilakukan dengan memberikan bobot terhadap syarat-syarat pembentukan Daerah, dan menetapkan indikator, serta sub indikator. Pada setiap indikator dan sub indikator diberi nilai atau skor untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu Daerah dibentuk. Pembentukan Daerah sudah memenuhi syarat apabila usul pembentukan Daerah setelah diadakan penelitian ternyata skor penilaiannya telah memenuhi ketentuan untuk dapat dibentuknya suatu Daerah. Pembentukan Daerah tidak memenuhi syarat apabila usul pembentukan Daerah setelah diadakan penelitian ternyata skor penilaiannya tidak memenuhi syarat sesuai dengan skor untuk dapat dibentuknya suatu Daerah.

Gagasan Kabupaten Cilacap Barat: “Mengkaji Diri, Menakar Tantangan”

Terlepas dari beberapa kekurangan model pengukuran kriteria dan persyaratan-persyaratan Pembentukan Daerah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah di atas, gagasan pembentukan Kabupaten Cilacap Barat hendaknya dikembalikan kepada landasan yuridis tersebut. Apakah gagasan pembentukan Kabupaten Cilacap Barat benar-benar merupakan kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat Cilacap Barat secara keseluruhan? Ataukah wacana tersebut muncul lebih didasari oleh keinginan menambah peluang menduduki jabatan politik, baik di badan legislatif maupun badan eksekutif dari elit politik atau elit lokal tertentu? Selain itu, apakah wacana tersebut sudah didukung oleh penelitian awal yang objektif, atau lebih didasarkan pada “retorika superioritas” orang Cilacap Barat semata-mata?

Jika artikulasi gagasan Pembentukan Kabupaten Cilacap Barat lebih didasarkan kepada aspek-aspek pragmatisme politik dan ekonomi semata, tanpa kajian dan pemahaman substantif yang radix terhadap hakikat pembentukannya, atau jika artikulasi gagasan pembentukan Kabupaten Cilacap Barat tersebut hanya populer di tingkat elit lokal (local state-actors), maka pembentukan Kabupaten Cilacap Barat akan menjadi bumerang bagi warganya sendiri, karena secara teoretis, konsentrasi kekuasaan akan berada di tangan elit lokal. Bila hal itu yang terjadi, maka akan sangat sulit terwujudnya local accountability, dan itu berarti terlalu dini untuk berharap bahwa Pembentukan Kabupaten Cilacap Barat akan mampu mendongkrak tingkat kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu, dalam proses membangun gagasan membentuk Kabupaten Cilacap Barat, seluruh stake holders atau mereka yang berkehendak dan terkait dengan gagasan pembentukan Kabupaten Cilacap Barat, seyogyanya melakukan gerakan penyerapan aspirasi masyarakat. Secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat harus diajak bicara. Debat publik secara terbuka baik di forum-forum resmi maupun tidak resmi guna membicarakan hal-hal strategis menyangkut gagasan pembentukan Kabupaten Cilacap Barat, kiranya juga perlu dilakukan. Lembaga perwakilan masyarakat daerah (DPRD) juga harus secara intensif menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Keterlibatan lembaga legislatif sangat penting dalam rangka menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat. Aspirasi dan tuntutan masyarakat tersebut selanjutnya dibahasakan dalam langkah-langkah politis yang menjadi wilayah kewenangan DPRD.

Langkah tersebut juga seyogyanya diikuti dengan upaya menakar diri, melakukan reorientasi dan penemuan diri, apa kekurangan dan kelebihan diri, apa peluang, tantangan, dan hambatan yang akan dihadapi (SWOT analysis)? Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya dapat ditemukan jawabannya melalui riset dan penelitian ilmiah, bukan sekedar klaim-klaim sepihak yang cenderung emosional. Dalam proses ini dibutuhkan kejujuran untuk mengakui kekurangan, dan kearifan menyikapi kelebihan.

Setelah mengetahui kelebihan dan kekurangan diri beserta identifikasi tantangan, hambatan dan peluang yang akan dihadapi, langkah berikutnya adalah memetakan kelebihan dan kekurangan tersebut yang diikuti dengan upaya restrukturisasi berbagai hal berkaitan dengan upaya lanjutan untuk memaksimalkan kelebihan dan meminimalkan kekurangan. Restrukturisasi ini terutama berkenaan dengan organisasi pemerintahan untuk menyesuaikan dengan kecenderungan dan perkembangan yang terjadi, serta untuk memudahkan koordinasi secara vertikal maupun secara horizontal. Restruksurisasi juga dapat difahami sebagai upaya meningkatkan kemandirian dan kemampuan masyarakat (capacity building) sebagai pelaku utama pembangunan daerah, dalam wadah komunitas (community based development) dan mengutamakan pembangunan kelembagaan (institustional development).

Upaya peningkatan kemandirian dan kemampuan masyarakat tersebut dilakukan agar mereka dapat mempersiapkan diri, sehingga pada saatnya—ketika Kabupaten Cilacap Barat terbentuk—mereka dapat berkompetisi dan berkiprah pada berbagai pos strategis, baik di pemerintahan maupun di sektor swasta lainnya. Hal ini penting dilakukan agar "bolu" yang tercipta melalui proses pembangunan di Cilacap Barat, tidak hanya dinikmati oleh para pendatang, tetapi juga oleh para putra daerah, karena bila putra daerah hanya menjadi “penonton”, dan para pendatang justru menjadi “pemeran utama” dan menguasai berbagai pos penting, maka hal itu akan melahirkan permasalahan baru di kemudian hari.

Langkah berikutnya adalah secara sistematis dan terus menerus harus dibangun aliansi strategis, antara pemerintah, LSM, organisasi politik, organisasi masyarakat, dan komponen-komponen masyarakat lainnya, termasuk aliansi strategis antar Kabupaten dan Kota yang memiliki kehendak yang sama untuk membentuk Kabupaten Cilacap Barat. Networking juga harus dibangun dengan Pemerintah Daerah lainnya, bahkan dengan institusi dan jaringan di luar negeri. Kerjasama (aliansi) tersebut diharapkan akan mampu melahirkan sinergi yang mampu mempercepat bangunan Cilacap Barat incorporated menuju pembentukan kabupaten baru yang memiliki kompetensi global. Dalam konteks semangat aliansi ini, wacana pembentukan Kabupaten Cilacap Barat seyogianya dilihat sebagai sebuah "persoalan bersama" yang di dalamnya, masyarakat Cialacap Barat tidak hanya memikirkan kepentingan dan masa depannya sendiri, tetapi juga “nasib” daerah tetangga dan daerah induknya. Artinya, wacana pembentukan Kabupaten Cilacap Barat tidak bisa dilepaskan dari sikap dialogis-negosiatif, sikap komunikatif-persuasif, sikap saling pengertian yang mutual, dalam rangka membangun masa depan bersama yang lebih baik. Wallahualam...

09 Agustus 2007
Penulis asli dari Desa Hanum, Dayeuhluhur, tinggal di Bandung.

Tidak ada komentar: