<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Selasa, 23 Maret 2010

Tunggu Aku di Ujung Banda....


Kabut tebal masih menyelimuti kawasan Bandung Utara pada semua lapisannya. Kilatan halilintar ikut mengiringi gelap dan suramnya suasana. Tak lama berselang, hujan deras mengguyur Jaya Giri yang senantiasa jauh dari kesan ramai dan bising. Harapan untuk melihat secercah mentari, kini tergantung dalam angan, sembari hati terus merancau, “Akankah mentari kembali terbit di negeri ini?”
Kekisruhan dihati bukan tanpa sebab. Realitas yang tampak bukanlah pembohong yang baik. Banyak pertanyaan bernada harap yang timbul dalam sanubariku. Segala daya untuk membebaskan pikiran dari belenggu terus kulakukan. Tapi, usaha untuk menata alur penyesalan ini, pada akhirnya harus berakhir dengan tragis; Bingung!
* * * *
Ku mengenal Jihan saat mengikuti seminar “Quo Vadis Aceh Pasca Darurat Sipil” di Hotel Jayakarta Bandung, tahun 2004. Saat Hendardi (PBHI), Usman Hamid (Kontras), dan Zumrotin (Komnas HAM), berdebat dengan dipandu oleh Mas Dandhi dari Majalah Aceh Kita, aku dan Jihan malah asyik bercengkrama.
Memang singkat pertemuan dengannya. Tapi kesan mendalam hadir dalam hati. Gadis manis, berhidung mancung dengan kerudung panjang membalut rambut. Pribadi mandiri terpancar dari tatapan matanya.
Setelah pertemuan itu, kami tak pernah lagi berjumpa. Lima tahun berlalu. Aku sudah melupakannya. Termasuk janjinya untuk merayakan pergantian tahun 2005 di puncak Jaya Giri berdua. Namun surat dari Jihan yang kuterima tadi pagi, menorehkan kembali memori itu. Lambat laun kubuka surat itu. Sederet tulisan tangan yang tersusun rapi menghiasi tiap lembar surat itu.
Sobat, Apa kabarmu? Apakah kau masih mengingatku? Kalaupun kau lupa, itu wajar. Maklum kita sempat bertemu lima tahun lalu. Sobat, kadang kita lupa untuk menengok masa lalu yang pernah kita lalui karena sibuk dengan aktivitas dan persoalan yang dihadapi hari ini. Metabolisme tubuh kita bergerak tanpa bekerja, bertingkah laku, sampai pada kita tak mau lagi mengerjakan satu hal sekalipun. Tanpa disadari, begitu banyak manusia di bumi ini yang selalu mempersoalkan kebutuhan, kepuasan dan kepentingan. Mungkin inilah yang sering kita sebut kebutuhan. Aktivitas yang dilakukan selalu saja mirip dengan hari sebelumnya.
Rutinitas itu masih sempat dilakukan oleh penduduk Serambi Mekkah sebelum gempa dan tsunami datang menimpa. Kami masih tetap menghirup udara pagi, lalu mendapatkan sinaran mentari. Kami selalu dirundung malam, bahkan terkadang tersiram hujan. Selalu seperti itu, seperti hari kemarin.
Tapi, keceriaan kami akhirnya lenyap dalam sekejap. Udara pagi yang biasanya menyapa kami, hari itu tak ada. Mentari pun tak tampak rona wajahnya. Sepertinya firasat buruk bakal menimpa negeri kami.
Tiba-tiba dentum gempa mengguncang Tanah Rencong. Gemuruh gedung runtuh jadi pemandangan di pusat kota. Penduduk negeri panik, kami tak tahu apa yang tengah terjadi. Tak lama berselang, gelombang ombak tinggi muncul di depan mata. Kami lari menyelamatkan diri. Aku sendiri lari layaknya anak Nuh ke puncak bukit, tempat pemakaman leluhur Aceh. Sementara gelombang maut terus mengejar tak kenal ampun.
Tiba-tiba badai tsunami menghantamku. Dalam sakit dan panik, aku masih terus berlari. Akhirnya ombak setinggi 30 meter menggulung tubuh lemahku. Aku pun tak sadarkan diri ...
Sobat, ... Entah mukjizat apa yang Tuhan berikan padaku! Aku tak tau berapa lama ku pingsan. Saat ku sadar, aku tergagap. Negeriku yang selalu rusuh tenggelam dilalap samudera. Gedung musnah, rata dengan tanah. Keluarga, saudara, tetangga dan kawanku, hilang tak tahu rimbanya. Sementara yang tersisa hanyalah puing kehancuran, jeritan dan tangisan warga diantara 127 ribu raga tak bernyawa.
Kududuk terhenyak. Murkanya alam telah meluluh-lantakkan peradaban yang telah mengukir namanya dengan tinta emas. Gempa bumi dengan kekuatan 8,9 sekala richter telah menghapus kejayaan Nanggroe Aceh Darusalam. Badai tsunami telah memisahkan anak dari pangkuan kedua orang tuanya. Satu generasi telah hilang!
Aku hanya bisa mengurut dada dan menata rasa iba. Melihat ibu yang kehilangan anaknya, mayat yang berserakan tanpa dikebumikan, derita pengungsi di tenda penampungan yang kelaparan karena bantuan telat datang.
* * * *
Sobat, ... maafkan aku yang tak bisa tepati janji untuk menikmati malam tahun baru bersama. Harapan kita untuk duduk berdua di puncak Jaya Giri sambil menikmati pesta kembang api akhirnya hanya sebatas impian. Keinginan kita untuk menghabiskan malam di pusat kota kembang tak tercapai.
Maaf, sekali lagi maaf! Aku tak mungkin merayakan pesta itu, sementara orang tuaku telah tiada. Aku tak mungkin bersuka cita, sementara negeriku porak poranda. Aku pun tak mungkin berada disampingmu, disaat rakyatku terus mengiba.
Sobatku, kutulis surat ini diatas puing kehancuran korban tsunami. Kutitipkan surat ini pada tentara Jawa yang dulu pernah menyanderaku. Kuberikan padamu agar kau tau maksud hati.
Kenangan kembali hadir dalam anganku. Saat itu kami berencana untuk merayakan tahun baru bersama. Namun, harapan itu terbang entah kemana, tragedi tsunami telah memisahkan dua hati.
“Jihan, tak apa kau tak hadir dipesta itu. Pikiran dan bening matamu sangat dibutuhkan. Buktikan pada Tentara Jawa, yang dulu pernah menuduhmu subversif, bahwa baktimu pada negeri, ikhlas semata!”.
* * * *
Sobatku, ... Inilah kaidah dasar yang kuberikan untuk mengetuk pintu hatimu. Goreskanlah dalam pikiran, dan ingatlah! “Bencana yang kami derita bukanlah tanpa sebab. Malapetaka yang kami terima bukan adzab Tuhan pada hamba yang memperjuangkan Syariat Islam. Duka kami bukan karena Gerakan Aceh Merdeka seperti yang didengungkan oleh Jakarta. Kami tak butuh belas kasihan. Jangan jadikan nestapa kami sebagai komoditi tontonan, karena bencana bukan berita! Yang kami butuhkan hanya satu: Kesadaran, bahwa kita saudara sebangsa dan seagama!”.
Rajutlah kebersamaan ini, agar kami yang dari dulu selalu didera derita tetap mengakui adanya INDONESIA! Keinginan kami memang beda dari kalian! Perbedaan yang ditemukan terkadang akan menimbulkan kecewa yang menggores hati, tapi berkali-kali seorang guru menganjurkan “Sekarang cari kesamaan! Jangan banyak komentar! Banyaklah belajar untuk kebersamaan!” Ketika kalian mencoba untuk bisa memaklumi kepahitan yang kami rasakan, mungkin ini lebih baik, agar mahfum bahwa belum tentu orang berbuat salah, mempunyai niatan buruk. Banyak maklum banyak tenang, Achh…cari saja 1001 alasan untuk memaklumi.
Sobatku, ... semakin lama kau ratapi penderitaanku, semakin banyak waktu terbuang untuk memikirkan satu hal yang mungkin sedikit guna. Mencoba membantu dengan karya nyata untuk kembali membangun negeri bukankah itu lebih baik? Bahkah Osama bin Laden pernah berkata disaat negerinya sedang dihujani nuklir Amerika, “Padahal kita sedang bermain-main di taman syurga!” Barangkali maksud dari perkataan tersebut menunjukan pada arti kebahagiaan dan ketentraman hidup. Bisa sejenak direfleksikan ketika kita kembali memahami tugas kita diciptakan dimuka bumi ini; sebagai wakil Tuhan yang mengemban misi untuk menyebarkan kasih sayang dalam panji kejayaan Islam kesegenap penjuru dunia. Ingatlah kata Anand Krishna, “Selama langit dan bumi ini masih ada, selama kau dan aku masih ada, rasa kasih akan selalu dibutuhkan”.
Sobatku, ... dalam refleksi ini, lagi-lagi ini hanya refleksi belaka, terlepas dari kemelut apa yang sedang Aceh hadapi. manusia tercipta lengkap dengan perasaan yang kompleks pada setiap komunitasnya. Penduduk Aceh juga manusia seperti yang lain, punya rasa kecewa, punya sedih, punya bahagia, dan segala paket kekurangan yang mungkin mengecewakan Indonesia. Bukan kami bangga akan kekurangan ini, namun pengertian, pemahaman dan kesadaran dari kalian sebagai saudara yang kami harapkan. Itu yang kami butuhkan sekarang! Bukan satu hukuman yang tak jelas, atas dasar belas kasihan yang samar!
Kedua tangan yang Tuhan ciptakan semakin jelas hikmahnya. Ketika jarimu dapat merasakan kegelisahanku yang tak sempat terucap, eratan jemari itu yang bicara, dalam rintihan hati menahan sakit.
Sobatku, kegelisahan hati untuk kembali bangkit dari titik nadir, membangun negeri ini, tak sempat kuatasi. Wajar kiranya jika aku yang pernah terluka karena harus terusir dari kampung halaman akibat fitnah “Tentara Jawa” masih merasakan sakitnya luka itu, bahkan luka itu berulang sampai berkali-kali. Aku hanya tak mau luka itu terulang kembali. Sakit … rasanya untuk bisa meregang pilu!!? Sobat, tidak ada niat egois disini! Apalagi lari dari kenyataan. Yang ada kiranya hanya kehati-hatian dan kesiapanku untuk bisa melewatinya kelak. Semoga Tuhan terus meneguhkan hatiku untuk bisa ikhlas menahan pilu, gelisah, dan kekesalan hati karena ulahku dan “kenakalan” Tentara kita.
Gagap aku membaca ratapan Jihan. Patriotisme yang tak pernah pudar meski harus terusir dari tanah leluhur! Sebagai seorang mahasiswi, geliat jiwa telah menggiringnya untuk memasuki dunia aktivis pergerakan. Kemelut Aceh akibat GAM dan tindakan TNI terhadap wanita pribumi di masa darurat sipil, telah memanggil kepeduliannya untuk terjun membela hak rakyat.
Saat sedang mendampingi korban pelecehan seksual sewaktu DOM, aparat dan TNI menciduknya. Tuduhan subversif membawanya ke meja hijau. Selama satu semester jeruji besi jadi tempat tinggalnya. Ia pun di drop out dari studinya.
Derita hati dan dendam telah membawanya pergi tinggalkan Aceh. Jawa jadi tujuan. Di Bandung, dunia aktivis kembali digeluti. Desakan pencabutan status darurat sipil di Aceh sebagai tuntutan. Gerak pembebasan Aceh dari belenggu Jakarta, membawa Jihan pada perjuangan tak bertepi.
* * * *
Bencana dan nestapa adalah fenomena Tuhan, dan hanya Tuhan yang berhak menentukan itu! Namun keindahan alam Aceh, kebersamaan dan kegelisahan warga yang sempat kami lalui bukan tanpa arti. Hanya Tuhan yang mengetahui akhir dari cerita panjang ini. Hanya harapan dan do’a yang mengiringi segenap penduduk negeri, “Semoga rintisan air hujan tidak menjadi banjir yang akan menggenangi negeri ini untuk kedua kalinya. Semoga mentari diiringi pelangi bertabur warna segera menghiasi cakrawala dunia di kawasan ujung Sumatra. Semoga...
Terima kasih telah menjadi bagian dari makna hidupku, ... Semoga waktu luangmu untuk membaca lembaran ini dapat dipetik hikmahnya walau kecil dan tak bermakna ....
Jihan, tunggu aku di Ujung Banda. Aku pasti datang...

Nana Suryana, Koordinator Komunitas Islam Emansipatoris (JIE) Bandung. [25/12/2009]

Tidak ada komentar: