<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Selasa, 23 Maret 2010

Kesadaran Ekologi, Kesadaran Menuju Illahi


Oleh : Nana Suryana

Teologi sebagi landasan umat Islam memberi pandangan tentang alam. Maka kesadaran akan alam merupakan manifestasi keimanan kita terhadap Tuhan. Paras Tuhan terwujud dalam hijaunya daun, birunya langit, dan luasnya bahari. Alam pun bergumam menyebut Asma Allah! Meminjam istilah Fritjof Cafra “Kesadaran akan ekologi membawa kita pada kesadaran Ilahi”.


Asumsi Cafra tersebut didasarkan pada kondisi ekologi yang mengkhwatirkan. Ditarik pada konteks Indonesia, rentetan musibah kemanusiaan yang terjadi akhir-akhir ini secara langsung memiliki relasi dengan alam. Banjir melanda Jakarta, dan kecelakaan pesawat Adam Air yang menelan banyak korban.
Belum lagi tragedi yang terjadi tahun lalu. Tsunami di Aceh, Gempa di Nabire, Yogyakarta dan Pangandaran, semburan lumpur panas di Sidoarjo, banjir rutin di Kabupaten Bandung, dan rentetan bencana alam lainnya. Sering kali alam dijadikan kambing hitam terjadinya kecelakaan manusia. Lebih jauh lagi barangkali menyalahkan Tuhan.
Pun dengan kondisi alam Jawa Barat. Dari luas total 791.519,33 hektare hutan, 90% arealnya rusak karena secara fisik hanya berupa tanah kosong yang tidak lagi berfungsi sebagai hutan (Pikiran Rakyat, 23/7/2005). Kejadian serupa terjadi di Bandung. Tahun 2003, penduduk Kota Bandung berjumlah 2,5 juta jiwa. Sedangkan jumlah pohon yang ada sebanyak 578.988 buah (Kompas, 2/3/2003). Menurut standar umum, siklus udara yang layak adalah 1 pohon untuk 2 orang, maka pohon yang dibutuhkan penduduk waktu itu yaitu 1.250 ribu pohon.
Itu dulu, empat tahun lalu! Entah berapa jumlah pohon yang tersisa sekarang! Tapi yang pasti, cuaca di Kota Bandung sekarang makin panas, udara kian sesak, seiring bertambahnya pabrik dan infrastruktur kota lain, tanpa kenyamanan lingkungan!
Selain itu, morosotnya kualitas alam juga diiringi dengan meningkatnya masalah kesehatan. Sekarang ini, penyakit peradaban; liver, kanker, flu burung, dan stroke merupakan faktor utama kematian. Fenomena ini menunjukan bahwa kondisi alam yang parah, secara langsung mempengaruhi pola aktivitas sosial. Dengan kata lain, bobroknya kondisi alam menyebabkan timbulnya penyakit.

Teologi Alam
Bila kita renungkan, bencana yang terjadi tentunya karena kita telah melanggar ketentuan (sunatullah). Siapa yang merusak alam, maka tanggunglah akibatnya! Alam akan membalasnya dengan berbagai bencana! “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali kejalan yang benar” (QS. 30:41).
Islam memiliki visi Rahmatan Lil’alamain. Islam tak hanya bicara persoalan ritualisme ibadah semata. Islam juga menyentuh persoalan alam. Al-Qur’an tak hanya berisi anjuran moral, tapi juga menggambarkan apa yang terjadi di alam. Lebih dari itu, Qur’an menggambarkan bahwa Tuhan-lah yang terlibat dalam sejarah alam semesta, termasuk manusia.
Landasan teologisnya tercantum dalam Qur’an surat Al-Baqarah:16, yang artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang dilangit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang di kendalikan antara langit dan bumi. Sesungguhnya terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan”.
Adalah kewajiban manusia untuk menjaga keharmonisan alam. Alam yang dijadikan objek dalam mencukupi kebutuhan hidup manusia, mesti ada mekanisme pengendalian hasrat (hawa’), yang di landasi oleh nilai ilahiyah. Seorang muslim harus memiliki frame bahwa alam merupakan makhluk Tuhan juga, sama seperti manusia, namun fungsi yang berbeda.
Secara ekplisit Q.S Al-Israa’ menjelaskan, “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada satu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyayang lagi Maha pengampun”.
Maka jelaslah bahwa hutan, binatang dan mahluk yang ada di bumi selain manusia, tak lain mesti dijaga guna menciptakan alam yang harmonis.

Mengelola Alam
Mengelola alam pada hakekatnya upaya untuk melestarikan lingkungan demi menopang kehidupan manusia. Walau alam berubah, kita usahakan agar tetap pada kondisi untuk menopang pertumbuhan, sehingga kelangsungan hidup kita dan anak cucu kita terjamin.
Tujuan tersebut dapat dicapai apabila manusia tidak membuat kerusakan. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya Allah amat dekat kepada orang yang berbuat baik.” (QS. 7:56).
Untuk mengatasi masalah alam, harus dilakukan penyadaran kepada manusia agar memiliki pandangan holistis, sadar hukum, dan mempunyai komitmen, serta kembali kepada petunjuk Allah SWT dalam pengelolaan alam.
Kita diajarkan untuk hidup serasi dengan Allah, sesama manusia, dan alam sekitar. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmatan lil’alamiin” (QS. 21:107). Pandangan ini mencerminkan sikap holistis dalam hidup kita, karena manusia bagian dari ekosistem tempat hidupnya. Maka, kesejahteraan manusia tergantung dari keutuhan ekosistemnya. Jika terjadi kerusakan ekosistem, manusia akan menderita. Dengan begitu manusia akan sadar terhadap hukum yang mengatur alam.
Pandangan holistik juga berarti bahwa kerusakan dan pengelolaan alam harus menjadi tanggung jawab semua pihak dan wilayah. Alam harus dikelola secara integral, global, universal dan sustainable.

* * *

Penulis adalah Pemerhati lingkungan dan Koordinator Jaringan Islam Emansipatoris (JIE) Bandung.

Tidak ada komentar: