<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Sabtu, 20 Maret 2010

Jasa dan Omelanmu, Isteriku...


Isteriku, kelemahan lelaki, termasuk aku, ada di mata. Jika aku tak bisa menundukkan pandanganku, niscaya panah setan kan berlesatan dari mataku, membidik tubuh-tubuh elok di sekitarku. Panah yang tertancap membuat darahku mendesir, bergolak, membangkitkan raksasa dalam diriku. Sang raksasa dapat melakukan apapun demi terpuasnya satu hal; Syahwat!

Adalah kau, istriku, yang selalu berada di sisiku, menjadi ladang bagiku untuk menyemai benih, menuai buah di kemudian hari. Adalah istri tempatku mengalirkan berjuta gelora. Biar lepas dan bukan adzab yang kelak diterima. Kewajiban yang kita tunaikan malah mendapat dua kenikmatan: dunia dan akhirat.

Maka, ketika aku terpikat pada liukan penari yang datang dari kobaran api, aku selalu ingat padamu, wahai istriku. Pada penyelamat yang melindungiku dari liukan indah namun membakar. Isteriku, bukankah kau juga dapat menari, bernyanyi dengan liukan yang sama? Lebih indah malah. Membawaku ke langit biru. Melambungkan raga hingga langit ketujuh.

Isteriku, aku menyemai benih di ladangmu. Benih itu tumbuh dan mekar. Sembilan bulan kau bersusah payah merawat benih itu hingga lahir tunas yang menggembirakan. Tak berhenti sampai di situ, kau juga merawat tunas agar tumbuh besar. Kokoh dan kuat. Jika ada yang salah dengan pertumbuhan sang tunas, pastilah kau yang aku salahkan. Bila tunas itu membanggakan, lebih dulu aku maju ke depan, mengaku, "Akulah yang membuatnya begitu". Baik buruknya sang tunas beberapa tahun ke depan tak lepas dari sentuhan tanganmu. Aku paham benar akan hal itu.

Isteriku, umumnya laki-laki tak bisa menjaga penampilan. Seperti aku, suamimu. Kulit legam tapi berpakaian warna gelap. Tubuh kurus malah suka baju bermotif kecil.
Atasan dan bawahan sering tak sepadan. Untunglah aku punya penata busana yang setiap pagi menyiapkan pakaianku, memilihkan apa yang pantas untukku, menjahitkan sendiri di waktu luang, menisik bila ada yang sobek. Ternyata benar juga kata pepatah, "Suami yang tampil menawan adalah wujud ketelatenan istri". Isteriku, tak mengapa aku mendengarmu berkeluh kesah atas kecakapannya itu.

Isteriku, pagi hingga sore aku bekerja. Berpeluh. Terkadang sampai menjelang malam. Mencari rizki. Setiap hari selalu begitu. Aku bekerja mengumpulkan harta, tapi terkadang aku tak begitu peduli dengan apa yang aku kumpulkan. Mendapatkan uang, beli ini dan beli itu. Untunglah ada kau yang selalu menjaga, memelihara, agar harta yang kuperoleh dengan keringat, air mata, bahkan darah tak menguap sia-sia. Ada kau yang selalu siap menjadi pemelihara selama 24 jam, tanpa bayaran pula.

Tak terbayang olehku jika aku mesti menggaji seseorang untuk menjaga hartaku 24 jam, dengan penuh cinta, kasih sayang, dan rasa memiliki yang tinggi, siapa yang sudi? Berapa pula ia mau dibayar. Niscaya sulit menemukan pemelihara rumah yang lebih telaten dari pada kau, istriku. Aku ingat betul akan hal itu. Maka tak ada salahnya jika aku mendengarkan omelanmu, karena mungkin kau lelah menjaga hartaku yang semakin hari semakin membebani.

Pulang kerja, aku memikul lelah di badan. Energi terkuras, beraktivitas di seharian. Aku butuh asupan untuk mengembalikan energi. Di meja makan, aku cuma tahu ada hidangan: nasi, ayam, sayur, sambal dan lalapan. Tak terpikir olehku kalau harga beras melambung. Pantesan tadi pagi kau sempat berdebat, menawar, dan meminta tambahan anggaran belanja.

Tak perlu aku memotong sayuran, mengulek bumbu, memilah cabai dan bawang. Tak perlu pusing aku memikirkan berapa takaran bumbu agar rasa pas di lidah. Yang aku tahu hanya makan. Itupun terkadang dengan jumlah berlebihan, menyisakan sedikit saja untukmu, si juru masak. Tanpa perhitungan kau selalu menjadi koki terbaik untukku. Mencatat dalam memori makanan apa yang disuka dan dibenci olehku.

Isteriku, maafkan aku... Setelah mengingat peranmu selama ini, akhirnya aku menyadari, betapa capeknya kau setiap hari. Pantesan saja kau sering mengomeliku. Mungkin kau capek, mungkin kau jenuh dengan segala beban rumah tangga yang ada di pundakmu.

Istriku, kau telah berusaha membentengiku dari api neraka, memelihara hartaku, menjaga penampilanku, mengasuh anak-anakku, menyediakan hidangan untukku. Untuk segala kemurahan hatimu, tak mengapa aku mendengarkan keluh kesah buah lelahmu.
Mulai sekarang, aku hanya akan mengingat kebaikan-kebaikanmu untuk menutupi segala cela dan kekuranganmu. Isteriku, bila kau sudah puas menumpahkan kata-kata,
izinkanlah aku menasehatimu, dengan cara yang baik, dengan penuh tawa canda. Hingga tak terhindar pertumpahan ludah dan caci maki tak terpuji antara kita. Karena itu sudah menjadi kewajibanku, untuk membimbingmu...

Tidak ada komentar: