<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Selasa, 23 Maret 2010

Ideologi Industri Televisi


Dilihat dari ekonomi politik dan materi siaran yang disajikan, televisi di Indonesia cenderung berideologi kapitalisme. Sebagai indikasi dari ideologi tersebut dapat dilihat dari: Ketegangan nilai dalam kebebasan kepemilikan; Kepemimpinan dikuasai intelektual borjuasi; Strategi pembangunan berakumulasi tinggi yang menjadikan rating sebagai rujukan; Liberalisme sebagai dasar ideologi, organisasi kekuasaannya industrial yang pragmatis-hedonis; Strategi komunikasinya menggunakan arus multi saluran; Organisasi televisi bersifat komersial; Teknik atau metoda adalah perubahan instrumentalis; Dan epistemologi atau pandangan dunianya sains, positivis dan mekanistik.

Mengungkap ideologi kapitalis televisi di Indonesia perspektif ekonomi politik, berarti upaya untuk mengetahui proses transformasi ideologi yang dilakukan televisi kepada pemirsa melalui program acaranya. Hal ini bisa dilihat dari:
Pertama, Ketegangan nilai dan kebebasan kepemilikan. Televisi di Indonesia, terutama pasca Orde Baru, selalu mengusung dan mewacanakan tentang ide kebebasan (freedom) dalam setiap acaranya. Etika atau nilai moral yang ditawarkannya membawa pemirsa pada pada sikap hedonis, konsumeris dan pragmatis, sehingga pemirsa kehilangan nalar kritisnya untuk melihat realitas kenyataan hidup.
Kepemilikan media televisi di Indonesia pun terpusat pada 8 konglomerat; Hary Tanoesoedibyo, Anthoni Salim, Anindya Bakrie, Keluarga Saria Atmaja, Jacob Oetama, Chairul Tanjung, Abdul Latif dan Surya Paloh. Saat ini, stasiun televisi jelas-jelas telah mengelompok menjadi beberapa kelompok, yakni: (1) RCTI, Global TV dan TPI dibawah payung MNC; (2) Indosiar, Trans TV dan Trans 7 dibawah Salim Group; Lativi dan ANTV dibawah konglomerat media global News Corp; (3) SCTV yang terkait dengan kelompok media internasional Singleton; (4) serta Metro TV yang sepenuhnya independen dibawah Surya Paloh. (Tempo Edisi 3-9/7/2006).
Kedua, Kepemimpinan dikuasai intelektual borjuasi. Setelah Majalah Tempo dibredel tahun 70-an, pengelola media banyak beralih dari kaum intelektual kepada kaum profesional terdidik dan terlatih di bidang jurnalistik, yang didukung atau mendukung pemilik modal. Kecenderungan ini membawa implikasi pada geraknya posisi kaum intelektual dalam televisi Indonesia, dari posisi sebagai “orang dalam” berubah menjadi “orang luar” institusi.
Pola hubungan yang baru ini tentu saja mengurangi kedekatan dan keakraban televisi dengan kaum intelektual yang pada gilirannya mempengaruhi kualitas idealisme televisi. Kalau pada mulanya televisi “bersatu tubuh” dengan kaum intelektual, maka idealisme televisi menjadi sangat kental. Tetapi, sekarang karena posisi televisi secara institusional terpisah dari kaum intelektual, maka idealisme televisi cenderung luntur.
Ketiga, Strategi pembangunan berakumulasi tinggi yang menjadikan rating sebagai rujukan. Hal ini disebabkan rating telah menjadi ideologi televisi Indonesia. Karena tuntutan rating, para pengelola stasiun televisi tak sempat lagi memikirkan program siaran yang bersifat idealistis. Semakin tinggi rating sebuah acara akan semakin besar pula daya serap iklannya. Jika sebuah program di sebuah stasiun televisi booming, stasiun televisi lain akan meniru program itu dan menampilkannya dengan sedikit rekayasa agar terkesan berbeda. Tiru-meniru menjadi lumrah, duplikasi progam bukan hal aneh.
Salah satu contohnya adalah tayangan sinetron. Di awal tahun 2005, sinetron religi yang ditayangkan salah satu stasiun televisi ternyata banyak peminatnya. Stasiun televisi lain beramai-ramai menayangkan sinetron sejenis. Televisi pun penuh sesak dengan tayangan sinetron religi seperti Takdir Ilahi, Suratan Takdir, Rahasia Ilahi, Hidayah, dan Astagfirullah yang berdasarkan penelitian AGB Nielsen Media Research akhir Juli 2005, merupakan lima dari sepuluh sinetron yang paling digemari.
Keempat, Liberalisme sebagai dasar ideologi, dan organisasi kekuasaannya industrial yang pragmatis-hedonis. Sebagai sebuah produk budaya global, industri televisi yang menganut paham ekonomi liberal akan selalu tunduk pada mekanisme pasar. Perubahan kepemimpinan media dari kaum intelektual kepada profesional yang mendukung pemilik modal membuat televisi Indonesia menjadi semakin industrial dan pragmatis, di mana posisi kapital menjadi sangat penting dan menggeser dominasi posisi jurnalis yang dulu dominan, ketika dikelola sejumlah intelektual.
Kelima, Strategi komunikasinya menggunakan arus multi saluran. Untuk melanggengkan ideologi kapitalis, saluran yang digunakan televisi adalah arus multi saluran. Hampir semua sektor informasi dikuasai. Televisi “menggandeng” media massa lain (radio, surat kabar, internet) untuk bekerja sama.
Keenam, Organisasi televisi bersifat komersial. Dalam arti, keputusan redaksional, misalnya dimuat tidaknya suatu berita atau hiburan, sangat dipengaruhi oleh pertimbangan eksistensi modal dan perkembangan oplah. Sementara pertimbangan ideal, seperti dipilihnya kepentingan rakyat kecil sebagai angle pemberitaan atau hiburan, dikritik dan dikontrolnya berbagai tindakan penguasa, atau keputusan politik yang bersifat distorsif dari kepentingan dan aspirasi rakyat, lebih sering ditinggalkan.
Ketujuh, Teknik atau metodanya adalah perubahan instrumentalis. Perspektif instrumentalis memberikan penekanan pada determinisme ekonomi, di mana segala sesuatu pada akhirnya akan dikaitkan secara langsung dengan kekuatan ekonomi. Perspektif ini melihat media sebagai instrumen dari kelas yang mendominasi. Dalam hal ini kapitalis dilihat sebagai pihak yang menggunakan kekuatan ekonominya dalam sistem pasar komersial untuk memastikan bahwa arus informasi televisi sesuai dengan kepentingannya.
Media dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena kemampuannya sebagai saran legitimasi. Televisi sebagimana lembaga pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan, merupakan bagian dari alat kekuasaan negara yang bekerja secara ideologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa (ideological states apparatus).
Studi kritis juga menempatkan media sebagai salah satu aktor budaya dalam melakukan imperialisme budaya. Aktor budaya dalam konteks ini adalah konteks ideologi dominan maka televisi menjadi ideological states apparatus.
Pada dasarnya televisi bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran manusia, televisi selalu memuat kepentingan. Televisi pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja televisi dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan kepentingan ideologi tertentu kelas tertentu. Pada titik tertentu, televisi pada dirinya sudah bersifat ideologis.
Kedelapan, Epistemologi atau pandangan dunianya sains, positivis dan mekanistik. Pada prinsipnya, paradigma televisi di Indonesia sebagai kerangka berpijak bagi operasionalisasi perusahaan televisi menganut paradigma struktural-fungsional, yang bertolak dari fungsi televisi pada sistem sosial.
Pada dasarnya, positivisme adalah jawaban alternatif dan tegas atas kegagalan filsafat spekulatif yang diradikalkan oleh filsafat Idealisme Jerman Immanuel Kant dan Filsafat Sejarah Hegel. Reaksi epistemologi ini lahir dari penolakan klaim kebenaran yang bersifat spekulatif dan jauh dari maksud sebenarnya dari pencarian kebenaran.
Ilmu komunikasi dalam sejarah awal pembentukan juga tidak jauh dari kecenderungan positivisme ilmiah. Paradigma utama dalam ilmu komunikasi pun tidak jauh dari masalah metodologis yang bersifat empirik positif. Pendekatan mekanistik ala Shannon-Weaver melihat bahwa komunikasi merupakan pecahan mekanik manusia yang pada dasarnya meniru perilaku mesin transmitter dan receiver. Kecenderungan bahwa komunikasi merupakan proses linear mekanistik merupakan derivasi pemahaman ilmu alam dalam gugus perilaku manusiawi.
Beberapa model pokok dalam ilmu komunikasi tidak jauh dari masalah distansi penuh antara peneliti dan yang diteliti, objektivistis-mekanistik, deduktif-nomonologis dan penelitian eksternal faktual dari setiap gejala yang masuk dalam perilaku komunikatif. Kecenderungan positivistik dalam ilmu komunikasi akhirnya membentuk bentuk ilmu sosial yang bersifat otoriter dan cenderung minus, kecuali dalam memuaskan aturan dan sistem logika ketat yang menuntut pengujian korelasional dan dapat diuji secara praktis.
Kecenderungan dominan positivisme dalam televisi memberikan hasil model-model meta naratif pada pengalaman sosial manusia. Meta narasi komunikasi yang bersifat universal mempunyai tantangan bahwa pola komunikasi sebenarnya sangat terikat dengan ruang dan waktu manusiawi. Padahal sifat keterikatan dengan ruang dan waktu ini bisa sangat bersifat tentatif dan relatif, mengingat sifat manusia yang bisa sangat kontekstual. Relasi komunikatif adalah kontekstual dalam arti bahwa relasi komunikatif tidak bisa begitu saja direduksi dalam pola kuantitatif yang bisa sangat rigid dengan keadaan yang sebenarnya. Pun dengan televisi!
Demikian tulisan singkat ini, semoga menjadi setitik sumbangan bagi perbendaharaan ilmu pengetahuan. Akhirul kalam, dunia telah berganti rupa, untuk peradaban kita! Demikianlah keyakinan penulis!
* * *
Penulis adalah pemerhati media, Koordinator Komunitas Islam Emansipatoris, Ketua I DPC PKB Kota Cimahi.

Tidak ada komentar: