<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Selasa, 23 Maret 2010

POTRET GERAKAN MAHASISWA INDONESIA


“Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia, Mengaku bertanah air satu, Tanah air tanpa penindasan. Kami mahasiswa mahasiswi Indonesia, Mengku berbangsa satu, Bangsa yang gandrung akan keadilan. Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia, mengaku berbahasa satu bahasa kebenaran”. (Sumpah Mahasiswa Indonesia)


“STUDENT TODAY, LEADER TOMORROW” adalah kalimat yang terkenal dikalangan mahasiswa pada dekade ’60-an. Untuk menjadi pemimpin dimasa depan, mereka banyak belajar dan berorganisasi. Biasanya mereka berangkat dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) atau Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Yang menonjol diantara mereka, bisa juga aktif di Dewan Mahasiswa (DEMA). DEMA atau Badan Eksekutif Mahasiswa intra kampus mempunyai perhimpunan ditingkat nasional, yaitu Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Perkembangan selanjutnya mahasiswa memiliki badan legislatif. Mereka tergabung dalam Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) ditingkat Fakultas dan Majelis Perwakilan Mahasiswa (MPM) ditingkat universitas.
Diluar kampus, tempat mahasiswa menempa dirinya cukup banyak. Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus diantaranya PMII, HMI, GMNI, CGMI, Somal dan lain-lain. Ditingkat nasional mereka berhimpun kedalam PMMI. Mereka sering mengadakan latihan kepemimpinan yang materinya berisi ideologi dan semangat perjuangan.
Jadi tempat berlatih para aktivis mahasiswa untuk menjadi pemimpin cukup banyak. Posisi pengurus inti di DEMA, PMMI dan MMI menjadi rebutan. Nama-nama mereka menonjol dan sering menjadi sumber pemberitaan pers.
Namun tatanan itu runtuh begitu peristiwa G 30 S/PKI meletus. Dewan mahasiswa masih berperan, tapi MMI tidak ada lagi. Tidak ada lagi CGMI, Perhimi, GMNI-Kiri dan organisasi lain yang berbau kiri (komunis). Karenanya PPMI pun juga hilang. Dibentuklah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) pada tanggal 25 Oktober 1965 yang bergelut dalam gerakan aksi ekstra parlementer.
* * *
DEMONSTRASI MAHASISWA tahun 1966 tercatat sebagai aksi pelajar dan mahasiswa paling heroik yang pernah terjadi di Indonesia. Aksi KAPPI dan KAMI memiliki warna tersendiri yang jauh dari rekayasa. Pada awal pergerakannya, tak seorangpun dapat memprediksikan jalannya peristiwa yang akan terjadi. Sulit membayangkan bagaimana presiden Soekarno akan jatuh.
Inti pesan mahasiswa yang utama pada saat itu sebenarnya hanya menuntut penurunan harga dan pembubaran PKI (komunis). Selain itu ada satu butir tambahan yang tercakup dalam TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat) yakni; me-reshuflle kabinet 100 yang dinilai tidak efektif dan efisien. Gema perjuangan mahasiswa akhirnya “digenapkan” oleh petualang politik dengan menjatuhkan Soekarno yang dicap condong kekiri-kirian. Dengan begitu gerakan mahasiswa telah ternodai dan telah dijadikan “kambing hitam” bagi pergantian rezim; dari orde lama menuju orde baru. Situasi tersebut berimbas pula pada kondisi di seluruh perguruan tinggi. Kampus menjadi runyam, karena terjadi skorsing terhadap dosen dan mahasiswa yang dianggap berbau komunis. Mekanisme pengajaran menjadi terabaikan selama beberapa saat. Kelompok yang memperjuangkan langgengnya Pancasila sudah tentu memandang “libur sekolah” sebagai konsekuensi logis dari suatu perjuangan besar.
Pada saat itu, mahasiswa memang menjadi sesuatu kekuatan alternatif setelah ABRI. Mereka mewakili kelompok intelektual yang sedang berkiblat pada model orang-orang terdidik dari Eropa Barat dan Amerika. Maka munculah tokoh-tokoh mahasiswa seperti Cosmas Batubara, Fahmi Idris, Mari’e Muhammad, Akbar Tanjung, Sofyan Wanadi, Rahman Tolleng dan lainnya. Kehadiran mereka secara kebetulan tersubordinat dari Senat atau Dewan Mahasiswa. Mereka maju nyaris tanpa jaminan perlindungan fisik. Dan untuk itu taruhannya adalah nyawa. Itulah pesona kehidupan kemahasiswaan pada era 1960-an, yang pada akhirnya melahirkan angkatan ’66.

* * *
PESONA MAHASISWA era 1970-an beda lagi ceritanya. Politik praksis yang dilakukan oleh mahasiswa tahun 1971 lewat demonstrasi anti korupsi, anti pembangunan TMII dan anti SPP. Hal itu kemudian diikuti oleh peristiwa Malari 1974 (Peristiwa Tanaka) dan kemudian peristiwa NKK tahun 1978.
Kehadiran mahasiswa pada peristiwa Malari, 15 Januari 1974, tidak lebih dari sekedar “kambing hitam kekuning-kuningan”. Sebab unjuk rasa yang murni dari mahasiswa adalah unjuk rasa yang terfokus pada kontra Japanisasi; suatu gerakan untuk menghambat haluan kita yang Jepang-sentris. Peristiwa Malari merupakan buah dari persaingan pengaruh dua jendral; Soemitro selaku Pangkomkamtib dan Ali Moertopo dengan kelompok CSIS-nya. Pada peristiwa Malari, konspirasi tokoh GOLKAR Ali Moertopo telah berhasil menumbangkan Jendral Soemitro, serta menetralisir pengaruh Yoga Soegama, Sutopo Yuwono, Kharis Suhud dan Alamsyah dibalik ambisi Ali Moertopo yang tak terkendali untuk menjadi presiden. Maka peristiwa Malari tidak lepas dari “magic kuningisasi”.
Imbas dari peristiwa malari ’74 dan huru hara mahasiswa ’78, pada masa Mendikbud Daud Yusuf diterapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) yang menjadi back ground politik nasional. Karena keduanya membawa konsekuensi penghapusan lembaga Dewan Mahasiswa (DEMA) di kampus, pelarangan masuknya ormas kemahasiswaan (ekstra universiter) ke kampus, mahasiswa tidak bisa lagi mengatasnamakan seluruh Perguruan Tinggi, serta memberikan kewenangan besar kepada fihak rektorat dalam mengawasai kegiatan ekstra kulikuler mahasiswa. Tujuan dari diterapkannya NKK/BKK tersebut yaitu untuk menciptakan insan yang pure akademis dan steril dari muatan politis. Dari kondisi seperti itu, mahasiswa dipaksa beraktivitas tanpa mengenakan baju ormas.
Bersamaan dengan itu, sistem belajar mengajar mahasiswa pun diubah dengan Sistem Kredit Semester (SKS). Sebelumnya dikenal istilah “mahasiswa abadi”, tetapi dengan penerapan sistem SKS, mahasiswa yang “malas” atau sejenisnya diancam droup-out (DO). Mereka tidak mempunyai kesempatan yang leluasa untuk bersentuhan dengan masyarakat berikut persoalannya. Tiap hari mereka dikejar dengan tugas-tugas makalah, penelitian dan lain sebagainya. Mereka yang menjadi aktivis kampus rata-rata harus mengorbankan studinya satu atau dua semester.
Sentuhan mahasiswa dengan masyarakat diperlukan. Itulah yang kemudian melatarbelakangi munculnya konsep Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang mempunyai nilai kredit. Menjalankan KKN dengan serius, mahasiswa akan bisa mengetahui denyut nadi masyarakat. Mereka bisa menjadi peka.
Pesona mahasiswa era tahun ’70-an ini, menghendaki terjadinya proses perubahan, pergantian suatu ide atau konsep/kebijakan atau orang-orang yang dianggap melanggar visi demokrasi sebagai acuan dasar gerakan mahasiswa.
* * *
SEMENTARA mahasiswa tahun 1980-an sampai awal 1990-an lebih terfokus pada ekses dari pelaksanaan pemilu. Ini terbukti dengan digelarnya aksi ekstra parlementer didepan gedung DPR/MPR pada tahun 1993.
Pada periode ini, konsep kemahasiswaan berubah. Badan Koordinasi Kampus (BKK) diubah menjadi Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) dan Senat Mahasiswa Fakultas (SMF). Selain itu Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) pun masih ada. Namun waktu yang dimiliki mahasiswa tetap terampas oleh kegiatan kuliahnya.

* * *
LALU APA yang kita saksikan dari pesona mahasiswa angkatan ’98? Gerakan mahasiswa yang dilatar belakangi oleh parahnya tingkat ketidakberdayaan ekonomi nasional karena ulah oknum birokrat yang korup (baca : KKN) ditambah mandulnya peranan DPR berhasil menumbangkan rezim otoriternya Orde Baru yang selama 32 tahun dipimpin oleh Soeharto. Gong ditabuh oleh seluruh civitas akademika disetiap tempat dengan menggelar mimbar bebas dan unjuk rasa. Ribuan mahasiswa turun aksi dan mimbar bebas pun digelar dengan tuntutan sama, yang pada intinya menebarkan pesan, maklumat, tuntutan dan saran yakni: pemberantasan KKN, turunkan harga, reformasi ekonomi dan politik, bersihkan kabinet dan menolak intervensi Amerika dengan IMF-nya.
Gerakan mahasiswa yang menyuarakan hati nurani rakyat membawa pesona tersendiri bagi mahasiswa angkatan ’98 ini, karena dinamika yang terjadi dibentuk oleh lingkungan strategis yang serba global-informasi. Kekhasannya ialah mereka sangat peka dalam merespon ketidak berdayaan ekonomi nasional dan mampu menberikan wahana pendidikan politik bagi masyarakat leweat aksi jalanannya.
Tumbangnya rezim Soeharto pada tanggal 22 mei 1998, membawa perubahan baru pada konsep dunia kemahasiswaan. SMPT diubah menjadi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). SMF raib entah kemana. Dan HMJ pun mengalami kegamangan dalam menghadapi realitas yang ada. Sementara itu BEM SI dan BEMI yang mirip dengan MMI di waktu dulu, terpaksa harus kehilangan gaungnya karena lebih banyak berkutat pada permasalahan internal.
Akhirnya, mahasiswapun kembali melangkah lebih praksis. Mereka rajin kuliah agar cepat selesai. Kalau mereka ingin berorganisasi di luar saja, di organisasi ekstra kampus. Imbasnya, gerakan mahasiswa pun terpecah belah yang pada akhirnya tenggelam dilibas zaman
* * *
BILA SEKARANG kita renungkan kembali kilas balik gerakan mahasiswa “tempo doeloe”, mungkin kita akan turut merasa bangga dengan menyandang titel mahasiswa. Karena pesona perjuangan yang dilakukan kawan-kawan kita dulu memiliki nilai heroisme yang begitu tinggi, walaupun sering kali nilai-nilai heroisme tersebut sering ternodai dan bahkan dijadikan ‘kambing hitam’ oleh para elite politik bangsa ini.
Lalu pesona apa yang diumiliki oleh kita, mahasiswa angkatan sekarang? Bila generasi 1908 hadir dengan konsep gerakan sosialnya; generasi 1928 dengan semangat kebangsaan yang dikristalkan dalam sumpah pemuda; generasi 1945 dengan proklamasi kemerdekaan berikut dasar-dasar negara; generasi 1966 dengan Tritura-nya; generasi 1974 dengan ide pemerataan pembangunan; generasi 1998 dengan reformasi totalnya; lalu generasi kita disebut generasi apa?
Sadar atau tidak, gerakan aksi mahasiswa pasca reformasi, tak lebih dari sekedar mord force yang nilai applaus-nya relatif rendah. Namun gerakan tersebut menandakan bahwa kepedulian mahasiswa terhadap problem demokrasi masih tetap dipelihara. Hal ini terbukti saat Abdurahman wahid (Gus Dur) diturunkan dari kursi kepresidenannya oleh kekuatan poros tengah, gerakan mahasiswa masih tetap konsisten dengan gerakan ‘moral’nya untuk menciptakan iklim demokrasi dinegeri ini, walaupun pada akhirnya gerakan tersebut terpecah menjadi dua kubu. Kubu mahasiswa yang pro kepemimpinan Gus Dur dimotori oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia (BEMI), sementara yang kontra Gus Dur dimotori oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI)
Dunia pergerakan mahasiswa, pasca tumbangnya Orde Baru mengalami keguncangan citra diri. Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa mengalami jalan buntu. Hal ini diakibatkan oleh ketidakmampuan aktivis-aktivis mahasiswa dalam mengorganisir massanya menjadi satu kekuatan. Mahasiswa kembali terpecah belah. Tidak adanya tokoh sentral yang mampu dijadikan panutan bersama oleh mahasiswa dan tidak adanya musuh bersama untuk dihadapinya, semakin memperparah kesatuan mahasiswa sekarang ini.
* * *
MAHASISWA sebagai bagian dari dunia kaum muda, sepantasnya peka dan tanggap terhadap berbagai peristiwa sosial dan nasional. Tidak mengherankan bila kebobrokan birokrat, ketimpangan sosial dan lainnya merupakan lahan basah bagi terjadinya gerakan mahasiswa. Dan justru akan terasa aneh kalau dunia mahasiswa bersikap apatis dan acuh terhadap realitas yang berkembang disekelilingnya. Aktivisme dalam dunia mahasiswa harus kita sambut sebagai syarat betapa tingginya sumbang rasa mereka bagi masyarakat.
Dan setelah sekian lama kita terkurung dalam kungkungan tembok almamater, oleh dosen-dosen dan fungsionaris kampus yang sok birokrat, sebagaimana tercermin dari baju safarinya yang tersetrika licin, isi pembicaraannya yang monoton dan membosankan. Saatnya mahasiswa untuk kembali berteriak dan menyeruak dengan otak yang menyembul galak meneriakan satu kata “LAWAN”. Melawan siapa saja (tak peduli itu rektorat, dosen, organisasi intra/ekstra kampus dll) yang akan menghambat kreatifitas dan sikap kritis mahasiswa. Sebuah perlawanan yang harus dilakukan secara universal dengan media yang beragam.
Diskusi bisa dilakukan dimana dan kapan saja, tanpa harus bernuansa formal seperti didalam kelas. Kritisisme harus tetap dijaga demi menjaga idealisme mahasiswa. Pers mahasiswa harus jelas keberpihakannya, dengan tidak menghilangkan ‘citra diri’nya sebagai penyambung lidah mahasiswa yang independen. Keberpihakan yang berarti bahwa keberanian dalam mengungkap/ membongkar kecurangan dan ketidakadilan setiap peristiwa, tanpa rasa takut dibredel oleh rektorat sebagai pemilik modal dan pemerintah (kampus).
Organisasi ekstra kampus harus dibangunkan dari tidur panjangnya. Pengasingan (alienasi) dirinya dari habitat asli (kampus dan mahasiswa) akibat hegemoni pemerintah melalui NKK/BKK harus dilawan. Organisasi ekstra kampus harus kembali ke kampus membawa perubahan baru lewat tawaran program kerja, atas dasar paradigma dan ideologi yang dibawanya, demi menghidupkan kembali dinamika politik mahasiswa. Saatnya organisasi ekstra kampus merebut stuktur kampus.
Sejarah berbicara, perubahan di kampus tidak pernah dilakukan oleh organ intra kampus yang pro status-quo. Lintas sejarahpun menyaksikan kalau perubahan yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh aktivis mahasiswa yang banyak bergelut di luar kampus. KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) sebagai aliansi aktivis mahasiswa ekstra universiter, lewat TRITURA-nya, berhasil menggulingkan Soekarno yang ‘dicap’ kekiri-kirian. Rezim Orde Baru pun tumbang oleh gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa dari beberapa organ (FORKOT, FORBES, FAMRED dll). Hal tersebut bukan berarti mengecilkan peran serta mahasiswa yang tergabung dalam organisai intra kampus, seperti Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) dalam penggulingan Soeharto. Namun bila di investigasi lebih dalam, mayoritas penggerak FKSMJ (sekarang BEM) tersebut adalah aktivis mahasiswa yang juga aktif di organisasi ekstra kampus. Mereka bukan hanya menjadi pendesain rutinitas kampus, namun mereka mencoba menempatkan diri sebagai agen perubahan (agent of social change) dengan tetap berpegang teguh pada sikap kritis dan kreatif, seperti yang disinyalir oleh Al-Ghazali, "Sesungguhnya tanpa kaum intelektual, sejarah peradaban Muslim tidak akan dapat dibayangkan dan tidak akan ada peradaban Muslim masa depan yang tetap hidup, dinamis dan terus berkembang tanpa lembaga kaum intelektual yang kritis dan kreatif".
"Kritis dan Kreatif", itulah yang perlu di-stabilo oleh kita dari statemennya Al-Ghazali. Tradisi kritisisme dan kreatifisme dalam lalu lintas sosial pengetahuan dan keilmuan umat menjadi hal yang tidak bisa diabaikan. Rekonstruksi pemikiran kritis dan etos kerja kreatif bagi umat adalah “iuran wajib” yang tidak dapat diacak lagi dasar hukumnya. Bila mengandaikan terwujudnya srtuktur sosial kehidupan masyarakat yang gandrung keadilan dan cinta "kesederajatan" dalam semangat humanisme. Krtitis dalam bahasanya Karl Marx, menjadi kunci segala kehidupan kita menembus fakta-fakta sosial kehidupan. Hidup tanpa bekal kritisisme dimanapun hanya akan jadi korban dehumanisasi, eksploitasi dan hegemonisasi system sosial yang ada. Sama halnya bila kita tidak kreatif dalam hidup. Kita akan selalu menjadi "manusia kedua". Tidak kreatif sama artinya dengan menyerahkan kepala sendiri untuk disembelih oleh realitas kehidupan sosial. Manusia tidak kreatif itulah yang disebut man of analisys; manusia yang selalu dianalisis system. Ia akan dijadikan robot oleh system sosial. Manusia macam ini sampai kapanpun akan ditindas dan tertindas. Dan manusia semcam ini telah menyalahi fitrahnya sebagai manusia yang diciptakan dengan sebaik-baiknya bentuk dan dibekali "burger" kreatifitas.
Fenomena "material" diatas, yakni tidak adanya tradisi kritisisme dan kreatifisme, juga masih berlangsung dilingkungan IAIN SGD hingga saat ini. Dialogical sphere dan critical sphere sengaja disumbat dengan metode pengajaran pedagogik. Mahasiswa dilarang mendebat Dosen, dalam kondisi apapun. Alih-alih disadari bahwa sikap pendidikan semacam itu salah. Berani mengkritik terlalu tajam berarti mahasiswa tersebut telah memilih namanya di-list dan nilainya "digilas" tanpa perhitungan rasional. Konsekuensi dari "budaya eksklusif-egois" ini adalah mampet-nya transformasi semangat maupun nilai-nilai intelektualisme. Mahasiswa tidak kreatif. Mahasiswa menjadi "pasien" pengetahuan yang tidak mencerdaskan. Mereka terkerangkeng kreatifitas dan fakultas kritisnya.
Believe or not, kenyataan diatas sangat mempengaruhi kualitas intelektualitas dan kreatifitas sosial-akademik mahasiswa. Tentu juga berefek pada mutu output; sarjana yang ada. Dipenggalnya srtukturalisasi kritisisme dan kreatifisme dikalangan mahasiswa hanya akan mendapat jurang kehancuran bagi masa depannya. Output dari lembaga IAIN SGD ini akan berlarian dengan skill impotent. Menyumbat semangat dan tradisi intelektual-kritis akan membuat mahasiswa tidak produktif, baik dalam konteks penciptaan "mesin-mesin sosial" maupun cultural ideas yang langsung berkait dengan pengembangan dan pemberdayaan academical society.
Jujur saja, kultur akademik di IAIN SGD ini kurang mendukung terciptanya tradisi intelektual-kritis atau kreatifitas-intelektual yang ulet dan "modis". Kalau boleh dibilang, fenomena hari ini dilingkungan IAIN SGD menunjukan intellectual morbid; tidak sehatnya 'fisik intelektualitas'. Semangat akademik hanya ada dalam ruang-ruang perkantoran. Diluar tidak. Diskusi hanya sah dan tepat kalau berlangsung didalam kelas. Ditempat terbuka dianggap tidak sopan. Tidak etis. Inilah manifestasi "formalisme" yang masih dijajakan dan di-cekokin terhadap mahasiswa. Formalisme kaku seperti ini menutup ruang wacana. Meniadakan kesempatan "negasi ilmiah" antara mahasiswa dan dosen, sebagai masyarakat akademik. Itulah bentuk riil cultural obscurantism dalam wilayah kesadaran intelektual. Dan disini kebebasan berfikir (thinking liberalization) mengalami pengekangan yang ekstrim. Tidak akan pernah ada kritisisme dan kreatifitas berfikir bila kebebasan berfikir dibrondol dengan peluru hegemonik dan eksploitatif. Tradisi yang akan lahir bukan yang bervisi intelektual-akademik, melainkan insipid tradition for intellectualism; tradisi kehambaran, ketidakbermutuan dalam konteks intelektualitas.
Sebagai konsekuensi fatal dari menjalarnya tradisi pengekangan ini melahirkan sifat otoritarianik, eksklusif dan menjauhkan mahasiswa dari pengambilan kebijakan akademik. Tidak berhenti sampai disitu, metode dan proses recruitment tenaga pengajarpun bukan didasarkan atas kecakapan intelektual. Political lobbying, politik pendekatan menjadi "walinya". Siapa yang dekat dengan saya dialang yang pasti diangkat dan diberi kursi. Siapa yang kritis dan tidak manut disingkirkan dipojok kegelapan. Tradisi ini mendahulukan kepentingan politik kekuasaan ketimbang pemberdayaan dan proporsionalitas intelektualisme. Hampir semua perangkat dipolitisir. Manipulasi penafsiran terjadi.
Akibatnya, tradisi intelektual mahasiswa tidak pernah tumbuh dan berkembang sesuai dengan cita-cita idealnya. Kreatifitas mahasiswa dalam aspek intelektualitasnya tetap hanya sebatas impian. Sebagai bukti; sedikitnya kelompok diskusi ditingkat lembaga kemahasiswaan (UKM, HMJ, BEM dll). Minimnya minat baca dan penelitian akademik-ilmiah dalam kerangka pengembangan daya intelektualitas. Kapabilitas dan kapasitas pejabat ditingkat rektorat samara-samar ikut melegitimasi realitas tersebut.
Begitupun dengan tradisi politiknya. Kepemimpinan mahasiswa baik dalam konteks intelektual dan politik tak jauh berbeda dengan apa yang berlangsung di elite birokrat. Ini kan menjadi sesuatu yang absah bila dilihat dari "struktural-geografis"nya, kultur lokal yang masih mendominasi dan seringkali menyisihkan sikap-sikap interventif bagi kelangsungan kultur politik yang ada. Jika ditingkat elite, sistem dan karakteristik kekuasaannya cenderung mendominasi, "menguasai" dan memanfaatkan, selama itu pula dinamika tradisi politik mahasiswa tidak akan pernah jernih dan menyejukkan. Mahasiswa sering dijadikan alat memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan elite. Cara satu-satunya meretas semua itu ialah menciptakan jarak dan tradisi loyal opposition bagi elite birokrat. Mahasiswa mesti selalu vis a vis dengan rektorat. Disamping itu, mahasiswa harus memiliki sikap tegas untuk melakukan sosial control kapan dan dalam wilayah sosial akademik apapun. Tak kurang efektif dari itu, mahasiswa harus senantiasa aktif-liberatif dalam pengasahan skill intelektual dan pendewasaan politik yang berjiwa komitmen akademik.
Kepemimpinan mahasiswa hendaknya tetap konsisten pada kepemimpinan intelektual. Tentu saja yang tidak a-politis. Jika Ali Syariati mengecam kaum intelektual mengambil alih kepemimpinan politik, itu kan dulu. Semangat zaman mempunyai perbedaan ruang dan masa tersendiri. Dan bukankah, meminjam bahasanya Foucoult; tidak ada kekuasaan tanpa "intelektualitas; pengetahuan", dan tiada intelektualitas tanpa kuasa. Jadi, kecaman Ali Syariati atas kaum intelektual yang mengambil alih kepemimpinan politik akan menemukan relevansinya bila kerkuasaan hanya dipahami dalam perspektif politik, bukan memakai logika intelektual.
Oleh karenanya, tradisi intelektual ditingkat mahasiswa menjadi penentu tegaknya tradisi politik yang menyejukkan. Bicara tradisi politik yang tidak dibarengi semangat intelektual akan melahirkan kepemimpinan politik yang hedonis dan pragmatis. Tidak demikian bila komitmen intelektualisme menjadi "make up" tradisi dan praktik politik itu sendiri. Konkritnya, memberdayakan forum-forum diskusi yang mengedepankan bangunan rasionalitas dan inklusifitas wacana, kapan dan dimanapun, akan memberikan warna lain bagi proses maupun kesadaran politik. Demi berkembangnya tradisi intelektual yang transparan, elegan dan yang senantiasa mengarah pada pencerdasan, semangat kritisisme dan kreativisme intelektual merupakan keharusan yang tak bisa ditawar lagi. Dan Political Moratorium; penangguhan kepentingan politik mesti senantiasa diperhatikan. Tradisi politik mahasiswa tidak sama dengan tradisi politik elite partai. Politik mahasiswa tetap dalam koridor perspektif dan semangat akademik. Bukan syahwat berkuasa. Tradisi intelektual dan politik mahasiswa harus berorientasi untuk melahirkan pribadi-pribadi "agung", yang memiliki semangat sensitive atas aspirasi sosial masyarakat. Wallahu a'lam ?!? (15/05/2005)

Tidak ada komentar: