Rabu, 17 Agustus 2011
SURAT KE DELAPAN
Aku tak biasa menulis surat. Tak biasa merangkai kata-kata yang bisa dibilang “indah”. Tak biasa mengungkapkan pelbagai rasa meski hanya dalam sebuah huruf “a” yang dituangkan dalam lembar kosa, apalagi lebih dari itu.
Tapi aku pernah menulis tujuh buah surat yang sayangnya tak pernah kukirimkan kepada dia yang kutuju. Sebab aku malu. Aku malu jika aku harus menatap matanya yang cokelat, merasakan gelegak cinta yang tak bisa kutahan. Aku malu jika aku harus menyodorkan tanganku kepadanya, berharap dia menyambutku, lalu pelan-pelan membaca surat-suratku di hadapanku. Lantas kau pasti bertanya, kenapa aku tak mengirimnya lewat pos saja? Kau tahu, aku laki-laki. Aku lebih malu jika aku menunjukkan ketidakjantananku di hadapannya. Sebab kau tahu, laki-laki harusnya berani mengungkapkan perasaannya secara langsung kepada wanita yang dicintainya. Tidak seperti aku.
***
Aku menemukan mereka di tumpukan laci paling bawah lemariku. Tidak kulipat. Karena aku tak mau surat-suratku menjadi pucat dengan bekas-bekas lipatan, seperti kerut pada wajahku yang mulai menua. Kulihat sekilas, melahirkan senyuman. Dan seolah kerinduan, aku menyengajakan diri duduk di pinggir jendela dengan matahari senja, membaca mereka, satu per satu.
/1/
: zane,
Aku cuma perlu melipat rindu. Lalu kusembunyikan di bawah bantalku. Sebab malam ini aku sangat ingin memimpikanmu.
/2/
: zane,
Tidakkah kau ingat malam itu, saat kita berdua menuliskan berbait mimpi di atas kertas putih? Lalu melipatnya hati-hati menjadi sebuah pesawat mini yang kita terbangkan ke langit tinggi?
Dan tidakkah kau ingat, di malam hari keempat belas bulan berikutnya, aku membawa sepotong bulan ke rumahmu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu? Lalu kuletakkan tepat di pangkuanmu? Agar kau tahu, betapa besar pengorbananku untukmu?
/3/
: zane,
Akhirnya selesai kubuat sebuah perahu yang cukup untuk kita naiki berdua mengarungi samudra kehidupan. Sudah kusiapkan pula dua kail untuk kita memancing ikan, menjadi bekal agar tak sampai kelaparan.
Tenang, perahu ini takkan mudah oleng. Takkan mudah goyah terkena terpaan ombak kehidupan. Sebab aku sudah cukup lama belajar mendayung, mengenali ombak dan menjinakkannya. Kau tak percaya?
/4/
: zane,
Rumah baru kita cuma berlantai plester, bukan keramik. Maka kau tak boleh berbaring di sana, tak baik untuk kesehatan. Tidak pula ada langit-langit. Hanya genting tua pemberian tetangga saat perkawinan kita. Dengan begitu kita bisa mendengar senandung hujan, katanya.
Tapi sudah kusiapkan sebuah kasur untuk kita berdua, meski cuma kasur kapuk tua yang kubeli dengan harga murah. Tanpa dipan. Tanpa bantal. Tanpa guling. Pun tanpa selimut. Sebab kau sudah punya aku, yang menjadi semua itu.
/5/
: zane,
Kita belum punya kendaraan. Tapi bukan berarti kita tak bisa berjalan-jalan. Tenang saja, kita tetap bisa menjejak bebasah rerumputan di akhir pekan. Kita juga tetap bisa makan ayam goreng di warung sebelah restoran. Atau sekali-kali kita bisa pergi menikmati belantara hutan, menikmati kealamian.
Terserah. Asal jangan kau ajak aku pergi melihat bulan.
/6/
: zane,
Aku bukan Sukab yang mampu memotong senja seukuran kartu pos. Aku bukan pujangga yang bisa menyampaikan cintanya kepada angin, kepada awan, kepada setiap unsur kehidupan. Sebab aku hanyalah suamimu, pegawai negeri biasa yang terbiasa menghitung angka-angka. Mengeja tiap bait logika.
Aku ingin menyatakan rindu, tapi tak bisa. Aku ingin menikmati bulan madu, juga tak bisa. Maaf, aku sudah harus bertugas ke luar kota. Meninggalkanmu di sana, sendirian. Meski belum genap dua bulan kita bermesraaan.
/7/
: zane,
Kau sudah minta mangga muda meski baru dua bulan kita bergenggaman tangan. Menyatukan badan. Menyatukan kehangatan. Padahal sekarang sedang tak musim mangga. Cuma ada duku, durian, dan rambutan, yang bahkan sampai diobral di pasar. Tapi kau tetap terus merengek minta mangga muda. Sampai kadang-kadang mengancam takkan mau makan nasi, tak mau mandi, dan tak mau tidur denganku lagi.
Aku ke Kota Sidat. Ke Sili. Katanya tak ada mangga di sini. Aku terus ke Tripang hingga Baronang. Tetap saja tak ada. Sampai-sampai aku kehabisan uang, tak bisa pulang.
***
: zane,
Aku ingin membuatmu bangga. Aku akan melakukan apa saja asal bisa membuatmu bahagia. Makanya aku rela berjalan menyusuri rel kereta api sembari mencuri pandang ke halaman rumah-rumah yang berjajar rapi di sebelah kiri dan kanan. Tapi tetap tak ada mangga muda. Jangankan itu, pohon mangga pun tak ada!
Maka aku pulang dengan wajah tertunduk. Kecewa.
Tapi tiba-tiba, saat aku sampai di depan rumah, kau menyambutku dengan pelukan. Tak peduli dengan bau badan yang sudah menyengat. Sebab berhari-hari aku tak mandi. Kecuali dengan keringat.
(dan kulihat di atas meja ada sepiring mangga muda, entah dari siapa)
***
Tidak ada surat kedelapan. Hanya tujuh. Dan cukup tujuh. Meski tujuh, itu sudah cukup untuk membuat mataku berair. Sebab satu per satunya adalah kenangan, dan juga perjalanan. Sebab segalanya adalah kerinduanku untuknya, yang kini sudah tak ada. Sebab… ah, aku tak tahu.
Di dinding, tepat di atas ranjang kami itu, terpasang sebuah pigura dengan dua buah senyum yang terlalu manis untuk kukenang. Aku masih menatapnya sejenak. Menatap wajahnya yang sudah tak bisa kulihat lagi.
Dan aku menangis, untuk kesekian kali.
Pelan-pelan aku turunkan pigura itu. Kupandangi sekali lagi. Sudah saatnya aku menyimpan kerinduan, menetralisir kesedihan. Tapi seperti ada yang janggal di sana. Seperti kertas, menyembul menunjukkan dirinya. Dan memang kertas yang terlipat rapi dan tampak sengaja diselipkan. Pelan-pelan kubuka. Lalu kubaca.
Kepada suamiku yang tersayang, Apa aku masih hidup saat kau menemukan tulisan tanganku ini?
Kurasa tidak. Sebab tak mungkin kau punya waktu untuk mengurusi hal-hal kecil di rumah ini. Apalagi menatap kenangan kita. Kecuali ketika kau ingin membenahi rumah ini, untuk melenyapkan kerinduanmu akanku yang sudah tak bisa kau lihat lagi.
Suamiku, aku benar-benar sudah mati, ya?
Baiklah. Tidak apa-apa. Kau jangan menangis, ya, di sana. Sudah, ubah sifatmu yang sangat mudah khawatir itu. Laki-laki harus tegar. Meski kuakui, sebab itulah aku tak pernah menceritakan penyakitku ini kepadamu. Aku takut konsentrasimu akan terganggu karenaku…
Suamiku…
Aku ingin menceritakan sebuah rahasia. Kau tahu? Aku sudah membaca ketujuh suratmu. Diam-diam. Kau tidak marah, kan?
Surat pertamamu menceritakan rindu.
Apa kau menuliskannya saat kita masih berpacaran?
Sepertinya iya.
Katamu kau menyembunyikan rindu itu di bawah bantal. Tapi kau tahu, aku menemukan rindu itu. Lalu kusembunyikan di tempat lain. Sebab aku tak mau muncul di dalam tidurmu. Aku lebih ingin kau datang padaku dan mengatakan rindu dengan gambling kepadaku. Meski tidak mungkin seperti itu…
Surat keduamu membuatku tersentuh. Aku tentu saja ingat hari itu. Saat itu, kau malu-malu memasangkan cincin di jariku, mengatakan cinta untuk pertama kalinya di depanku. Padahal sudah tiga bulan kita berpacaran. Tapi baru sekali itu kau mengatakan cinta. Kau tahu, aku benar-benar bahagia. Apalagi saat kau memeluk dan menciumku dengan hangat.
Dan tentang bulan, aku masih terus menyimpannya. Pun sampai aku menuliskan surat ini. Masih kusimpan di ruang hatiku yang gelap. Tapi karena kau sudah membaca surat ini, kau harus mengambil bulan itu kembali (kuletakkan di lampiran paling kiri).
Suamiku…
Apa kau ingat apa syarat mutlak wanita yang kau terima jadi istrimu?
Kau bilang saat itu, wanita itu harus mau dan bisa hidup susah denganmu. Maka aku menerimanya. Sebab aku sudah terbiasa hidup di lingkungan yang biasa-biasa saja. Maka aku menikmati rumah tua kita yang tanpa atap, kasur tua tanpa dipan, dan jalan-jalan kita di tiap akhir pekan (meski tak berkendaraan). Asalkan ada kau, aku sudah sangat bahagia. Sebab kau tahu, aku sangat mencintaimu…
Tentang Sukab:
Ah, kau memang sangat mengaguminya, ya? Sampai-sampai kau mengutipnya dalam suratmu untukku. Tapi tak apalah. Aku juga suka pada Sukab. Tentu tidak sebesar rasa sukaku padamu. Sebab kau telah membawa bulan ke pangkuanku.
Suamiku…
Aku tertawa membaca surat ketujuhmu. Maaf… hari itu aku sangat kesal sekali. Dan kau malah pergi berhari-hari mencari mangga muda. Dan pulangnya kau kubuat cemburu dengan tidak menceritakan dari mana mangga di atas meja itu. Baiklah kuberi tahu, mangga itu dari tetangga kita. Dia punya pohon mangga di belakang rumahnya. Kau pasti tak tahu, kan? Makanya kubilang, lebih pedulilah dengan lingkunganmu. Kenali mereka. Jangan hanya diam saja di rumah dengan alasan capek sehabis bekerja. Ya? Tapi aku bahagia. Sangat bahagia. Karena ternyata kau masih rela berkorban untukku.
Suamiku...
Aku tidak menangis saat menulis surat ini. Makanya, kau juga jangan menangis saat membacanya.
Hah, aku sudah mati, ya?
Dan maaf, kalau janin ini juga ikut mati…
Suamiku…
Maaf kalau tulisanku berantakan. Dan terlalu banyak aku berbicara.
Jaga dirimu baik-baik.
(Bukankah aku sudah menepati janji? Untuk mencintaimu sampai aku mati?)
Istrimu, Zane, yang mencintaimu…
Maka aku menangis. Benar-benar menangis. Tetes-tetes air mata membasahi kertas itu sebelum kulipat seperti sedia kala. Lalu kusatukan dengan tujuh surat lainnya. Kukembalikan ke tempat semula. Di bilik rahasia, tempat persembunyian cinta.
Cuplikan kisah dalam buku “Dongeng Afrizal” karya Pringadi Abdi Surya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar