Sabtu, 15 Mei 2010
suara yang [seakan] kehilangan gairah
Malam beranjak dini. Duduk tenang, ada rokok dan kopi. Hanya senandung Sita lewat lantunan “Dona-dona” dan “Tuhan”-nya Bimbo yang ikut meramaikan suasana. Saat ini, aku hanya ingin bercerita tentang diriku. Cerita yang tidak ada sudutnya. Tentu saja, cerita ini bukan tentang sunyi, tapi cukup sepi. Biarlah mengalir saja. Toh, pada akhirnya tidak ada yang peduli, bahwa di luar kamarku lebih membosankan. Tapi ingat, aku tidak bisa bercerita dengan baik seperti Ibuku. Hanya saja aku suka, karena dalam ceritalah aku bisa menjadi apa saja, termasuk tentang pencarian dan kejujuran. Dan yang tahu tentang kebenarannya hanya diriku sendiri. Jadi maklum saja! Semoga kalian tak mencapnya “Kafir…”.
Huhhh… Kuawali sabda ini dengan meminjam kosa kata pantun; “Pertengkaran adalah sampiran, kesunyian menjadi isi”. Meski isi itu, dalam beberapa hal, terlihat anomali. Maklum, karena aku menulis dan bercerita memang tak mematok tujuan. Aku hanya ingin bergerak dari saat ke saat, setindak-tindak, laku dalam proses. Aku hanya ingin berlaku seperti yang diminati kaum nihilis-aktif, “Bergerak tanpa patokan, kreativitas yang lahir dalam suasana”. Hmmm… Entahlah!
Tapi, mungkin di sinilah anomali itu menimpaku. Ketakterpatokan itu terasa dalam gairah yang tidak kentara, atau mungkin tak ada. Berbeda dari pola pikir Nietzsche yang bergerak dalam gairah, menerima nasib dengan rasa cinta, “Kusayangi apa yang terberi”, atau menjadi “gila”. Aku justru hanya ingin menepi, merenung, dan pasrah menyerah, menghadap pada-Nya. Lebih seperti ketenangan air danau, yang menutupi gerak arus di bawahnya.
Tuhan, aku memang tak menampik apa pun yang diberikan oleh-Mu, tapi keberterimaanku itu tidak dengan “cinta”. Aku menerima-Mu dalam keadaan yang seakan, “Apa boleh buat…”. Dalam hal ini, aku lebih seperti yang dikatakan Albert Camus dalam Mite Sisifus, “Selalu tiba saatnya kita harus memilih antara renungan dan tindakan. Begitulah hakikatnya menjadi manusia. Kepedihan-kepedihan itu mengerikan. Namun untuk hati yg memiliki kebanggaan, di situ tidak mungkin ada pilihan tengah. Ada ‘tuhan’ atau waktu, salib atau pedang. Dunia ini mempunyai arti yang lebih tinggi yang melampaui segala hiruk-pikuknya atau tidak ada suatu pun yang benar selain hiruk-pikuk itu.”
Tapi, suaraku layaknya getar yang kehilangan gairah, atau ajakan Camus untuk merenung, mendapatkan arti yang melampaui kehirukpikukan itu, kini tak kutemukan lagi. Yang aku dengar saat ini dan lusa adalah “Tidak ada suatu pun yang benar selain riuh-rendah itu.”
Ahhh… Lewat tatap kosongku, aku hanya (coba) bicara tentang Tuhan, yang kata Amir Hamzah, ganas dan memangsa: “Engkau ganas/ Engkau cemburu/ Mangsa aku dalam cakar-Mu/ Bertukar tangkap dengan lepas”. Sementara dalam dialektika ini, aku berpegang pada titah Ahmad Wahib, “Warna yang beraneka rona kita hormati, bentuk yang beranaka ragam kita terima”. Tuhan di sini, ibarat kekasih, yang tak ingin kecintaannya berpaling. Karena itulah, aku jadi ingat nasihat Bapaku, saat mulai belajar mengkaji huruf “Alif, Ba, Ta, Tsa”. Bening suaranya masih terngiang dengan nyata, “Nak, jangan kau buat Gusti Allah ‘cemburu’. Karena tidak ada yang lebih ‘cemburu’ daripada-Nya.” Tentu saja aku terhenyak. “Kenapa Allah cemburu padaku, Pak?”. “Karena hatimu, setiap hari, lebih menzikirkan hal-hal duniawi.”
Saat itu, aku masih pening memikirkan maknanya. Kini, saat usiaku mulai menginjak kepala tiga, lapat-lapat suara syahdu yang dimainkan Bapa, mulai kupahami. Ungkap “cemburu” sebatas kiasan semata. “Cinta manusia pada apa pun, harus menjadi jalan untuk mencintai dan mendapatkan cinta-Nya. Karena itu, anak, istri, kekasih, jabatan, dan harta, baru dirasa bernilai ketika dapat menjadi selaras untuk menjumpai sang Khalik”. Bagiku, bertuhan, dengan demikian, lebih merupakan suatu pengalaman personal.
Dalam personalisasi semacam itu, Tuhan acap “ditemukan” dalam banyak “wajah”. Disini, dalam pengalaman personalku, Tuhan telah “hadir”; menegur, membimbing, dan memberi, meski terlihat samar. Dan aku merasakan persentuhan itu! Terlepas pendapatku ini mesti bertabrakan dengan Chairil Anwar, “…susah sungguh / Mengingat Kau penuh seluruh”.
Dan disinilah dilemaku itu dimulai. Mengingat, mengenal, ditegur, adalah pengalaman yang mewaktu, ketika alpa dan ingat, dapat bertukar lepas dengan tangkap. Padahal, Tuhan yang datang lewat wahyu, justru mengatasi waktu. Wahyu hakikatnya tak mewaktu, melampaui masa, di luar fase sejarah. Jadi, bagaimana mungkin “sesuatu” yang di luar waktu, dibahasakan dalam personalisasi pengalaman? Dan di titik inilah aku mulai sadar. Dilema itu punya titik temu: “Bertuhan adalah pengalaman personal yang terbahasakan”.
Pengalaman personal yang dimaksud di sini adalah sebuah situasi yang berada di luar kala, semacam ekstase kaum sufi, suasana hening ketika berzikir, atau blank tatkala menanggung sakit dan rindu. Dalam ketakmewaktuan itulah Tuhan hadir. Seperti “ketercerabutan” Rosul Muhammad dari realitas, kebersaatan, ketika menerima wahyu melalui Jibril. Nah, kehadiran Dia yang di luar kala itu, tak punya arti, sebelum dikatakan dalam bahasa orang ramai. Itulah sebabnya, al-Hallaj, membuka rahasia syatahat. Yazid al-Bustami bernubuat di kelimun umat. Tuhan yang mereka dapat di dalam ketakberkalaan, bukan mereka simpan, tapi dileburkan dalam kancah perbuatan. Bertuhan dengan demikian adalah perilaku. Adalah akhlak, sikap, tindak, dan cara mencinta.
Ukuran kebertuhanan pun menjadi bukan pada pengalaman personal dalam kesendirian, kealiman batin dan kesantunan pribadi, melainkan "kesalehan sosial", keberdampakan iman bagi orang banyak. Bertuhan dan beriman, dalam skala yang paling akbar, adalah pengalaman personal mi’raj Nabi Muhammad SAW, ketika mendapat pesan melalui bahasa langit. Setelah kembali, Muhammad mesti mewartakan pesan-Nya pada umat manusia dalam bahasa bumi.
Dari proses pencarian, perenungan, dan pemaknaan atas petuah Bapa dulu, kini aku semakin “siap” untuk Bertuhan sekaligus beriman. Keyakinanku ini kiranya sepadan dengan apa yang diyakini Emha Ainun Najib: “Bukanlah orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara membiarkan beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.” Bertuhan adalah melihat segala hal sebagai “tak ada yang bukan Tuhan”, al-fana’ ‘an al-nafs wa al-baqa, bi ‘l-lah. Segala nikmat dan laknat ibarat thariqah dan syariah, sebagai jalan, atau pintu, meraih Tuhan. Menyatunapaskan tugas lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Tapi tentu, bukan dengan keinginan untuk meraih surga sendirian. ”Di pintu-Mu aku mengetuk. Aku tak bisa berpaling,” kata Chairil Anwar. Dan diri yang tak bisa berpaling itulah, yang barangkali menurut Bapaku, insan yang tak lagi dicemburui Tuhan. Wallahu a’lam…
Bandung, 15 Mei 2010. Pukul 04.09 WIB.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar