Senin, 17 Mei 2010
membaca [tiap] ayat sejarah
Malam kian berakhir, jarum waktu masih angkuh menipiskan anganku pada lingkar absurd tarian kata dan imaji. Seribu masa menyelinap diatas meja dan girisan pena yang mengutuk tubuh dalam kelam. Huahhh …. Kenapa otak jadi beku seperti ini? Duh . . lagi-lagi mozaik kekalutan ini memahatkan takutku pada cerita-cerita basi dan tolol tentang lepuhan kesemestian hidup, ini harus cepat diakhiri (Hei .. Asyhadie, siapa bilang aku dilahirkan lewat telinga? Insomnia, amnesia, dan narsis lo..!, Adalah jawaban untuk igauan batinku). Hanya bagaimana manusia, konon, meneriakkan cintanya pada kebijaksanaan sang "Dewi Sophia", ia bisa dianggap berharga. Ah, peduli amat dengan mistifikasi tolol yang telah ditularkan filsafat itu…
Penaku masih dirasuki sejuta entah, pijar renung meredup seiring fantasi kelamku mulai meraja. Ternyata hidup begitu rumit, sehingga manusia memerlukan beragam peluh dalam penempuhannya. Sesaat keletihan kembali membias di desahku, namun ontologisasi realitas tak sudi beranjak dari renungan. Sshhh..!! aku bosan dengan metafisika substansial hierarkis, metafisika proses, apalagi gradasi realitas, enyahlah teori-teori emanasi yang hanya bisa mereduksi kalut semesta dan melembagakan "tuhan" dalam teori. Satu-satunya locus bagi ontologi evolusionik semesta adalah logos “entah”. Dan Ini adalah serpihan paradigma yang tidak membutuhkan lampiran-lampiran epistemologis, takdir, empirikalisasi pengetahuan apalagi dekonstruksi rasistial dalam mengisyaratkan jejaknya. "Entah" adalah retakan dogmatik tentang historisitas hidup yang tak memerlukan roh absolut untuk menjelmakan kesempurnaan gelisahnya... (Apa yang barusan kuomongin ya? Teuing ah...)
Ke"gila"anku rasanya makin memuncak seiring bayang keresahan yang terus mengalir. Huh . . rupanya kemewaktuan ini harus bersandar pada setangkai bio-keberadaan yang bisa jernih menggores nasib, bening mengukur pelik. Berangkat dari affirmasi caci maki pada eudamonia, menjemput dosa dengan serapah. Toh’ di era simulacra yang menjadikan Rama berhati Rahwana, Karna berwajah Arjuna, tak perlu alasan runut untuk mengutuk manusia yang masih menyandarkan punggungnya pada paranoia kebebasan atas restu ketololan zaman Sartre, apalagi jenis sarkasitas freedom-nya William Wallace (kebebasan bukanlah human destiny, yang musti direnggut paksa dari jejari Goolia, tapi seberkas illuminasi tanpa inflasi ego, likuidasi hasrat, dan fluktuasi mental. Bara jalang ke-aku-an pada setiap bujur dan koordinat hidup).
Teramat naif mereka yang masih mengaca gerak hidup ini pada khayalan dialektika Hegel dan historisitas kuno Marx. (Emangnya ide manusia dan revolusi tanpa noda? Heh, sejak kapan Crane Brinton adalah de Stakingskoning? Toh "Barudak Kiri" tak lebih dari sekadar komunitas "sakit hati" yang mereduksi Che Guevara bentuk labelitas primordial ‘nu’ paling butuutt). Hanya orang-orang tolol yang mengira hidup akan tuntas dengan mengeja jejak-jejak hilang sang Nabi sembari melemparkan umpat pada desiritas mite prometheus, membaca katalog apologis subsidiaritas Rawls dan utopianisme komunikasi Habermas, apalagi menafsir irrasionalitas etika Timur dan melambaikan tangan pada absurditas Sisifus. (Yahudi tanpa negara dan sinagog bisa menghasilkan manusia ‘sempurna’ layaknya George Soros and Ariel Sharon. Amerika tanpa horison teknokratisme moralitas ‘45 bisa memunculkan George [W] Bush. Indonesia? Dengan amandemen abnormalitas pada setiap telikung amnesia sejarah, hipolinguistisasi teror di balik jendela-jendela kekuasaan, seharusnya sudah bisa menghadirkan manusia berotak Jenghis Khan, bertangan Midas, berkepala Janus, berkumis Hitler, dan berbadan Shisio). Hahhh … ckkk … ckkk …
* * * *
Malam makin menua. Dini mulai tiba. Rembulan sayu menerka cerah awan. Duh . . sunyi ini begitu indah mengerutkan jemu. Mungkin aku harus menganugerahinya puisi-puisi halus sekadar mewangikan suasana. Sedetik hening, tapi bayang-bayang kesadaran tiba-tiba menjelaga. Aku tidak butuh puisi, sajak, apalagi narasi-narasi tengik-terasi-ilmiah. Aku memerlukan sesuatu yang melampaui bahasa, mengatasi doa-doa, menjejak jenuh dan memecah cinta untuk senja ini (Waduh, teu kaharti, euy!).
Huuhh, benakku telah mencapai pintu ambang kelu. Tapi, dari pada faktisitas ini semakin menjauh dari "riweuh senggama anxietas", rasanya lebih baik aku pergi, berlari mengukur nocturne duka sejarah dunia, meludahi orang-orang yang terbiasa menghibakan "iman"pada ideologi kapitalis yang sudah mencacah infrastruktur masyarakat dalam axioma ‘busuk’ linieritas peradaban, atau paling tidak membakar jenggot federasi metalik-sepulturis yang dangkal logika dan berbau flagiatisme.
Yah . . mungkin seperti inilah hidup di dunia ketiga. Dunia yang tak pernah merestui kehadiran anti-tesa untuk kejahatan ekonomi, skandal politik, kisruh modernitas vs lokalitas budaya, dan kekacauan religi. Ga percaya? Tuh.. tengoklah stylisasi generasi yang telah kehilangan ruang untuk menerjemahkan otentisitas dan puresitas, karena terkurung dalam citraan-citraan semu cyberisasi net-net porno, Facebook, McD, Mcintosh, dan MTV, terbakar trans-imaji goyang erotis artis ‘maksakeun’, yang memaksa Maria Ozawa bin Miyabi untuk datang ke Indonesia biar bisa lihat bahwa perempuan disini tidak ada yang jadi Cyborg Bodies, yang ada hanya jejaring teknologi nonsens dan wacana fisiologis murahan yang bercangkok dengan Male-Politic-Culture-Runtah-Building . . . Generasi yang terjerat Nomadisasi L-Men yang tak lebih dari definisi bentuk human+sampah, fusi industri kapitalis dan kedunguan reduksi eksistensi, serta olah libido visual untuk penghapusan dosa-dosa tubuh karena opini sakral telah menguap. Generasi yang terpagut dan terpasung jerat ‘Eliminasi’ dan membuat Zarathustra musti menyuarakan sabda barunya: “Aku hanya harus percaya pada ‘tuhan’ yang bisa menyanyi, melawak dan menari.., juga terpenjara improvisasi irasionalitas melalui tayangan dimensionik reality show, sinetron-sinetron pertobatan palsu, serta menganugerahi mereka sublimasi rasionalitas ala Nyi Roro Kidul, yang lebih norak dari ‘The Death Penalty’ and ‘Tales From The Cryprt’ dalam bentuk diskursus ketakutan zaman batu!
Atau liriklah mereka yang altar kebenarannya tak lebih dari masokisme kata-kata, gramatologi tanpa logika, bercengkrama dalam simulasi nista peradaban yang luka, persis hikayat sastra Jendra. Jangan pernah percaya pada agenda basi modernitas yang mengubur kesunyataan pada eforia naif sejarah (tak ada beda dengan grandeuritas lukisan eksekusi Goya, juga parodi binal tafsiran setengah hati para penyair karbitan akan realitas), apalagi dekonstruksi orang-orang post-strukturalis yang membaluri Palasari lewat parodi wacana yang fasis.
Omong kosong semboyan ‘no black, no balance’ untuk mereka yang hidup di dunia ketiga. Jangan pernah berkhayal layaknya Fukuyama bahwa sosialisme takkan bisa bangkit dari kuburnya disebabkan kapitalisme adalah akhir sejarah. Hilangkan iman kita atas segala konsepsi yang miskin evidensi bahasa!.
* * * *
Kumatikan neon dipojok kamar, hari sudah menjemput pagi sejak tadi. Ah.. ruangan ini semakin dingin dan bisu. Rasa lapar yang menghunjam, menyulutkan kembali kebencianku pada tiap kenikmatan histeria konsumerisme yang membuat Kierkegaard tak sudi menjejali diri. Namun, layaknya kebuntuan transposisi Nietzsche, pesona hibrid neraka instant pabrik-pabrik non-wulangreh itu tak pernah mendengar “Requiem Aeternam Deo” yang kualunkan. Sekilas kualihkan tatap pada udara dan kabut yang mulai mengental di ujung jalan. Kalutku masih bergumul dengan keluhan narsisitas jiwa. Neurosis, mungkinkah? Ah, paduli teuinx..!!!
Namun, dalam keremangan, rasa rindu tiba-tiba menyeruak. Menjalar bercecabang pada tiap persendian dan aluran darah. Aku ingin pulang . . . meski untuk meludah persis Odissey dan Malin Kundang. Huh . . nafasku berkelojotan saat aku ingat bahwa tak ada "rumah" bagiku. Aku serasa menjadi Manusia tanpa asal-usul dan sejarah, lipatan ab aeterno tanpa credo keberadaan. Caiyo!! Mitos apaan lagi tuh? agaknya mbah Levi Strauss mesti belajar menghitung segala tetes airmata, keringat dan darah, segala tunas jiwa, cinta, sumpah dan serapah, agar ga’ serampangan menyusun dan menyamaratakan pola mitos. Ini hidup mbah!!. Ambang batas kompleksitas antara hymne faktisitas dan monade eksistensialitas. So’ jangan dipolakan! meski kita membutuhkannya untuk jadi pegangan, karena kita harus berjalan, kita perlu kejelasan arah, tujuan, nilai, iman, prinsip, ideologi dan paradigma, karena kita mesti membidik, tidak kebingungan, dan, . . . stop!! Aku juga tau.!!! Masalahnya siapa dan apa itu kita, hingga menyandarkan semuanya pada setumpuk pegangan, aturan dan standar? Kenapa kita tidak berani meninggalkannya kalo ternyata semua itu terbukti hanya penebar kalkulasi picik bangkai kemajuan, statistika dungu zombi ketertiban, dan sakralitas palsu ilusi keabsahan!
Mungkin Walter Benjamin, federasi hippies, Mao, dependensia, domba Dolly dan New Age, terlalu kuno untuk menjadi tamsil atas semuanya, tapi tengoklah jidat, tangan, kaki dan seluruh tubuh kita yang sudah berbalur kealpaan akan dosa!! Mata yang kelam sebab sudut terlalu picik. Bahasa yang gagu karena mentalitas teramat pengecut. Kita tak lebih dari boneka-boneka yang layak masuk kategori minim nir-manusia Lyotard!! Hua . . ha . . ha . .
Ah, sudahlah, (telingaku mulai menangkap sesamar panggilan adzan, aku tersentak seraya menyibak rontokan rambut yang aku tak ingat lagi kapan terakhir make sampoo). Kegiatan seperti ini benar-benar tak berguna. Yah, mungkin untuk saat ini aku masih gabungan seseorang neo-essensialis sekaligus nihilis. Pusing dah jadinya, uuhhhh..!!!
Malam kian pergi, nestapa mataku menyiratkan kantuk. Panggilan Tuhan itu telah berada di hadapanku. Kepada Tuhan, bagaimanapun adalah pemangku terbaik tiap situasi kecamuk yang menyergap.
Sebuah hasrat, seuntai amarah, dan sebaris jemu telah kutuntaskan malam ini. Kurapikan kembali tiap lembaran imaji yang tadinya berserakan. Toh’ ternyata kita tak perlu berziarah, membaca setiap ayat sejarah, kalau hanya untuk berbenah…. meski gelisah… dan memang gelisah…
Bandung, 17 Mei 2010 Pukul 03.39 WIB
By: Nana Suryana
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar