Jumat, 21 Mei 2010
Lagu [stempel] Komunis
Enak juga ini musik hehehe... Sebagai gambaran sederhana atas realita kehidupan manusia. Ini lagu berasal dari daerah Banyuwangi, sama halnya dengan “Bubuy Bulan” dari daerah Sunda, atau “Gundul-Gundul Pacul” dari Jawa Tengah. Lagunya bagus dan musiknya sederhana, tapi kanapa dilarang? Apa karena [dianggap] bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI)? Yayaya.....
Emang kalau ini ada unsur PKI-nya kenapa? Memang salahnya PKI apa? Apakah karena telah melakukan “pemberontakan” Gestok? Bukankah PKI hanya “korban dramatisasi politik” semata? Bukannya aksi “genocida” yang dilakukan kepada (orang yang diduga) PKI telah menumpahkan jutaan darah, mereka dipenjara tanpa pengadilan, dibuang ke Pulau Buru selama bertahun-tahun. Sementara keluarganya dibiarkan telantar dan didiskriminasi bertahun-tahun.
Sejarah bangsa Indonesia masih diselimuti kegelapan, terlebih dengan sejarah yang berkaitan dengan G30S/PKI tahun 1965. Apa sebenarnya yang terjadi saat itu masih kelam. Sementara “tokoh kunci” yang kita harapkan mampu mengungkap kasus tersebut sudah berpulang ke pangkuan Tuhan (Soeharto). Biarkan dia pulang dengan tenang, tapi kita selaku pewaris peradabannya, jangan bertingkah yang sama; memberangus sebuah karya sastra dan menutup akan fakta sejarah.
Terserah ada yang mau bilang lagu ini lagu PKI, tapi menurut hemat saya, lagu ini adalah Seni! Lagu yang asyik, lagu yang sederhana, bercerita tentang penderitaan orang desa yang bertahan hidup dari jurang kemiskinan! Polosnya mereka jauh dari rasa apatis, politis, ambisius dan rasa arogan.
Lagu “Genjer-Genjer” sebenernya tidak ada unsur PKI-nya. Soalnya lagu ini dibuat pada tahun 1942, untuk menceritakan penderitaan rakyat dibawah penjajahan Jepang, yang untuk bertahan hidup saja, rakyat sampai harus makan genjer yang waktu itu dianggap sebagai gulma (tanaman pengganggu). Tapi sayang, karena lagu ini [dianggap] dekat dengan kaum komunis, jadi ikut dianggap sebagai unsur PKI.
Lagu “Genjer-Genjer” digubah oleh M. Arief, pada masa pendudukan Jepang ketika masyarakat Banyuwangi mengalami krisis pangan hebat. Sebelum zaman Jepang masyarakat Banyuwangi mengenal genjer hanya sebagai pakan bebek. Nah, karena krisis pangan, genjer menjadi pangan alternatif. M. Arief mengenal sayur genjer dari istrinya yang bukan orang Banyuwangi. Jadi, tafsir Genjer-genjer yang berdarah-darah itu hanya rekayasa Orde Baru. Lagu-lagu M. Arief banyak yang merupakan kritik sosial seperti: “Sekolah atau Lurkung”
Inilah arti sebenarnya dari lagu Genjer-Genjer tersebut:
Genjer-genjer tumbuh liar di selokan/
Ibu datang mencabut genjer/
Dapat sekarung lebih tanpa ragu/
Genjer sekarang bisa dibawa pulang//
Genjer pagi-pagi dibawa ke pasar/
Dijajar dan dibeberkan di lantai/
Si Ibu beli genjer ditaruh di tas/
Genjer-genjer sekarang akan diolah//
Genjer-genjer dimasukkan ke panci air panas/
Setengah matang ditiriskan untuk lauk/
Nasi sepiring sambal di tempat tidur/
Genjer-genjer dimakan dengan nasi//
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar