Senin, 31 Mei 2010
Pintu Malam
Lagu ini diciptakan oleh Titiek Puspa, sebagai lagu untuk menina-bobokan anaknya, Petty Tunjung Sari. Dalam perkembangan, lagu ini menjadi lagu yang sangat romantis untuk semua insan yang sedang bercinta.
Iwan Fals punya pengalaman pribadi yang mendalam terhadap lagu ini, dimana beliau telah kehilangan seorang anak laki-lakinya, Galang Rambu Anarki. Kiranya lagu ini beliau dedikasikan untuk anaknya yang telah pergi lebih hulu. Bagiku, bila tiap malam menjelang tidur tak mendengerkan lagu ini, rasanya seperti ada yang hilang. Nggak syah. Nggak romantis banget…
engkau yang menatap ku di ketinggian waktu.
sejenak berhenti hanya untuk memeluk.
bergetarlah rimba raya, diiringi ribuan embun.
di sinilah aku berada, telah menanti mu
ketika senja terurai di waktu yang tak menentu.
senja merah di balut pelangi hitam.
aku berjalan menapaki rumput yang bisu.
tiada yang tahu kenapa malam selalu mencekam.
sisakanlah setetes air.
buat bekal mengarungi sunyi.
kemudian berlalu begitu saja
hanya satu helaan nafas, bergantilah kisahnya.
duka, bahagia, kiasan belaka.
mungkin saja kita perlu sedikit tertawa.
untuk memandang bintang yang suram,.
dan bukalah pintu dimalam hari.
sebab waktu semakin menjerit
untuk bertutur kata.
maka kelak kita bisa bangun di saat fajar ti
rengkuhlah pada wasiat alam.mur.
memudarkan mimpi-mimpi kelam.
Jumat, 28 Mei 2010
kegelisahan yang tak terjawab...
dinda, andai dinda tahu, tidak mudah bagi kaka untuk mencintai seseorang yang tidak pernah ada di samping kaka, tidak pernah dapat melihat perkembangan hidup kaka, tidak pernah melihat saat kaka tertawa karena gembira, saat kaka menangis karena sedih, dan tidak pernah ada disisiku ketika kaka mendapat cobaan terberat dalam hidup.
namun kaka tidak dapat membunuh dan mengubur dalam-dalam rasa yang tumbuh subur dalam hatiku... rasa yang selalu bergelora untukmu, dinda, saat ini, detik ini, entah esok hari atau lusa...
mungkin dulu kaka sempat mencoba untuk melupakan dan membungkus rapi rasa itu tanpa pernah kaka membunuhnya... tapi pada akhirnya, rasa dalam hati kaka terus memberontak bahkan rasa itu dapat menghancurkan bungkusan yang rapi. dan sekarang rasa itu hidup dengan bebas dalam hati kaka. tahu kah dinda pada siapa rasa itu kaka curahkan?
Dinda, semua yg kaka lakukan bukan tanpa refleksi, dan bukan berangkat dari ruang yang kosong. tapi semuanya telah melalui pergulatan hati yang cukup lama. itu saja dindaku, kalaupun sekarang dinda mau pamit, pergilah...
jika dinda memang tidak siap dengan semuanya itu sangat wajar dan manusiawi, dan itu adalah pilihan yang harus di pilih.... bagi kaka, ketika berani mencintai seseorang dengan tulus maka harus berani dan ikhlas untuk merasa kehilangan...
dinda, terima kasih telah memberikan banyak arti dalam hidup kaka, walaupun dinda tidak bisa menemani kaka dalam sisa waktu perjalanan hidupku. terima kasih dinda telah banyak memberikan warna dalam hidup kaka sehingga kaka mampu berdiri ditengah kerasnya perjuangan hidup ini...
dinda, kaka sudah menerima dengan ikhlas semua keputusanmu, dan yang terpenting jangan pernah mencoba memutuskan tali silaturahmi yang telah kita bangun. jika itu terjadi maka kaka akan kehilangan satu adik dan saudara. juga orang yang sekarang ini kaka sayangi & cintai...
terakhir... dinda, andai saja jarak tidak memisahkan kita, andai saja waktu dapat berjalan mundur, mungkin saat ini kaka akan mengulang kejadian yang menurutku telah kaka lewatkan dengan sia-sia. dan pasti kaka akan memilih untuk bisa dekat dengan dinda. namun itu semua tidak dapat kaka lalui, karena itu hanyalah harapan yang mustahil, dan karena semua adalah "semu"....
pesan kaka disela menjelang tidur dinda, "ingat tetap semangat... dan kejarlah terus cita-citamu tanpa pernah lupa menyembah-Nya...
* * *
Bandung, 29 Mei 2010, Pukul 04.00 WIB
Kamis, 27 Mei 2010
komposisi kau dan aku
kubiarkan cahaya bintang memilikimu
kubiarkan angin yang pucat
dan tak habis-habisnya gelisah
tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu
entah kapan kau bisa kutangkap
[nokturno - sapardi djoko damono]
[1]
malam yang berbeda. kutulis sabda hati ini dari air mata dan kata. adalah sajak tentang kita yang tertambat di dinding sejarah. kita adalah kisah yang tidak akan bisa terhapuskan. kita adalah “tinta tuhan” yang tumpah sebelum saatnya, yang tidak tercucikan walau dengan air raksa. karena kita sebelumnya telah melahirkannya dengan kasih cinta. tapi, entah seberapa tajam geletar itu. seberapa runcing jejak yang melepuh di kesunyian hati. seberapa lama kisah ini kan abadi. sebab sebelum pagi, kita tak mampu menggenggam mimpi. kicau burung begitu cepat menjamah nyenyak kita di perapian kasih.
[2]
kukenang percakapan kita. di riuh-rendah ruang maya, sms panjang, jauh tengah malam. ada yang tiba-tiba tanggal, ingatanku tentang peta yang kita pegang. tentang komitment yang kita bentuk di awal kisah. maklum, kau datang ke pikiranku lewat puisi dan catatan yang indah.
“dinda, ku ingin dengar suara mesramu yang kau dendangkan sebagai pengantar tidurku!”
kau pun diam. entah seribu benak apa yang kau bayangkan atas pintaku. inilah percakapan yang menjadi awal air mata. dimana seluruh tubuhku menjadi lebur tak berdaya. dimana semua harapan menjadi hampa. terkadang kata berubah “pisau”. terkadang berubah rintih yang meringkih di kesunyian malam. namun aku tetap tidak bisa melupakannya. bahkan luka, perih dan nyeri menjadi satu amuk yang semakin menyemangat hendakku untuk tetap memujanya. mungkin karena perempuan itu -adikku, saudaraku, dan juga sahabatku - memang sempurna bagiku.
“jangan, ka...”. pada akhirnya kau pun bicara. cuma itu. satu kata yang tanpa dinyana telah menggetarkan ruang kalbuku.
“kenapa? apa karena kita bertemu di separuh jalan?”
“bukan. bukan karena itu, ka. dinda bingung karena tak tahu harus mengatakan apa. soalnya dinda terkadang berdebar kalau lagi bicara sama kaka. apalagi masalah serius seperti saat ini. sementara dalam hati, dinda tetap yakin bahwa dinda cuma sayang pada kaka sebagai kaka semata. tapi dinda juga tak mau kehilangan kaka. dinda sedih dan merasa kehilangan saat kaka tiada”
kau pun kembali diam. ada getar perih yang kurasa pada ucapmu itu, dindaku. namun ku coba tegarkan hati untuk terus mendampingimu. disela waktu kau jelang pamit ke peraduan. pada akhirnya kutemani kau melangkah, menembus mimpi-mimpi dalam tawa dan tangis, berharap ujung jalan ini tak ada. kita mencoba tak mengingatnya ada. tapi, sungguhkah pikiran bisa dibersihkan dari kenyataan? dan mata dari kepedihan? barangkali memang hidup harus dijalani. “…dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya”.
sementara diluar, kota bandung dirundung hujan. lagu “hujan bulan juni” –kenapa tidak gerimis saja– memberi aksentuasi nyeri pada ujung waktu di bulan mei ini, dengan “dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu“. akankah jejakku terhapuskan juga dari halaman hatimu, dindaku?
[3]
aku tak tahu selanjutnya harus mulai lagi dari serak atau luka yang mana. apalagi ini bukan hanya sekedar mimpi lagi. bukan tentang canda yang harus kita bumbui dengan tawa dan air mata. bukan tentang sajak yang lahir dari bercak cinta. bukan tentang tangisku dan dirimu. bukan pula tentang mata yang lain. tapi, ini bukan hanya tapi! bukan hanya...!
setidaknya, aku dan dirimu
memang tak punyasemacam alasan
untuk tanggalkan senyum!
mari bersama membuang murung!
mari melata menata desah
dalam amuk cinta!
dinda, kuyakin nasib kita berjalan dalam komposisi "broery - dewi yull". bukankah pernah kukatakan padamu tentang "rinduku terlarang? kau pun tersenyum waktu itu. kini ku tahu, memapasmu di separuh jalan, adalah menikmati kebersaatan yang menjadi abadi. ahh, jadi ingin kuberikan lagi pada telingamu lagu ini:
“sekian lama sudah kita telah berpisah/
kurasa kini engkau tak sendiri lagi/
akupun kini juga seperti dirimu/
satu hati telah mengisi hidupku//
tak perlu engkau tahu rasa rindu ini/
dan lagi mungkin kini kau telah bahagia/
namun andai kau dengar syair lagu ini/
jujur saja aku sangat merindukanmu//
memang tak pantas mengkhayal tentang dirimu/
sebab kau tak lagi seperti yang dulu/
kendati berat rasa rinduku padamu/
biarkan kuhadang rinduku terlarang//
biar kusimpan saja/
biar kupendam sudah/
terlarang sudah rinduku padamu“.
ahh, itulah kisah kita, dinda. cintaku terindah, cintaku yang terlarang. tapi entahlah kalau menurut dinda, karena seberapa dahsyat bait kata ini menyentuhmu. aku tak tahu!
[4]
kalau saja bintang-bintang menyapa luka-luka yang terus merintih di dinding-dinding cinta, cita, pikiran dan rasa. jika langit hujan huruf-huruf yang tak usah kita eja lagi. di sini ada setumpuk do’a yang terus bergelayut mencari makna. menjadi kidung-kidung cinta yang terus menafsir semesta. adalah pertanyaan, tanyaku. “dinda, adakah "lima huruf" tanda cinta dalam hatimu?”
“ntahlah ka... dinda tak mau terjebak dan terjerembab dalam romantika ini. tapi mungkin juga iya, karena dinda pikir tidak ada persahabatan yang abadi antara laki-laki dan perempuan. tidak akan pernah ada, ka...! jadi tetap saja yang namanya ketertarikan antara lelaki dan perempuan itu pasti ada, termasuk kisah kita”.
dinda, kita sama-sama tahu, bahwa di balik selokan kerling yang kita suakan, ada luka sejarah yang menganga, membaluri perjalanan kita. begitu serut, getir dalam bayang, dan aku tak jua kunjung bisa membalutnya. bagiku keyakinan, dan bagimu ketabahan. aku sayang padamu di ‘teras nurani’ yang terbening. dinda, aku akan mencari "lima huruf" itu, dalam sesaat. setiap pagi, siang, senja dan malam, seperti yang telah kita lakukan selama ini. jadi, tolong buang saja ragumu itu…
“ka... dinda rasa ini salah. makanya dinda tak mau menikmatinya. tapi tak mau juga kehilangan. ntahlah, ka. dinda tak mau men’tuhan’kan cinta. bukankah kaka pernah berdendang akan hal itu?”
aku tergagap. mencoba menyelusuri bait perbait puisi “bilaku jatuh hati” yang pernah kulantunkan diujung waktu.
“allahu rabbi aku minta izin,
bila aku jatuh cinta pada seorang hambamu
jangan biarkan cinta untuk-mu berkurang
hingga membuat lalai akan adanya engkau
allahu rabbi..
izinkan bila sekarang aku jatuh hati
pilihkan untukku seseorang yang
hatinya penuh dengan kasih-mu
dan membuatku semakin mengangumi-mu
allahu rabbi…
seandainya kutetap jatuh hati juga
jangan pernah kau palingkan wajah-mu dariku
anugrahkan aku cinta-mu
cinta yang tak pernah pupus oleh waktu
cinta yang tak mengenal ras dan suku
cinta yang akan menambah kekagumanku
hanya pada-mu.
kucoba memaknai ulang desahan nafas dari puisi itu. cukup lama. adalah puisi. adalah sajak untukmu. adalah cintaku. adalah kemuakanku. adalah kecemburuanku yang terus mengajari aku tentang air mata, luka, dan ringkih jiwa yang tak tertautkan. terserah bagaimana kau menilai.
“tapi ka, dinda tidak pernah menyesal telah mencintai kaka. dinda sayang sama kaka. bahkan sutu hari kelak... jika tuhan mengizinkan, dinda berharap bisa bertemu dengan kaka. tanpa berharap apapun dan tanpa menuntut apapun. karena yang terbaik adalah cinta sejati kita”.
lalu kau terdiam dan diam. suasana malam jadi sunyi dan mencekam. sesekali aku hisap rokok dan meneguk kopi yang masih hangat. "dinda, sebenarnya aku merasa sakit saat kau lontarkan kata-kata itu. karena aku juga memiliki dan menyimpan kisah dan harapan yang sama. walau tidak seutuhnya sama. hanya aku belum berani menceritakan harapanku itu pada siapapun. kecuali kepada diriku sendiri".
dan aku hanya bergumam sendiri dalam diri. "dinda, kita memiliki harapan yang sama. tak usah menyesal dan meratapi, kita tidak berhak untuk itu. bolehlah kita tersesat dalam pengembaraan ini, itu lebih baik, daripada kita tersesat tanpa sebuah pengembaraan. muara luka kita ini, yakinlah, suatu saat akan menjadi taman bermain yang indah. dan seharusnya kita belajar tersenyum. yakinlah bahwa kuasa tuhan kan mempertemukan kita”.
kau pun membisu dengan penuh ragu. “maafkan dinda, ka. dinda tak bermaksud menggurui kaka... adikmu pamit dengan membawa rasa sayangnya untuk kaka, dan mungkin cintanya”.
dinda, kau mungkin tak akan kudapat. ya, tak akan kudapat. aku hanya mengantarmu, sampai ke ujung waktu itu. tapi, aku akan terus ‘merebut’ hatimu, meski “entah kapan kau bisa kutangkap“. yang penting, aku telah melakukannya, dan itu bukan sesuatu yang sia-sia. karena aku tahu, “…cinta kita mabuk berjalan, di antara jerit bunga-bunga rekah“.
“dinda bahagia bisa mengenal kaka. merasakan keindahan itu. walaupun pada akhirnya harus kusimpan rapat-rapat rasa itu. biarlah kita saling memendam, kita tak berhak meluapkannya, karena “memang tak pantas mengkhayal tentang dirimu/ sebab kau tak lagi seperti yang dulu/ kendati berat rasa rinduku padamu/ biarkan kuhadang rinduku terlarang// biar kusimpan saja/ biar kupendam sudah/ terlarang sudah rinduku padamu”
[5]
“ka... kadang terbersit sekilas angan. kita bertemu tanpa sengaja dan... ahh... aku tak sanggup meneruskanya, ka! tak pantas dinda mengucapkannya. mengangankan sesuatu yang bukan haknya. walaupun hanya sekedar khayalan. tak ada nafsu disini, yang ada hanya kasih sayang, belai mesra yang dibalut oleh suasana yang romantis semata. pada akhirnya imajinasi dinda pun melayang...”
dinda, kaulah perempuan yang menjelma “bunga” di pagi hari, atau terkadang menjelma daun kering yang baru jatuh dari tangkai. dan mengeja ucapmu ini, aku merasa sedikit gila. barangkali memang sudah gila. entah... apakah hidup hanya sebatas harapan, kenangan dan permainan imajiner? akhir-akhir ini aku menjadi pemujamu. mem”berhala”kanmu siang dan malam. bahkan dalam tidur pun terimpikan. barangkali aku mencintaimu. tapi entah. karena aku sampai sekarang tidak mengetahui kenapa aku samapai memberhalakanmu dalam hidupku. yang pasti, ada segetar dalam jiwaku yang terus mendorongku untuk itu. sehingga aku tidak lagi peduli dengan rasionalitas. yang ada hanya bagaimana aku mengutuhkan diri!
dinda, setiap saat kau datang dan merasuk ke dalam benakku. menghiburku, merayuku, mengejekku, memarahiku, memanjaku, menciumiku, memelukku dan bahkan “menyetubuhi”ku. aku tidak bisa lagi menghindarinya, seperti burung yang terperangkap ke dalam sangkar. seakan kata-katamu itu serupa “sabda suci” yang harus dipatuhi. dan kaulah yang mengubahku menjadi seorang seniman, yang pandai melukis di dinding-dinding jalanan, yang pintar menyulam kata menjadi seuntai puisi, yang lihai membaca puisi dengan indah, dan yang mampu tersenyum dalam setiap tetesan air mata. ahhh....
[6]
“ka... dinda akan pergi. pergi dengan membawa cinta dan sayang ini di hati. biarkanlah rasa ini menjadi kenangan indah yang abadi. untuk kita, ka. semoga kita mendapatkan kembali kebahagiaan kita. namun sebelum langkah ini kian menjauh, ingin rasanya dinda mengulang kembali kata yang dulu sempat terlontar pada kaka;
“mungkin sayangku tak sebesar sayangnya, mungkin cintaku tak sebesar cintanya, mungkin rinduku tak segelora rindunya, tapi aku merasa bahagia ada yang memberikan rasa cinta yang begitu besar. lebih baik dicintai daripada mencintai”.
dinda… rasanya aku menjadi manusia terbodoh saat menilasi semua ungkap kepergianmu itu. aku insyaf, kau telah meng”hipnotis”ku. dalam ketaksadaran atas pesonamu itulah aku berani mendekatkan garis takdirku, menjajarimu. kumimpikan, suatu waktu, garis itu akan menyilang, bersinggungan, nasib kita bertemu. nyatanya, kamu bergerak lebih lekas, terlepas. jadi, jika memang kau harus pergi, pergilah…. karena aku tak akan mampu menahanmu. percuma, jangan paksa aku melupakanmu. karena dengan mengingatmulah aku merasa, ada satu fase dalam hidupku yang demikian bermutu. pergi, pergilah, debaran hatiku... maafkan, jika aku akan tetap menjeritkanmu. "karena kalau kau debar jantungku, bagaimana mungkin aku bisa terus hidup tanpamu".
kau cium tanganku dengan tak'zim. aku pun mengecup kening dan kelopak matamu. tanda kasih abadi yang tak luntur terhempas zaman. kau pun hanya tersenyum simpul dan menunduk. debar jantungku, telah kuikhlaskan engkau pergi. pergilah… tapi, sebelum langkahmu menjauh, tolong maafkan kesalahanku.
“iya ka! pada akhirnya kusadari... kita harus kembali ke dunia nyata, cinta suci kita, keluarga kita. aku tak mau ini terus berlanjut. akhiri sudah kisah ini. dinda hanya ingin bertemu kaka. dan kaka menyayangi dinda sebagai adik semata. itu aja!”
dinda, akan hal itu maafkan aku juga. aku yang sering menghubungimu tiba-tiba, hanya untuk mengatakan, “aku kangen kamu, kangen kamu…” percayalah, sebelum mengatakan itu, telah habis tenagaku untuk menahan gempurannya. tapi aku kalah. jadilah, di saat-saat yang barangkali tidak kamu sangka, aku mengucapkannya. kini kusadari, betapa hal itu pasti membuatmu jengah, malu pada sekitarmu. sehingga, selalu kamu berbisik, “aku tahu, ka. aku tahu…” ucapan yang pasti membuat semua gemuruh di dadaku punah. gempa yang kehilangan tenaga.
[7]
“ka, seandainya kita dipertemukan lebih awal, mungkin kita memang diberi jalan untuk dipersatukan. ya, andai saja kita masih sendiri, rasa cinta ini mungkin kan terbalaskan dan tersatukan dalam jalinan kasih sayang. dalam ikatan mahligai pernikahan”.
hmmm... itu pula yang aku dambakan darimu, dinda. membangun bahtera pernikahan. menjadikan pernikahan kita sebagai titian untuk belajar sabar dalam meniti ridho-Nya. dan bilamana akhirnya kita berdua bertemu, niscaya aku kan berucap “betapa maha besarnya Engkau, ya Alloh, karena telah memberikan kepadaku pasangan yang dapat membuat hidupku menjadi sempurna. aku mengetahui bahwa Engkau ingin kami bertemu pada waktu yang tepat. dan Engkau akan membuat segalanya indah pada waktu yang telah engkau tentukan".
namun dinda, itu hanya sebatas khayalan. karena pada akhirnya aku pun menyadari bahwa kita harus kembali ke dunia nyata, dunia yang menjadi pijakan langkah kita. aku sadar kalau semua itu hanyalah mimpi sesaat, mimpi di siang bolong, yang tersapu awan dan tertiup angin dengan cepat. kesadaran itu muncul atas pijakan bahwa “bunga mawar tak mungkin mekar dalam semalam, namun bisa layu dalam sedetik. kota baghdad tak dibangun dalam sehari, namun bisa hancur dalam sekejap. perkawinan tak dirajut dalam pertimbangan sesaat, namun bisa saja terberai dalam sesaat. pernikahan, bukanlah akhir dari sebuah perjalanan, tapi awal dari sebuah langkah".
dindaku, pada akhirnya aku hanya bisa memandangi punggungmu yang berjalan kian menjauhiku. sampai kau menghilang dalam jangkauan mataku yang terbatas. aku hanya bisa menitikan air mata, dengan kepiluan. sakit yang merayap rembesan darahku, terasa sesak dan tercekat. hati seakan ingin berontak dan teriak, “jangan pergiii...”
dindaku, aku kan senantiasa berdo’a untukmu, semoga cita dan harapan yang selama ini diidamkan kan terkabul. termasuk pertemuan “nyata” kita. dengan penuh haru nan syahdu, kugagap melepas kepergianmu. tanpa air mata kulepas semuanya. tanpa mendesah ku berusaha tegar dibuatnya, namun kau pun tahu, apa yg ada dalam hatiku. perih rasanya mengurai pilu. lapat-lapat kudengar kau berucap;
“ka, simpanlah rapat-rapat rasa cinta kita...”
[8]
kulupakan hari-hari yang lewat
agar aku dapat hidup kembali di hari ini
kubuang puing waktu ke kuburannya yang paling rahasia
barangkali serahasia mimpi
yang ada kemudian hanyalah kesamaran
semakin samar
dan… hilang.
tapi dia tidak sepenuhnya hilang. gerimis yang tiba-tiba merintih pagi ini, yang lahir dari rahim kemarau, datang seperti sapa, memintaku untuk selalu mengingatnya. kepedihan, entah kenapa, selalu punya jalan untuk tetap bertandang.
“ka, aku senang kok sempat jadi hujanmu. makasih juga telah dibuatkan tulisan ini.”
ahhh, dinda... aku hanya bisa menulis, tak bisa berpuisi seperti pinta terakhirmu. dengan itulah aku mengobati semuanya. membuat yang “sempat” bisa jadi abadi, yang sementara dapat bertahan masa. siapa tahu, tulisanku dapat membuat hujan mau tercurah selamanya.
“hujan akan selalu ada, ka. meski bukan dinda lagi. bukan dinda lagi… tapi kaka bisa ikhlas kan?”
bukan bisa. tapi harus. hanya dengan ikhlas aku bisa menerima apa pun yang terjadi sebagai jalan yang mesti dilalui. menyadari diri hanya lintasan-lintasan dari apa pun. jika yang memintas itu mau berlabuh, menetap, atau hanya lewat, semua sudah ada garisnya. semua harus berjalan…
setiap sahabat adalah rahmat. setiap rahmat adalah harap, dan setiap harap pasti berjawab, kan? dan harapan itu adalah cintaku, tidak bicara tentang keabadian, tapi kebersaatan, keterkejutan, nikmat kejap, syukur dalam keterbatasan. mensyukuri dengan meyakini, memang kebersaatan itulah yang menjadi hakku. singgahmu yang sebentar itulah milikku. aku tak boleh berharap lebih. aku harus mampu berterimakasih dengan meski….
[9]
alam memang contoh terbaik dari keajaiban. jika hujan bisa lahir dari rahim kemarau, tawa pun pasti bisa terbit dari fajar air mata. pelan-pelan, aku patrikan hal itu di benakku. aku ikhlaskan dia pergi, tanpa sesal, tanpa pedih. aku kenang semuanya dengan tawa, ucap syukur, dan rasa lega, seperti keleluasaan rasa yang hinggap saat pertama kali ku sapa dirinya di alam maya.
berjalanlah, kasihku, dindaku. aku tak memberatimu lagi. karena seperti katamu, engkau tetap akan pergi, kini atau nanti. bergeraklah, raihlah kegembiraanmu. yakinlah, dari tiap sujud sempurnaku, akan tetap lahir doa-doa terbaik tempaan ribuan tahun, yang memanteraimu, menjagamu, agar tetap bahagia, seperti saat sebelum engkau denganku berjumpa....
* * * *
bandung, 27 mei 2010, pukul 5.29 wib
kupersembahkan hanya untukmu...
Selasa, 25 Mei 2010
Sejati itu ada....
Aahhh… Dinda, aku menyayangimu lebih dari apa yang mampu terbayang dalam imajinasi. Sejuta bait yang kutuliskan pun tetap tak bisa menampung apa yang kurasa. Dan itu membuatku hidup, lalu mengasihinya. Kalaulah ada sikapku yang seolah mengingkarinya, tak lain hanyalah ketakutanku akan kehilangan anugerah ini... Toh bagaimanapun elak sadarku, cinta kan selalu bermuara di antara dua hal; “harapan dan kekuatiran”.
Harapan yang menjadikan aku memiliki gairah dalam menata setiap detail paraghraf hidupku, dan kekuatiran yang membuat egoku memuncak, sebab aku ingin dirimu tanpa pernah berbagi dengan yang lain. Tapi itu karena aku juga telah mengalirkan keberadaanku seperti itu. Peduliku telah kuasingkan dari yang semua, sebab ia hanya untukmu. Tak ada waktuku yang terlepas dari mengingat dirimu. Dan itu terus kuhayati dalam diam dan riuhku.
Dindaku.. pada akhirnya, aku mengerti.. bahwa inilah jalanku untuk menyayangimu. Jika masih tersisa labil di kenangmu, benamkanlah ia. Biarkan aku yang merangkumnya. Mungkin itu akan menjadikanku hidup dalam ingatmu. Adapun segala prasangka yang kadang mendera, lepaskanlah agar menjadi bunga.. Sebab, kelak, akan kita dapati, bahwa segala telah membuat kita percaya; cinta sejati itu ada dalam kita.
Jumat, 21 Mei 2010
Lagu [stempel] Komunis
Enak juga ini musik hehehe... Sebagai gambaran sederhana atas realita kehidupan manusia. Ini lagu berasal dari daerah Banyuwangi, sama halnya dengan “Bubuy Bulan” dari daerah Sunda, atau “Gundul-Gundul Pacul” dari Jawa Tengah. Lagunya bagus dan musiknya sederhana, tapi kanapa dilarang? Apa karena [dianggap] bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI)? Yayaya.....
Emang kalau ini ada unsur PKI-nya kenapa? Memang salahnya PKI apa? Apakah karena telah melakukan “pemberontakan” Gestok? Bukankah PKI hanya “korban dramatisasi politik” semata? Bukannya aksi “genocida” yang dilakukan kepada (orang yang diduga) PKI telah menumpahkan jutaan darah, mereka dipenjara tanpa pengadilan, dibuang ke Pulau Buru selama bertahun-tahun. Sementara keluarganya dibiarkan telantar dan didiskriminasi bertahun-tahun.
Sejarah bangsa Indonesia masih diselimuti kegelapan, terlebih dengan sejarah yang berkaitan dengan G30S/PKI tahun 1965. Apa sebenarnya yang terjadi saat itu masih kelam. Sementara “tokoh kunci” yang kita harapkan mampu mengungkap kasus tersebut sudah berpulang ke pangkuan Tuhan (Soeharto). Biarkan dia pulang dengan tenang, tapi kita selaku pewaris peradabannya, jangan bertingkah yang sama; memberangus sebuah karya sastra dan menutup akan fakta sejarah.
Terserah ada yang mau bilang lagu ini lagu PKI, tapi menurut hemat saya, lagu ini adalah Seni! Lagu yang asyik, lagu yang sederhana, bercerita tentang penderitaan orang desa yang bertahan hidup dari jurang kemiskinan! Polosnya mereka jauh dari rasa apatis, politis, ambisius dan rasa arogan.
Lagu “Genjer-Genjer” sebenernya tidak ada unsur PKI-nya. Soalnya lagu ini dibuat pada tahun 1942, untuk menceritakan penderitaan rakyat dibawah penjajahan Jepang, yang untuk bertahan hidup saja, rakyat sampai harus makan genjer yang waktu itu dianggap sebagai gulma (tanaman pengganggu). Tapi sayang, karena lagu ini [dianggap] dekat dengan kaum komunis, jadi ikut dianggap sebagai unsur PKI.
Lagu “Genjer-Genjer” digubah oleh M. Arief, pada masa pendudukan Jepang ketika masyarakat Banyuwangi mengalami krisis pangan hebat. Sebelum zaman Jepang masyarakat Banyuwangi mengenal genjer hanya sebagai pakan bebek. Nah, karena krisis pangan, genjer menjadi pangan alternatif. M. Arief mengenal sayur genjer dari istrinya yang bukan orang Banyuwangi. Jadi, tafsir Genjer-genjer yang berdarah-darah itu hanya rekayasa Orde Baru. Lagu-lagu M. Arief banyak yang merupakan kritik sosial seperti: “Sekolah atau Lurkung”
Inilah arti sebenarnya dari lagu Genjer-Genjer tersebut:
Genjer-genjer tumbuh liar di selokan/
Ibu datang mencabut genjer/
Dapat sekarung lebih tanpa ragu/
Genjer sekarang bisa dibawa pulang//
Genjer pagi-pagi dibawa ke pasar/
Dijajar dan dibeberkan di lantai/
Si Ibu beli genjer ditaruh di tas/
Genjer-genjer sekarang akan diolah//
Genjer-genjer dimasukkan ke panci air panas/
Setengah matang ditiriskan untuk lauk/
Nasi sepiring sambal di tempat tidur/
Genjer-genjer dimakan dengan nasi//
Manipol Usdek, Awal Negara Kita!
Manipol Usdek Awal Negara Kita
Karya Paduka yang agung serta mulia
Bait di atas merupakan penggalan lagu Oentoek Padoeka Jang Moelia Presiden Soekarno yang dinyanyikan oleh Lilis Suryani. Lagu ini menjaga salah satu lagu yang paling sering di putar di era enam puluhan bersama Genjer-Genjer—juga dibawakan Lilis Suryani—sebelum Soekarno dan PKI dibredel oleh Soeharto.
Soekarno sampai pertengahan 60-an memang sosok sentral di republik Indonesia. Untuk menghormati Soekarno, maka diciptakanlah lagu ini.
"Darah Ra'jat"
Lagu perjuangan "Darah Ra'jat" sangat terkenal pada masa revolusi pembebasan nasional, dan selalu dinyanyikan para pejuang dalam medan pertempuran. Pernah dibagi-dibagikan dalam bentuk selebaran kepada ratusan ribu massa rakyat di lapangan Ikada (baca, lapangan Monas, sekarang) dan dinyanyikan bersama-sama. Pengarangnya konon bernama Legiono alias Ismail Bakrie, seorang pemudah buruh kereta api.
Tak Ingin Sendiri - Broery Marantika
[cinta] terlarang
Inikah cinta?
Yang melenyapkan segala batasan…
Lahir dari hati yang sama.
Cintaku terlarang…
Cintaku yang terindah…
Meski pada akhirnya…
Aku harus kembali…
Pada cinta yang sesungguhnya!
Setahuku, dasar dari cinta adalah kasih. Ventilasi bercelah yang disebut nurani. Esa sebuah rasa yang berkelindan tak henti. Dan yang selalu berasa disetiap malam. Itulah cinta…
Lewat catatan ini, kulantunkan nyanyian hati tanpa melodi. Untukmu, wanita dari semua kaum Hawa yang ku puja. Atas nama cinta, dari kecintaan yang tak lagi teraba...
Kau tahu, waktu pun kini angkat bicara. Akan gandrungku yang memuja raga. Akan rinduku pada sebuah pesona. Akan hanyutku yang disengaja memabukan jiwa. Dan terangsanglah daya pikirku untuk mengungkap rahasia hati. Yang terperas di kegelapan hampa, yang membumbung dikesunyian malam…
Kutebarkan aroma wangi yang memabukan jiwa, meski tanpa aneka bunga. Satu tahun aku menunggu, dua tahun aku menanti. Tiga bahkan telah menjadi empat dan lima. Tak berasa, kini dua belas tahun sudah terlewat.
Aku hanya ingin membuka sebuah tirai. Sebentuk kabut yang menutupi pandangan tiap insan. Tentang cinta dan keabadian rasa. Tentang bening kasih yang teralpa. Tentang raga yang mencintai jiwa yang sama...
Bukankah Tuhan telah menciptakan kita dari sesuatu yang sama? Dari buah cinta dan kenikmatan yang serupa? Dari degup jantung yang seirama? Dari perhiasan birahi yang indah? Lalu mengapa persamaan itu dianggap tak ada, saat perbedaan ada pada kita? Kenapa mesti berbuah kata “Terlarang”? Hmmm....
Bandung, 19 Mei 2010 Pukul 01.19 WIB
Jangan Ada Dusta Antara Kita - Broery/Dewi Yull
titip rindu buat ayah... ebiet g ade
Ayah... Ketika berjauhan... Masih ku rasa... Hangat kasihmu ayah... Betapa kurindukan ... Redup wajahmu ... Hadir menemani... Ayah, aku ingin pulang untuk menemanimu dipenghujung waktu...
Rabu, 19 Mei 2010
Senin, 17 Mei 2010
membaca [tiap] ayat sejarah
Malam kian berakhir, jarum waktu masih angkuh menipiskan anganku pada lingkar absurd tarian kata dan imaji. Seribu masa menyelinap diatas meja dan girisan pena yang mengutuk tubuh dalam kelam. Huahhh …. Kenapa otak jadi beku seperti ini? Duh . . lagi-lagi mozaik kekalutan ini memahatkan takutku pada cerita-cerita basi dan tolol tentang lepuhan kesemestian hidup, ini harus cepat diakhiri (Hei .. Asyhadie, siapa bilang aku dilahirkan lewat telinga? Insomnia, amnesia, dan narsis lo..!, Adalah jawaban untuk igauan batinku). Hanya bagaimana manusia, konon, meneriakkan cintanya pada kebijaksanaan sang "Dewi Sophia", ia bisa dianggap berharga. Ah, peduli amat dengan mistifikasi tolol yang telah ditularkan filsafat itu…
Penaku masih dirasuki sejuta entah, pijar renung meredup seiring fantasi kelamku mulai meraja. Ternyata hidup begitu rumit, sehingga manusia memerlukan beragam peluh dalam penempuhannya. Sesaat keletihan kembali membias di desahku, namun ontologisasi realitas tak sudi beranjak dari renungan. Sshhh..!! aku bosan dengan metafisika substansial hierarkis, metafisika proses, apalagi gradasi realitas, enyahlah teori-teori emanasi yang hanya bisa mereduksi kalut semesta dan melembagakan "tuhan" dalam teori. Satu-satunya locus bagi ontologi evolusionik semesta adalah logos “entah”. Dan Ini adalah serpihan paradigma yang tidak membutuhkan lampiran-lampiran epistemologis, takdir, empirikalisasi pengetahuan apalagi dekonstruksi rasistial dalam mengisyaratkan jejaknya. "Entah" adalah retakan dogmatik tentang historisitas hidup yang tak memerlukan roh absolut untuk menjelmakan kesempurnaan gelisahnya... (Apa yang barusan kuomongin ya? Teuing ah...)
Ke"gila"anku rasanya makin memuncak seiring bayang keresahan yang terus mengalir. Huh . . rupanya kemewaktuan ini harus bersandar pada setangkai bio-keberadaan yang bisa jernih menggores nasib, bening mengukur pelik. Berangkat dari affirmasi caci maki pada eudamonia, menjemput dosa dengan serapah. Toh’ di era simulacra yang menjadikan Rama berhati Rahwana, Karna berwajah Arjuna, tak perlu alasan runut untuk mengutuk manusia yang masih menyandarkan punggungnya pada paranoia kebebasan atas restu ketololan zaman Sartre, apalagi jenis sarkasitas freedom-nya William Wallace (kebebasan bukanlah human destiny, yang musti direnggut paksa dari jejari Goolia, tapi seberkas illuminasi tanpa inflasi ego, likuidasi hasrat, dan fluktuasi mental. Bara jalang ke-aku-an pada setiap bujur dan koordinat hidup).
Teramat naif mereka yang masih mengaca gerak hidup ini pada khayalan dialektika Hegel dan historisitas kuno Marx. (Emangnya ide manusia dan revolusi tanpa noda? Heh, sejak kapan Crane Brinton adalah de Stakingskoning? Toh "Barudak Kiri" tak lebih dari sekadar komunitas "sakit hati" yang mereduksi Che Guevara bentuk labelitas primordial ‘nu’ paling butuutt). Hanya orang-orang tolol yang mengira hidup akan tuntas dengan mengeja jejak-jejak hilang sang Nabi sembari melemparkan umpat pada desiritas mite prometheus, membaca katalog apologis subsidiaritas Rawls dan utopianisme komunikasi Habermas, apalagi menafsir irrasionalitas etika Timur dan melambaikan tangan pada absurditas Sisifus. (Yahudi tanpa negara dan sinagog bisa menghasilkan manusia ‘sempurna’ layaknya George Soros and Ariel Sharon. Amerika tanpa horison teknokratisme moralitas ‘45 bisa memunculkan George [W] Bush. Indonesia? Dengan amandemen abnormalitas pada setiap telikung amnesia sejarah, hipolinguistisasi teror di balik jendela-jendela kekuasaan, seharusnya sudah bisa menghadirkan manusia berotak Jenghis Khan, bertangan Midas, berkepala Janus, berkumis Hitler, dan berbadan Shisio). Hahhh … ckkk … ckkk …
* * * *
Malam makin menua. Dini mulai tiba. Rembulan sayu menerka cerah awan. Duh . . sunyi ini begitu indah mengerutkan jemu. Mungkin aku harus menganugerahinya puisi-puisi halus sekadar mewangikan suasana. Sedetik hening, tapi bayang-bayang kesadaran tiba-tiba menjelaga. Aku tidak butuh puisi, sajak, apalagi narasi-narasi tengik-terasi-ilmiah. Aku memerlukan sesuatu yang melampaui bahasa, mengatasi doa-doa, menjejak jenuh dan memecah cinta untuk senja ini (Waduh, teu kaharti, euy!).
Huuhh, benakku telah mencapai pintu ambang kelu. Tapi, dari pada faktisitas ini semakin menjauh dari "riweuh senggama anxietas", rasanya lebih baik aku pergi, berlari mengukur nocturne duka sejarah dunia, meludahi orang-orang yang terbiasa menghibakan "iman"pada ideologi kapitalis yang sudah mencacah infrastruktur masyarakat dalam axioma ‘busuk’ linieritas peradaban, atau paling tidak membakar jenggot federasi metalik-sepulturis yang dangkal logika dan berbau flagiatisme.
Yah . . mungkin seperti inilah hidup di dunia ketiga. Dunia yang tak pernah merestui kehadiran anti-tesa untuk kejahatan ekonomi, skandal politik, kisruh modernitas vs lokalitas budaya, dan kekacauan religi. Ga percaya? Tuh.. tengoklah stylisasi generasi yang telah kehilangan ruang untuk menerjemahkan otentisitas dan puresitas, karena terkurung dalam citraan-citraan semu cyberisasi net-net porno, Facebook, McD, Mcintosh, dan MTV, terbakar trans-imaji goyang erotis artis ‘maksakeun’, yang memaksa Maria Ozawa bin Miyabi untuk datang ke Indonesia biar bisa lihat bahwa perempuan disini tidak ada yang jadi Cyborg Bodies, yang ada hanya jejaring teknologi nonsens dan wacana fisiologis murahan yang bercangkok dengan Male-Politic-Culture-Runtah-Building . . . Generasi yang terjerat Nomadisasi L-Men yang tak lebih dari definisi bentuk human+sampah, fusi industri kapitalis dan kedunguan reduksi eksistensi, serta olah libido visual untuk penghapusan dosa-dosa tubuh karena opini sakral telah menguap. Generasi yang terpagut dan terpasung jerat ‘Eliminasi’ dan membuat Zarathustra musti menyuarakan sabda barunya: “Aku hanya harus percaya pada ‘tuhan’ yang bisa menyanyi, melawak dan menari.., juga terpenjara improvisasi irasionalitas melalui tayangan dimensionik reality show, sinetron-sinetron pertobatan palsu, serta menganugerahi mereka sublimasi rasionalitas ala Nyi Roro Kidul, yang lebih norak dari ‘The Death Penalty’ and ‘Tales From The Cryprt’ dalam bentuk diskursus ketakutan zaman batu!
Atau liriklah mereka yang altar kebenarannya tak lebih dari masokisme kata-kata, gramatologi tanpa logika, bercengkrama dalam simulasi nista peradaban yang luka, persis hikayat sastra Jendra. Jangan pernah percaya pada agenda basi modernitas yang mengubur kesunyataan pada eforia naif sejarah (tak ada beda dengan grandeuritas lukisan eksekusi Goya, juga parodi binal tafsiran setengah hati para penyair karbitan akan realitas), apalagi dekonstruksi orang-orang post-strukturalis yang membaluri Palasari lewat parodi wacana yang fasis.
Omong kosong semboyan ‘no black, no balance’ untuk mereka yang hidup di dunia ketiga. Jangan pernah berkhayal layaknya Fukuyama bahwa sosialisme takkan bisa bangkit dari kuburnya disebabkan kapitalisme adalah akhir sejarah. Hilangkan iman kita atas segala konsepsi yang miskin evidensi bahasa!.
* * * *
Kumatikan neon dipojok kamar, hari sudah menjemput pagi sejak tadi. Ah.. ruangan ini semakin dingin dan bisu. Rasa lapar yang menghunjam, menyulutkan kembali kebencianku pada tiap kenikmatan histeria konsumerisme yang membuat Kierkegaard tak sudi menjejali diri. Namun, layaknya kebuntuan transposisi Nietzsche, pesona hibrid neraka instant pabrik-pabrik non-wulangreh itu tak pernah mendengar “Requiem Aeternam Deo” yang kualunkan. Sekilas kualihkan tatap pada udara dan kabut yang mulai mengental di ujung jalan. Kalutku masih bergumul dengan keluhan narsisitas jiwa. Neurosis, mungkinkah? Ah, paduli teuinx..!!!
Namun, dalam keremangan, rasa rindu tiba-tiba menyeruak. Menjalar bercecabang pada tiap persendian dan aluran darah. Aku ingin pulang . . . meski untuk meludah persis Odissey dan Malin Kundang. Huh . . nafasku berkelojotan saat aku ingat bahwa tak ada "rumah" bagiku. Aku serasa menjadi Manusia tanpa asal-usul dan sejarah, lipatan ab aeterno tanpa credo keberadaan. Caiyo!! Mitos apaan lagi tuh? agaknya mbah Levi Strauss mesti belajar menghitung segala tetes airmata, keringat dan darah, segala tunas jiwa, cinta, sumpah dan serapah, agar ga’ serampangan menyusun dan menyamaratakan pola mitos. Ini hidup mbah!!. Ambang batas kompleksitas antara hymne faktisitas dan monade eksistensialitas. So’ jangan dipolakan! meski kita membutuhkannya untuk jadi pegangan, karena kita harus berjalan, kita perlu kejelasan arah, tujuan, nilai, iman, prinsip, ideologi dan paradigma, karena kita mesti membidik, tidak kebingungan, dan, . . . stop!! Aku juga tau.!!! Masalahnya siapa dan apa itu kita, hingga menyandarkan semuanya pada setumpuk pegangan, aturan dan standar? Kenapa kita tidak berani meninggalkannya kalo ternyata semua itu terbukti hanya penebar kalkulasi picik bangkai kemajuan, statistika dungu zombi ketertiban, dan sakralitas palsu ilusi keabsahan!
Mungkin Walter Benjamin, federasi hippies, Mao, dependensia, domba Dolly dan New Age, terlalu kuno untuk menjadi tamsil atas semuanya, tapi tengoklah jidat, tangan, kaki dan seluruh tubuh kita yang sudah berbalur kealpaan akan dosa!! Mata yang kelam sebab sudut terlalu picik. Bahasa yang gagu karena mentalitas teramat pengecut. Kita tak lebih dari boneka-boneka yang layak masuk kategori minim nir-manusia Lyotard!! Hua . . ha . . ha . .
Ah, sudahlah, (telingaku mulai menangkap sesamar panggilan adzan, aku tersentak seraya menyibak rontokan rambut yang aku tak ingat lagi kapan terakhir make sampoo). Kegiatan seperti ini benar-benar tak berguna. Yah, mungkin untuk saat ini aku masih gabungan seseorang neo-essensialis sekaligus nihilis. Pusing dah jadinya, uuhhhh..!!!
Malam kian pergi, nestapa mataku menyiratkan kantuk. Panggilan Tuhan itu telah berada di hadapanku. Kepada Tuhan, bagaimanapun adalah pemangku terbaik tiap situasi kecamuk yang menyergap.
Sebuah hasrat, seuntai amarah, dan sebaris jemu telah kutuntaskan malam ini. Kurapikan kembali tiap lembaran imaji yang tadinya berserakan. Toh’ ternyata kita tak perlu berziarah, membaca setiap ayat sejarah, kalau hanya untuk berbenah…. meski gelisah… dan memang gelisah…
Bandung, 17 Mei 2010 Pukul 03.39 WIB
By: Nana Suryana
Sabtu, 15 Mei 2010
suara yang [seakan] kehilangan gairah
Malam beranjak dini. Duduk tenang, ada rokok dan kopi. Hanya senandung Sita lewat lantunan “Dona-dona” dan “Tuhan”-nya Bimbo yang ikut meramaikan suasana. Saat ini, aku hanya ingin bercerita tentang diriku. Cerita yang tidak ada sudutnya. Tentu saja, cerita ini bukan tentang sunyi, tapi cukup sepi. Biarlah mengalir saja. Toh, pada akhirnya tidak ada yang peduli, bahwa di luar kamarku lebih membosankan. Tapi ingat, aku tidak bisa bercerita dengan baik seperti Ibuku. Hanya saja aku suka, karena dalam ceritalah aku bisa menjadi apa saja, termasuk tentang pencarian dan kejujuran. Dan yang tahu tentang kebenarannya hanya diriku sendiri. Jadi maklum saja! Semoga kalian tak mencapnya “Kafir…”.
Huhhh… Kuawali sabda ini dengan meminjam kosa kata pantun; “Pertengkaran adalah sampiran, kesunyian menjadi isi”. Meski isi itu, dalam beberapa hal, terlihat anomali. Maklum, karena aku menulis dan bercerita memang tak mematok tujuan. Aku hanya ingin bergerak dari saat ke saat, setindak-tindak, laku dalam proses. Aku hanya ingin berlaku seperti yang diminati kaum nihilis-aktif, “Bergerak tanpa patokan, kreativitas yang lahir dalam suasana”. Hmmm… Entahlah!
Tapi, mungkin di sinilah anomali itu menimpaku. Ketakterpatokan itu terasa dalam gairah yang tidak kentara, atau mungkin tak ada. Berbeda dari pola pikir Nietzsche yang bergerak dalam gairah, menerima nasib dengan rasa cinta, “Kusayangi apa yang terberi”, atau menjadi “gila”. Aku justru hanya ingin menepi, merenung, dan pasrah menyerah, menghadap pada-Nya. Lebih seperti ketenangan air danau, yang menutupi gerak arus di bawahnya.
Tuhan, aku memang tak menampik apa pun yang diberikan oleh-Mu, tapi keberterimaanku itu tidak dengan “cinta”. Aku menerima-Mu dalam keadaan yang seakan, “Apa boleh buat…”. Dalam hal ini, aku lebih seperti yang dikatakan Albert Camus dalam Mite Sisifus, “Selalu tiba saatnya kita harus memilih antara renungan dan tindakan. Begitulah hakikatnya menjadi manusia. Kepedihan-kepedihan itu mengerikan. Namun untuk hati yg memiliki kebanggaan, di situ tidak mungkin ada pilihan tengah. Ada ‘tuhan’ atau waktu, salib atau pedang. Dunia ini mempunyai arti yang lebih tinggi yang melampaui segala hiruk-pikuknya atau tidak ada suatu pun yang benar selain hiruk-pikuk itu.”
Tapi, suaraku layaknya getar yang kehilangan gairah, atau ajakan Camus untuk merenung, mendapatkan arti yang melampaui kehirukpikukan itu, kini tak kutemukan lagi. Yang aku dengar saat ini dan lusa adalah “Tidak ada suatu pun yang benar selain riuh-rendah itu.”
Ahhh… Lewat tatap kosongku, aku hanya (coba) bicara tentang Tuhan, yang kata Amir Hamzah, ganas dan memangsa: “Engkau ganas/ Engkau cemburu/ Mangsa aku dalam cakar-Mu/ Bertukar tangkap dengan lepas”. Sementara dalam dialektika ini, aku berpegang pada titah Ahmad Wahib, “Warna yang beraneka rona kita hormati, bentuk yang beranaka ragam kita terima”. Tuhan di sini, ibarat kekasih, yang tak ingin kecintaannya berpaling. Karena itulah, aku jadi ingat nasihat Bapaku, saat mulai belajar mengkaji huruf “Alif, Ba, Ta, Tsa”. Bening suaranya masih terngiang dengan nyata, “Nak, jangan kau buat Gusti Allah ‘cemburu’. Karena tidak ada yang lebih ‘cemburu’ daripada-Nya.” Tentu saja aku terhenyak. “Kenapa Allah cemburu padaku, Pak?”. “Karena hatimu, setiap hari, lebih menzikirkan hal-hal duniawi.”
Saat itu, aku masih pening memikirkan maknanya. Kini, saat usiaku mulai menginjak kepala tiga, lapat-lapat suara syahdu yang dimainkan Bapa, mulai kupahami. Ungkap “cemburu” sebatas kiasan semata. “Cinta manusia pada apa pun, harus menjadi jalan untuk mencintai dan mendapatkan cinta-Nya. Karena itu, anak, istri, kekasih, jabatan, dan harta, baru dirasa bernilai ketika dapat menjadi selaras untuk menjumpai sang Khalik”. Bagiku, bertuhan, dengan demikian, lebih merupakan suatu pengalaman personal.
Dalam personalisasi semacam itu, Tuhan acap “ditemukan” dalam banyak “wajah”. Disini, dalam pengalaman personalku, Tuhan telah “hadir”; menegur, membimbing, dan memberi, meski terlihat samar. Dan aku merasakan persentuhan itu! Terlepas pendapatku ini mesti bertabrakan dengan Chairil Anwar, “…susah sungguh / Mengingat Kau penuh seluruh”.
Dan disinilah dilemaku itu dimulai. Mengingat, mengenal, ditegur, adalah pengalaman yang mewaktu, ketika alpa dan ingat, dapat bertukar lepas dengan tangkap. Padahal, Tuhan yang datang lewat wahyu, justru mengatasi waktu. Wahyu hakikatnya tak mewaktu, melampaui masa, di luar fase sejarah. Jadi, bagaimana mungkin “sesuatu” yang di luar waktu, dibahasakan dalam personalisasi pengalaman? Dan di titik inilah aku mulai sadar. Dilema itu punya titik temu: “Bertuhan adalah pengalaman personal yang terbahasakan”.
Pengalaman personal yang dimaksud di sini adalah sebuah situasi yang berada di luar kala, semacam ekstase kaum sufi, suasana hening ketika berzikir, atau blank tatkala menanggung sakit dan rindu. Dalam ketakmewaktuan itulah Tuhan hadir. Seperti “ketercerabutan” Rosul Muhammad dari realitas, kebersaatan, ketika menerima wahyu melalui Jibril. Nah, kehadiran Dia yang di luar kala itu, tak punya arti, sebelum dikatakan dalam bahasa orang ramai. Itulah sebabnya, al-Hallaj, membuka rahasia syatahat. Yazid al-Bustami bernubuat di kelimun umat. Tuhan yang mereka dapat di dalam ketakberkalaan, bukan mereka simpan, tapi dileburkan dalam kancah perbuatan. Bertuhan dengan demikian adalah perilaku. Adalah akhlak, sikap, tindak, dan cara mencinta.
Ukuran kebertuhanan pun menjadi bukan pada pengalaman personal dalam kesendirian, kealiman batin dan kesantunan pribadi, melainkan "kesalehan sosial", keberdampakan iman bagi orang banyak. Bertuhan dan beriman, dalam skala yang paling akbar, adalah pengalaman personal mi’raj Nabi Muhammad SAW, ketika mendapat pesan melalui bahasa langit. Setelah kembali, Muhammad mesti mewartakan pesan-Nya pada umat manusia dalam bahasa bumi.
Dari proses pencarian, perenungan, dan pemaknaan atas petuah Bapa dulu, kini aku semakin “siap” untuk Bertuhan sekaligus beriman. Keyakinanku ini kiranya sepadan dengan apa yang diyakini Emha Ainun Najib: “Bukanlah orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara membiarkan beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.” Bertuhan adalah melihat segala hal sebagai “tak ada yang bukan Tuhan”, al-fana’ ‘an al-nafs wa al-baqa, bi ‘l-lah. Segala nikmat dan laknat ibarat thariqah dan syariah, sebagai jalan, atau pintu, meraih Tuhan. Menyatunapaskan tugas lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Tapi tentu, bukan dengan keinginan untuk meraih surga sendirian. ”Di pintu-Mu aku mengetuk. Aku tak bisa berpaling,” kata Chairil Anwar. Dan diri yang tak bisa berpaling itulah, yang barangkali menurut Bapaku, insan yang tak lagi dicemburui Tuhan. Wallahu a’lam…
Bandung, 15 Mei 2010. Pukul 04.09 WIB.
Senin, 10 Mei 2010
Abah Endom, Pamali, dan Miyabi
Sepulang kerja, dengan penuh semangat ’45, saya bergegas menuju Pameran Buku Islamic Books Fair di Jalan Braga, Bandung. Tujuannya hanya satu; mencari buku yang berjudul “Pamali” sebagaimana disarankan oleh Abah Endom dalam diskusi kami di Dayeuhluhur on Facebook (DOF) beberapa waktu yang lalu. Pamali merupakan istilah bahasa Pasundan untuk menggambarkan berbagai norma tradisi lokal. Kalau norma tersebut dilanggar, maka akan timbul akibat tertentu.
Dalam tradisi filsafat positif, pamali dianggap tidak rasional karena pamali mengandung pernyataan (premis) yang tidak logis. Di satu sisi, pamali dipandang sebagai kearifan lokal yang sebenarnya mengandung rasionalitas tersendiri yang terkait dengan etika. Pamali atau pantangan adalah hal yang sering kita dengar dari orang tua atau kakek/nenek kita. Pantangan tersebut tentunya berawal dari banyaknya kasus yang terjadi karena melanggar pantangan tersebut meski segala sesuatunya adalah bersandarkan atas kehendak Tuhan. Percaya atau tidak, terserah bagaimana anda menyikapinya.
Sayangnya buku yang saya cari tak juga ditemukan. Akhirnya dengan sisa semangat yang tinggal separuh, saya datangi toko buku Gramedia di Bandung Super Mall (BSM). Sebelum saya iseng-iseng lihat film favorit apa yang sedang diputar di XXI. Sungguh saya merasa tercengang saat melihat salah satu film terfavorit pengunjung XXI saat ini. “Menculik Miyabi”. Woooww.....
Apakah film itu telah lolos sensor sehingga sukses diputar dan mampu mengungguli film box office lainnya? Bukankah beberapa bulan lalu, bangsa ini sempat dibuat heboh karena adanya rencana pembuatan film Menculik Miyabi?
Banyak orang yang mendukung film ini, namun juga banyak orang pula yang menolaknya. Tentu saja untuk yang pro kontra tentang pembuatan dan penayangan film ini mempunyai pandangan dan argument masing-masing. Beberapa alasan yang membuat tidak setuju tentang pembuatan dan di tayangkannya film ini telah bermunculan ketika rencana pembuatan film yang awalnya berjudul “Malin Kutang” ini di keluarkan.
Sementara pandangan saya tentang Miyabi, bahwa Miyabi sosok yang bisa menarik perhatian banyak orang, sehingga ini tentu saja menjadi kata kunci yang sangat mahal. Maklum Maria Ozawa, gadis cantik blasteran Kanada - Jepang ini bisa menjadi perhatian banyak orang, baik yang kontra dan pro tentang aktifitas miyabi dalam blue film.
Film Menculik Miyabi sendiri menceritakan tentang sebuah konflik yang terjadi diantara pemain yang menyebabkan penculikan terhadap Miyabi. Film ini bergender Komedi dan jauh dari unsur porno layaknya di video bokep.
Entah bagaimana caranya Maxima Pictures dan sutradara Raditya Dika, mampu melobi Lembaga Sensor Film (LSF) sehingga film ini bias lolos, namun kehadiran Maria Ozawa alias Miyabi pastinya telah ditunggu para penikmat film porno, termasuk saya! Dan terlepas dari pro kontra yang sedang terjadi, dengan semangat perjuangan ’45 yang kembali bergelora, uang yang awalnya untuk membeli buku “Pamali”, terpaksa harus berganti menjadi selembar karcis alias tiket masuk bioskop.....
Abah Endom, Kang Yoes, Emha Alahyar, Ka Ceceng, dan seluruh member DOF dan LKCB, maafkan saya hendak rehat sejenak hehehe....!!!
Bandung, 10 Mei 2010.
Langganan:
Postingan (Atom)