<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Selasa, 16 Agustus 2011

SIKSA KUBUR YANG TERTUNDA


Setelah Brodin mati dan dikubur, di liang kuburnya dia didatangi malaikat Munkar dan Nakir. Seperti biasa, dua interogator penghuni kubur itu segera mengajukan pertanyaan kepadanya:

"Man Rabbuka? Siapa Tuhanmu?"

Brodin diam saja meski berkali-kali ditanyai pertanyaan yang sama. Mengetahui reaksi Brodin yang tak juga menjawab, Munkar segera memecut tubuhnya. Kontan, Brodin kesakitan, lalu berteriak:

"Kenapa kamu pecut aku?"

"Kamu tidak menjawab pertanyaan kami!" bentak Nakir.

"Lah emang aku gak punya jawaban!" balas Brodin.

"Kamu harus punya jawaban kalau kamu gak mau mendapat siksa kubur!" Munkar menimpali.

"Lah menurut kamu siapa Tuhanmu?" tanya Brodin.

"Allah!" teriak Nakir, bersungut-sungut.

"Allah?" kata Brodin, bingung. "Jadi nama Tuhan kamu Allah? Siapa yang memberi-Nya nama? Kapan Dia lahiran? Siapa orangtua-Nya?"

Munkar dan Nakir terdiam. Lama mereka berdua saling pandang. Akhirnya, Nakir berbisik ke telinga Munkar:

"Lebih baik kita menghadap Allah dulu, lalu kita tanyai Dia: Siapa yang memberi-Nya nama? Kapan Dia lahiran? Siapa orangtua-Nya? Ok?"

"Ok!" jawab Munkar.

Munkar dan Nakir segera menghadap Allah di istana-Nya. Setelah melewati bendul pintu ruang-dalam istana, dua interogator ahli kubur itu lantas berjalan jongkok sembari menghaturkan sembah-dalam kepada Allah yang duduk di kursi-Nya. Sejenak dua malaikat itu saling pandang, seperti ragu siapa yang harus mulai angkat bicara duluan. Setelah hening beberapa saat dalam tatapan yang masygul, akhirnya Nakir memberanikan diri untuk bicara:

"Ampun beribu ampun, Paduka Allah, Tuhan kami. Hamba berdua kemari karena ada seorang hamba Paduka yang ngeyel di liang kuburnya. Namanya Brodin. Seperti biasa, setelah orang-orang yang menguburnya meninggalkan makam tempatnya disemayamkan, kami berdua segera menyelinap ke liang kuburnya dan menanyainya: Man Rabbuka? Siapa Tuhanmu? Dia tidak menjawab meski kami telah menanyainya berkali-kali, Paduka. Lalu Kakanda Munkar memecutnya dengan Pecut Gembolo Geni yang sangat bikin sakit itu. Dia lalu protes, Paduka, kenapa dia dicambuk, sebab katanya dia tidak punya jawaban. Ketika hamba mengatakan bahwa nama Tuhan adalah Allah, dia lalu bertanya dengan entengnya: 'Jadi nama Tuhan itu Allah? Siapa yang memberi-Nya nama? Kapan Dia lahiran? Siapa orangtua-Nya?' Kami tidak bisa meladeni argumennya, Paduka, sehingga kami kemari. " Nakir menutup laporannya dengan wajah yang tertunduk ke lantai, malu.

"Kalian berdua ini goblok!" seru Allah. "Tidak pernahkah kalian belajar Ilmu Tauhid? Masak kalah sama hamba-Ku, Eduard de Grave, yang sholeh itu! Nama-Ku memang Allah! Nama-Ku sudah ada bersamaan dengan Dzat-Ku! Aku tak pernah dilahirkan, juga tidak melahirkan! Dan tentu saja Aku tak punya orangtua! Mengerti? Percuma saja Aku angkat kalian sebagai malaikat kepercayaan-Ku kalau menjawab pertanyaan kayak gitu saja gak becus! Huh!"

"Tetapi, Paduka," Munkar, yang sepertinya lebih cerdas daripada Nakir, menyela, "bukankah nama ada karena ada yang menamai? Jika bukan Paduka sendiri yang mengumumkan nama itu, tentu orang lain yang memberi nama Paduka. Bukankah begitu, Paduka? Jika Paduka sendiri yang mengumumkan bahwa nama Paduka adalah Allah, kenapa Paduka tidak memilih nama yang lain selain nama itu?"

"Hmmmm," Allah bergumam, sembari menurunkan tensi emosi-Nya. Lama Dia merenung di kursi-Nya. Dia merenungkan kata-kata Munkar. Dalam hati Dia berkata: Benar juga, yah... Kenapa Aku memilih Allah sebagai nama-Ku? Kok bukan yang lain? Dan kapan Aku duduk di sini sebagai Tuhan? Ah, Aku tidak ingat dari mana asal-Ku! Aku ada dengan sendirinya! Akan tetapi, bukankah segala yang ada itu ada yang mengadakan, termasuk diri-Ku? Kalau tidak, bagaimana Aku bisa berkata-kata kepada mereka? Hmmm.

Setelah cukup lama merenung, Allah kemudian bertitah kepada dua malaikat yang masih tertunduk malu dan takut di hadapan-Nya:

"Okay! Kita tunda dulu masalah Man Rabbuka ini. Biar nanti Aku sendiri yang memutuskan jawabannya. Kalian balik lagi ke kuburnya! Lanjut ke pertanyaan kedua!"

"Kasinggihan dhawuh, Gusti, hamba menghaturkan ketaatan," kata Munkar dan Nakir, hampir bersamaan. Lalu, secepat kilat, dua malaikat itu segera menghilang dari hadapan Allah dan segera menuju kuburan Brodin. Tanpa ba bi bu, mereka segera mengajukan pertanyaan kedua:

"Brodin! Man nabiyyuka? Siapa nabimu?" tanya keduanya, serempak, bagai ABRI yang sedang berbaris.

Brodin tetap saja diam meski berkali-kali ditanyai pertanyaan yang sama. Pecut Gembolo Geni Munkar pun melayang mendera punggungnya. Kontan, Brodin kesakitan lagi, lalu berteriak:

"Kenapa kamu pecut aku lagi?"

"Kamu tidak menjawab pertanyaan kami!" bentak Nakir.

"Lah emang aku gak punya jawaban!" balas Brodin.

"Kamu harus punya jawaban kalau kamu gak mau mendapat siksa kubur!" Munkar menimpali.

"Lah menurut kamu siapa nabiku?" tanya Brodin.

"Muhammad!" teriak Nakir, bersungut-sungut.

"Muhammad?" gumam Brodin, bingung. "Jadi nabiku Muhammad? Aku gak mengenalnya, juga gak pernah ketemu dia. Bagaimana aku bisa percaya?"

"Tutup mulutmu!" bentak Munkar. "Tidakkah kamu pernah belajar sejarah selama hidup di dunia? Tidakkah kamu pernah mendengar nama Muhammad putra Abdullah, nabi yang terakhir itu? Kalau kamu tidak mengakuinya, celaka hidupmu!"

"Aku memang pernah dengar namanya. Yah, katanya dia nabi, yang terakhir pula. Tapi, kenapa aku harus percaya? Apa untungnya kalau aku percaya? Apa ruginya kalau aku gak percaya? Perasaan, aku bahagia-bahagia saja di dunia. Kalau gak percaya dia nabi, kenapa pula aku mesti celaka? Apa itu merugikan dia? Apa itu merugikan Tuhan? Toh, seingatku, aku gak pernah menyakiti siapa pun. Tanyakan kepada keluarga dan teman-temanku kalau kamu gak percaya! Kenapa kamu sakit hati kalau aku gak percaya Muhammad nabiku? Percaya atau tidak, apa bedanya buatmu? Apa untung dan ruginya buatmu? Buat Muhammad? Buat Tuhan? Seenaknya aja memecut orang sembarangan! Hiks!" jawab Brodin sambil meringis kesakitan dan mengelus-ngelus punggungnya yang berdarah terkena pecutan.

Munkar dan Nakir terdiam. Lama mereka berdua saling pandang. Akhirnya, Nakir berbisik ke telinga Munkar:

"Benar juga kata dia, yah? Lebih baik kita menghadap Allah dulu, lalu kita tanyakan kepada-Nya: Apa kerugian Allah jika anak ini tidak mengakui Muhammad sebagai nabinya? Meski bandel, anak ini omongannya jujur, loh. Ok?"

"Ok!" jawab Munkar.

Tidak ada komentar: