<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Senin, 22 Agustus 2011

Potret Pikada dalam UU No 5 Tahun 1974, UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 32 Tahun 2004



Latar Belakang

Perubahan dalam bidang politik pasca orde baru telah membuka peluang bagi daerah untuk mengembangkan sistem politik di daerah yang disesuaikan dengan potensi yang dimilikinya. Era reformasi yang muncul dalam paradigma pemerintahan daerah, memberikan titik cerah terhadap penyelenggaraan otonomi daerah, dalam kaitannya membangun demokrasi tingkat lokal. Paradigma baru ini banyak memberikan perubahan yang signifikan dalam pengelolaan dan perencanaan otonomi daerah, seperti diperbaharuinya prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi yang mengedepankan kemandirian daerah dalam mengelola potensi daerah. Dalam mengimplementasikan konsep-konsep tersebut, pemerintah era reformasi membuat dua undang-undang mengenai otonomi daerah, yaitu UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 32 Tahun 2004, yang selanjutnya memiliki aturan tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Penafsiran mengenai konsep desentralisasi dan dekonsentrasi pada dua undang-undang ini, diterapkan dengan adanya pemilihan kepala daerah dengan mengedepankan prinsip demokratisasi daerah. Pilkada dalam konteks otonomi daerah, merupakan hal pokok yang harus dilakukan dalam memberdayakan potensi daerah dalam hal pendidikan politik kepada masyarakat. Konsep pilkada ini bertujuan untuk mengakomodir tuntutan reformasi dalam kaitannya dengan Indonesia yang sedang mengalami transisi politik dari sistem otoriter kepada system demokrasi.

Namun penerapan gagasan pilkada tersebut memiliki perbedaan dalam dua undang-undang otonomi daerah, yang dikarenakan adanya perbedaan penafsiran mengenai keadaan masyarakat ditingkat lokal. Seperti konsep pilkada UU No 22 tahun 1999 yang merupakan penyempurnaan UU No 5 tahun 1974 dan konsep Pilkada UU No 32 Tahun 2004 merupakan penyempurnaan UU No 22 tahun 1999. Ini pun dapat kita lihat dari adanya masalah dalam menerapkan konsep pilkada pada masing-masing UU tersebut, yang kemudian menjadi catatan kritis mengenai pelaksanaan pilkada dalam penafsiran dua UU tersebut.

Pilkada era orde baru (UU No 5 Tahun 1974)

Hadirnya Undang-undang otonomi daerah yang baru tersebut telah memberikan peluang bagi terbukanya demokratisasi yang selama ini terkunci rapat. Bagaimana ketika masa orde baru dengan payung hukum UU No 5 Tahun 1974 telah menutup kebebasan daerah untuk dapat mengatur daerahnya sendiri. Pemerintah pusat, dalam hal ini terpusat pada kekuasaan Presiden menjadi satu-satunya pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam menjalankan pemerintahannya. Tanpa “restu” dari presiden, maka mustahil sebuah kebijakan akan diimplementasikan dan berjalan.

Wajah pelaksanaan Pemerintahan Daerah dapat ditelusuri dari Pelaksanaan Pilkada. Kapabilitas dari institusi pemerintahan daerah dapat dinilai dari bagaimana mekanisme pelaksanaan Pilkada atau rekruitmen pemimpinnya. Semakin baik mekanisme rekruitmen, maka akan terbuka kemungkinan semakin baik pula pemerintahannya.

Pelaksanaan Pilkada pada masa orde baru dengan payung hukum UU No 5 Tahun 1974 tidak mampu memberikan peluang bagi siapapun untuk turut berpartisipasi untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Calon kepala daerah dipilih oleh DPRD, yang kemudian diajukan kepada Presiden untuk mendapat persetujuan. Jadi di sini presiden memegang peran sentral dalam menentukan siapa yang layak menjadi kepala daerah. Padahal belum tentu presiden mengetahui permasalahan yang dihadapi daerah secara jelas, dan juga bagaimana kualifikasi dari calon kepala daerah tersebut.

Dari mekanisme yang terpusat ini akan membuka peluang bagi praktek kecurangan dan terbukanya budaya patron client. Presiden dapat menentukan calon kepala daerah hanya berdasakan pertimbangan like and dislike. Oleh karena begitu kuatnya peran pemerintah pusat, maka DPRD selaku legislatif yang seharusnya memilih calon pemimpin daerah, menjadi tidak berfungsi. Sebab walaupun calon yang hendak dipilih telah melalui seleksi, tetapi pemerintah pusat dapat seenaknya menolaknya tanpa alasan jelas.

Walaupun UU menyatakan, gubernur kepala daerah, bupati kepala daerah dipilih DPRD, tapi dalam implementasinya, DPRD memilih calon yang sudah mendapat “restu” pusat. Untuk bupati/walikota harus mendapat restu Mendagri, sedangkan gubernur harus mendapat restu Presiden.

Dari pola rekruitmen dan penempatan jabatan publik yang seperti ini membuka peluang lebar bagi praktek money politics, politik dagang sapi, serta kompetisi yang tidak fair. Dengan demikian orang yang dihasilkan tidak jelas kapabilitas dan kualitasnya.

Dengan sistem yang demikian, elite di daerah berkepentingan untuk mendekatkan diri ke pusat kekuasaan. Nasib kekuasaan elite di daerah berada di tangan pemerintah pusat. Artinya, elite daerah lebih memilih untuk mendekatkan diri kepada pusat kekuasaan daripada masyarakat yang dipimpinnya.

Namun yang menjadi salah satu kelebihan dari sistem ini adalah terciptanya stabilitas keamanan. Sebab pemerintahan orde baru menyelenggarakan pemerintahannya berdasarkan tiga pilar, yaitu stabilitas keamanan, pembangunan ekonomi, dan pemerataan. Dengan demikian rakyat tidak boleh disibukkan dengan aktifitas perpolitikan.

Pilkada era reformasi

Dalam perspektif desentralisasi dan demokrasi prosedural, sistem pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada Langsung) merupakan sebuah inovasi yang bermakna dalam proses konsolidasi demokrasi di aras lokal. Setidaknya, sistem Pilkada Langsung memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan sistem rekruitmen politik yang ditawarkan oleh model sentralistik “ala” UU No. 5 Tahun 1974 atau model demokrasi perwakilan yang diretas oleh UU No. 22 Tahun 1999.

Secara normatif, berdasarkan ukuran-ukuran demokrasi minimalis, Pilkada Langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi lokal, pertama, sistem demokrasi langsung melalui Pilkada Langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam proses demokrasi dan menentukkan kepemimpinan politik di tingkat lokal dibandingkan sistem demokrasi perwakilan- yang lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukan rekruimen politik di tangan segelitir orang di DPRD (Oligarkis).

Kedua, dari sisi kompetisi politik, Pilkada Langsung memungkinkan munculnya secara lebih lebar preferensi kandidat-kandidat yang bersaing serta memungkinkan masing-masing kandidat berkompetisi dalam ruang yang lebih terbuka dibandingkan ketertutupan yang sering terjadi dalam demokrasi perwakilan. Pilkada Langsung bisa memberikan sejumlah harapan pada upaya pembalikan “syndrome” dalam demokrasi perwakilan yang ditandai dengan model kompetisi yang tidak fair, seperti; praktek politik dagang sapi dan money politics.

Ketiga, sistem pemilihan langsung akan memberi peluang bagi warga untuk mengaktualisasi hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan elite politik-seperti yang kasat mata muncul dalam sistem demokrasi perwakilan. Setidaknya, melalui konsep demokrasi langsung, warga di aras lokal akan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh semacam pendidikan politik; training kepemimpinan politik dan sekaligus mempunyai posisi yang setara untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik.

Keempat, Pilkada Langsung memperbesar harapan untuk mendapatkan figur pemimpin yang aspiratif, kompeten dan legitimate. Karena, melalui Pilkada Langsung, kepala daerah yang terpilih akan lebih berorientasi pada warga dibandingkan pada segelitir elite di DPRD. Dengan demikian, Pilkada mempunyai sejumlah manfaat, berkaitan dengan peningkatan kualitas tanggungjawab pemerintah daerah pada warganya yang pada akhirnya akan mendekatkan kepala daerah dengan masyarakarat-warganya. Kelima, Kepala daerah yang terpilih melalui Pilkada akan memiliki legitimasi politik yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan kekuatan (check and balances) di daerah; antara kepala daerah dengan DPRD. Perimbangan kekuatan ini akan meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan seperti yang muncul dalam format politik yang monolitik.

Mewujudkan Good Governance

Konsep good local governance dalam kaitan ini, diartikan sebagai bentuk pemerintahan lokal yang didalamnya terdapat hubungan yang dinamis antara eksekutif, legislatif dan masyarakat lokal. Keseimbangan hubungan ini yang menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintah membangun kepemimpinan daerah. Sebab awalnya undang-undang otonomi daerah era reformasi dibentuk sebagai pencarian masyarakat akan figure pemimpin yang berdasarkan aspirasi dan keinginan masyarakat, artinya konsep keterwakilan tetap dikedepankan dalam melakukan proses demokrasi local (local democration).

Penerapan UU No 22 tahun 1999 wujud konkret pemerintahan lokal yang baik diwujudkan dengan keterwakilan masyarakat di dewan legislatif daerah (DPRD). DPRD difungsikan sebagai pelaksana pemilihan kepala daerah yang kemudian disahkannya. Kepala daerah dipilih berdasarkan mekanisme yang ada dalam kelembagaan DPRD, yang didalamnya terdapat perwakilan masyarakat melalui partai-partai politik. Cara ini sebenarnya hampir sama dengan cara yang dilakukan pada era orde baru dengan menggunakan mekanisme perwakilan, namun perbedaannya ada pada keterbukaan atau lebih terbukanya untuk masyarakat mengetahui proses berjalannya pemilihan kepala daerah.

Konsep keterwakilan DPRD yang merupakan perwujudan demokrasi lokal, menimbulkan permasalahan yang menyebabkan tidak lancarnya pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugasnya. Pemilihan kepla derah yang notabenenya dilakukan oleh DPRD, dijadikan sebagai alat kepentingan partai politik semata, dengan menggunakan legitimasi dari masyarakat. Pemilihan kepala daerah melalui kepala daerah ini, yang kemudian menimbulkan politik uang dalam prosesnya. Artinya, calon kepala daerah dapat menggunakan lobi-lobi politik kepada partai politik yang nantinya dapat mendukung calon tersebut. Namun konsekuensinya yang harus diterima adalah calon harus memberikan sejumlah dana kepada partai politik untuk melanggengkan langkahnya.

Berbeda dengan UU No 22 Tahun 1999, UU No 32 Tahun 2004 memiliki aturan yang berbeda dalam hal memilih kepala daerah. Berawal dari evaluasi pemilihan kepala daerah oleh DPRD yang cenderung carut marut dan tidak bisa memunculkan sebuah good local governance, maka dibuat aturan baru mengenai pilkada langsung. Proses partisipasi langsung dari masyarakat merupakan prinsip dasar dari diberlakukannya pilkada langsung ini. Inilah yang menjadi sejarah baru dalam pelaksanaan pilkada yang melibatkan seluruh rakyat lokal dalam “hajatan” besar lima tahunan ini. Prinsip pemerintahan lokal yang baik, tetap menjadi prinsip utama dalam kebijakan ini.

Dalam pelaksanaannnya Pilkada langsung tetap melibatkan peran partai politik sebagai kendaraan politiknya, dan kemudian calon kepala daerah itu baru bisa masuk dalam bursa pencalonan pilkada langsung. Bedanya dari UU No 22 Tahun 1999, partai politik berada di luar parlemen dan dijadikan sebagai legalisasi pencalonan. Cara ini digunakan untuk menghindari kemungkinan terjadinya deal-deal politik partai di DPRD, sebab permasalahan ini menyangkut kredibilitas DPRD sebagai perwakilan rakyat ditingkat lokal.

Pencarian sosok seorang kepala daerah melalui mekanisme pilkada langsung, memberikan pencerahan pada masyarakat mengenai solusi terhadap permasalahan yang terjadi didalam pemilihan kepala daerah di DPRD. Namun, pencerahan ini tidak selamanya berjalan dengan baik. Prinsip menggunakan partai politik sebagai kendaraannya, menyebabkan pindahnya praktek KKN yang semula di DPRD, kini di dalam tubuh partai politik. Penyimpangan ini yang kemudian menyebabkan beralihnya fungsi partai politik itu sendiri sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat yang berubah kepada orientasi kekuasaan belaka. Ini yang menimbulakan pula oligarki partai politik, yang menggunakan kekuasaannya untuk menarik dana sebesarnya dari calon kepala daerah.

Dampak dari tidak berjalannya proses kemandirian daerah ini, menyebabkan proses demokrasi yang coba bangkit dari keterpurukan pasca ketidak berhasilan UU No 22 Tahun 1999 tidak berjalan. Proses menuju pemerintahan local yang baik tidak bisa berjalan dengan semestinya, proses yang seharusnya mendapatkan bentuk pemerintahan yang dikehendaki oleh rakyat, dibohongi oleh kelicikan partai poltik sebagai kendaraan politik.

Kecenderungan Konflik dalam Pilkada

Dalam salah satu agenda pilkada, kompetisi politik merupakan hal mutlak yang harus dilakukan dalam proses demokratisasi daerah. Kompetisi dalam hal ini merupakan bentuk bagaimana calon kepala daerah untuk menggunakan cara yang baik untuk merebut simpati masyarakat atau konstituen. Oleh karena itu, selain bertujuan untuk membangun demokratisasi daerah, pilkada digunakan sebagai alat untuk meminimalisir konflik yang terjadi dalam hal pemilihan kepala daerah, sebab dalam hal ini masing-masing pihak diposisikan sama tanpa ada diskriminasi.

Ketidakpuasan masyarakat melihat kenyataan calon kepala daerah mereka kalah yang menyebabkan potensi timbulnya konflik antar masyarakat semakin besar. Pada penerapan UU No 22 Tahun 1999, yang memilih kepala daerah melalui DPRD, memiliki potensi konflik yang besar. Sebab dalam peraturannya, parpol yang berada didalamnya dapat melakukan lobi politik yang dapat berpotensi pada kecemburuan antar parpol yang menyebabkan “kerusuhan” politik di DPRD. Sebab dalam sistem ini, hukum alam akan berlaku, artinya partai yang memiliki jumlah suara yang besar dan didukung oleh lobi partai, akan memenangkan calon yang mereka ajukan.

Terlalu banyaknya kompromi politik di DPRD, karena partai politik dapat melakukan hal yang sesuai dengan kehendak mereka, yang akhirnya menimbulkan ketidakpuasan dari masyarakat melihat mekanisme yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Konflik yang lain adalah konflik antar pendukung calon yang tidak puas dengan kekalahan calon kepala daerahnya, dan berpotensi konflik dengan pendukung calon yang lain. Inilah yang kemudian coba diminimalisir dengan dibuat aturan mengenai pelaksanaan pilkada langsung yang diharapkan memberikan keterbukan kepada masyarakat guna menyalurkan aspirasi yang mereka kehendaki.

Pasca berakhirnya prinsip otonomi daerah berdasarkan UU no 22 tahun 1999, masyarakat mengalami yang dinamakan dengan dengan eforia otonomi daerah dengan dibuatnya suatu konsep pilkada langsung guna memilih kepala daerah dengan menggunakan azas keterbukaan masyarakat. Seperti dijelaskan diawal bahwa pilkada akan menimbulkan kompetisi politik, tidak lupa dengan pilkada langsung yang didalamnya terkandung kompetisi yang lebih terbuka dari masing-masing pasangan calon. Dan ini yang kemudian besarnya harapan masyarakat terhadap makin besarnya peran mereka dalam proses pilkada langsung tersebut.

Namun di balik eforia pilkada langsung dewasa ini, ada masalah lain yang dapat membuat agenda politik lokal ini paradoks, yakni potensi konflik yang dikandungnya. Potensi konflik jelas menjadi salah satu pekerjaan rumah seluruh perencana dan penyelenggara Pilkada langsung. Kalau tidak diantisipasi baik sejak dini, Pilkada nanti bakal menimbulkan konflik politik yang tidak hanya merugikan kepentingan rakyat, tetapi juga merusak benih-benih demokrasi di tingkat lokal. Jika diidentifikasi secara mendalam, maka ada beberapa permasalahan yang menjadi potensi timbulnya konflik politik dalam era pilkada langsung.

Pertama, dalam peraturan UU no 32 tahun 2004 mengenai pilkada langsung, menutup kemungkinan adanya calon independen dalam proses tersebut. Karena partai diberikan otoritas yang penuh sebagai sarana calon untuk menuju kursi kepala daerah. Hal ini sangat berpotensi menimbulkan konflik, karena di daerah memiliki sosok figur yang mereka sukai dan figur itu merupakan non-partai.

Kedua, besarnya ambisi partai politik untuk mencalonkan seseorang menjadi kepala daerah menyebabkan tidak diperhatikannya polarisasi politik yang ada dalam arus politik daerah. Ini yang kemudian menimbulkan konflik terhadap kutub politik yang tidak bisa diakomodir, yang seharusnya pencalonan kandidat calon harus memperhatikan kekuatan politk dan sosial yang ada di masyarakat bersangkutan.

Ketiga, pelaksanaan pilkada langsung memang dilaksanakan oleh KPUD dengan tanggung jawab langsung kepada DPRD. Ini yang kemudian membuka peluang adanya intervensi dari partai politik kepada KPUD melalui lembaga DPRD (didalamnya terdapat partai politik). Peran besar dari legislatif lokal ini jelas menjadi faktor distortif bagi Pilkada langsung.

Keempat, potensi konflik pasca Pilkada langsung juga tak kalah krusialnya. Jika potensi-potensi konflik di atas tak bisa diantisipasi dan dimenej dengan baik, maka bakal memicu konflik pasca pelaksanaan Pilkada. Konflik pasca Pilkada juga dimungkinkan, jika terjadi kecurangan dalam proses pemilihan tanpa penyelesaian hukum yang adil, misalnya, menggunakan politik uang. Aturan yang termaktub dalam UU Pilkadal seolah membuka peluang terjadinya persaingan politik uang di antara para kontestan. Hal ini jelas menimbulkan kecemburuan di kalangan kontestan yang "miskin".



Kesimpulan

Berjalannya era reformasi didalamnya memiliki potensi konflik dalam Pilkada jelas sangat menganggu proses penguatan demokrasi, tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga nasional. Potensi konflik itu bukan karena ketidaksiapan masyarakat, tetapi karena tidak utuhnya penerapan sistem demokrasi lokal, terutama yang disebabkan lemahnya aturan pelaksanaannya. Jika potensi konflik dalam Pilkada tidak minimalisir, bukan tidak mungkin proses demokrasi ditingkat lokal akan berjalan lamban. Karena kita tahu bahwa kehidupan yang demokratis yaitu kehidupan yang dimana masyarakatnya memiliki kebebasan untuk merumuskan kecenderungan politik mereka melalui jalur perserikatan atau perkumpulan, yang didalamnya memiliki kompetensi yang sehat dan berjalan damai.

Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalam konteks Pilkada adalah meminimalisir potensi-potensi konflik, baik yang terkandung dalam aturan main seperti UU No 22/1999 dan UU No 32/2004 dan tentang Pilkada, maupun kendala sosial yang masih membelenggu. Agenda ini harus sejalan dengan pembangunan bertahap budaya politik demokratis, ini bukan suatu pandangan yang merendahkan terhadap perilaku masyarakat politik tertentu, tetapi lebih disebabkan sistem yang kini terbangun lewat berbagai aturan main masih berpotensi memicu munculnya budaya anti-demokrasi.

Pilkada langsung merupakan salah satu kemajuan terbesar dalam reformasi politik di Indonesia. Pilkada nanti merupakan perjuangan rakyat Indonesia terhadap demokrasi langsung setelah pilpres 2004. Tetapi di balik itu, kita juga harus waspada terhadap potensi-potensi yang bisa menyebabkan agenda politik lokal berbalik arah, hanya karena ketidakmampuan dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya.





DAFTAR PUTAKA


Dwipayana, Ari. 2005, “Pilkada Langsung dan Otonomi Daerah”, dalam http://www.plod.ugm.ac.id/makalah/pilkadal_dan_otoda.htm

Huda, Ni’matul. 2005, Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Manan, Bagir. 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH FH-UII, Yogyakarta.

Nurhasim, Moch. Dhurorudin, Mashad Heru Cahyono, Irine Hiraswari Gayatri, Syafuan Rozi, Tri Ratnawati. 2005, Konflik Antar Elite Politik Lokal dalam Pemilihan Kepala Daerah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Rozaki dkk, Abdur. 2005, Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, IRE Press, Yogyakarta.

Tim IRE. 2002, Annual Report 2001-2002 Desentralisasi dan Demokrasi Lokal, IRE Press, Yogyakarta.


Tidak ada komentar: