<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Jumat, 01 Juli 2011

AGAMA & KEADILAN SOSIAL

“Kebetulan rumah saya bersebrangan dengan Masjid. Sebagai seorang penganut Kristiani, saya sudah terbiasa mendengar adzan, wirid dan dzikir setiap hari. Alunan itu sudah saya hafal di luar kepala. Hal itu bagi saya bukan masalah dan tidak meresahkan, apalagi mengganggu iman saya. Saya paham, saudara saya sedang berdo’a, dan berkat Allah pasti akan turun kepadanya”.

Ungkapan itu muncul dari seorang Ibu penganut Katolik yang tho’at. Satu kepedihan membuat Ibu Nanik menggugat Islam sebagai kelompok mayoritas di Indonesia. Nyeri itu muncul, saat kebebasannya untuk beribadah dipersulit.

“Yang jadi masalah, kenapa diskriminasi muncul kepada saya? Ketika umat Kristiani mau mendirikan tempat peribadatan, sulitnya minta ampun. Hanya karena alasan kuantitas kami yang minim, kami tidak diperbolehkan! Akhirnya, kami menggunakan salah-satu rumah sebagai tempat ibadah. Tapi rumah itu pun akhirnya diubrak-abrik oleh segerombolan orang berjubah sambil berteriak ‘Allohu Akbar’ dengan alasan penyalahgunaan tempat!”.

Awalnya saya merasa bingung dan ‘keder’ menanggapi keluhan itu. Hal ini disebabkan saya secara pribadi dan umumnya kaum muslimin dalam posisi yang disudutkan. Apabila saya memihak pada Ibu Nanik, maka bisa jadi label “sesat”, “murtad”, “kafir” dan “halal darahnya” akan melekat pada saya, terutama dari orang yang berpikir eksklusif dan radikal. Sementara bila saya membenarkan tindakan umat Islam yang melakukan kekerasan dan pengrusakan tersebut, jelas saya telah “keluar” dan “mengkhianati” ajaran Islam, karena saya telah berpandangan subjektif dan berlaku tidak adil pada sesama manusia.

Setelah membaca beberapa literature, pada akhirnya saya punya kesimpulan tersendiri, terlepas dari benar-salah, subjektif-objektif, maupun pro-kontra. Hemat saya, umat Islam tidak pernah melarang umat lain untuk mendirikan tempat ibadah, karena yang punya kewenangan pendirian tempat ibadah adalah negara. Ketika negara atau institusi yang mengatas namakan agama hadir dan ikut campur pada masalah agama, maka disana persoalan mulai muncul. ketidakadilan yang terjadi diantara umat beragama disebabkan adanya politisasi dari institusi yang “berkedok agama”.

Selain itu, sejatinya keadilan tidak memiliki labelitas, karena keadilan merupakan nilai universal yang kapan dan dimana pun harus selalu diperjuangkan. Sayangnya, universalitas keadilan tersebut, ternyata diekspresikan secara berbeda oleh setiap pemeluk agama. Imbasnya, diskriminasi antar kelompok mayoritas dan minoritas pun kerap kali terjadi. Padahal Islam dari awal telah memikul tanggung-jawab untuk menegakkan keadilan itu.

Dalam pandangan saya, paling tidak ada tiga perspektif dalam memahami problem ketidakadilan yang diakibatkan prilaku diskriminatif. Pertama, perspektif mistis. Pandangan ini beranggapan bahwa, ketidakadilan merupakan masalah yang sudah menjadi karakter manusia (sunatullah). Karena sifatnya yang absolut, maka cara merubahnya pun dilakukan dengan cara berdo’a. Berdo’a penting dilakukan untuk menjaga konsistensi kita terhadap ajaran sendiri.

Kedua, perspektif manusiawi. Seseorang bersikap adil tergantung dari moralitas dan mentalitasnya. Baik-buruk seseorang tergantung pada sejauh mana etika orang tersebut ditonjolkan. Ada pun cara merubahnya yaitu dengan memperbanyak dialog dan ceramah di setiap lembaga pendidikan formal. Sebagai contoh, bisa jadi pertikaian diantara umat beragama yang terjadi akhir-akhir ini, diakibatkan kurangnya pemahaman umat terhadap ajaran agama lain. Maka, lewat pendidikan lintas agama di sekolah, kiranya hal ini bisa ditangani.

Ketiga, perspektif struktural. Dalam pandangan ini, ketidakadilan itu tidak cukup diserahkan kepada pribadi-pribadi saja, tapi harus dilakukan secara bersama, terutama oleh struktur yang memiliki kewenangan, untuk merubah sistem yang sekiranya mengakibatkan konflik antar kepentingan.

Disamping itu, ajaran Islam tentang keadilan, secara umum bisa di bagi dalam dua wilayah; privat dan publik. Wilayah privat atau personal, yaitu bersikap adil terhadap diri sendiri dan orang lain, sebagai manifestasi dari ajaran kemaslahatan (rahmatan lilalamin). Sementara wilayah publik mengandung pengertian bahwa, keadilan itu berusaha untuk mewujudkan kepentingan bersama, tanpa melihat perbedaan SARA.

Adapun spesifikasi dari keadilan publik itu berupa pemerataan dan kesetaraan. Dalam hal ini, pemerataan diartikan sebagai upaya untuk melakukan pembagian kuantitatif secara sama. Sebagai contoh, bersikap adil kepada anak, tanpa melihat perbedaan usia atau jenis kelamin. Sementara kesetaraan, mengandung makna bahwa, semua orang, siapapun dia, ketika dihadapan hukum, memiliki posisai yang sama. Sebagai bahan rujukan, lihatlah prilaku Nabi Muhammad SAW, ketika siap menghukum putrinya, Fatimah, apabila ketahuan mencuri. Artinya, tidak ada nepotisme disitu! Realitasnya, hukum hanya diberlakukan untuk orang lemah saja, sementara kaum elite jarang tersentuh. Jadi, ada diskriminasi kesetaraan di tingkat itu.

Lalu, bagaimanakah konteks ajaran Islam melihat ketidakadilan akibat diskriminasi mayoritas terhadap minoritas? Keadilan menurut mayoritas, terkadang dianggap kurang adil oleh minoritas? Keadilan Islami macam apa yang menjadi prioritas dan harus kita perjuangkan ditengah masyarakat yang plural ini? Apa yang harus dilakukan setiap agamawan ketika menghadapi problem ketidakadilan?

Bagi saya, salah satu karakteristik ajaran Islam adalah konsisten dalam memperjuangkan keadilan melalui penegakkan hukum. Hal yang ingin dicapai dari keadilan adalah kesejahteraan, kemaslahatan dan bebas dari rasa takut. Artinya ketiga hal ini menjadi prinsip dasar yang harus diterapkan dalam Islam.

Pemahaman keadilan antara versi mayoritas dan minoritas memang berbeda, tapi pasti ada hal yang bisa dijadikan pegangan bersama, yaitu “kecenderungan untuk tidak menyakiti umat lain”. Hal ini sesuai dengan hadits, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia mencintai saudaranya, sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”. Jadi, bagaimana mungkin kita bisa mencintai Tuhan, kalau mencintai sesama saja kita tidak bisa? Wallohu’alam!


-----------------
Nana Suryana
Cijagra, 01 Juli 2011 Pukul 01.13 WIB

Tidak ada komentar: