Oleh: Nana Suryana
Parkir bukanlah masalah sepele, meski berawal dari uang recehan. Bagaimanapun juga, parkir merupakan cermin untuk melihat keseriusan pemerintah kota dalam melakukan pelayanan publik. Di beberapa daerah di Indonesia, terlihat kesan sekaligus kenyataan bahwa masalah parkir tidak diurus secara serius. Mereka cenderung meremehkan pelayanannya, tapi berebut penghasilannya. Mereka berasumsi bahwa parkir hanya masalah kecil, tidak bicara aset lokal atau peta politik daerah yang dianggap sebagai urusan lebih serius.
Kondisi tersebut sangat berbeda dengan kondisi di luar negeri (Eropa atau AS) dimana parkir ditangani secara serius. Penelitian Victoria Transport Policy Institute (VTPI), Parking Policy Evaluation: Evaluating Parking Problems, Solutions, Costs, and Benefits (2000), menyatakan bahwa kebijakan parkir memiliki dampak luas terhadap pertumbuhan ekonomi, sosial dan psikologi masyarakat. Dengan jelas mereka menyatakan, “Parking policies can have a variety of impacts on people who are economically, socially or physically disadvantaged.”
Jadi, kebijakan parkir adalah gambaran kebijakan publik yang memiliki implikasi sangat luas terhadap masyarakat. Tidak hanya pada masyarakat yang memiliki kendaraan saja, tapi juga pada masyarakat umum. Jika rumusan kebijakan publik tentang parkir dinilai memberikan pelayanan tidak baik, maka yang menerima akibatnya adalah masyarakat itu sendiri.
Pemkot Cimahi memiliki 3 perda sekaligus dalam mengurusi parkir –satu kondisi yang kurang lebih sama dengan daerah-daerah otonom lainnya. Perda No. 1/2002, Perda No. 2/2002, dan Perda No. 3/2002, tentang penyelenggaraan, retribusi dan pajak parkir. Namun dengan perda tersebut, toh target pemasukan dan pelayanan publik yang diharapkan tidak cenderung maksimal, justru semakin menurun.
Masyarakat pada umumnya menilai bahwa pelayanan parkir tidak memenuhi aspirasi mereka. Perda-perda tersebut lebih banyak diabaikan pelaksanaannya. Salah satunya adalah semakin banyaknya parkir liar (parkir sektor informal) di berbagai tempat. Sangat jelas, bahwa parkir liar ini sering mengganggu pengguna parkir yang bersangkutan.
Lantas pelayanan publik seperti apa yang diharapkan? Pelayanan publik pada dasarnya memuat dua kriteria umum. Pertama, prinsip aksesibilitas, kontinyuitas, teknikalitas, profitabilitas dan akuntabilitas; Kedua, prinsip pelayanan prima, yakni kesederhanaan, kejelasan, kepastian, keamanan, keterbukaan, efisiensi, ekonomis, keadilan dan pemerataan, serta ketepatan waktu.
Dari dua kriteria tersebut, secara umum disimpulkan bahwa pelayanan parkir di Kota Cimahi dengan segala asas di atas tidak terpenuhi secara maksimal, bahkan kerap merugikan masyarakat. Evaluasi perparkiran yang ada di Kota Cimahi selama ini pada umumnya menyangkut masalah pelayanan yang kurang profesional, adanya kebocoran dana, terjadinya kesemerawutan tempat parkir, resiko kerugian yang sangat tinggi, jaminan keamanan yang rendah, serta sektor kelembagaan yang masih belum berjalan dengan efektif.
Masyarakat menganggap bahwa pelayanan yang diberikan pemkot Cimahi cenderung kurang, bahkan tidak berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya protes yang diajukan masyarakat kepada oknum aparat pelayanan publik. Aspek pelayanan prima kurang begitu diperhatikan.
Misalnya, dalam aspek akuntabilitas, tidak ada kepastian dan kejelasan antara Perda No. 1/2002 dan karcis tanda bukti dalam hal pertanggungjawaban atas hilangnya kendaraan pengguna parkir. Dalam aspek keamanan, pelayanan yang diberikan dapat memberikan rasa aman, kenyaman dan kepastian hukum bagi masyarakat sangat kurang.
Demikian pula dengan aspek keterbukaan, efisiensi dan ketepatan waktu. Dalam penelitian ditemukan kondisi bahwa aspek keterbukaan masih sangat rendah. Demikian pula dengan aspek efisiensi dan ketepatan waktunya. Hal ini ditunjukkan dengan kurangnya sosialisasi serta keterbukaan terhadap perda yang baru. Persoalan inefisiensi yang lain terjadi dalam hal pengajuan tempat usaha parkir yang memerlukan persyaratan yang birokratis, namun tidak menghasilkan kemampuan melayani pelanggan secara baik.
Dalam suatu pelayanan publik, maka indikator keberhasilannya adalah biasanya dinilai berdasarkan yang disebut Drucker sebagai teori efesiensi. Efisiensi adalah menjalankan suatu pekerjaan dengan benar sesuai konsep input dan output. Hal ini berarti pimpinan bisa meminimalisir input dan berusaha menghasilkan output yang maksimal.
Di sisi lain, aspek ekonomis yang sangat berkaitan dengan aspek keadilan dan pemerataan berkaitan dengan pengenaan tarif yang disesuaikan dengan jenis kendaraan pengguna parkir, yakni apakah tergolong kelas atas, kelas menengah atau kendaraan kelas standar, seperti mobil umum, sepeda motor atau sepeda kayuh. Namun dalam kenyataan di lapangan serta dikaitkan dengan kondisi masyarakat pengguna parkir di Kota Cimahi, maka dasar penentuan tarif tersebut di atas tidak aspiratif. Apalagi dalam, proses formulasi atau perumusan Perda No. 2/2002 tersebut bahwa yang terlihat dalam proses formulasi tersebut sanga tidak aspiratif.
Mengapa tidak aspiratif? Lihat saja proses perumusan perda-perda tersebut yang dapat dilihat dari komposisi daftar hadir formulasi perda parkir: (1) eksekutif sebanyak 21%, (2) legislatif 73% dan (3) akademisi dan pers sebanyak 6%. Sekarang, mana representasi pengguna serta petugas parkir, ataupun perwakilan dari masyarakat umum? Hal inilah yang cukup membuat penentuan tarif parkir ini dikatakan tidak aspiratif karena tidak melibatkan masyarakat.
Saran-saran
Dari berbagai kelemahan yang dikemukakan di atas, kiranya pemkot harus meninjau kembali Perda No. 2/2002 di mana sering tidak ada kesesuaian antara idealitas dan kenyataan. Hal ini terjadi karena sistem dan mekanisme penyelenggaraan parkir di Kota Cimahi yang lebih banyak didominasi oleh pemerintah.
Karena itu Pemkot Cimahi (Baca: Dinas Perhubungan) sudah waktunya memperkenalkan sistem tender bagi pelaksana parkir khusus dan insidentil. Pemkot dengan demikian bisa menseleksi secara terbuka dengan pengawasan ketat dari publik siapa pihak yang akan menyelenggarakan pelayanan parkir tersebut. Di samping itu peran DPRD juga harus ditingkatkan dalam rangka mengontrol implementasi atau kinerja eksekutif daerah.
Terakhir, perlu pula diperkenalkan sistem parkir berlangganan supaya akuntabilitas publiknya bisa dipertanggungjawabkan. Saran ini mengimprovisasi kondisi parkir di San Fransisco (Arthur D. Fulton dan Weimer, 1980). Mereka merumuskan suatu rencana perlakuan parkir sehingga akan layak secara hukum, politik dan administratif. Mereka memakai sistem Neighborhood Sticker Plan (NSP) atau Stiker Identifikasi. NSP merupakan spesifikasi terinci dari rencana perlakuan parkir yang diinginkan masyarakat. NSP akan menciptakan suatu prosedur yang dirancang untuk penduduk, dengan penetapan zona parkir yang waktunya dibatasi.
*****
Selasa, 23 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar