Rabu, 24 Maret 2010
Parasitisme Media
Oleh: Nana Suryana, S.Sos
Media Pasca Reformasi
Revolusi Mei 1998 yang ditandai dengan tumbangnya rezim Soeharto dan digantikan oleh Habibie, banyak dipahami sebagai bagian dari revolusi yang lebih besar, yakni revolusi kapitalisme global yang bersumber dari kaidah neoliberaslisme dan yang menghendaki liberalisme ekonomi global.
Sebagai bagian dari proses liberalisme global, kebebasan media massa pasca Orde Baru, yang tadinya diharapkan dapat mengembalikan eksistensi media massa pada kekuatan kaum intelektual, malahan mengarah pada suatu kebebasan media massa yang berpihak politik pada kepentingan ekspansi dan akumulasi modal. Dalam konteks ini, kebebasan media massa menjadi tidak sepenuhnya fungsional dan berkorelasi dengan proses demokratisasi seperti yang diharapkan oleh gerakan reformasi.
Pada satu sisi institusi media massa pasca Orde Baru sebagai satu kombinasi antara kegiatan media massa dan kepentingan modal memang telah terbebas dari kekangan rezim penguasa, ketika pemerintah mencabut Permenpen No. 01/1984 tentang hak pembatalan SIUPP oleh Menteri Penerangan, Yunus Yosfiah, lewat Permenpen No. 01/1998.
Imbas dari kebijakan tersebut beberapa media yang ketika zaman Orde Baru sempat (di)mati(kan), terbit lagi dengan semangat dan pemodal baru. Akibat banyaknya pemain yang bermain dilahan yang sama, maka timbullah persaingan yang ketat diantara media baru tersebut. Media melakukan segala macam cara demi menaikkan oplah atau mempertahankan pelanggan lamanya.
Dalam pandangan Winarko (2000), walaupun dari jumlah penerbitan meningkat pesat hingga diatas angka 1.500, khalayak pembaca ternyata tidak menunjukan peningkatan yang sebanding. Sejak sepuluh tahun terakhir, tiras media cetak tidak jauh beranjak dari angka 10 hingga 15 eksemplar. Sementara tiras surat kabar harian berkisar 4 sampai 6 juta eksemplar.
Kebebasan Media
Seharusnya manusia sadar, bahwa kebebasan media membutuhkan berbagai perangkat yang menjadikan media itu leluasa digerakkan, ilusi untuk menciptakan pelarian tentu tak perlu. Sebab, kebebasan mutlak dan pelarian mutlak pernah betul-betul terjadi dalam kenyataan. Di tengahnya, manusia hanyalah makhluk yang tidak pernah bebas dan tak pernah pula tidak bebas.
Konsep kebebasan (freedom), seperti yang diungkapkan oleh Erich Fromm, merupakan suatu kondisi dimana kebebasan dari (free from) dan kebebasan untuk (free to) bisa berjalan secara seimbang dan beriringan. Namun pada sisi lain tampak bahwa media massa semakin tidak bisa melepaskan diri dari cengkraman the invisible hand mekanisme pasar serta proses akumulasi modal yang mengarah pada konsentrasi dan homogenisasi komoditi informasi.
Kebebasan media massa seharusnya mampu menciptakan public sphere dalam sebuah sistem demokrasi. Wacana publik mengenai legitimasi penguasa berlangsung dalam kawasan yang relatif terlindungi dari intervensi politik penguasa dan penetrasi kepentingan modal masih harus diperjuangkan oleh publik. Media seharusnya bersikap independen, objektif, jauh dari prasangka, berpihak pada kepentingan publik, dan terbebas dari selubung ideologi tertentu.
Sayangnya, kebebasan tersebut jauh panggang dari api. Ketika di zaman Orde Baru, kebebasan media massa berada dalam cengkraman penguasa, sementara media massa pasca reformasi kebebasannya dirampas oleh pemilik modal. Media massa yang terbit pasca-Orde Baru, terutama media massa cetak, tampaknya hanya menjadi semacam ajang pelepasan hasrat di masa reformasi setelah sekian lama dikekang dengan berbagai aturan yang melarang lahirnya media massa baru. Media massa baru yang tidak ditopang oleh manajemen yang kuat, tim redaksi yang piawai dan jaringan pemasaran yang handal, akhirnya jatuh satu persatu. Maka peta dunia media massa cetak di Indonesia kembali pada pola pengerucutan beberapa kelompok penerbitan besar.
Selain media massa cetak, kepemilikan media yang terpusat juga terjadi pada media massa elektronik, terutama televisi. Antara tahun 1987 hingga 1998, media Indonesia berada dalam persimpangan antara fungsi pers sebagai instrumen hegemoni negara dengan fungsi pers sebagai institusi kapitalis. Disatu sisi, pemerintah mulai mengadopsi prinsip-prinsip pers liberal, namun disisi lain mempertahankan kebijakan-kebijakan sektor media yang bertentangan dengan semangat liberalisme (Hidayat, 2000).
Cengkraman Media
Media massa Indonesia sekarang memang telah mengalami kemerdekaannya, namun hal itu sama sekali tak praksis menjadikan media massa bebas dan otonom. Dengan berbagai alasan, media massa tetap sebagai entitas yang berkepentingan, sadar atau tidak sadar, terorganisasikan atau tidak teroirganisasikan. Berbagai kepentingan dibalik media massa bisa ditunjuk sebagai faktor tidak bebas dan otonomnya media massa; baik modal, organisasi, ideologi, kultur, hingga soal-soal yang bersifat teknis.
Namun, disaat kondisi politik mulai terbuka, dalam kondisi dimana kemungkinan suara rakyat dapat leluasa dipublikasikan, terjadi pula perkembangan yang mengkhawatirkan pada media. Media massa sekarang berada dalam situasi struktural tertentu dimana kapitalisme semakin revolusioner dan cenderung meniadakan segala bentuk jati diri lama dan menawarkan jati diri baru lewat program liberalisasi, privatisasi dan monopoli. (Dharma, 2003).
Hal tersebut juga terjadi pada media televisi. Sebagai pranata sosial mutakhir, televisi secara bertahap sudah melampaui efektifitas pranata sosial lain, seperti partai politik dan media cetak yang telah memapankan dirinya sejak awal abad ke-20. Melalui televisi, partai politik dan media cetak ide modernisasi tersebar luas.
Kehadiran televisi dalam kaitannya sebagai mediator penyampaian pesan melampaui peran media cetak dalam tiga hal. Pertama, daya jangkau publik yang teramat luas, yang dapat ditunjukkan dengan puluhan juta perangkat TV di rumah-rumah. Kedua, kemampuan televisi untuk mendikte “kebenaran”. Dan, ketiga, relativisasi arti dan signifikasi peristiwa sosial lewat keragaman program.
Saat ini setiap pesawat televisi di Indonesia menjadi media yang dinanti kehadirannya, tak kurang dari 11 stasiun penyelenggara siaran televisi dalam negeri. Termasuk TVRI yang paling tua dan kemudian paling banyak ditinggalkan penonton. Lima di antaranya (Trans TV, Metro TV, Global TV, Lativi, dan Trans7) muncul dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, justru di tengah krisis multidimensi yang juga ditengarai dengan menguatnya kembali kekuatan lama anti perubahan.
Televisi merebut perhatian permisa saat unsur suspens (respon sejenak untuk beralih pikiran) berhasil dikendalikan. Oleh sebab itu televisi disebut kotak ‘sihir’ hitam yang menampilkan gambar dan bunyi. Tanpa sadar, alat ini mengubah cara pemahaman simbolis abjad dan susunan kalimat kembali menjadi gambar dan suara yang tak bisa digugat. Siaran televisi mampu menyeruak masuk ke ruang-ruang kehidupan masyarakat, sebagai pilihan yang paling mudah dan dianggap alamiah untuk mengisi waktu luang di rumah. Ia menyatu dan senafas dengan aktifitas kebanyakan rumah tangga. Dari yang miskin hingga kaya raya.
Seorang pembuat program acara menyatakan, bahwa setiap programmer berupaya mengejar ratting agar pemirsa menjauhkan alat pengendali jarak jauh (remote control) dari jangkauannya. Acapkali pesan semacam ini terungkap dalam kalimat-kalimat manis yang dinyatakan disela program dan tayangan iklan. Pemirsa diajak untuk tidak menggunakan hak prerogatifnya menukar saluran dan menikmati pesan secara utuh.
Untuk mencapai maksud semacam itu, perusahaan televisi merekrut para pekerja artistik terampil sehingga mampu mengadopsi dan mengemas narasi kemapanan yang sebelumnya tersusun dengan kata-kata ke dalam susunan letak latar, gimik, tutur dan pergerakan kamera. Konsekuensinya, televisi berlaku sebagai penerjemah suatu ide dan mengatur tayangan apa pun layaknya pentas drama. Setiap acara wajib merangsang sensasi pemirsa seperti tahap mula kanak-kanak belajar lewat sensasi gambar dan bunyi.
Parasitisme Media
Televisi adalah mesin dolar yang tak pernah berhenti menjual gagasan, mereproduksi makna sejarah dan agenda sejarah. Televisi menawarkan dua ranah bagi manusia; ranah jurnalistik (informasi) dan ranah hiburan. Masing-masing ranah ini mengelola efeknya; realitas sosial adalah sekuen dari ranah jurnalisme. Sedangkan ranah hiburan lebih banyak menggarap efek psikologi yang bersifat personal.
Menurut Halim (2003), dalam hal penyajian informasi atau berita, kemasannya bisa bermacam-macam. Mulai dari siaran berita yang isinya bersifat umum, lalu ada juga informasi kekinian (hardnews) tiap 1 jam sekali, serta berita dengan tajuk khusus yang didominasi oleh dua tema besar yakni tema kriminalitas dan pasar uang (bursa efek). Ada pula kemasan informasi yang dalam tiap penyajiannya berfokus pada satu tema tertentu. Berganti-ganti dari satu tema ke tema lainnya namun tetap bersumber pada program impor yang disajikan dalam kemasan siaran berita umum. Hampir seluruh kemasan informasi tersebut dimiliki oleh setiap stasiun siaran televisi.
Kemasan hiburan pun demikian. Hampir semua acara hiburan di semua stasiun televisi didominasi oleh film import yang berasal dari industri film Hollywood, film India, Mandarin, serta program dokumenter dan beragam show. Masih dalam kategori import adalah siaran olahraga yang didominasi oleh pertandingan sepakbola, bola basket, tinju, otomotif dan dalam porsi yang paling kecil yakni golf.
Produk lokal yang cukup dominan ialah sinetron, kuis (umumnya menjiplak program kuis luar negeri – baca: Amerika) dan acara musik. Juga produk lokal namun dalam porsi yang lebih kecil ialah kemasan hiburan berupa film Indonesia, siaran sepakbola dan tinju, dunia mode, kehidupan selebritis serta variety show yang juga habis-habisan menjiplak program sejenis milik siaran televisi di Amerika. Sama halnya dengan kemasan informasi yang dimiliki oleh setiap stasiun televisi di sini, kemasan hiburan yang disajikan setiap stasiun televisi di Indonesia pun mencirikan pola yang seragam.
Kenyataan ini menunjukan bahwa media punya sifat parasit. Apa saja yang sukses dari suatu media, akan segera ditiru dan diikuti oleh media-media lain (Rivers, 2003). Tanpa banyak disadari pemirsa, sinetron, komedi dan acara televisi lainnya sebenarnya “serupa tapi tak sama”. Judul boleh berbeda, aktor boleh berganti, namun format cerita, logika kisah, plot, penokohan dan setting cerita sesungguhnya serupa. Menurut Sudibyo (2004), sulit misalnya untuk menemukan sinetron yang benar-benar menampilkan hal baru dan inovatif, kecuali segelintir drama televisi lokal yang digarap secara serius.
Wardhana (2001) secara menggelitik menggambarkan kondisi ini. Menurutnya, dengan menutupi tiap-tiap logo stasiun televisi yang berada di kiri atau kanan layat televisi, praktis pemirsa tidak akan tahu stasiun televisi mana yang sedang siaran. Dari tayangan hiburan hingga tayangan jurnalistiknya, stasiun-stasiun televisi itu menunjukan wajah yang sama dan sebangun.
Kondisi ini, menurut Sudibyo (2004, tidak lebih baik ketika terjadi perubahan politik pasca pergantian pemerintahan, Mei 1998. Pergeseran dari state regulation menuju market regulation dalam industri media, tidak selalu berkorelasi dengan kebebasan publik untuk mendapat keragaman isi dan kemasan dalam pasar bebas informasi dan hiburan. Pemirsa benar-benar memasuki era dimana produk-produk media televisi lebih ditentukan oleh the invisible hand mekanisme pasar yang bertumpu pada kaidah permintaan-penawaran, logika sirkuit modal, dan rasionalitas maksimalisasi produksi dan konsumsi.
Kualitas yang Memprihatinkan
Ada beberapa hal yang patut dikritisi dari luberan tayangan-tayangan yang “serupa dan sebangun” itu. Menurut Kitley (2001) persaingan yang begitu ketat antar stasiun televisi untuk program yang sama, keterbatasan kemampuan PH dan in-house production masing-masing televisi untuk memenuhi persaingan itu, mengakibatkan begitu banyak program yang secara kualitas memprihatinkan.
Yang tak boleh dilupakan adalah siaran iklan yang sebenarnya menjadi penopang utama terselenggaranya siaran dari setiap stasiun televisi. Termasuk TVRI yang telah diijinkan kembali untuk menayangkan iklan. Maka saluran televisi apa pun yang dipilih oleh para penonton, serta merta mereka akan disergap bukan hanya oleh format acara yang seragam tetapi juga oleh tayangan iklan yang hampir sebagian besar sama persis (Purwantari, 2003).
Lebih jauh Purwantari menjelaskan bahwa, secara keseluruhan, sekitar 60% hingga 65% dari total mata acara dalam siaran televisi merupakan mata acara yang berisi hiburan, termasuk siaran olah raga di dalamnya. Prosentase ini jelas bertambah jika kita memasukkan pula durasi waktu yang disediakan untuk tayangan iklan. Mengingat teknik periklanan yang terus berkembang, yang memungkinkan iklan hadir dalam visualisasi yang menakjubkan alias mampu membungkus aktivitas menjajakan barang dan jasa dengan cara halus namun tetap persuasif dan menghibur.
Michael Parenti dalam bukunya “Make Believe Media The Politics of Entertaintment”, mengatakan bahwa, media hiburan, termasuk televisi, merupakan media yang mampu membentuk keyakinan kita. Dewasa ini, keyakinan yang terbentuk itu hanya sedikit yang berasal dari permainan anak-anak, cerita lisan, kisah-kisah rakyat, dan dongeng-dongeng, lebih sedikit lagi yang berasal dari sandiwara-sandiwara dan mimpi-mimpi dalam tidur kita sendiri.
Sebaliknya saat ini terdapat industri film Hollywood dan siaran televisi bernilai jutaan dolar yang menghasilkan berbagai citra dan tema yang telah siap untuk dijejalkan dan dipasang memenuhi benak pemirsa. Namun hal itu tidak cukup dipandang sebagai sebuah kegiatan selingan yang tak berarti. Tetapi sebagaimana diargumentasikan dalam keseluruhan buku tersebut, berbagai citra yang ditampilkan lewat layar kaca televisi sering kali mengandung kepentingan ideologis (Mulyana, 1997).
Permasalahan tersebut semakin memprihatinkan jika kita sadari betapa rentannya posisi publik selaku konsumen media ketika dihadapkan dengan muatan ideologis yang dibawa media massa. Misalnya dalam iklan, berapa banyak iklan yang mengeksploitasi anak-anak dan melecehkan perempuan? Lebih buruk lagi, muatan ideologis tersebut telah meremehkan kemampuan kritis manusia dalam menghadapi kenyataan hidup manusia dan sistem sosio-politik pemirsa, dengan cara membenamkan ke dalam benak pemirsa berbagai gambaran yang bersifat sebaliknya, yakni gambaran kehidupan yang dangkal dan serba aman. Bahkan jika ada anggapan yang menyatakan bahwa sebuah industri hiburan tidak membawa kepentingan politis serta ideologis dalam tujuannya, produk hiburan tersebut tetaplah bersifat politis dari segi pengaruh yang ditimbulkannya.
Dikalangan praktisi maupun teoritis komunikasi telah terbentuk suatu konsensus bahwa media massa dalam menjalankan fungsinya harus senantiasa berpegang teguh pada prinsip objektifitas. Konsensus tersebut dalam praktek ternyata tidak mudah disepakati. Masalahnya sering kali terbentur pada kesepakatan atas pengertian “objektif” itu. Kita tahu bahwa media massa pada hakikatnya adalah rekonstruksi tertulis atas suatu realitas yang ada dalam masyarakat. Namanya saja rekonstruksi, ia tidak mungkin sama dan sebangun dengan apa yang direkonstruksi itu, yakni realitas.
Dengan hanya terpancang pada materi hiburan yang ditawarkan televisi, pemirsa jelas bisa pusing tujuh keliling. Tetapi dengan mencoba menelisik lebih jauh ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ hiburan itu dihadirkan, pemirsa akan segera tahu bahwa terdapat motif-motif politik-ideologis tertentu yang ber(ter)sembunyi dibalik teks-teks hiburan tersebut.
Membudayakan Melek Media
Ketidakberdayaan publik ditengah kepungan media tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara maju. Untuk mengatasinya, dibutuhkan lebih dari sekedar reformasi atau regulasi industri media. Dibutuhkan revolusi untuk merubah paradigma dan konstruksi sosial industri media; dari yang semula berpihak pada kapitalis, menjadi berpihak pada publik. Maka untuk mengatasi serbuan media, muncullah gagasan untuk memperkuat publik agar mampu mengatasi sendiri ekses-ekses media. Gagasan ini diwujudkan dalam konsep media literacy atau “melek media”.
Konsep melek media sebagai alternatif memberdayakan publik ditengah kepungan media. Menurut Astuti dalam tulisan “Membangun masyarakat melek media” (Pikiran Rakyat, 30/06/04), konsep media literacy berkehendak untuk mendidik publik agar mampu berinteraksi dan memanfaatkan media secara cerdas dan kritis.
Belajar dari pengalaman negara lain, konsep media literacy ternyata disosialisasikan oleh banyak pihak. Pihak-pihak tersebut tidak saja muncul dari inisiatif perseorangan atau masyarakat. Hebatnya, sejumlah institusi media literacy justru didirikan dan dibina oleh media massa sendiri. Menurut Astuti, dasar kepentingannya ada dua; pertama, menghendaki agar warga negara mampu menyerap dan menggunakan informasi secara cerdas dan kritis. Kedua, media massa tersebut mampu membendung serbuan media “kuning” yang mengutamakan sensasional.
Dalam pandangan penulis, melek media berarti usaha untuk menelaah dan membongkar secara kritis muatan ideologi pada tayangan media. Hal ini atas dasar asumsi bahwa media telah memberikan beberapa pokok produksi teks yang sarat ideologis dan kepentingan pembenaran serta peminggiran sosial masyarakat. Artinya, media telah menciptakan dunia realitas, sistem kebenaran simbolik yang menindas, penuh manipulasi dan sarat dengan kepentingan politis belaka.
Sebagai produk yang lahir dari hasil kombinasi antara teknologi dan modal, media adalah salah satu perangkat ideologis kelompok dominan (ideological state apparatuses), yang bekerja dengan cara sealamiah mungkin. Selain itu, sajian media juga telah menghilangkan nalar kritis penonton dalam melihat realitas atau kenyataan hidupnya.
Meskipun cara berada kenyataan dalam media kita menumpulkan nalar kritis, namun hal itu harus dilihat sebagai sesuatu yang di luar nilai artistik media. Artinya, meskipun terjadi kenyataan yang hiperbola atau tertapi, tetap saja "kenyataan virtual" itu otonom di dalam nalar media.
Artinya, ukuran keberhasilan media tidak bisa dinilai dari seberapa jauh dia merefleksikan kenyataan atau menuntunnya, tapi seberapa jauh kenyataan itu mendukung keseluruhan isi media. Di sini media dilihat sebagai hasil karya yang otonom, dan dinilai berdasarkan unsur-unsur yang membangunnya, bukan dari hal-hal yang berada di luar dirinya, termasuk kenyataan keseharian yang menjadi cermin media tersebut.
* * *
Penulis, Koordinator Komunitas Islam Emansipatoris Bandung.
Mengkaji Diri, Menakar Tantangan; Pemekaran Kabupaten Cilacap Barat
Oleh: Nana Suryana, S.Sos
Wacana pemekaran wilayah Barat Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang diinginkan oleh masyarakat sempat mencuat dalam pentas Pilkada Kabupaten Cilacap yang digelar tiga tahun lalu (Minggu, 9 September 2007). Wacana tersebut menjadi bahan pembicaraan para elite politik, termasuk calon Bupati Cilacap. Sebagian masyarakat Cilacap Barat menginginkan pemekaran wilayah. Mereka menentukan pilihannya kepada kandidat yang dapat merealisasikan aspirasi tersebut (SKI Patroli edisi I September 2007 halaman 4).
Tiga tahun berlalu. Pemekaran masih tetap menjadi wacana. Namun, wacana itu kembali bergeliat seiring dengan dibukanya moratorium pemekaran oleh Soesilo Bambang Yudhoyono. Respon pun cukup gegap gempita. Suara pro dan kontra senantiasa berpadu. Terlepas dari nuansa politik apa yang bermain, namun gagasan pembentukan Kabupaten Cilacap Barat yang terdiri dari 129 desa meliputi 10 Kecamatan, yaitu: Sidareja, Majenang, Karang Pucung, Gandrungmangu, Kedungreja, Cimanggu, Patimuan, Dayeuhluhur, Wanareja, dan Cipari, hendaknya tidak dilihat dalam ranah geo-politik yang sempit. Artinya, proses itu tidak hanya dilihat semata-mata sebagai sebuah proses deteritorialisasi Kabupaten Cilacap Barat, akan tetapi harus difahami dalam cakrawala yang luas dan holistik.
Proses tersebut harus memenuhi prasyarat keperluan (necessary conditions) yang juga diimbangi dengan terpenuhinya prasyarat pokok (sufficient conditions), agar pembentukannya benar-benar dapat mensejahterakan masyarakat di wilayah yang baru terbentuk, dan sebaliknya juga tidak berimplikasi negatif bagi masyarakat di daerah induk yang ditinggalkan.
Selain itu, secara yuridis, prosedur yang harus ditempuh dalam proses pembentukan daerah telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Menurut pasal 3 dan 13 Peraturan Pemerintah tersebut, pembentukan daerah baru bisa dilakukan, bila suatu daerah mempunyai 7 (tujuh) kriteria dan persyaratan, yaitu: (1) kemampuan ekonomi; (2) potensi daerah; (3) kondisi sosial budaya; (4) kondisi sosial politik; (5) jumlah penduduk; (6) luas daerah, dan (7) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.
Apakah gagasan pemekaran Kabupaten Cilacap Barat benar-benar merupakan kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat Cilacap Barat secara keseluruhan? Ataukah wacana tersebut muncul lebih didasari oleh keinginan menambah peluang menduduki jabatan politik, baik di badan legislatif maupun eksekutif dari elit politik atau elit lokal tertentu? Selain itu, apakah wacana tersebut sudah didukung oleh penelitian awal yang objektif, atau lebih didasarkan pada “retorika superioritas” orang Cilacap Barat semata?
Jika artikulasi gagasan pemekaran Cilacap Barat lebih didasarkan kepada aspek pragmatisme politik dan ekonomi semata, tanpa kajian dan pemahaman substantif yang radix terhadap hakikat pembentukannya, atau gagasan tersebut hanya populer di tingkat elite lokal (local state-actors), maka pembentukan Kabupaten Cilacap Barat akan menjadi bumerang bagi warganya sendiri, karena secara teoretis, konsentrasi kekuasaan akan berada di tangan elite lokal. Bila hal itu yang terjadi, maka akan sangat sulit terwujudnya local accountability. Ini berarti terlalu dini untuk berharap bahwa Pembentukan Kabupaten Cilacap Barat akan mampu mendongkrak tingkat kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, dalam proses membangun gagasan membentuk Cilacap Barat, seluruh stake holders atau mereka yang berkehendak dan terkait dengan gagasan pemekaran Cilacap Barat, seyogyanya menyerap aspirasi masyarakat. Secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat harus diajak bicara! Debat publik secara terbuka baik di forum-forum resmi maupun tidak resmi guna membicarakan hal-hal strategis menyangkut gagasan pemekaran Cilacap Barat, kiranya juga perlu dilakukan. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Cilacap juga harus secara intensif menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Keterlibatan lembaga legislatif sangat penting dalam rangka menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat. Aspirasi dan tuntutan masyarakat tersebut selanjutnya dibahasakan dalam langkah politis yang menjadi wilayah kewenangan DPRD.
Langkah tersebut juga seyogyanya diikuti dengan upaya menakar diri, melakukan reorientasi dan penemuan diri, apa kekurangan dan kelebihan diri, apa peluang, tantangan, dan hambatan yang akan dihadapi (SWOT analysis)? Pertanyaan tersebut hanya dapat ditemukan jawabannya melalui riset dan penelitian ilmiah, bukan sekedar claim sepihak yang cenderung emosional. Dalam proses ini dibutuhkan kejujuran untuk mengakui kekurangan, dan kearifan menyikapi kelebihan.
Setelah mengetahui kelebihan dan kekurangan diri beserta identifikasi tantangan, hambatan dan peluang yang akan dihadapi, langkah berikutnya adalah memetakan kelebihan dan kekurangan tersebut yang diikuti dengan upaya restrukturisasi berbagai hal berkaitan dengan upaya lanjutan untuk memaksimalkan kelebihan dan meminimalisir kekurangan. Restrukturisasi ini terutama berkenaan dengan organisasi pemerintahan untuk menyesuaikan dengan kecenderungan dan perkembangan yang terjadi, serta untuk memudahkan koordinasi secara vertikal maupun horizontal. Restruksurisasi juga dapat difahami sebagai upaya meningkatkan kemandirian dan kemampuan masyarakat (capacity building) sebagai pelaku utama pembangunan daerah, dalam wadah komunitas (community based development) dan mengutamakan pembangunan kelembagaan (institustional development).
Upaya peningkatan kemandirian dan kemampuan masyarakat tersebut dilakukan agar mereka dapat mempersiapkan diri, sehingga pada saatnya –ketika Kabupaten Cilacap Barat terbentuk– mereka dapat berkompetisi dan berkiprah pada berbagai pos strategis, baik di pemerintahan maupun di sektor swasta lainnya. Hal ini penting dilakukan agar "bolu" yang tercipta melalui proses pemekaran tersebut, tidak hanya dinikmati oleh para pendatang, tapi juga oleh putra daerah. Bila putra daerah hanya menjadi “penonton”, dan para pendatang justru menjadi “pemeran utama” dan menguasai berbagai pos penting, maka hal itu akan melahirkan permasalahan baru di kemudian hari.
Langkah berikutnya adalah secara sistematis dan terus menerus harus dibangun aliansi strategis, antara pemerintah, LSM, organisasi politik, organisasi masyarakat, dan komponen masyarakat lainnya, termasuk aliansi strategis antar Kabupaten dan Kota yang memiliki kehendak yang sama untuk membentuk Kabupaten Cilacap Barat. Networking juga harus dibangun dengan pemerintah daerah lainnya, bahkan dengan institusi dan jaringan di luar negeri. Kerjasama (aliansi) tersebut diharapkan akan mampu melahirkan sinergi yang mampu mempercepat bangunan Cilacap Barat incorporated menuju pembentukan kabupaten baru yang memiliki kompetensi global.
Dalam konteks semangat aliansi ini, wacana pembentukan Kabupaten Cilacap Barat seyogianya dilihat sebagai sebuah "persoalan bersama" yang di dalamnya, masyarakat Cialacap Barat tidak hanya memikirkan kepentingan dan masa depannya sendiri, tetapi juga “nasib” daerah tetangga dan daerah induknya. Artinya, wacana pembentukan Kabupaten Cilacap Barat tidak bisa dilepaskan dari sikap dialogis-negosiatif, sikap komunikatif-persuasif, sikap saling pengertian yang mutual, dalam rangka membangun masa depan bersama yang lebih baik. Wallahualam!
* * *
Nana Suryana, S.Sos. Alumnus UIN SGD Bandung, warga asli kelahiran Desa Hanum, Kecamatan Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap. Kini tinggal di Kota Cimahi, Jawa Barat, sebagai Sekretaris 2 DPD KNPI Kota Cimahi & Ketua I DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kota Cimahi.
Selasa, 23 Maret 2010
Parkir dan Pelayanan Publik
Oleh: Nana Suryana
Parkir bukanlah masalah sepele, meski berawal dari uang recehan. Bagaimanapun juga, parkir merupakan cermin untuk melihat keseriusan pemerintah kota dalam melakukan pelayanan publik. Di beberapa daerah di Indonesia, terlihat kesan sekaligus kenyataan bahwa masalah parkir tidak diurus secara serius. Mereka cenderung meremehkan pelayanannya, tapi berebut penghasilannya. Mereka berasumsi bahwa parkir hanya masalah kecil, tidak bicara aset lokal atau peta politik daerah yang dianggap sebagai urusan lebih serius.
Kondisi tersebut sangat berbeda dengan kondisi di luar negeri (Eropa atau AS) dimana parkir ditangani secara serius. Penelitian Victoria Transport Policy Institute (VTPI), Parking Policy Evaluation: Evaluating Parking Problems, Solutions, Costs, and Benefits (2000), menyatakan bahwa kebijakan parkir memiliki dampak luas terhadap pertumbuhan ekonomi, sosial dan psikologi masyarakat. Dengan jelas mereka menyatakan, “Parking policies can have a variety of impacts on people who are economically, socially or physically disadvantaged.”
Jadi, kebijakan parkir adalah gambaran kebijakan publik yang memiliki implikasi sangat luas terhadap masyarakat. Tidak hanya pada masyarakat yang memiliki kendaraan saja, tapi juga pada masyarakat umum. Jika rumusan kebijakan publik tentang parkir dinilai memberikan pelayanan tidak baik, maka yang menerima akibatnya adalah masyarakat itu sendiri.
Pemkot Cimahi memiliki 3 perda sekaligus dalam mengurusi parkir –satu kondisi yang kurang lebih sama dengan daerah-daerah otonom lainnya. Perda No. 1/2002, Perda No. 2/2002, dan Perda No. 3/2002, tentang penyelenggaraan, retribusi dan pajak parkir. Namun dengan perda tersebut, toh target pemasukan dan pelayanan publik yang diharapkan tidak cenderung maksimal, justru semakin menurun.
Masyarakat pada umumnya menilai bahwa pelayanan parkir tidak memenuhi aspirasi mereka. Perda-perda tersebut lebih banyak diabaikan pelaksanaannya. Salah satunya adalah semakin banyaknya parkir liar (parkir sektor informal) di berbagai tempat. Sangat jelas, bahwa parkir liar ini sering mengganggu pengguna parkir yang bersangkutan.
Lantas pelayanan publik seperti apa yang diharapkan? Pelayanan publik pada dasarnya memuat dua kriteria umum. Pertama, prinsip aksesibilitas, kontinyuitas, teknikalitas, profitabilitas dan akuntabilitas; Kedua, prinsip pelayanan prima, yakni kesederhanaan, kejelasan, kepastian, keamanan, keterbukaan, efisiensi, ekonomis, keadilan dan pemerataan, serta ketepatan waktu.
Dari dua kriteria tersebut, secara umum disimpulkan bahwa pelayanan parkir di Kota Cimahi dengan segala asas di atas tidak terpenuhi secara maksimal, bahkan kerap merugikan masyarakat. Evaluasi perparkiran yang ada di Kota Cimahi selama ini pada umumnya menyangkut masalah pelayanan yang kurang profesional, adanya kebocoran dana, terjadinya kesemerawutan tempat parkir, resiko kerugian yang sangat tinggi, jaminan keamanan yang rendah, serta sektor kelembagaan yang masih belum berjalan dengan efektif.
Masyarakat menganggap bahwa pelayanan yang diberikan pemkot Cimahi cenderung kurang, bahkan tidak berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya protes yang diajukan masyarakat kepada oknum aparat pelayanan publik. Aspek pelayanan prima kurang begitu diperhatikan.
Misalnya, dalam aspek akuntabilitas, tidak ada kepastian dan kejelasan antara Perda No. 1/2002 dan karcis tanda bukti dalam hal pertanggungjawaban atas hilangnya kendaraan pengguna parkir. Dalam aspek keamanan, pelayanan yang diberikan dapat memberikan rasa aman, kenyaman dan kepastian hukum bagi masyarakat sangat kurang.
Demikian pula dengan aspek keterbukaan, efisiensi dan ketepatan waktu. Dalam penelitian ditemukan kondisi bahwa aspek keterbukaan masih sangat rendah. Demikian pula dengan aspek efisiensi dan ketepatan waktunya. Hal ini ditunjukkan dengan kurangnya sosialisasi serta keterbukaan terhadap perda yang baru. Persoalan inefisiensi yang lain terjadi dalam hal pengajuan tempat usaha parkir yang memerlukan persyaratan yang birokratis, namun tidak menghasilkan kemampuan melayani pelanggan secara baik.
Dalam suatu pelayanan publik, maka indikator keberhasilannya adalah biasanya dinilai berdasarkan yang disebut Drucker sebagai teori efesiensi. Efisiensi adalah menjalankan suatu pekerjaan dengan benar sesuai konsep input dan output. Hal ini berarti pimpinan bisa meminimalisir input dan berusaha menghasilkan output yang maksimal.
Di sisi lain, aspek ekonomis yang sangat berkaitan dengan aspek keadilan dan pemerataan berkaitan dengan pengenaan tarif yang disesuaikan dengan jenis kendaraan pengguna parkir, yakni apakah tergolong kelas atas, kelas menengah atau kendaraan kelas standar, seperti mobil umum, sepeda motor atau sepeda kayuh. Namun dalam kenyataan di lapangan serta dikaitkan dengan kondisi masyarakat pengguna parkir di Kota Cimahi, maka dasar penentuan tarif tersebut di atas tidak aspiratif. Apalagi dalam, proses formulasi atau perumusan Perda No. 2/2002 tersebut bahwa yang terlihat dalam proses formulasi tersebut sanga tidak aspiratif.
Mengapa tidak aspiratif? Lihat saja proses perumusan perda-perda tersebut yang dapat dilihat dari komposisi daftar hadir formulasi perda parkir: (1) eksekutif sebanyak 21%, (2) legislatif 73% dan (3) akademisi dan pers sebanyak 6%. Sekarang, mana representasi pengguna serta petugas parkir, ataupun perwakilan dari masyarakat umum? Hal inilah yang cukup membuat penentuan tarif parkir ini dikatakan tidak aspiratif karena tidak melibatkan masyarakat.
Saran-saran
Dari berbagai kelemahan yang dikemukakan di atas, kiranya pemkot harus meninjau kembali Perda No. 2/2002 di mana sering tidak ada kesesuaian antara idealitas dan kenyataan. Hal ini terjadi karena sistem dan mekanisme penyelenggaraan parkir di Kota Cimahi yang lebih banyak didominasi oleh pemerintah.
Karena itu Pemkot Cimahi (Baca: Dinas Perhubungan) sudah waktunya memperkenalkan sistem tender bagi pelaksana parkir khusus dan insidentil. Pemkot dengan demikian bisa menseleksi secara terbuka dengan pengawasan ketat dari publik siapa pihak yang akan menyelenggarakan pelayanan parkir tersebut. Di samping itu peran DPRD juga harus ditingkatkan dalam rangka mengontrol implementasi atau kinerja eksekutif daerah.
Terakhir, perlu pula diperkenalkan sistem parkir berlangganan supaya akuntabilitas publiknya bisa dipertanggungjawabkan. Saran ini mengimprovisasi kondisi parkir di San Fransisco (Arthur D. Fulton dan Weimer, 1980). Mereka merumuskan suatu rencana perlakuan parkir sehingga akan layak secara hukum, politik dan administratif. Mereka memakai sistem Neighborhood Sticker Plan (NSP) atau Stiker Identifikasi. NSP merupakan spesifikasi terinci dari rencana perlakuan parkir yang diinginkan masyarakat. NSP akan menciptakan suatu prosedur yang dirancang untuk penduduk, dengan penetapan zona parkir yang waktunya dibatasi.
*****
Parkir bukanlah masalah sepele, meski berawal dari uang recehan. Bagaimanapun juga, parkir merupakan cermin untuk melihat keseriusan pemerintah kota dalam melakukan pelayanan publik. Di beberapa daerah di Indonesia, terlihat kesan sekaligus kenyataan bahwa masalah parkir tidak diurus secara serius. Mereka cenderung meremehkan pelayanannya, tapi berebut penghasilannya. Mereka berasumsi bahwa parkir hanya masalah kecil, tidak bicara aset lokal atau peta politik daerah yang dianggap sebagai urusan lebih serius.
Kondisi tersebut sangat berbeda dengan kondisi di luar negeri (Eropa atau AS) dimana parkir ditangani secara serius. Penelitian Victoria Transport Policy Institute (VTPI), Parking Policy Evaluation: Evaluating Parking Problems, Solutions, Costs, and Benefits (2000), menyatakan bahwa kebijakan parkir memiliki dampak luas terhadap pertumbuhan ekonomi, sosial dan psikologi masyarakat. Dengan jelas mereka menyatakan, “Parking policies can have a variety of impacts on people who are economically, socially or physically disadvantaged.”
Jadi, kebijakan parkir adalah gambaran kebijakan publik yang memiliki implikasi sangat luas terhadap masyarakat. Tidak hanya pada masyarakat yang memiliki kendaraan saja, tapi juga pada masyarakat umum. Jika rumusan kebijakan publik tentang parkir dinilai memberikan pelayanan tidak baik, maka yang menerima akibatnya adalah masyarakat itu sendiri.
Pemkot Cimahi memiliki 3 perda sekaligus dalam mengurusi parkir –satu kondisi yang kurang lebih sama dengan daerah-daerah otonom lainnya. Perda No. 1/2002, Perda No. 2/2002, dan Perda No. 3/2002, tentang penyelenggaraan, retribusi dan pajak parkir. Namun dengan perda tersebut, toh target pemasukan dan pelayanan publik yang diharapkan tidak cenderung maksimal, justru semakin menurun.
Masyarakat pada umumnya menilai bahwa pelayanan parkir tidak memenuhi aspirasi mereka. Perda-perda tersebut lebih banyak diabaikan pelaksanaannya. Salah satunya adalah semakin banyaknya parkir liar (parkir sektor informal) di berbagai tempat. Sangat jelas, bahwa parkir liar ini sering mengganggu pengguna parkir yang bersangkutan.
Lantas pelayanan publik seperti apa yang diharapkan? Pelayanan publik pada dasarnya memuat dua kriteria umum. Pertama, prinsip aksesibilitas, kontinyuitas, teknikalitas, profitabilitas dan akuntabilitas; Kedua, prinsip pelayanan prima, yakni kesederhanaan, kejelasan, kepastian, keamanan, keterbukaan, efisiensi, ekonomis, keadilan dan pemerataan, serta ketepatan waktu.
Dari dua kriteria tersebut, secara umum disimpulkan bahwa pelayanan parkir di Kota Cimahi dengan segala asas di atas tidak terpenuhi secara maksimal, bahkan kerap merugikan masyarakat. Evaluasi perparkiran yang ada di Kota Cimahi selama ini pada umumnya menyangkut masalah pelayanan yang kurang profesional, adanya kebocoran dana, terjadinya kesemerawutan tempat parkir, resiko kerugian yang sangat tinggi, jaminan keamanan yang rendah, serta sektor kelembagaan yang masih belum berjalan dengan efektif.
Masyarakat menganggap bahwa pelayanan yang diberikan pemkot Cimahi cenderung kurang, bahkan tidak berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya protes yang diajukan masyarakat kepada oknum aparat pelayanan publik. Aspek pelayanan prima kurang begitu diperhatikan.
Misalnya, dalam aspek akuntabilitas, tidak ada kepastian dan kejelasan antara Perda No. 1/2002 dan karcis tanda bukti dalam hal pertanggungjawaban atas hilangnya kendaraan pengguna parkir. Dalam aspek keamanan, pelayanan yang diberikan dapat memberikan rasa aman, kenyaman dan kepastian hukum bagi masyarakat sangat kurang.
Demikian pula dengan aspek keterbukaan, efisiensi dan ketepatan waktu. Dalam penelitian ditemukan kondisi bahwa aspek keterbukaan masih sangat rendah. Demikian pula dengan aspek efisiensi dan ketepatan waktunya. Hal ini ditunjukkan dengan kurangnya sosialisasi serta keterbukaan terhadap perda yang baru. Persoalan inefisiensi yang lain terjadi dalam hal pengajuan tempat usaha parkir yang memerlukan persyaratan yang birokratis, namun tidak menghasilkan kemampuan melayani pelanggan secara baik.
Dalam suatu pelayanan publik, maka indikator keberhasilannya adalah biasanya dinilai berdasarkan yang disebut Drucker sebagai teori efesiensi. Efisiensi adalah menjalankan suatu pekerjaan dengan benar sesuai konsep input dan output. Hal ini berarti pimpinan bisa meminimalisir input dan berusaha menghasilkan output yang maksimal.
Di sisi lain, aspek ekonomis yang sangat berkaitan dengan aspek keadilan dan pemerataan berkaitan dengan pengenaan tarif yang disesuaikan dengan jenis kendaraan pengguna parkir, yakni apakah tergolong kelas atas, kelas menengah atau kendaraan kelas standar, seperti mobil umum, sepeda motor atau sepeda kayuh. Namun dalam kenyataan di lapangan serta dikaitkan dengan kondisi masyarakat pengguna parkir di Kota Cimahi, maka dasar penentuan tarif tersebut di atas tidak aspiratif. Apalagi dalam, proses formulasi atau perumusan Perda No. 2/2002 tersebut bahwa yang terlihat dalam proses formulasi tersebut sanga tidak aspiratif.
Mengapa tidak aspiratif? Lihat saja proses perumusan perda-perda tersebut yang dapat dilihat dari komposisi daftar hadir formulasi perda parkir: (1) eksekutif sebanyak 21%, (2) legislatif 73% dan (3) akademisi dan pers sebanyak 6%. Sekarang, mana representasi pengguna serta petugas parkir, ataupun perwakilan dari masyarakat umum? Hal inilah yang cukup membuat penentuan tarif parkir ini dikatakan tidak aspiratif karena tidak melibatkan masyarakat.
Saran-saran
Dari berbagai kelemahan yang dikemukakan di atas, kiranya pemkot harus meninjau kembali Perda No. 2/2002 di mana sering tidak ada kesesuaian antara idealitas dan kenyataan. Hal ini terjadi karena sistem dan mekanisme penyelenggaraan parkir di Kota Cimahi yang lebih banyak didominasi oleh pemerintah.
Karena itu Pemkot Cimahi (Baca: Dinas Perhubungan) sudah waktunya memperkenalkan sistem tender bagi pelaksana parkir khusus dan insidentil. Pemkot dengan demikian bisa menseleksi secara terbuka dengan pengawasan ketat dari publik siapa pihak yang akan menyelenggarakan pelayanan parkir tersebut. Di samping itu peran DPRD juga harus ditingkatkan dalam rangka mengontrol implementasi atau kinerja eksekutif daerah.
Terakhir, perlu pula diperkenalkan sistem parkir berlangganan supaya akuntabilitas publiknya bisa dipertanggungjawabkan. Saran ini mengimprovisasi kondisi parkir di San Fransisco (Arthur D. Fulton dan Weimer, 1980). Mereka merumuskan suatu rencana perlakuan parkir sehingga akan layak secara hukum, politik dan administratif. Mereka memakai sistem Neighborhood Sticker Plan (NSP) atau Stiker Identifikasi. NSP merupakan spesifikasi terinci dari rencana perlakuan parkir yang diinginkan masyarakat. NSP akan menciptakan suatu prosedur yang dirancang untuk penduduk, dengan penetapan zona parkir yang waktunya dibatasi.
*****
Kesadaran Ekologi, Kesadaran Menuju Illahi
Oleh : Nana Suryana
Teologi sebagi landasan umat Islam memberi pandangan tentang alam. Maka kesadaran akan alam merupakan manifestasi keimanan kita terhadap Tuhan. Paras Tuhan terwujud dalam hijaunya daun, birunya langit, dan luasnya bahari. Alam pun bergumam menyebut Asma Allah! Meminjam istilah Fritjof Cafra “Kesadaran akan ekologi membawa kita pada kesadaran Ilahi”.
Asumsi Cafra tersebut didasarkan pada kondisi ekologi yang mengkhwatirkan. Ditarik pada konteks Indonesia, rentetan musibah kemanusiaan yang terjadi akhir-akhir ini secara langsung memiliki relasi dengan alam. Banjir melanda Jakarta, dan kecelakaan pesawat Adam Air yang menelan banyak korban.
Belum lagi tragedi yang terjadi tahun lalu. Tsunami di Aceh, Gempa di Nabire, Yogyakarta dan Pangandaran, semburan lumpur panas di Sidoarjo, banjir rutin di Kabupaten Bandung, dan rentetan bencana alam lainnya. Sering kali alam dijadikan kambing hitam terjadinya kecelakaan manusia. Lebih jauh lagi barangkali menyalahkan Tuhan.
Pun dengan kondisi alam Jawa Barat. Dari luas total 791.519,33 hektare hutan, 90% arealnya rusak karena secara fisik hanya berupa tanah kosong yang tidak lagi berfungsi sebagai hutan (Pikiran Rakyat, 23/7/2005). Kejadian serupa terjadi di Bandung. Tahun 2003, penduduk Kota Bandung berjumlah 2,5 juta jiwa. Sedangkan jumlah pohon yang ada sebanyak 578.988 buah (Kompas, 2/3/2003). Menurut standar umum, siklus udara yang layak adalah 1 pohon untuk 2 orang, maka pohon yang dibutuhkan penduduk waktu itu yaitu 1.250 ribu pohon.
Itu dulu, empat tahun lalu! Entah berapa jumlah pohon yang tersisa sekarang! Tapi yang pasti, cuaca di Kota Bandung sekarang makin panas, udara kian sesak, seiring bertambahnya pabrik dan infrastruktur kota lain, tanpa kenyamanan lingkungan!
Selain itu, morosotnya kualitas alam juga diiringi dengan meningkatnya masalah kesehatan. Sekarang ini, penyakit peradaban; liver, kanker, flu burung, dan stroke merupakan faktor utama kematian. Fenomena ini menunjukan bahwa kondisi alam yang parah, secara langsung mempengaruhi pola aktivitas sosial. Dengan kata lain, bobroknya kondisi alam menyebabkan timbulnya penyakit.
Teologi Alam
Bila kita renungkan, bencana yang terjadi tentunya karena kita telah melanggar ketentuan (sunatullah). Siapa yang merusak alam, maka tanggunglah akibatnya! Alam akan membalasnya dengan berbagai bencana! “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali kejalan yang benar” (QS. 30:41).
Islam memiliki visi Rahmatan Lil’alamain. Islam tak hanya bicara persoalan ritualisme ibadah semata. Islam juga menyentuh persoalan alam. Al-Qur’an tak hanya berisi anjuran moral, tapi juga menggambarkan apa yang terjadi di alam. Lebih dari itu, Qur’an menggambarkan bahwa Tuhan-lah yang terlibat dalam sejarah alam semesta, termasuk manusia.
Landasan teologisnya tercantum dalam Qur’an surat Al-Baqarah:16, yang artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang dilangit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang di kendalikan antara langit dan bumi. Sesungguhnya terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan”.
Adalah kewajiban manusia untuk menjaga keharmonisan alam. Alam yang dijadikan objek dalam mencukupi kebutuhan hidup manusia, mesti ada mekanisme pengendalian hasrat (hawa’), yang di landasi oleh nilai ilahiyah. Seorang muslim harus memiliki frame bahwa alam merupakan makhluk Tuhan juga, sama seperti manusia, namun fungsi yang berbeda.
Secara ekplisit Q.S Al-Israa’ menjelaskan, “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada satu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyayang lagi Maha pengampun”.
Maka jelaslah bahwa hutan, binatang dan mahluk yang ada di bumi selain manusia, tak lain mesti dijaga guna menciptakan alam yang harmonis.
Mengelola Alam
Mengelola alam pada hakekatnya upaya untuk melestarikan lingkungan demi menopang kehidupan manusia. Walau alam berubah, kita usahakan agar tetap pada kondisi untuk menopang pertumbuhan, sehingga kelangsungan hidup kita dan anak cucu kita terjamin.
Tujuan tersebut dapat dicapai apabila manusia tidak membuat kerusakan. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya Allah amat dekat kepada orang yang berbuat baik.” (QS. 7:56).
Untuk mengatasi masalah alam, harus dilakukan penyadaran kepada manusia agar memiliki pandangan holistis, sadar hukum, dan mempunyai komitmen, serta kembali kepada petunjuk Allah SWT dalam pengelolaan alam.
Kita diajarkan untuk hidup serasi dengan Allah, sesama manusia, dan alam sekitar. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmatan lil’alamiin” (QS. 21:107). Pandangan ini mencerminkan sikap holistis dalam hidup kita, karena manusia bagian dari ekosistem tempat hidupnya. Maka, kesejahteraan manusia tergantung dari keutuhan ekosistemnya. Jika terjadi kerusakan ekosistem, manusia akan menderita. Dengan begitu manusia akan sadar terhadap hukum yang mengatur alam.
Pandangan holistik juga berarti bahwa kerusakan dan pengelolaan alam harus menjadi tanggung jawab semua pihak dan wilayah. Alam harus dikelola secara integral, global, universal dan sustainable.
* * *
Penulis adalah Pemerhati lingkungan dan Koordinator Jaringan Islam Emansipatoris (JIE) Bandung.
Pemekaran Cilacap Barat???
Retrospeksi sosio-yuridis
Pembentukan daerah secara sederhana dapat difahami sebagai proses perubahan dan pemberian status kepada wilayah tertentu sebagai Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, atau Daerah Kota, atas dasar prakarsa, aspirasi, dan kemauan politik dari masyarakat dan pemerintah daerah yang bersangkutan, setelah melalui serangkaian riset dan penelitian intensif, serta mengikuti mekanisme tertentu, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembentukan daerah merupakan salah satu strategi dan bagian penting dalam kerangka perbaikan sistem penyelenggaraan pemerintahan, untuk menciptakan kehidupan politik, ekonomi, dan sistem pemerintahan yang lebih efisien, demokratis dan mensejahterakan, yang memungkinkan setiap daerah mampu menggali potensi yang dimilikinya, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dan siap menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi.
Secara yuridis, pembentukan daerah memiliki landasan yang kuat, baik secara umum berdasarkan pasal 18 UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maupun secara khusus berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Selain itu, secara filosofis, menikmati kehidupan yang “mandiri” pada hakikatnya adalah hak setiap manusia sebagai makhluk Tuhan. Manusia yang normal pasti mempunyai keinginan untuk mandiri dan berotonomi apabila ia telah merasa mampu untuk mengurus dirinya sendiri , dan semua pihak harus menghargai dan menghormati hak tersebut.
Namun demikian, proses pembentukan daerah, termasuk wacana pembentukan Kabupaten Cilacap Barat hendaknya tidak dilihat dalam ranah geo-politik yang sempit. Artinya, proses itu tidak hanya dilihat semata-mata sebagai sebuah proses deteritorialisasi Kabupaten Cilacap Barat, akan tetapi harus difahami dalam cakrawala yang luas dan holistik. Proses tersebut harus memenuhi prasyarat keperluan (necessary conditions) yang juga diimbangi dengan terpenuhinya prasyarat-prasyarat pokok (sufficient conditions), agar pembentukannya benar-benar dapat mensejahterakan masyarakat di daerah yang baru terbentuk, dan sebaliknya juga tidak berimplikasi negatif bagi masyarakat di daerah induk yang ditinggalkan.
Mekanisme Pembentukan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang “Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah”, telah mengatur prosedur yang harus ditempuh dalam proses Pembentukan Daerah. Prosedur tersebut adalah:
a. Pembentukan daerah harus didasarkan pada kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat yang bersangkutan; Kemauan politik tersebut diwujudkan dalam pernyataan-pernyataan (kehendak) masyarakat melalui LSM-LSM, organisasi-organisasi politik dan lain-lain, serta pernyataan Gubernur, Bupati/Walikota yang bersangkutan, yang selanjutnya dituangkan secara resmi dalam bentuk persetujuan tertulis melalui Kepala Daerah dan DPRD yang bersangkutan;
b. Pembentukan Daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah;
c. Usul pembentukan Propinsi disampaikan kepada Pemerintah cq. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang berada dalam wilayah Propinsi dimaksud, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD;
d. Usul pembentukan Kabupaten/Kota disampaikan kepada Pemerintah cq. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota serta persetujuan DPRD Propinsi, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD;
e. Dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke Daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
f. Berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut;
g. Para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
h. Berdasarkan saran dan pendapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
i. Apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-undang Pembentukan Daerah kepada Presiden;
j. Apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk mendapatkan persetujuan.
Namun demikian, menurut pasal 3 dan pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tersebut, pembentukan daerah baru bisa dilakukan, bila suatu daerah mempunyai 7 (tujuh) kriteria dan persyaratan-persyaratan, yaitu: (1) kemampuan ekonomi; (2) potensi daerah; (3) kondisi sosial budaya; (4) kondisi sosial politik; (5) jumlah penduduk; (6) luas daerah, dan (7) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.
Kemampuan ekonomi merupakan cerminan dari hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di suatu Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota yang dapat diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan Penerimaan Daerah Sendiri (PDS) yang berasal dari Pendapatan Asli daerah, bagian Daerah dari penerimaan Pajank Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA).
Potensi daerah adalah cerminan tersedianya sumberdaya yang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadap penerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari (1) jumlah lembaga keuangan (2) sarana ekonomi (3) sarana pendidikan (4) sarana kesehatan (5) sarana transportasi dan komunikasi (6) sarana pariwisata (7) ketenagakerjaan.
Kondisi sosial adalah cerminan yang berkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya masyarakat. Kondisi sosial budaya masyarakat tersebut dapat diukur dari (1) jumlah tempat peribadatan (2) tempat/kegiatan institusi sosial dan budaya, dan (3) sarana olah raga. Kondisi sosial politik merupakan cerminan kondisi sosial politik masyarakat yang dapat diukur dari (1) partisipasi masyarakat dalam berpolitik, dan (2) jumlah organisasi kemasyarakatan.
Sementara pertimbangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah pertimbangan untuk terselenggaranya Otonomi Daerah yang dapat diukur dari (1) kondisi keamanan dan ketertiban (2) ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan (3) rentang kendali, yakni jarak rata-rata dan waktu tempuh dari rata-rata Kecamatan ke pusat pemerintahan; (4) Propinsi yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) Kabupaten dan atau Kota; (5) Kabupaten atau Kota yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan.
Cara pengukuran dan penilaian pembentukan Daerah tersebut dilakukan dengan memberikan bobot terhadap syarat-syarat pembentukan Daerah, dan menetapkan indikator, serta sub indikator. Pada setiap indikator dan sub indikator diberi nilai atau skor untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu Daerah dibentuk. Pembentukan Daerah sudah memenuhi syarat apabila usul pembentukan Daerah setelah diadakan penelitian ternyata skor penilaiannya telah memenuhi ketentuan untuk dapat dibentuknya suatu Daerah. Pembentukan Daerah tidak memenuhi syarat apabila usul pembentukan Daerah setelah diadakan penelitian ternyata skor penilaiannya tidak memenuhi syarat sesuai dengan skor untuk dapat dibentuknya suatu Daerah.
Gagasan Kabupaten Cilacap Barat: “Mengkaji Diri, Menakar Tantangan”
Terlepas dari beberapa kekurangan model pengukuran kriteria dan persyaratan-persyaratan Pembentukan Daerah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah di atas, gagasan pembentukan Kabupaten Cilacap Barat hendaknya dikembalikan kepada landasan yuridis tersebut. Apakah gagasan pembentukan Kabupaten Cilacap Barat benar-benar merupakan kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat Cilacap Barat secara keseluruhan? Ataukah wacana tersebut muncul lebih didasari oleh keinginan menambah peluang menduduki jabatan politik, baik di badan legislatif maupun badan eksekutif dari elit politik atau elit lokal tertentu? Selain itu, apakah wacana tersebut sudah didukung oleh penelitian awal yang objektif, atau lebih didasarkan pada “retorika superioritas” orang Cilacap Barat semata-mata?
Jika artikulasi gagasan Pembentukan Kabupaten Cilacap Barat lebih didasarkan kepada aspek-aspek pragmatisme politik dan ekonomi semata, tanpa kajian dan pemahaman substantif yang radix terhadap hakikat pembentukannya, atau jika artikulasi gagasan pembentukan Kabupaten Cilacap Barat tersebut hanya populer di tingkat elit lokal (local state-actors), maka pembentukan Kabupaten Cilacap Barat akan menjadi bumerang bagi warganya sendiri, karena secara teoretis, konsentrasi kekuasaan akan berada di tangan elit lokal. Bila hal itu yang terjadi, maka akan sangat sulit terwujudnya local accountability, dan itu berarti terlalu dini untuk berharap bahwa Pembentukan Kabupaten Cilacap Barat akan mampu mendongkrak tingkat kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, dalam proses membangun gagasan membentuk Kabupaten Cilacap Barat, seluruh stake holders atau mereka yang berkehendak dan terkait dengan gagasan pembentukan Kabupaten Cilacap Barat, seyogyanya melakukan gerakan penyerapan aspirasi masyarakat. Secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat harus diajak bicara. Debat publik secara terbuka baik di forum-forum resmi maupun tidak resmi guna membicarakan hal-hal strategis menyangkut gagasan pembentukan Kabupaten Cilacap Barat, kiranya juga perlu dilakukan. Lembaga perwakilan masyarakat daerah (DPRD) juga harus secara intensif menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Keterlibatan lembaga legislatif sangat penting dalam rangka menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat. Aspirasi dan tuntutan masyarakat tersebut selanjutnya dibahasakan dalam langkah-langkah politis yang menjadi wilayah kewenangan DPRD.
Langkah tersebut juga seyogyanya diikuti dengan upaya menakar diri, melakukan reorientasi dan penemuan diri, apa kekurangan dan kelebihan diri, apa peluang, tantangan, dan hambatan yang akan dihadapi (SWOT analysis)? Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya dapat ditemukan jawabannya melalui riset dan penelitian ilmiah, bukan sekedar klaim-klaim sepihak yang cenderung emosional. Dalam proses ini dibutuhkan kejujuran untuk mengakui kekurangan, dan kearifan menyikapi kelebihan.
Setelah mengetahui kelebihan dan kekurangan diri beserta identifikasi tantangan, hambatan dan peluang yang akan dihadapi, langkah berikutnya adalah memetakan kelebihan dan kekurangan tersebut yang diikuti dengan upaya restrukturisasi berbagai hal berkaitan dengan upaya lanjutan untuk memaksimalkan kelebihan dan meminimalkan kekurangan. Restrukturisasi ini terutama berkenaan dengan organisasi pemerintahan untuk menyesuaikan dengan kecenderungan dan perkembangan yang terjadi, serta untuk memudahkan koordinasi secara vertikal maupun secara horizontal. Restruksurisasi juga dapat difahami sebagai upaya meningkatkan kemandirian dan kemampuan masyarakat (capacity building) sebagai pelaku utama pembangunan daerah, dalam wadah komunitas (community based development) dan mengutamakan pembangunan kelembagaan (institustional development).
Upaya peningkatan kemandirian dan kemampuan masyarakat tersebut dilakukan agar mereka dapat mempersiapkan diri, sehingga pada saatnya—ketika Kabupaten Cilacap Barat terbentuk—mereka dapat berkompetisi dan berkiprah pada berbagai pos strategis, baik di pemerintahan maupun di sektor swasta lainnya. Hal ini penting dilakukan agar "bolu" yang tercipta melalui proses pembangunan di Cilacap Barat, tidak hanya dinikmati oleh para pendatang, tetapi juga oleh para putra daerah, karena bila putra daerah hanya menjadi “penonton”, dan para pendatang justru menjadi “pemeran utama” dan menguasai berbagai pos penting, maka hal itu akan melahirkan permasalahan baru di kemudian hari.
Langkah berikutnya adalah secara sistematis dan terus menerus harus dibangun aliansi strategis, antara pemerintah, LSM, organisasi politik, organisasi masyarakat, dan komponen-komponen masyarakat lainnya, termasuk aliansi strategis antar Kabupaten dan Kota yang memiliki kehendak yang sama untuk membentuk Kabupaten Cilacap Barat. Networking juga harus dibangun dengan Pemerintah Daerah lainnya, bahkan dengan institusi dan jaringan di luar negeri. Kerjasama (aliansi) tersebut diharapkan akan mampu melahirkan sinergi yang mampu mempercepat bangunan Cilacap Barat incorporated menuju pembentukan kabupaten baru yang memiliki kompetensi global. Dalam konteks semangat aliansi ini, wacana pembentukan Kabupaten Cilacap Barat seyogianya dilihat sebagai sebuah "persoalan bersama" yang di dalamnya, masyarakat Cialacap Barat tidak hanya memikirkan kepentingan dan masa depannya sendiri, tetapi juga “nasib” daerah tetangga dan daerah induknya. Artinya, wacana pembentukan Kabupaten Cilacap Barat tidak bisa dilepaskan dari sikap dialogis-negosiatif, sikap komunikatif-persuasif, sikap saling pengertian yang mutual, dalam rangka membangun masa depan bersama yang lebih baik. Wallahualam...
09 Agustus 2007
Penulis asli dari Desa Hanum, Dayeuhluhur, tinggal di Bandung.
Tunggu Aku di Ujung Banda....
Kabut tebal masih menyelimuti kawasan Bandung Utara pada semua lapisannya. Kilatan halilintar ikut mengiringi gelap dan suramnya suasana. Tak lama berselang, hujan deras mengguyur Jaya Giri yang senantiasa jauh dari kesan ramai dan bising. Harapan untuk melihat secercah mentari, kini tergantung dalam angan, sembari hati terus merancau, “Akankah mentari kembali terbit di negeri ini?”
Kekisruhan dihati bukan tanpa sebab. Realitas yang tampak bukanlah pembohong yang baik. Banyak pertanyaan bernada harap yang timbul dalam sanubariku. Segala daya untuk membebaskan pikiran dari belenggu terus kulakukan. Tapi, usaha untuk menata alur penyesalan ini, pada akhirnya harus berakhir dengan tragis; Bingung!
* * * *
Ku mengenal Jihan saat mengikuti seminar “Quo Vadis Aceh Pasca Darurat Sipil” di Hotel Jayakarta Bandung, tahun 2004. Saat Hendardi (PBHI), Usman Hamid (Kontras), dan Zumrotin (Komnas HAM), berdebat dengan dipandu oleh Mas Dandhi dari Majalah Aceh Kita, aku dan Jihan malah asyik bercengkrama.
Memang singkat pertemuan dengannya. Tapi kesan mendalam hadir dalam hati. Gadis manis, berhidung mancung dengan kerudung panjang membalut rambut. Pribadi mandiri terpancar dari tatapan matanya.
Setelah pertemuan itu, kami tak pernah lagi berjumpa. Lima tahun berlalu. Aku sudah melupakannya. Termasuk janjinya untuk merayakan pergantian tahun 2005 di puncak Jaya Giri berdua. Namun surat dari Jihan yang kuterima tadi pagi, menorehkan kembali memori itu. Lambat laun kubuka surat itu. Sederet tulisan tangan yang tersusun rapi menghiasi tiap lembar surat itu.
Sobat, Apa kabarmu? Apakah kau masih mengingatku? Kalaupun kau lupa, itu wajar. Maklum kita sempat bertemu lima tahun lalu. Sobat, kadang kita lupa untuk menengok masa lalu yang pernah kita lalui karena sibuk dengan aktivitas dan persoalan yang dihadapi hari ini. Metabolisme tubuh kita bergerak tanpa bekerja, bertingkah laku, sampai pada kita tak mau lagi mengerjakan satu hal sekalipun. Tanpa disadari, begitu banyak manusia di bumi ini yang selalu mempersoalkan kebutuhan, kepuasan dan kepentingan. Mungkin inilah yang sering kita sebut kebutuhan. Aktivitas yang dilakukan selalu saja mirip dengan hari sebelumnya.
Rutinitas itu masih sempat dilakukan oleh penduduk Serambi Mekkah sebelum gempa dan tsunami datang menimpa. Kami masih tetap menghirup udara pagi, lalu mendapatkan sinaran mentari. Kami selalu dirundung malam, bahkan terkadang tersiram hujan. Selalu seperti itu, seperti hari kemarin.
Tapi, keceriaan kami akhirnya lenyap dalam sekejap. Udara pagi yang biasanya menyapa kami, hari itu tak ada. Mentari pun tak tampak rona wajahnya. Sepertinya firasat buruk bakal menimpa negeri kami.
Tiba-tiba dentum gempa mengguncang Tanah Rencong. Gemuruh gedung runtuh jadi pemandangan di pusat kota. Penduduk negeri panik, kami tak tahu apa yang tengah terjadi. Tak lama berselang, gelombang ombak tinggi muncul di depan mata. Kami lari menyelamatkan diri. Aku sendiri lari layaknya anak Nuh ke puncak bukit, tempat pemakaman leluhur Aceh. Sementara gelombang maut terus mengejar tak kenal ampun.
Tiba-tiba badai tsunami menghantamku. Dalam sakit dan panik, aku masih terus berlari. Akhirnya ombak setinggi 30 meter menggulung tubuh lemahku. Aku pun tak sadarkan diri ...
Sobat, ... Entah mukjizat apa yang Tuhan berikan padaku! Aku tak tau berapa lama ku pingsan. Saat ku sadar, aku tergagap. Negeriku yang selalu rusuh tenggelam dilalap samudera. Gedung musnah, rata dengan tanah. Keluarga, saudara, tetangga dan kawanku, hilang tak tahu rimbanya. Sementara yang tersisa hanyalah puing kehancuran, jeritan dan tangisan warga diantara 127 ribu raga tak bernyawa.
Kududuk terhenyak. Murkanya alam telah meluluh-lantakkan peradaban yang telah mengukir namanya dengan tinta emas. Gempa bumi dengan kekuatan 8,9 sekala richter telah menghapus kejayaan Nanggroe Aceh Darusalam. Badai tsunami telah memisahkan anak dari pangkuan kedua orang tuanya. Satu generasi telah hilang!
Aku hanya bisa mengurut dada dan menata rasa iba. Melihat ibu yang kehilangan anaknya, mayat yang berserakan tanpa dikebumikan, derita pengungsi di tenda penampungan yang kelaparan karena bantuan telat datang.
* * * *
Sobat, ... maafkan aku yang tak bisa tepati janji untuk menikmati malam tahun baru bersama. Harapan kita untuk duduk berdua di puncak Jaya Giri sambil menikmati pesta kembang api akhirnya hanya sebatas impian. Keinginan kita untuk menghabiskan malam di pusat kota kembang tak tercapai.
Maaf, sekali lagi maaf! Aku tak mungkin merayakan pesta itu, sementara orang tuaku telah tiada. Aku tak mungkin bersuka cita, sementara negeriku porak poranda. Aku pun tak mungkin berada disampingmu, disaat rakyatku terus mengiba.
Sobatku, kutulis surat ini diatas puing kehancuran korban tsunami. Kutitipkan surat ini pada tentara Jawa yang dulu pernah menyanderaku. Kuberikan padamu agar kau tau maksud hati.
Kenangan kembali hadir dalam anganku. Saat itu kami berencana untuk merayakan tahun baru bersama. Namun, harapan itu terbang entah kemana, tragedi tsunami telah memisahkan dua hati.
“Jihan, tak apa kau tak hadir dipesta itu. Pikiran dan bening matamu sangat dibutuhkan. Buktikan pada Tentara Jawa, yang dulu pernah menuduhmu subversif, bahwa baktimu pada negeri, ikhlas semata!”.
* * * *
Sobatku, ... Inilah kaidah dasar yang kuberikan untuk mengetuk pintu hatimu. Goreskanlah dalam pikiran, dan ingatlah! “Bencana yang kami derita bukanlah tanpa sebab. Malapetaka yang kami terima bukan adzab Tuhan pada hamba yang memperjuangkan Syariat Islam. Duka kami bukan karena Gerakan Aceh Merdeka seperti yang didengungkan oleh Jakarta. Kami tak butuh belas kasihan. Jangan jadikan nestapa kami sebagai komoditi tontonan, karena bencana bukan berita! Yang kami butuhkan hanya satu: Kesadaran, bahwa kita saudara sebangsa dan seagama!”.
Rajutlah kebersamaan ini, agar kami yang dari dulu selalu didera derita tetap mengakui adanya INDONESIA! Keinginan kami memang beda dari kalian! Perbedaan yang ditemukan terkadang akan menimbulkan kecewa yang menggores hati, tapi berkali-kali seorang guru menganjurkan “Sekarang cari kesamaan! Jangan banyak komentar! Banyaklah belajar untuk kebersamaan!” Ketika kalian mencoba untuk bisa memaklumi kepahitan yang kami rasakan, mungkin ini lebih baik, agar mahfum bahwa belum tentu orang berbuat salah, mempunyai niatan buruk. Banyak maklum banyak tenang, Achh…cari saja 1001 alasan untuk memaklumi.
Sobatku, ... semakin lama kau ratapi penderitaanku, semakin banyak waktu terbuang untuk memikirkan satu hal yang mungkin sedikit guna. Mencoba membantu dengan karya nyata untuk kembali membangun negeri bukankah itu lebih baik? Bahkah Osama bin Laden pernah berkata disaat negerinya sedang dihujani nuklir Amerika, “Padahal kita sedang bermain-main di taman syurga!” Barangkali maksud dari perkataan tersebut menunjukan pada arti kebahagiaan dan ketentraman hidup. Bisa sejenak direfleksikan ketika kita kembali memahami tugas kita diciptakan dimuka bumi ini; sebagai wakil Tuhan yang mengemban misi untuk menyebarkan kasih sayang dalam panji kejayaan Islam kesegenap penjuru dunia. Ingatlah kata Anand Krishna, “Selama langit dan bumi ini masih ada, selama kau dan aku masih ada, rasa kasih akan selalu dibutuhkan”.
Sobatku, ... dalam refleksi ini, lagi-lagi ini hanya refleksi belaka, terlepas dari kemelut apa yang sedang Aceh hadapi. manusia tercipta lengkap dengan perasaan yang kompleks pada setiap komunitasnya. Penduduk Aceh juga manusia seperti yang lain, punya rasa kecewa, punya sedih, punya bahagia, dan segala paket kekurangan yang mungkin mengecewakan Indonesia. Bukan kami bangga akan kekurangan ini, namun pengertian, pemahaman dan kesadaran dari kalian sebagai saudara yang kami harapkan. Itu yang kami butuhkan sekarang! Bukan satu hukuman yang tak jelas, atas dasar belas kasihan yang samar!
Kedua tangan yang Tuhan ciptakan semakin jelas hikmahnya. Ketika jarimu dapat merasakan kegelisahanku yang tak sempat terucap, eratan jemari itu yang bicara, dalam rintihan hati menahan sakit.
Sobatku, kegelisahan hati untuk kembali bangkit dari titik nadir, membangun negeri ini, tak sempat kuatasi. Wajar kiranya jika aku yang pernah terluka karena harus terusir dari kampung halaman akibat fitnah “Tentara Jawa” masih merasakan sakitnya luka itu, bahkan luka itu berulang sampai berkali-kali. Aku hanya tak mau luka itu terulang kembali. Sakit … rasanya untuk bisa meregang pilu!!? Sobat, tidak ada niat egois disini! Apalagi lari dari kenyataan. Yang ada kiranya hanya kehati-hatian dan kesiapanku untuk bisa melewatinya kelak. Semoga Tuhan terus meneguhkan hatiku untuk bisa ikhlas menahan pilu, gelisah, dan kekesalan hati karena ulahku dan “kenakalan” Tentara kita.
Gagap aku membaca ratapan Jihan. Patriotisme yang tak pernah pudar meski harus terusir dari tanah leluhur! Sebagai seorang mahasiswi, geliat jiwa telah menggiringnya untuk memasuki dunia aktivis pergerakan. Kemelut Aceh akibat GAM dan tindakan TNI terhadap wanita pribumi di masa darurat sipil, telah memanggil kepeduliannya untuk terjun membela hak rakyat.
Saat sedang mendampingi korban pelecehan seksual sewaktu DOM, aparat dan TNI menciduknya. Tuduhan subversif membawanya ke meja hijau. Selama satu semester jeruji besi jadi tempat tinggalnya. Ia pun di drop out dari studinya.
Derita hati dan dendam telah membawanya pergi tinggalkan Aceh. Jawa jadi tujuan. Di Bandung, dunia aktivis kembali digeluti. Desakan pencabutan status darurat sipil di Aceh sebagai tuntutan. Gerak pembebasan Aceh dari belenggu Jakarta, membawa Jihan pada perjuangan tak bertepi.
* * * *
Bencana dan nestapa adalah fenomena Tuhan, dan hanya Tuhan yang berhak menentukan itu! Namun keindahan alam Aceh, kebersamaan dan kegelisahan warga yang sempat kami lalui bukan tanpa arti. Hanya Tuhan yang mengetahui akhir dari cerita panjang ini. Hanya harapan dan do’a yang mengiringi segenap penduduk negeri, “Semoga rintisan air hujan tidak menjadi banjir yang akan menggenangi negeri ini untuk kedua kalinya. Semoga mentari diiringi pelangi bertabur warna segera menghiasi cakrawala dunia di kawasan ujung Sumatra. Semoga...
Terima kasih telah menjadi bagian dari makna hidupku, ... Semoga waktu luangmu untuk membaca lembaran ini dapat dipetik hikmahnya walau kecil dan tak bermakna ....
Jihan, tunggu aku di Ujung Banda. Aku pasti datang...
Nana Suryana, Koordinator Komunitas Islam Emansipatoris (JIE) Bandung. [25/12/2009]
Ideologi Industri Televisi
Dilihat dari ekonomi politik dan materi siaran yang disajikan, televisi di Indonesia cenderung berideologi kapitalisme. Sebagai indikasi dari ideologi tersebut dapat dilihat dari: Ketegangan nilai dalam kebebasan kepemilikan; Kepemimpinan dikuasai intelektual borjuasi; Strategi pembangunan berakumulasi tinggi yang menjadikan rating sebagai rujukan; Liberalisme sebagai dasar ideologi, organisasi kekuasaannya industrial yang pragmatis-hedonis; Strategi komunikasinya menggunakan arus multi saluran; Organisasi televisi bersifat komersial; Teknik atau metoda adalah perubahan instrumentalis; Dan epistemologi atau pandangan dunianya sains, positivis dan mekanistik.
Mengungkap ideologi kapitalis televisi di Indonesia perspektif ekonomi politik, berarti upaya untuk mengetahui proses transformasi ideologi yang dilakukan televisi kepada pemirsa melalui program acaranya. Hal ini bisa dilihat dari:
Pertama, Ketegangan nilai dan kebebasan kepemilikan. Televisi di Indonesia, terutama pasca Orde Baru, selalu mengusung dan mewacanakan tentang ide kebebasan (freedom) dalam setiap acaranya. Etika atau nilai moral yang ditawarkannya membawa pemirsa pada pada sikap hedonis, konsumeris dan pragmatis, sehingga pemirsa kehilangan nalar kritisnya untuk melihat realitas kenyataan hidup.
Kepemilikan media televisi di Indonesia pun terpusat pada 8 konglomerat; Hary Tanoesoedibyo, Anthoni Salim, Anindya Bakrie, Keluarga Saria Atmaja, Jacob Oetama, Chairul Tanjung, Abdul Latif dan Surya Paloh. Saat ini, stasiun televisi jelas-jelas telah mengelompok menjadi beberapa kelompok, yakni: (1) RCTI, Global TV dan TPI dibawah payung MNC; (2) Indosiar, Trans TV dan Trans 7 dibawah Salim Group; Lativi dan ANTV dibawah konglomerat media global News Corp; (3) SCTV yang terkait dengan kelompok media internasional Singleton; (4) serta Metro TV yang sepenuhnya independen dibawah Surya Paloh. (Tempo Edisi 3-9/7/2006).
Kedua, Kepemimpinan dikuasai intelektual borjuasi. Setelah Majalah Tempo dibredel tahun 70-an, pengelola media banyak beralih dari kaum intelektual kepada kaum profesional terdidik dan terlatih di bidang jurnalistik, yang didukung atau mendukung pemilik modal. Kecenderungan ini membawa implikasi pada geraknya posisi kaum intelektual dalam televisi Indonesia, dari posisi sebagai “orang dalam” berubah menjadi “orang luar” institusi.
Pola hubungan yang baru ini tentu saja mengurangi kedekatan dan keakraban televisi dengan kaum intelektual yang pada gilirannya mempengaruhi kualitas idealisme televisi. Kalau pada mulanya televisi “bersatu tubuh” dengan kaum intelektual, maka idealisme televisi menjadi sangat kental. Tetapi, sekarang karena posisi televisi secara institusional terpisah dari kaum intelektual, maka idealisme televisi cenderung luntur.
Ketiga, Strategi pembangunan berakumulasi tinggi yang menjadikan rating sebagai rujukan. Hal ini disebabkan rating telah menjadi ideologi televisi Indonesia. Karena tuntutan rating, para pengelola stasiun televisi tak sempat lagi memikirkan program siaran yang bersifat idealistis. Semakin tinggi rating sebuah acara akan semakin besar pula daya serap iklannya. Jika sebuah program di sebuah stasiun televisi booming, stasiun televisi lain akan meniru program itu dan menampilkannya dengan sedikit rekayasa agar terkesan berbeda. Tiru-meniru menjadi lumrah, duplikasi progam bukan hal aneh.
Salah satu contohnya adalah tayangan sinetron. Di awal tahun 2005, sinetron religi yang ditayangkan salah satu stasiun televisi ternyata banyak peminatnya. Stasiun televisi lain beramai-ramai menayangkan sinetron sejenis. Televisi pun penuh sesak dengan tayangan sinetron religi seperti Takdir Ilahi, Suratan Takdir, Rahasia Ilahi, Hidayah, dan Astagfirullah yang berdasarkan penelitian AGB Nielsen Media Research akhir Juli 2005, merupakan lima dari sepuluh sinetron yang paling digemari.
Keempat, Liberalisme sebagai dasar ideologi, dan organisasi kekuasaannya industrial yang pragmatis-hedonis. Sebagai sebuah produk budaya global, industri televisi yang menganut paham ekonomi liberal akan selalu tunduk pada mekanisme pasar. Perubahan kepemimpinan media dari kaum intelektual kepada profesional yang mendukung pemilik modal membuat televisi Indonesia menjadi semakin industrial dan pragmatis, di mana posisi kapital menjadi sangat penting dan menggeser dominasi posisi jurnalis yang dulu dominan, ketika dikelola sejumlah intelektual.
Kelima, Strategi komunikasinya menggunakan arus multi saluran. Untuk melanggengkan ideologi kapitalis, saluran yang digunakan televisi adalah arus multi saluran. Hampir semua sektor informasi dikuasai. Televisi “menggandeng” media massa lain (radio, surat kabar, internet) untuk bekerja sama.
Keenam, Organisasi televisi bersifat komersial. Dalam arti, keputusan redaksional, misalnya dimuat tidaknya suatu berita atau hiburan, sangat dipengaruhi oleh pertimbangan eksistensi modal dan perkembangan oplah. Sementara pertimbangan ideal, seperti dipilihnya kepentingan rakyat kecil sebagai angle pemberitaan atau hiburan, dikritik dan dikontrolnya berbagai tindakan penguasa, atau keputusan politik yang bersifat distorsif dari kepentingan dan aspirasi rakyat, lebih sering ditinggalkan.
Ketujuh, Teknik atau metodanya adalah perubahan instrumentalis. Perspektif instrumentalis memberikan penekanan pada determinisme ekonomi, di mana segala sesuatu pada akhirnya akan dikaitkan secara langsung dengan kekuatan ekonomi. Perspektif ini melihat media sebagai instrumen dari kelas yang mendominasi. Dalam hal ini kapitalis dilihat sebagai pihak yang menggunakan kekuatan ekonominya dalam sistem pasar komersial untuk memastikan bahwa arus informasi televisi sesuai dengan kepentingannya.
Media dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena kemampuannya sebagai saran legitimasi. Televisi sebagimana lembaga pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan, merupakan bagian dari alat kekuasaan negara yang bekerja secara ideologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa (ideological states apparatus).
Studi kritis juga menempatkan media sebagai salah satu aktor budaya dalam melakukan imperialisme budaya. Aktor budaya dalam konteks ini adalah konteks ideologi dominan maka televisi menjadi ideological states apparatus.
Pada dasarnya televisi bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran manusia, televisi selalu memuat kepentingan. Televisi pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja televisi dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan kepentingan ideologi tertentu kelas tertentu. Pada titik tertentu, televisi pada dirinya sudah bersifat ideologis.
Kedelapan, Epistemologi atau pandangan dunianya sains, positivis dan mekanistik. Pada prinsipnya, paradigma televisi di Indonesia sebagai kerangka berpijak bagi operasionalisasi perusahaan televisi menganut paradigma struktural-fungsional, yang bertolak dari fungsi televisi pada sistem sosial.
Pada dasarnya, positivisme adalah jawaban alternatif dan tegas atas kegagalan filsafat spekulatif yang diradikalkan oleh filsafat Idealisme Jerman Immanuel Kant dan Filsafat Sejarah Hegel. Reaksi epistemologi ini lahir dari penolakan klaim kebenaran yang bersifat spekulatif dan jauh dari maksud sebenarnya dari pencarian kebenaran.
Ilmu komunikasi dalam sejarah awal pembentukan juga tidak jauh dari kecenderungan positivisme ilmiah. Paradigma utama dalam ilmu komunikasi pun tidak jauh dari masalah metodologis yang bersifat empirik positif. Pendekatan mekanistik ala Shannon-Weaver melihat bahwa komunikasi merupakan pecahan mekanik manusia yang pada dasarnya meniru perilaku mesin transmitter dan receiver. Kecenderungan bahwa komunikasi merupakan proses linear mekanistik merupakan derivasi pemahaman ilmu alam dalam gugus perilaku manusiawi.
Beberapa model pokok dalam ilmu komunikasi tidak jauh dari masalah distansi penuh antara peneliti dan yang diteliti, objektivistis-mekanistik, deduktif-nomonologis dan penelitian eksternal faktual dari setiap gejala yang masuk dalam perilaku komunikatif. Kecenderungan positivistik dalam ilmu komunikasi akhirnya membentuk bentuk ilmu sosial yang bersifat otoriter dan cenderung minus, kecuali dalam memuaskan aturan dan sistem logika ketat yang menuntut pengujian korelasional dan dapat diuji secara praktis.
Kecenderungan dominan positivisme dalam televisi memberikan hasil model-model meta naratif pada pengalaman sosial manusia. Meta narasi komunikasi yang bersifat universal mempunyai tantangan bahwa pola komunikasi sebenarnya sangat terikat dengan ruang dan waktu manusiawi. Padahal sifat keterikatan dengan ruang dan waktu ini bisa sangat bersifat tentatif dan relatif, mengingat sifat manusia yang bisa sangat kontekstual. Relasi komunikatif adalah kontekstual dalam arti bahwa relasi komunikatif tidak bisa begitu saja direduksi dalam pola kuantitatif yang bisa sangat rigid dengan keadaan yang sebenarnya. Pun dengan televisi!
Demikian tulisan singkat ini, semoga menjadi setitik sumbangan bagi perbendaharaan ilmu pengetahuan. Akhirul kalam, dunia telah berganti rupa, untuk peradaban kita! Demikianlah keyakinan penulis!
* * *
Penulis adalah pemerhati media, Koordinator Komunitas Islam Emansipatoris, Ketua I DPC PKB Kota Cimahi.
95 Hari Membongkar Hegemoni Kampus
Datanglah kepada rakyat! Hidup bersama rakyat! Belajar dari rakyat! Berencana bersama rakyat! Bekerja bersama rakyat! Mulailah dengan apa yang dimiliki rakyat! Ajarlah dengan contoh! Belajarlah dengan bekerja! Bulan pameran, melainkan suatu system! Bukan pendekatan cerai berai, melainkan mengubah! Bukan pertolongan, melainkan PEMBEBASAN!
(JAMES Y.C. YEN)
01 APRIL 2005; SEBUAH PROLOG!
Sidang Majelis Yang Terhormat…!!!
Tampaknya kabut tebal masih menyelimuti kawasan “Kampus Gersang”, pada semua level tingkatannya. Kilatan halilintar ikut mengiringi gelap dan suramnya suasana, seakan ingin mewarnai kekisruhan yang sedang terjadi. Tak lama berselang, hujan deraspun mengguyur kawasan IAIN SGD Bandung yang senantiasa jauh dari kesan sejuk dan bersih ini. Harapan untuk melihat secercah mentari, kini digantungkan dalam angan, sambil hati terus merancau, “Akankah mentari kembali terbit di kampus ini?”
Banyak sekali pertanyaan bernada harapan yang timbul dari sanubari ‘aktivis’ mahasiswa yang menjadikan IAIN SGD Bandung sebagai rumah tercintanya. Kekisruhan dihati bukanlah tanpa sebab. Realitas yang tampak bukanlah pembohong yang baik. Banyak sekali permasalahan yang muncul dan hinggap dalam benak setiap mahasiswa. Salah satunya adalah kontradiksi atas kemunculan Pjs Eksekutif Mahasiswa KBM IAIN SGD Bandung yang kian melebar, sebagai reaksi atas di”turunpaksa”kan Kabinet Intelectual Prophetic.
Segala daya dan upaya untuk segera melansirkan rekonsiliasi demi kembalinya KBM IAIN SGD Bandung pada ‘khittah’ sejatinya terus dilakukan. Mulai dari konsolidasi antar lembaga internal kampus, informal meeting antar “organ”, maupun penentuan sikap tegas terhadap “kader” yang duduk dalam struktural KBMI. Tidak sedikit yang menolak dan mempertanyakan kehadiran Pjs Eksekutif KBM IAIN SGD Bandung. Tapi, usaha dan tujuan untuk menghadang laju kehadiran Pjs dan menata alur konflik vertikal ini, pada akhirnya harus berakhir dengan tragis; GAGAL!!?
Suara-suara sumbang pro-kontra dalam kemelut kehadiran Pjs ini akhirnya memunculkan banyak pertanyaan. Bukan saja dari kalangan mahasiswa saja, tetapi dari birokrasi IAIN pun tutut “merecoki” kekisruhan tersebut. Ada apa dengan KBM IAIN SGD Bandung? Apakah IAIN SGD Bandung sudah melanggar ‘khittah’ perjuangannya?
REFLEKSI 95 HARI DI STRUKTURAL KAMPUS
Sidang Majelis Yang Terhormat…!!!
Pasca terpilih dan dilantiknya saya bersama 5 (lima) sahabat lainnya sebagai Pjs Eksekutif KBM IAIN SGD Bandung oleh Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM), berbagai agenda kerja kami rancang sebagai panduan praxis selama kami menjalankan roda pemerintahan. Saya bersama Tuesty Septianty, melangsir beberapa agenda terkait dengan bidang garapan kami selaku Pjs Eksekutif Bidang Internal.
Adapun agenda kerja tersebut meliputi, (1) Sosialisasi dan konsolidasi antara Pjs kepada lembaga kemahasiswaan (HMJ & UKM) dan birokrat kampus demi sebuah "eksistensi", (2) Pembenahan sekretariat BEM sebagai Sentral Kegiatan kemahasiswaan KBM IAIN SGD Bandung, (3) Penyikapan terhadap proses Transformasi IAIN menjadi UIN, (4) Menghadiri setiap undangan yang datang ke Pjs Eksekutif sesuai dengan pembagian wilayah kerja, dan (5) Menyelenggarakan Pemilu Raya Mahasiswa secara Luber dan Jurdil, demi terciptanya pemerintahan mahasiswa yang bersih (good student governance).
Sidang Majelis Yang Terhormat…!!!
Inilah kaidah dasar untuk mendapatkan keberhasilan. Goreskanlah didalam pikiran dan ingatlah!!? “Sukses bergantung pada dukungan orang lain, berfikir benar tentang orang lain dan mereka akan suka dan mendukung kita!”. Rajutan kebersamaan adalah hal yang harus diutamakan. Ketika menyadari perbedaan yang ditemukan terkadang kekecewaan besar menggores hati, tapi berkali-kali seorang guru menganjurkan “Sekarang cari kesamaan! Jangan banyak berkomentar tapi banyaklah belajar untuk kebersamaan!”. Ketika kita mencoba memaklumi kepahitan, mungkin hal itu bisa lebih baik menganggap belum tentu orang berbuat salah, mempunyai niat berbuat salah, banyak maklum banyak tenang, Achh… cari saja 1001 alasan untuk memaklumi!
Pun dengan apa yang menimpa diri kami, selaku pengemban atau mandataris mahasiswa untuk melakukan roda pemerintahan di lingkungan KBM IAIN SGD Bandung. Keterbatasan tenaga, pikiran dan personalia bukanlah halangan untuk memberikan yang tertbaik bagi kampus ini. Harapan dan cita-cita untuk membawa kampus ini menuju kampus yang lebih baik dalam format perubahan sistemik yang sesuai dengan idealisme yang diusung, pada akhirnya membuahkan hasil juga, kendati tidak maksimal.
Agenda kami jalankan dalam sebuah gerakan praxis untuk mernghasilkan hasta karya nyata. Pembenahan gedung SEGI dilakukan dengan pembersihan ruangan, membeli karpet dan mendatangi pihak terkait (UKM Mahapeka dan BEM Intelectual Prophetic) yang diduga telah "menggelapkan" barang dan arsip milik BEM. Undangan untuk melantik atau hanya sekedar memberikan sambutan pada acara yang diselenggarakan oleh HMJ dan UKM kami lakukan, antara lain: Pelantikan HMJ Humas (14/04/05), Pelantikan HMJ SPI (14/04/05), Kongres HIMA MD (21/04/05), Musyag UKM UPTQ (23/04/05), Pelantikan UKM LSLK (06/05/05), Musyag UKM Teater Awal (25/06/05) dan lainnya.
Transformasi IAIN menjadi UIN yang penuh kemelut, tidak lepas dari sorotan kami. Setelah melakukan diskusi bareng dengan POKJA DPM (20/04/05), pada akhirnya tanggal 25 April 2005 menjadi saksi sejarah bagi segenap civitas academika IAIN SGD Bandung, Pjs Eksekutif bersama DPM menolak dengan tegas proses konversi IAIN menjadi UIN dalam acara "Seminar & Mimbar Bebas Mahasiswa", karena (dalam pandangan kami) sangat sarat dengan muatan politis, daripada untuk melakukan pemberdayaan dan perbaikan kualitas kampus.
Sementara strategi merealisasikan Pemilu Raya Mahasiswa demi mengantarkan pada kepemimpinan Eksekutif yang definitive, diawali dengan melakukan study comparative ke kampus UIN Sunan Kalijaga dan UGM Yogyakarta bersama DPM, MPM dan LPM. Imbas dari agenda tersebut, maka UU Nomor 01 Tahun 2005 tentang Partai Politik Mahasiswa, UU Nomor 05 tentang Pemilihan anggota DPM, dan UU Nomor 06 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Mahasiswa pun lahir sebagai media awal untuk melangsungkan Pemilu Raya Mahasiswa dengan menggunakan mekanisme kepartaian.
TANTANGAN DAN RASIONALITAS
Sidang Majelis Yang Terhormat…!!!
Disamping program kerja tersebut, banyak agenda lain yang perlu penanganan serius dari lembaga kemahasiswaan. Karena kalau saja kita (berani) jujur, kultur akademik kampus IAIN SGD Bandung kurang mendukung terciptanya tradisi intelektual-kritis atau kreatifitas-intelektual yang ulet dan "modis". Kalau boleh dibilang, fenomena hari ini dilingkungan pendidikan IAIN SGD Bandung menunjukan kurang sehatnya 'fisik intelektualitas'. Semangat akademik hanya ada dalam ruang-ruang perkantoran. Diluar tidak. Diskusi, seminar, dan mimbar bebas hanya syah dan tepat kalau berlangsung didalam kelas. Ditempat terbuka (DPR, misalnya) dianggap tidak sopan. Tidak etis. Inilah manifestasi "formalisme" yang masih dijajakan dan di-cekokin terhadap mahasiswa.
Formalisme kaku seperti ini menutup ruang wacana. Meniadakan kesempatan "negasi ilmiah" antara mahasiswa dan dosen, sebagai masyarakat akademik. Itulah bentuk riil cultural obscurantism dalam wilayah kesadaran intelektual. Dan disini kebebasan berfikir (thinking liberalization) mengalami pengekangan yang ekstrim. Tidak akan pernah ada kritisisme dan kreatifitas berfikir bila kebebasan berfikir dibrondol dengan peluru hegemonik dan eksploitatif. Tradisi yang akan lahir bukan yang bervisi intelektual-akademik, melainkan insipid tradition for intellectualism; tradisi kehambaran, ketidakbermutuan dalam konteks intelektualitas. Sebagai konsekuensi fatal dari menjalarnya tradisi pengekangan ini melahirkan sifat otoritarianik, eksklusif dan menjauhkan mahasiswa dari pengambilan kebijakan akademik. Sehingga wajar saja bila kemunculan Tata Tertib Mahasiswa dan Kode Etik Mahasiswa ditentang secara tegas oleh Pjs Eksekutif karena mengkerangkeng kebebasan mimbar akademik mahasiswa.
Tidak berhenti sampai disitu, metode dan proses recruitment tenaga pengajarpun bukan didasarkan atas kecakapan intelektual. Political lobbying, politik pendekatan menjadi "walinya". Siapa yang dekat dengan saya dia-lah yang pasti diangkat dan diberi kursi. Siapa yang kritis dan tidak manut disingkirkan dipojok kegelapan. Tradisi ini mendahulukan kepentingan politik kekuasaan ketimbang pemberdayaan dan proforsionalitas-intelektualisme. Hampir semua perangkat dipolitisir, termasuk "aktivis" mahasiswa yang tega menjual idealismenya untuk "mengabdi" dan menjadi "budak" birokrat kampus. Na'udzubillah!
Akibatnya, tradisi intelektual mahasiswa tidak pernah tumbuh dan berkembang sesuai dengan cita-cita idealnya. Kreatifitas mahasiswa dalam aspek intelektualitasnya tetap hanya sebatas impian. Sebagai bukti, sedikitnya kelompok diskusi ditingkat lembaga kemahasiswaan. Minimnya minat baca dan penelitian akademik-ilmiah dalam kerangka pengembangan daya intelektualitas karena kekurangan fasilitas (laboratorium dan perpustakaan). Kapabilitas dan kapasitas pejabat ditingkat rektoratpun samar-samar ikut melegitimasi realitas tersebut. Kualitas tetap saja buruk, sementara biaya kuliah (SPP & Praktikum) semakin melambung, karena kesepakatan senator untuk menaikan SPP yang mencapai 100%. Itulah yang menyebabkan kami merasa terpanggil turun aksi memimpin massa untuk menolak kenaikan SPP dan Uang Praktikum.
Sidang Majelis Yang Terhormat…!!!
Wacana konflik internal, vertikal dan horizontal antara Pjs Eksekutif KBM IAIN SGD Bandung dengan lembaga kemahasiswaan lain dan birokrat kampus tampaknya akan terus berkibar dibawah panji kampus ini. Segala problematika yang menghantuinya telah menjadi sorotan publik, baik internal maupun eksternal. Hal ini bisa dilihat dari berbagai tanggapan yang sempat dilontarkan oleh masyarakat, media, maupun cendikiawan.
Sungguh tidak lucu dan ironis bila jalan hidup "aktivis" mahasiswa ditentukan oleh jabatan dan kekuasaan!?!. Apakah kita pernah berfikir akan hal itu? Entahlah ...!!? tapi yang pasti, belum ada solusi konkrit dalam menghadapi kebobrokan sistem KBM IAIN SGD Bandung yang dihuni oleh ribuan mahasiswa ini. Adakah diantara kita yang berani turun kejalan, memimpin ribuan aksi massa tanpa "gelar" tersandang di dada demi terciptanya perubahan di kampus tercinta ini? Akankah semuanya berjalan baik mana kala kami tidak duduk lagi di satruktural kampus?
WACANA UNTUK REKOMENDASI
Sidang Majelis yang kami hormati …!!!
Kepemimpinan mahasiswa baik dalam konteks intelektual dan politik, pada dasarnya tak jauh berbeda dengan apa yang berlangsung di elite birokrat. Ini kan menjadi sesuatu yang absah bila dilihat dari "struktural-geografis"nya, kultur lokal yang masih mendominasi dan seringkali menyisihkan sikap-sikap interventif bagi kelangsungan kultur politik yang ada. Jika ditingkat elite, sistem dan karakteristik kekuasaannya cenderung mendominasi, "menguasai" dan memanfaatkan, selama itu pula dinamika tradisi politik mahasiswa tidak akan pernah jernih dan menyejukkan. Mahasiswa sering dijadikan alat memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan elite.
Cara satu-satunya meretas semua itu ialah menciptakan jarak dan tradisi loyal opposition bagi elite birokrat. Mahasiswa mesti selalu vis a vis dengan rektorat maupun pemerintah. Disamping itu, mahasiswa harus memiliki sikap tegas untuk melakukan social control kapan dan dalam wilayah sosial akademik apapun. Tak kurang efektif dari itu, mahasiswa harus senantiasa aktif-liberatif dalam pengasahan skill intelektual dan pendewasaan politik yang berjiwa komitmen akademik.
Kepemimpinan mahasiswa hendaknya tetap konsisten pada kepemimpinan intelektual. Tentu saja yang tidak a-politis. Jika Ali Syariati mengecam kaum intelektual mengambil alih kepemimpinan politik, itukan dulu. Semangat zaman mempunyai perbedaan ruang dan masa tersendiri. Dan bukankah, meminjam bahasanya Foucault, “Tidak ada kekuasaan tanpa intelektualitas (pengetahuan), dan tiada intelektualitas tanpa kuasa”. Jadi, kecaman Ali Syariati atas kaum intelektual yang mengambil alih kepemimpinan politik akan menemukan relevansinya bila kerkuasaan hanya dipahami dalam perspektif politik, bukan memakai logika intelektual. Oleh karenanya, tradisi intelektual ditingkat mahasiswa menjadi penentu tegaknya tradisi politik yang menyejukkan. Bicara tradisi politik yang tidak dibarengi semangat intelektual akan melahirkan kepemimpinan politik yang hedonis dan pragmatis. Tidak demikian bila komitmen intelektualisme menjadi "make up" tradisi dan praktik politik itu sendiri.
Mahasiswa dalam kepemimpinannya tidak berposisi sebagai “menara gading” yang jauh dari kepentingan rakyat yang power oriented. Lantas, persoalannya adalah apakah kepemipinan intelektual mahasiswa dijalankan secara mekanik atau kritis? Mekanik dalam arti hanya sebagai afiliatif terhadap status-quo dan kritis (vis a vis) dalam arti mahasiswa dalam kepemimpinannya melakukan pengorganisasian masyarakat dengan penyadaran intelektual untuk mewujudkan –meminjam bahasa Antonio Gramsci– “masyarakat organik” yang sadar akan politik. Secara proaktif-partisifatif melakukan refleksi dan aksi perubahan terhadap realitas kepemimpinan yang tidak akomodatif, demi terwujud tatanan masyarakat yang kritis dan berkeadilan sosial.
Konkritnya, memberdayakan forum-forum diskusi yang mengedepankan bangunan rasionalitas dan inklusifitas wacana, kapan dan dimanapun, akan memberikan warna lain bagi proses maupun kesadaran politik. Demi berkembangnya tradisi intelektual yang transparan, elegan dan yang senantiasa mengarah pada pencerdasan, semangat kritisisme dan kreativisme intelektual merupakan keharusan yang tak bisa ditawar lagi. Tradisi politik mahasiswa tidak sama dengan tradisi politik elite partai. Politik mahasiswa tetap dalam koridor perspektif dan semangat akademik. Bukan syahwat berkuasa. Tradisi intelektual dan politik mahasiswa harus berorientasi untuk melahirkan pribadi-pribadi "agung", yang memiliki semangat sensitive atas aspirasi sosial masyarakat.
Sidang Majelis Yang Terhormat…!!!
Hanya Tuhan yang mengetahui akhir dari sebuah ceita panjang ini. Dan hanya harapan serta do’a yang mengiringi segenap mahasiswa, “Semoga rintisan air hujan tidak menjadi banjir yang akan menggenangi organisasi KBMI ini. Semoga mentari diiringi pelangi yang bertabur warna akan segera menghiasi cakrawala ilmu dikawasan kampus gersang ...” Semoga ...!!?
“Tangan Terkepal dan Maju Kemuka!!!”. Wallahu a'lam.
* * * *
* M. Nana Suryana As, Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Prodi Ilmu Jurnalistik,
Pjs Eksekutif Bidang Internal KBM IAIN SGD Bandung.
POTRET GERAKAN MAHASISWA INDONESIA
“Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia, Mengaku bertanah air satu, Tanah air tanpa penindasan. Kami mahasiswa mahasiswi Indonesia, Mengku berbangsa satu, Bangsa yang gandrung akan keadilan. Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia, mengaku berbahasa satu bahasa kebenaran”. (Sumpah Mahasiswa Indonesia)
“STUDENT TODAY, LEADER TOMORROW” adalah kalimat yang terkenal dikalangan mahasiswa pada dekade ’60-an. Untuk menjadi pemimpin dimasa depan, mereka banyak belajar dan berorganisasi. Biasanya mereka berangkat dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) atau Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Yang menonjol diantara mereka, bisa juga aktif di Dewan Mahasiswa (DEMA). DEMA atau Badan Eksekutif Mahasiswa intra kampus mempunyai perhimpunan ditingkat nasional, yaitu Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Perkembangan selanjutnya mahasiswa memiliki badan legislatif. Mereka tergabung dalam Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) ditingkat Fakultas dan Majelis Perwakilan Mahasiswa (MPM) ditingkat universitas.
Diluar kampus, tempat mahasiswa menempa dirinya cukup banyak. Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus diantaranya PMII, HMI, GMNI, CGMI, Somal dan lain-lain. Ditingkat nasional mereka berhimpun kedalam PMMI. Mereka sering mengadakan latihan kepemimpinan yang materinya berisi ideologi dan semangat perjuangan.
Jadi tempat berlatih para aktivis mahasiswa untuk menjadi pemimpin cukup banyak. Posisi pengurus inti di DEMA, PMMI dan MMI menjadi rebutan. Nama-nama mereka menonjol dan sering menjadi sumber pemberitaan pers.
Namun tatanan itu runtuh begitu peristiwa G 30 S/PKI meletus. Dewan mahasiswa masih berperan, tapi MMI tidak ada lagi. Tidak ada lagi CGMI, Perhimi, GMNI-Kiri dan organisasi lain yang berbau kiri (komunis). Karenanya PPMI pun juga hilang. Dibentuklah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) pada tanggal 25 Oktober 1965 yang bergelut dalam gerakan aksi ekstra parlementer.
* * *
DEMONSTRASI MAHASISWA tahun 1966 tercatat sebagai aksi pelajar dan mahasiswa paling heroik yang pernah terjadi di Indonesia. Aksi KAPPI dan KAMI memiliki warna tersendiri yang jauh dari rekayasa. Pada awal pergerakannya, tak seorangpun dapat memprediksikan jalannya peristiwa yang akan terjadi. Sulit membayangkan bagaimana presiden Soekarno akan jatuh.
Inti pesan mahasiswa yang utama pada saat itu sebenarnya hanya menuntut penurunan harga dan pembubaran PKI (komunis). Selain itu ada satu butir tambahan yang tercakup dalam TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat) yakni; me-reshuflle kabinet 100 yang dinilai tidak efektif dan efisien. Gema perjuangan mahasiswa akhirnya “digenapkan” oleh petualang politik dengan menjatuhkan Soekarno yang dicap condong kekiri-kirian. Dengan begitu gerakan mahasiswa telah ternodai dan telah dijadikan “kambing hitam” bagi pergantian rezim; dari orde lama menuju orde baru. Situasi tersebut berimbas pula pada kondisi di seluruh perguruan tinggi. Kampus menjadi runyam, karena terjadi skorsing terhadap dosen dan mahasiswa yang dianggap berbau komunis. Mekanisme pengajaran menjadi terabaikan selama beberapa saat. Kelompok yang memperjuangkan langgengnya Pancasila sudah tentu memandang “libur sekolah” sebagai konsekuensi logis dari suatu perjuangan besar.
Pada saat itu, mahasiswa memang menjadi sesuatu kekuatan alternatif setelah ABRI. Mereka mewakili kelompok intelektual yang sedang berkiblat pada model orang-orang terdidik dari Eropa Barat dan Amerika. Maka munculah tokoh-tokoh mahasiswa seperti Cosmas Batubara, Fahmi Idris, Mari’e Muhammad, Akbar Tanjung, Sofyan Wanadi, Rahman Tolleng dan lainnya. Kehadiran mereka secara kebetulan tersubordinat dari Senat atau Dewan Mahasiswa. Mereka maju nyaris tanpa jaminan perlindungan fisik. Dan untuk itu taruhannya adalah nyawa. Itulah pesona kehidupan kemahasiswaan pada era 1960-an, yang pada akhirnya melahirkan angkatan ’66.
* * *
PESONA MAHASISWA era 1970-an beda lagi ceritanya. Politik praksis yang dilakukan oleh mahasiswa tahun 1971 lewat demonstrasi anti korupsi, anti pembangunan TMII dan anti SPP. Hal itu kemudian diikuti oleh peristiwa Malari 1974 (Peristiwa Tanaka) dan kemudian peristiwa NKK tahun 1978.
Kehadiran mahasiswa pada peristiwa Malari, 15 Januari 1974, tidak lebih dari sekedar “kambing hitam kekuning-kuningan”. Sebab unjuk rasa yang murni dari mahasiswa adalah unjuk rasa yang terfokus pada kontra Japanisasi; suatu gerakan untuk menghambat haluan kita yang Jepang-sentris. Peristiwa Malari merupakan buah dari persaingan pengaruh dua jendral; Soemitro selaku Pangkomkamtib dan Ali Moertopo dengan kelompok CSIS-nya. Pada peristiwa Malari, konspirasi tokoh GOLKAR Ali Moertopo telah berhasil menumbangkan Jendral Soemitro, serta menetralisir pengaruh Yoga Soegama, Sutopo Yuwono, Kharis Suhud dan Alamsyah dibalik ambisi Ali Moertopo yang tak terkendali untuk menjadi presiden. Maka peristiwa Malari tidak lepas dari “magic kuningisasi”.
Imbas dari peristiwa malari ’74 dan huru hara mahasiswa ’78, pada masa Mendikbud Daud Yusuf diterapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) yang menjadi back ground politik nasional. Karena keduanya membawa konsekuensi penghapusan lembaga Dewan Mahasiswa (DEMA) di kampus, pelarangan masuknya ormas kemahasiswaan (ekstra universiter) ke kampus, mahasiswa tidak bisa lagi mengatasnamakan seluruh Perguruan Tinggi, serta memberikan kewenangan besar kepada fihak rektorat dalam mengawasai kegiatan ekstra kulikuler mahasiswa. Tujuan dari diterapkannya NKK/BKK tersebut yaitu untuk menciptakan insan yang pure akademis dan steril dari muatan politis. Dari kondisi seperti itu, mahasiswa dipaksa beraktivitas tanpa mengenakan baju ormas.
Bersamaan dengan itu, sistem belajar mengajar mahasiswa pun diubah dengan Sistem Kredit Semester (SKS). Sebelumnya dikenal istilah “mahasiswa abadi”, tetapi dengan penerapan sistem SKS, mahasiswa yang “malas” atau sejenisnya diancam droup-out (DO). Mereka tidak mempunyai kesempatan yang leluasa untuk bersentuhan dengan masyarakat berikut persoalannya. Tiap hari mereka dikejar dengan tugas-tugas makalah, penelitian dan lain sebagainya. Mereka yang menjadi aktivis kampus rata-rata harus mengorbankan studinya satu atau dua semester.
Sentuhan mahasiswa dengan masyarakat diperlukan. Itulah yang kemudian melatarbelakangi munculnya konsep Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang mempunyai nilai kredit. Menjalankan KKN dengan serius, mahasiswa akan bisa mengetahui denyut nadi masyarakat. Mereka bisa menjadi peka.
Pesona mahasiswa era tahun ’70-an ini, menghendaki terjadinya proses perubahan, pergantian suatu ide atau konsep/kebijakan atau orang-orang yang dianggap melanggar visi demokrasi sebagai acuan dasar gerakan mahasiswa.
* * *
SEMENTARA mahasiswa tahun 1980-an sampai awal 1990-an lebih terfokus pada ekses dari pelaksanaan pemilu. Ini terbukti dengan digelarnya aksi ekstra parlementer didepan gedung DPR/MPR pada tahun 1993.
Pada periode ini, konsep kemahasiswaan berubah. Badan Koordinasi Kampus (BKK) diubah menjadi Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) dan Senat Mahasiswa Fakultas (SMF). Selain itu Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) pun masih ada. Namun waktu yang dimiliki mahasiswa tetap terampas oleh kegiatan kuliahnya.
* * *
LALU APA yang kita saksikan dari pesona mahasiswa angkatan ’98? Gerakan mahasiswa yang dilatar belakangi oleh parahnya tingkat ketidakberdayaan ekonomi nasional karena ulah oknum birokrat yang korup (baca : KKN) ditambah mandulnya peranan DPR berhasil menumbangkan rezim otoriternya Orde Baru yang selama 32 tahun dipimpin oleh Soeharto. Gong ditabuh oleh seluruh civitas akademika disetiap tempat dengan menggelar mimbar bebas dan unjuk rasa. Ribuan mahasiswa turun aksi dan mimbar bebas pun digelar dengan tuntutan sama, yang pada intinya menebarkan pesan, maklumat, tuntutan dan saran yakni: pemberantasan KKN, turunkan harga, reformasi ekonomi dan politik, bersihkan kabinet dan menolak intervensi Amerika dengan IMF-nya.
Gerakan mahasiswa yang menyuarakan hati nurani rakyat membawa pesona tersendiri bagi mahasiswa angkatan ’98 ini, karena dinamika yang terjadi dibentuk oleh lingkungan strategis yang serba global-informasi. Kekhasannya ialah mereka sangat peka dalam merespon ketidak berdayaan ekonomi nasional dan mampu menberikan wahana pendidikan politik bagi masyarakat leweat aksi jalanannya.
Tumbangnya rezim Soeharto pada tanggal 22 mei 1998, membawa perubahan baru pada konsep dunia kemahasiswaan. SMPT diubah menjadi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). SMF raib entah kemana. Dan HMJ pun mengalami kegamangan dalam menghadapi realitas yang ada. Sementara itu BEM SI dan BEMI yang mirip dengan MMI di waktu dulu, terpaksa harus kehilangan gaungnya karena lebih banyak berkutat pada permasalahan internal.
Akhirnya, mahasiswapun kembali melangkah lebih praksis. Mereka rajin kuliah agar cepat selesai. Kalau mereka ingin berorganisasi di luar saja, di organisasi ekstra kampus. Imbasnya, gerakan mahasiswa pun terpecah belah yang pada akhirnya tenggelam dilibas zaman
* * *
BILA SEKARANG kita renungkan kembali kilas balik gerakan mahasiswa “tempo doeloe”, mungkin kita akan turut merasa bangga dengan menyandang titel mahasiswa. Karena pesona perjuangan yang dilakukan kawan-kawan kita dulu memiliki nilai heroisme yang begitu tinggi, walaupun sering kali nilai-nilai heroisme tersebut sering ternodai dan bahkan dijadikan ‘kambing hitam’ oleh para elite politik bangsa ini.
Lalu pesona apa yang diumiliki oleh kita, mahasiswa angkatan sekarang? Bila generasi 1908 hadir dengan konsep gerakan sosialnya; generasi 1928 dengan semangat kebangsaan yang dikristalkan dalam sumpah pemuda; generasi 1945 dengan proklamasi kemerdekaan berikut dasar-dasar negara; generasi 1966 dengan Tritura-nya; generasi 1974 dengan ide pemerataan pembangunan; generasi 1998 dengan reformasi totalnya; lalu generasi kita disebut generasi apa?
Sadar atau tidak, gerakan aksi mahasiswa pasca reformasi, tak lebih dari sekedar mord force yang nilai applaus-nya relatif rendah. Namun gerakan tersebut menandakan bahwa kepedulian mahasiswa terhadap problem demokrasi masih tetap dipelihara. Hal ini terbukti saat Abdurahman wahid (Gus Dur) diturunkan dari kursi kepresidenannya oleh kekuatan poros tengah, gerakan mahasiswa masih tetap konsisten dengan gerakan ‘moral’nya untuk menciptakan iklim demokrasi dinegeri ini, walaupun pada akhirnya gerakan tersebut terpecah menjadi dua kubu. Kubu mahasiswa yang pro kepemimpinan Gus Dur dimotori oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia (BEMI), sementara yang kontra Gus Dur dimotori oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI)
Dunia pergerakan mahasiswa, pasca tumbangnya Orde Baru mengalami keguncangan citra diri. Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa mengalami jalan buntu. Hal ini diakibatkan oleh ketidakmampuan aktivis-aktivis mahasiswa dalam mengorganisir massanya menjadi satu kekuatan. Mahasiswa kembali terpecah belah. Tidak adanya tokoh sentral yang mampu dijadikan panutan bersama oleh mahasiswa dan tidak adanya musuh bersama untuk dihadapinya, semakin memperparah kesatuan mahasiswa sekarang ini.
* * *
MAHASISWA sebagai bagian dari dunia kaum muda, sepantasnya peka dan tanggap terhadap berbagai peristiwa sosial dan nasional. Tidak mengherankan bila kebobrokan birokrat, ketimpangan sosial dan lainnya merupakan lahan basah bagi terjadinya gerakan mahasiswa. Dan justru akan terasa aneh kalau dunia mahasiswa bersikap apatis dan acuh terhadap realitas yang berkembang disekelilingnya. Aktivisme dalam dunia mahasiswa harus kita sambut sebagai syarat betapa tingginya sumbang rasa mereka bagi masyarakat.
Dan setelah sekian lama kita terkurung dalam kungkungan tembok almamater, oleh dosen-dosen dan fungsionaris kampus yang sok birokrat, sebagaimana tercermin dari baju safarinya yang tersetrika licin, isi pembicaraannya yang monoton dan membosankan. Saatnya mahasiswa untuk kembali berteriak dan menyeruak dengan otak yang menyembul galak meneriakan satu kata “LAWAN”. Melawan siapa saja (tak peduli itu rektorat, dosen, organisasi intra/ekstra kampus dll) yang akan menghambat kreatifitas dan sikap kritis mahasiswa. Sebuah perlawanan yang harus dilakukan secara universal dengan media yang beragam.
Diskusi bisa dilakukan dimana dan kapan saja, tanpa harus bernuansa formal seperti didalam kelas. Kritisisme harus tetap dijaga demi menjaga idealisme mahasiswa. Pers mahasiswa harus jelas keberpihakannya, dengan tidak menghilangkan ‘citra diri’nya sebagai penyambung lidah mahasiswa yang independen. Keberpihakan yang berarti bahwa keberanian dalam mengungkap/ membongkar kecurangan dan ketidakadilan setiap peristiwa, tanpa rasa takut dibredel oleh rektorat sebagai pemilik modal dan pemerintah (kampus).
Organisasi ekstra kampus harus dibangunkan dari tidur panjangnya. Pengasingan (alienasi) dirinya dari habitat asli (kampus dan mahasiswa) akibat hegemoni pemerintah melalui NKK/BKK harus dilawan. Organisasi ekstra kampus harus kembali ke kampus membawa perubahan baru lewat tawaran program kerja, atas dasar paradigma dan ideologi yang dibawanya, demi menghidupkan kembali dinamika politik mahasiswa. Saatnya organisasi ekstra kampus merebut stuktur kampus.
Sejarah berbicara, perubahan di kampus tidak pernah dilakukan oleh organ intra kampus yang pro status-quo. Lintas sejarahpun menyaksikan kalau perubahan yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh aktivis mahasiswa yang banyak bergelut di luar kampus. KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) sebagai aliansi aktivis mahasiswa ekstra universiter, lewat TRITURA-nya, berhasil menggulingkan Soekarno yang ‘dicap’ kekiri-kirian. Rezim Orde Baru pun tumbang oleh gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa dari beberapa organ (FORKOT, FORBES, FAMRED dll). Hal tersebut bukan berarti mengecilkan peran serta mahasiswa yang tergabung dalam organisai intra kampus, seperti Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) dalam penggulingan Soeharto. Namun bila di investigasi lebih dalam, mayoritas penggerak FKSMJ (sekarang BEM) tersebut adalah aktivis mahasiswa yang juga aktif di organisasi ekstra kampus. Mereka bukan hanya menjadi pendesain rutinitas kampus, namun mereka mencoba menempatkan diri sebagai agen perubahan (agent of social change) dengan tetap berpegang teguh pada sikap kritis dan kreatif, seperti yang disinyalir oleh Al-Ghazali, "Sesungguhnya tanpa kaum intelektual, sejarah peradaban Muslim tidak akan dapat dibayangkan dan tidak akan ada peradaban Muslim masa depan yang tetap hidup, dinamis dan terus berkembang tanpa lembaga kaum intelektual yang kritis dan kreatif".
"Kritis dan Kreatif", itulah yang perlu di-stabilo oleh kita dari statemennya Al-Ghazali. Tradisi kritisisme dan kreatifisme dalam lalu lintas sosial pengetahuan dan keilmuan umat menjadi hal yang tidak bisa diabaikan. Rekonstruksi pemikiran kritis dan etos kerja kreatif bagi umat adalah “iuran wajib” yang tidak dapat diacak lagi dasar hukumnya. Bila mengandaikan terwujudnya srtuktur sosial kehidupan masyarakat yang gandrung keadilan dan cinta "kesederajatan" dalam semangat humanisme. Krtitis dalam bahasanya Karl Marx, menjadi kunci segala kehidupan kita menembus fakta-fakta sosial kehidupan. Hidup tanpa bekal kritisisme dimanapun hanya akan jadi korban dehumanisasi, eksploitasi dan hegemonisasi system sosial yang ada. Sama halnya bila kita tidak kreatif dalam hidup. Kita akan selalu menjadi "manusia kedua". Tidak kreatif sama artinya dengan menyerahkan kepala sendiri untuk disembelih oleh realitas kehidupan sosial. Manusia tidak kreatif itulah yang disebut man of analisys; manusia yang selalu dianalisis system. Ia akan dijadikan robot oleh system sosial. Manusia macam ini sampai kapanpun akan ditindas dan tertindas. Dan manusia semcam ini telah menyalahi fitrahnya sebagai manusia yang diciptakan dengan sebaik-baiknya bentuk dan dibekali "burger" kreatifitas.
Fenomena "material" diatas, yakni tidak adanya tradisi kritisisme dan kreatifisme, juga masih berlangsung dilingkungan IAIN SGD hingga saat ini. Dialogical sphere dan critical sphere sengaja disumbat dengan metode pengajaran pedagogik. Mahasiswa dilarang mendebat Dosen, dalam kondisi apapun. Alih-alih disadari bahwa sikap pendidikan semacam itu salah. Berani mengkritik terlalu tajam berarti mahasiswa tersebut telah memilih namanya di-list dan nilainya "digilas" tanpa perhitungan rasional. Konsekuensi dari "budaya eksklusif-egois" ini adalah mampet-nya transformasi semangat maupun nilai-nilai intelektualisme. Mahasiswa tidak kreatif. Mahasiswa menjadi "pasien" pengetahuan yang tidak mencerdaskan. Mereka terkerangkeng kreatifitas dan fakultas kritisnya.
Believe or not, kenyataan diatas sangat mempengaruhi kualitas intelektualitas dan kreatifitas sosial-akademik mahasiswa. Tentu juga berefek pada mutu output; sarjana yang ada. Dipenggalnya srtukturalisasi kritisisme dan kreatifisme dikalangan mahasiswa hanya akan mendapat jurang kehancuran bagi masa depannya. Output dari lembaga IAIN SGD ini akan berlarian dengan skill impotent. Menyumbat semangat dan tradisi intelektual-kritis akan membuat mahasiswa tidak produktif, baik dalam konteks penciptaan "mesin-mesin sosial" maupun cultural ideas yang langsung berkait dengan pengembangan dan pemberdayaan academical society.
Jujur saja, kultur akademik di IAIN SGD ini kurang mendukung terciptanya tradisi intelektual-kritis atau kreatifitas-intelektual yang ulet dan "modis". Kalau boleh dibilang, fenomena hari ini dilingkungan IAIN SGD menunjukan intellectual morbid; tidak sehatnya 'fisik intelektualitas'. Semangat akademik hanya ada dalam ruang-ruang perkantoran. Diluar tidak. Diskusi hanya sah dan tepat kalau berlangsung didalam kelas. Ditempat terbuka dianggap tidak sopan. Tidak etis. Inilah manifestasi "formalisme" yang masih dijajakan dan di-cekokin terhadap mahasiswa. Formalisme kaku seperti ini menutup ruang wacana. Meniadakan kesempatan "negasi ilmiah" antara mahasiswa dan dosen, sebagai masyarakat akademik. Itulah bentuk riil cultural obscurantism dalam wilayah kesadaran intelektual. Dan disini kebebasan berfikir (thinking liberalization) mengalami pengekangan yang ekstrim. Tidak akan pernah ada kritisisme dan kreatifitas berfikir bila kebebasan berfikir dibrondol dengan peluru hegemonik dan eksploitatif. Tradisi yang akan lahir bukan yang bervisi intelektual-akademik, melainkan insipid tradition for intellectualism; tradisi kehambaran, ketidakbermutuan dalam konteks intelektualitas.
Sebagai konsekuensi fatal dari menjalarnya tradisi pengekangan ini melahirkan sifat otoritarianik, eksklusif dan menjauhkan mahasiswa dari pengambilan kebijakan akademik. Tidak berhenti sampai disitu, metode dan proses recruitment tenaga pengajarpun bukan didasarkan atas kecakapan intelektual. Political lobbying, politik pendekatan menjadi "walinya". Siapa yang dekat dengan saya dialang yang pasti diangkat dan diberi kursi. Siapa yang kritis dan tidak manut disingkirkan dipojok kegelapan. Tradisi ini mendahulukan kepentingan politik kekuasaan ketimbang pemberdayaan dan proporsionalitas intelektualisme. Hampir semua perangkat dipolitisir. Manipulasi penafsiran terjadi.
Akibatnya, tradisi intelektual mahasiswa tidak pernah tumbuh dan berkembang sesuai dengan cita-cita idealnya. Kreatifitas mahasiswa dalam aspek intelektualitasnya tetap hanya sebatas impian. Sebagai bukti; sedikitnya kelompok diskusi ditingkat lembaga kemahasiswaan (UKM, HMJ, BEM dll). Minimnya minat baca dan penelitian akademik-ilmiah dalam kerangka pengembangan daya intelektualitas. Kapabilitas dan kapasitas pejabat ditingkat rektorat samara-samar ikut melegitimasi realitas tersebut.
Begitupun dengan tradisi politiknya. Kepemimpinan mahasiswa baik dalam konteks intelektual dan politik tak jauh berbeda dengan apa yang berlangsung di elite birokrat. Ini kan menjadi sesuatu yang absah bila dilihat dari "struktural-geografis"nya, kultur lokal yang masih mendominasi dan seringkali menyisihkan sikap-sikap interventif bagi kelangsungan kultur politik yang ada. Jika ditingkat elite, sistem dan karakteristik kekuasaannya cenderung mendominasi, "menguasai" dan memanfaatkan, selama itu pula dinamika tradisi politik mahasiswa tidak akan pernah jernih dan menyejukkan. Mahasiswa sering dijadikan alat memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan elite. Cara satu-satunya meretas semua itu ialah menciptakan jarak dan tradisi loyal opposition bagi elite birokrat. Mahasiswa mesti selalu vis a vis dengan rektorat. Disamping itu, mahasiswa harus memiliki sikap tegas untuk melakukan sosial control kapan dan dalam wilayah sosial akademik apapun. Tak kurang efektif dari itu, mahasiswa harus senantiasa aktif-liberatif dalam pengasahan skill intelektual dan pendewasaan politik yang berjiwa komitmen akademik.
Kepemimpinan mahasiswa hendaknya tetap konsisten pada kepemimpinan intelektual. Tentu saja yang tidak a-politis. Jika Ali Syariati mengecam kaum intelektual mengambil alih kepemimpinan politik, itu kan dulu. Semangat zaman mempunyai perbedaan ruang dan masa tersendiri. Dan bukankah, meminjam bahasanya Foucoult; tidak ada kekuasaan tanpa "intelektualitas; pengetahuan", dan tiada intelektualitas tanpa kuasa. Jadi, kecaman Ali Syariati atas kaum intelektual yang mengambil alih kepemimpinan politik akan menemukan relevansinya bila kerkuasaan hanya dipahami dalam perspektif politik, bukan memakai logika intelektual.
Oleh karenanya, tradisi intelektual ditingkat mahasiswa menjadi penentu tegaknya tradisi politik yang menyejukkan. Bicara tradisi politik yang tidak dibarengi semangat intelektual akan melahirkan kepemimpinan politik yang hedonis dan pragmatis. Tidak demikian bila komitmen intelektualisme menjadi "make up" tradisi dan praktik politik itu sendiri. Konkritnya, memberdayakan forum-forum diskusi yang mengedepankan bangunan rasionalitas dan inklusifitas wacana, kapan dan dimanapun, akan memberikan warna lain bagi proses maupun kesadaran politik. Demi berkembangnya tradisi intelektual yang transparan, elegan dan yang senantiasa mengarah pada pencerdasan, semangat kritisisme dan kreativisme intelektual merupakan keharusan yang tak bisa ditawar lagi. Dan Political Moratorium; penangguhan kepentingan politik mesti senantiasa diperhatikan. Tradisi politik mahasiswa tidak sama dengan tradisi politik elite partai. Politik mahasiswa tetap dalam koridor perspektif dan semangat akademik. Bukan syahwat berkuasa. Tradisi intelektual dan politik mahasiswa harus berorientasi untuk melahirkan pribadi-pribadi "agung", yang memiliki semangat sensitive atas aspirasi sosial masyarakat. Wallahu a'lam ?!? (15/05/2005)
Langganan:
Postingan (Atom)