Kamis, 15 April 2010
Komedi Artifisial & Politikal Ala Rimpaknangsi
Kembali aku cerita tentang kampung halamanku. Rimpaknangsi tentunya. Kali ini bukan cerita pemekaran Cilacap Barat yang tak jelas juntrungnya. Bukan pula masalah wisata dan keindahan alam yang kian meregang. Aku hanya ingin menyelami culture budayanya yang paling natural. Tentang komedi! Nah, inilah hikyat humor warga kampungku.
Sikap mereka selalu moderat. Maklum selaku kelompok mayoritas Sunda. Jika orang Rimpaknangsi kaya, cukuplah memiliki mobil truk atau tempat penggergajian kayu. Umpama miskin, selalu merasa dirinya beruntung. Maka tak pernah ada yang melarat. Jika baik, hidupnya tanggung. Jika sholeh, sampai sekarang baru satu orang yang pernah ke Tanah Suci. Jika jahat, tak kan lebih dari bromocorah pencuri setandan pisang di kebun orang. Jika pintar, jadi kuwu di Desa Hanum, jika bodoh bahkan tak bisa membedakan huruf F dengan P. Tak tahu kalau mengcopy mesti di 'poto kopi'. Padahal itu 'pitnah'.
Komedi orang Rimpak bersifat artifisial dan politikal. Karena itu, salah satu bentuk klasik humor mereka adalah "membual". Mereka senang sekali membual, bahwa semua orang penting dikenalnya, bahwa pemuda kampung lain pada mengenalnya, bahwa si A itu kerabatnya. Padahal hanya karena ia bertetangga dengan ipar si A itu dan ayam mereka pernah ketahuan kawin. Harapan si pembual tentu saja agar dia disegani. Inilah yang maksud sebagai humor artifisial (palsu) dan humor politikal.
Namun, obrolan ngaler-ngidul di warung kopi sambil maen karambol dan catur, atau di pos ronda sambil ngaliwet, selalu kurang afdol jika si pembual belum datang. Sang pembual malah sering dengan sengaja di traktir kopi dan sebatang rokok jarcok, lalu ditanggap sejadi-jadinya. Bualan itu, minta ampun, sungguh sinting. Pengunjung warkop mengelilingi si pembual, meninggalkan kopi mereka, bahkan melupakan papan catur yang hampir skak mati.
Seisi warung kopi atau gardu ronda tertawa terpingkal-pingkal. Demikian sahut-menyahut cerita-cerita gila. Anehnya, setiap orang tahu bahwa semua itu hanya bualan. Semua orang mahfum bahwa peristiwa itu tak pernah terjadi. Namun, tak seorang pun merasa dirinya dibohongi, merasa risi, merasa dihina intelektualitasnya, direndahkan, atau tersinggung. Bahkan tak seorang pun mencoba memberikan gambaran logis nan konkrit pada para pembual maupun hadirin.
Lama aku memikirkan fenomena ini, yang sudah lama mengakar di kampung halamanku. Diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan sampailah kepadaku. Akhirnya kutemukan jawaban. Bahwa yang dikagumi dan ditertawakan para pemirsa dari para pembual sesungguhnya bukan kisah bualannya, melainkan kemampuan imajinasi pembual sehingga mampu berpikir diluar batas kewajaran. Fenomena membual membuatku makin memahami warga kampungku sendiri, bahwa "imajinasi adalah salah satu esensi dari nature orang Rimpaknangsi". Begitulah cara mereka mentertawakan kepedihan nasib. Membual adalah satu-satunya hiburan gratis dari sudut kampung setelah era layar tancep, calung atau wayang golek tenggelam karena tergerus peradaban modern.
Maka, paling tidak di Rimpaknangsi, tidaklah mudah menjadi pembual. Mesti kreatif dan imajinatif. Karena itu pembual merupakan jabatan informal yang penting, disamping kuncen, paraji, dan ulu-ulu. Anehnya, pembual banyak menduduki jabatan struktural penting di kampungku.
Biang pembual paling jempolan cukup merata di sudut kampung. Di Rimpak blok Tonggoh atau Pamuruyan, ada Mang Joey alias Abdul Tohari yang sempat menduduki jabatan Kadus. Kini beliau naik pangkat jadi Kaur Pembangunan di desa menggantikan Aki Nasihin yang kian renta menunggu nasib. Ada juga Mang Karsim atau lebih dikenal dengan Abah Apong. Maklum di usia tiga puluh tahun, giginya tak bersisa satu pun. Meski tak sempat terpilih jadi ketua RT, tapi selaku "pawang ular dan kodok" adalah jabatan informal yang disandangnya.
Di Rimpak blok Kidul, Caryono Gareng adalah biangnya. Sifat usil nan jail tak menghalangi kiprahnya untuk menduduki jabatan penting di kepemudaan. Ketua Karang Taruna ALECI (Asih Lemah Cai) disandangnya. Meski ia bukan pemuda lagi. Wajar saja bila organisasi pun akhirnya ambruk tanpa kegiatan.
Pembual untuk di Rimpak blok Babakan dikomandani oleh Cocon Suhmid. Sebut saja namanya seperti itu. Karena tak pede dengan namanya, ia pun menggantinya menjadi Chons Cles, tanpa terlebih dahulu "ngabubur beureum". Pada akhirnya orang kampung memanggilnya dengan "Dukun" Cocon. Ya memang itulah jabatan fungsional yang disandang pembual itu kini, disamping sebagai pewaris tunggal kuncen gunung Dayeuhluhur. Jika membual ada dalam olimpiade, dia pasti juara.
Sementara pembual di Rimpak blok Peuntas Pasir Leutik, digawangi oleh dua orang pejabat struktural. Ki Oman selaku komandan Hansip, dan Mang Tarkat selaku ketua RW. Kompak nian mereka. Apa lagi bila dipadukan dengan pembual RT Peuntas lainnya yang dipegang oleh Mang Tarka selaku anggota Hansip, dan Mang Anto Ateng selaku alumni pemain calung.
Kini bualan telah berganti wajah. Bualan tak hanya dilakukan di warung kopi atau gardu ronda. Peradaban modern telah merampas semua kehangatan dan rasa kekeluargaan kami. Bualan era baru telah muncul. Dunia maya sebagai hidangan. Disini tak dikenal yang namanya Joey, Abah Apong, Gareng, Suhmid, Tarkat, Oman, Tarka dan Ateng. Tapi guyonan mereka senantiasa menginspirasi kami untuk menuliskan status facebook di wall "Doyan Guyon Produk Rimpak"...
Bandung, 13 April 2010.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar