Selasa, 23 Februari 2010
KIsahku & Metamorfosa
Waktu itu, hal yang wajar bagi siapa pun untuk mengalaminya, dunia puberitas yang selalu berusaha menguasai hidup. Dan tak ada kisah yang tidak melewati garisnya. Itu pasti. Bukan kebetulan. Memang harus kita melewatinya supaya mendapatkan makna hidup yang lebih. Atau aku bisa katakan bahwa hidup berjalan dengan garis metaforis.
Setiap yang hidup selalu melalui prosesi-prosesi yang akan menjadi sejarah dalam hidupnya. Bunga misalnya, tidak langsung menjadi bunga yang mekar serta indah yang tumbuh di halaman rumahku. Ia berasal dari biji yang jatuh dari bunga yang sudah tua dan keriput. Lalu tumbuh menjadi pohon bunga, dan selanjutnya mengeluarkan bunga kuncup lalu mekar serta indah. Kalau kita menghayati apa yang terjadi dengan prosesi bunga ini, dengan tanpa mempedulikan mana awal mana akhirnya, adalah begitulah hidup. Hidup yang tidak terlepas dengan garis metamorfosa. Seperti ulat menjadi kepompong, terus menjadi kupu-kupu. Hanya kematian yang pasti dan tidak kita ketahui.
Begitu juga dengan diriku sebagai sesuatu yang hidup. Dalam hal ini hidup tak ada pilihan. Hidup memang sudah di program sebegitu adanya. Akan tetapi bukan berarti kita tidak berdaya dan menjadi statis. Karena manusia berbekal kuasa (akal) untuk bisa loncat-meloncat di antara garis metaforis. Kita harus akui bahwa hidup itu dalam garis metamorfosa yang tidak ada bedanya. Yang membedakan antara manusia dan bunga adalah hanya adanya akal pikiran sebagai potensi menilai dan memilih di antara garis hidup yang sudah ditentukan itu (garis metamorfosa). Maka dari itu setiap manusia memiliki kisah yang berbeda walaupun pada tataran metaforisnya sama.
Sekarang, wajar saja kalau aku memiliki kisah yang sedikit berbeda dengan yang lain. Dan aku tidak pernal malu untuk menceritakannya. Karena bagiku dalam hidup ini tidak ada kisah yang harus disembunyikan dan ditertawakan. Toh segala sesuatu yang hidup pasti juga memiliki kisah. Entah kisah yang memuakkan atau pun yang menyenangkan. Dua-duanya sama saja.
Kisah cinta. Katakan seperti itu. Tapi aku bukan Romeo. Bukan Schoupenhauer. Bukan Sastre. Bukan pula Plato. Aku bukan siapa-siapa. Aku adalah aku. Pada usia muda, kira-kira kelas satu eSeMa, aku hadir dengan penuh kesadaran sebagai seorang lelaki yang sedang tertarik pada seorang perempuan. Ia datang pada pikiran dan jiwaku dengan sempurna sehingga aku tak sempat menilai keburukannya. Namanya “STA”. Biasa disapa “M”. Sangatlah cantik, bagi siapapun yang mencintainya.
Inilah masa pertama kali aku belajar merayu dan membujuk. Dengan pancaran sinar cinta aku mulai belajar. Terutama tentang kelembutan. Orang lain bilang ini cinta monyet. Aku membenarkannya. Tapi aku mengatakan bahwa aku belajar dari cinta monyet bagaimana menaklukkan orang lain. Dan ada satu hal yang harus aku tegaskan, bahwa aku seorang lelaki yang berprinsip “sekali mencintai aku tetap mencintai”. Walaupun pada akhirnya tidak ada prinsip yang abadi. Karena seabadinya apa pun dalam pikiran kita suatu saat akan dirayapi sesuatu yang membuat runtuh pendirian kita. Kita hidup dalam dunia yang penuh dengan prosesi-prosesi serta garis metaforis.
Kurang dari setahun aku menjadi pemuja “M”. Tanpa ada imbalan apa pun dan balasan apa pun. Tapi aku setia menjadi pemujanya. Ia bagiku adalah perempuan pertama yang sempurna. Aku melakukan apa pun sebagai pemujanya untuk mendapatkan kasih sayangnya. Toh akhirnya aku mendapatkan sambutan yang baik dan menjadi lelaki yang ‘tidak’ merana. Anggapan waktu itu.
“M” adalah perempuan yang membuat aku berani belajar apa saja untuk sebagai siasat atau strategi menaklukkan. Dan yang paling aku benci adalah keputus-asaan. Sampai akhirnya ia dijodohkan dengan orang lain oleh orang tuanya. Aku hanya bisa meratapi nasibku, dan nasibnya yang harus menjalani hidup dalam ruang yang bukan pilihannya. Di tengah kerumunan orang saat ia di pajang sebagai pengantin, aku melihat ada air mata menetes dari matanya yang benih. Seakan ia mengatakan; “aku tak berdaya melawan takdir”. Dan aku pun menangis tanpa air mata.
Dari kisahku ini aku bukan membenci Tuhan. Aku hanya sedikit muak terhadap diriku yang terdidik dari air mata. Tentang nasibku yang buruk, aku tidak pantas menyalahkan siapa pun. Karena ini akibat dari pilihanku sendiri. Dan aku mulai jijik terhadap pranata sosial yang dibangun manusia dengan tidak manusiawi. Seorang perempuan seakan tidak punya hak untuk memilih jalan hidupnya. Sedangkan orang tua penentu hidup sang anak.
Cukup lama aku untuk bisa melupakan “M”. Kira-kira setahun setengah baru aku bisa lupa. Bukan lupa. Dan aku mulai tertarik lagi pada perempuan yang tiba-tiba ia datang dalam pikiran dan jiwaku. Ia juga sempurna seperti “M” bagiku. Sehingga aku juga tidak sempat menghitung keburukannya. Namanya “W”. Hanya saja “M” berotak cerdas dan manja. Sedangkan “W” pendiam dan lugu.
Aku masih dalam masa puberitas. Masa yang sangat indah dan menjadi ruang pembelajaran tentang hidup. Baik tentang sosial-budaya, politik, filsafat, sastra dan sebagainya. Aku yang awalnya menjadi pemuja “M” terhenti setelah “M” menjadi istri orang lain. Karena aku menganggap harus berhenti agar tidak terjadi kerusakan sistem dalam diriku. Dan mungkin hanya sampai saat dimana “M” sudah menjadi hak orang lain.
“W”. Sebut saja panggilannya begitu. Perempuan kedua dalam hidupku yang mengajarkan tentang sastra dan filsafat. Selain aku sudah banyak belajar dari kisahku sebelumnya, aku mendapatkan pengetahuan lain yang lebih sempurna. Sedangkan orang lain masih bilang itu cinta monyet. Tapi sekali lagi aku katakan aku memang belajar hidup dari kekanak-kanakan.
Entah seberapa banyak karya sastra, seperti puisi, surat cinta yang bersastra, yang aku layangkan sebagai persembahan kepada “W”. Entah seberapa banyak siasat dan rayuan yang aku lakukan untuk mendapatkan simpati hatinya. Entah seberapa banyak teori yang aku terapkan untuk sampai pada tujuan. Paling tidak aku sudah melakukan sesuai pilihanku. Aku pun mendapatkan sambutan yang indah dari perempuan yang aku puja. Padahal, aku tidak mengharapkan apa pun kecuali harapan kasih sayang dari yang aku puja. Barangkali karena aku belum bisa tidak menghitung-hitung hasil. Dan wajar saja, aku masih berada dalam dunia puberitas. Artinya aku dalam prosesi-prosesi pembelajaran tentang hidup.
Kalaupun aku ditanya cinta itu apa aku tidak akan bisa menjawab. Hanya aku akan katakan seperti seorang anak yang menangisi mainan tanpa mengetahui apa gunanya, ‘mencintainya tanpa harus tahu apa artinya cinta’. Dan persoalan selanjutnya sampai kapan manusia berakhir dari dunia puberitasnya?
Kembali pada “W” dan aku. Kurang lebih hampir dua tahun aku menjadi pemuja “W” dengan tanpa “hasil” apa pun. Dan aku tidak merasa disakiti oleh siapapun. Terutama oleh “W”. Mungkin karena aku mencintainya. Pada akhirnya nasibku sama seperti yang dialami sebelumnya bersama “M”. “W” dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengan laki-laki yang sudah punya kerja dan berusia lebih tua dari usianya. Sungguh menyakitkan bagi “W”, dan juga bagiku. Kenapa perempuan di tanah kelahiranku ini tidak dipandang sebagai manusia yang juga sama haknya seperti laki-laki. Kenapa tanah tercintaku selalu menumpahkan air mata seorang anak perempuan?
Terkadang aku berpikir hidup penuh dengan ketidakadilan. Penuh dengan kemuakan dan kekejian. Tatanan sosial yang seharusnya memanusiawi malah membinatangi manusia itu sendiri. Orang tua yang seharusnya mengajarkan kebijakan malah mencontohkan kebejatan. Aku adalah orang yang ingin memberontak terhadap keputusan tatanan sosial. Tapi aku sendirian. Aku pun pada akhirnya tidak punya daya. Aku hanya satu lidi yang mudah dipatahkan. Bukan segenggam lidi. Entah kemuakanku ini harus bermuara kemana.
Aku memang sang pemuja cinta. Walaupun sakit, tapi aku tidak merasa kalah. Karena dengan mencintai aku bisa belajar. Dan belum tentu orang yang dicintai dapat belajar bagaimana menjalankan hidup dengan baik dan bijak. Dengan cinta pula aku belajar bagaimana membenci kehidupan sosial yang tidak manusiwi. Sebenarnya kemuakan hidup adalah terdapat pada prosesi-prosesi yang menekan kita harus seperti ini dan itu. Dan kita tidak terima, sebab kita manusia yang dapat berontak atau menilai dengan pikiran dan rasa.
“M” dan “W” adalah berhala hidup di masa puberitasku yang bermakna. Mereka berdua tidak pernah bersalah dalam memperlakukanku sebagai kekasihnya. Karena ia memang berhak untuk itu. Dan aku pun tidak bersalah mencintainya. Karena dalam hal cinta tidak ada yang salah. Kecuali aku mengganggu haknya sebagai manusia. Dan aku tidak suka mencambuk hak siapapun. Sebagaimana kata Sartre, “Siapa saja yang menggagu hak atau kebebasan orang lain maka ia adalah neraka”. Aku telah memiliki sejarah yang pantas dilukis di dinding-dinding kamarku. Aku tidak peduli dengan ludah orang lain. Dan siapa pun, pasti memiliki sejarah yang sangat berarti bagi hidup dirinya sendiri.
“Dalam hening yang sama
Tatapan meliar
Sayat sabda abadi
Jadi kisah sendiri-sendiri
Sungguh. Kau harus pahami!”
Inilah kisahku. Kisah awal yang berharap pada muara kehidupan. Bukan pengetahuan. Bukan pula hasil dari jerih payah pikiran. Aku hanya ingin katakan “Jangan sepelehkan kisahmu sendiri”!
Kemuakan atau pun tawa, akan menyelimut jiwa yang mau melihat. Tidak harus dengan mata untuk melukis dunia. Tidak harus dengan tangan untuk menampar. Tidak harus dengan telinga untuk mengetahui bahasa. Tidak harus dengan apapun. Cukup dengan kisah itu sendiri. Kisah bukan hanya sebatas pemaparan semu. Kisah adalah pedang yang bisa digunakan membabat apa saja untuk sebuah jalan. Kita berangkat dari titik yang sama. Aku dan kalian.
Saudaraku bilang aku tidak pantas menjadi seorang laki-laki. Terlalu cengeng. Terlalu kekanak-kanakan memandang cinta dan kehidupan. Biarkan saja. Suatu saat ia akan mengerti.
Tidakkah kita bertanya pada diri kita kenapa hidup seperti ini? Inilah keharmonisan, kedinamisan, dan keserasian hidup. Hitam dan putih pada dasarnya sama-sama penting. Cahaya sangat dibutuhkan kalau di dalam gelap. Dan gelap dibutuhkan untuk memperjelas makna putih.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar