Minggu, 20 Maret 2011
Idealisme. Apakah itu gerangan? Kata nya abstrak. Tidak bisa dilihat, hanya dapat dinikmati. Sulit untuk ditebak, apalagi jika ingin ditempel dalam spanduk. Bagaimana sih rasa nya idealisme itu? Apa serasa kita makan nasi goreng pete, atau kah serasa kita makan bebek panggang? Apa sepedas kita menikmati dabu-dabu atau sepahit kita mengunyah empedu?
Benarkah yang nama nya idealisme tidak akan pernah hilang dalam kehidupan manusia? Benarkah idealisme itu hanya akan mengalami pemudaran dalam sebuah kehidupan? Dan menarik juga untuk diungkap benarkah yang nama nya idealisme akan sangat tergantung pada tingkatan usia seseorang?
Seorang sahabat pernah berceloteh bahwa dalam konteks kekinian, idealisme itu tak ubahnya dengan sebuah komoditas alias barang dagangan. Idealisme gampang dijual-belikan. Idealisme sangat memungkinkan untuk digadaikan. Bahkan ada juga yang mengolahnya menjadi sebuah alat untuk tawar menawar kepentingan.
Suasana ini sangat berbeda, ketika bangsa kita sedang dalam "dunia penjajahan". Bila saat itu ditanyakan apa sebetul nya yang menjadi idealisme bangsa, maka jawabannya tegas yakni memerdekakan bangsa. Atau membebaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan.
Lalu bagaimana sebaik nya kita memberi jawaban sekiranya ada yang bertanya apa sebetulnya idealisme bangsa di alam kemerdekaan sekarang? Jawabannya tegas adalah "pembangunan". Yang namanya pembangunan, tentu sudah sama-sama kita kenali. Sebagai proses perubahan menuju ke sebuah kehidupan, baik lahir mau pun batin ke arah yang lebih baik, maju, tangguh, dinamis, mandiri dan sejahtera, pembangunan wajib hukum nya untuk kita ikuti bersama.
Lewat pembangunan inilah kita ditantang agar mampu menyembuhkan borok-borok kehidupan. Bersama pembangunan inilah kita harus mampu menghapus kemiskinan, memerangi pengangguran, membebaskan bangsa dari kebodohan, dan tentu saja harus mampu mewujudkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Sudah 65 tahun bangsa kita merasakan alam kemerdekaan nya. Selama kurun waktu itu, tentu sudah banyak proses yang kita lalui. Ada yang membahagiakan, namun tidak sedikit yang memilukan. Ada yang cukup membuat bangsa ini terkagum-kagum, tapi banyak juga yang membuat kening kita bekerut. Ada yang membuat kita pantas untuk tampil tegar selaku bangsa, tapi kadangkala kita harus merengek-rengek untuk mendapatkan bantuan luar negeri. Bahkan tidak sedikit ada juga yang membuat kita nelangsa, dikarenakan masih terekam nya warga bangsa yang terpaksa harus makan "nasi aking" mengingat diri nya termasuk anak bangsa yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Idealisme sering dipersepsikan sebagai sebuah "daya dorong" atau kekuatan yang muncul dari nurani yang terdalam. Sifat nya tentu alamiah dan inheren dalam diri seseorang. Idealisme tidak akan pernah hilang dari jiwa seseorang. Idealisme akan selalu mendampingi diri seseorang seirama dengan perjalanan waktu.
Oleh karena itu, sangatlah keliru jika ada orang yang berpandangan bahwa idealisme itu akan hilang, ketika seseorang sudah menempati suatu posisi jabatan. Hilang sih tidak, tapi kalau luntur ya bisa-bisa saja. Namun begitu, penting juga untuk dicatat.
Sebagai sebuah "nilai", idealisme mesti nya akan tetap tumbuh di dalam setiap diri manusia. Tidak ada satu pun kekuatan yang bisa mematikan idealisme seseorang. Itulah sebab nya, kita sering terbengong-bengong jika ada yang menanyakan: mana idealisme nya? Atau ketika ada hujatan terhadap mantan aktivis yang kini menjadi pejabat publik. "Kok beda nya dia sekarang. Kalau dulu kentara benar idealisme nya. Tapi sekarang kok lebih realistik tuh pandangan-pandangan nya". Bahkan kita pun tidak perlu bingung jika ada yang berpendapat: "kasihan tuh teman kita. Dia seperti kehilangan idealisme nya setelah dilantik jadi anggota DPR. Padahal ketika mahasiswa nya, dia itu dikenal sebagai anti kemapanan".
Andai idealisme "identik" dengan sebuah keyakinan, tentu tidak boleh hilang atau tergadaikan dalam kehidupan seseorang. Kalau pun idealisme dimaknai sebagai sebuah cita-cita, tentu menjadi sangat memalukan bila kita sampai menggadaikan nya. Idealisme tetap idealisme. Nilai nya akan tetap tertanam dalam jiwa dan nurani seseorang. Nilai nya tidak akan pernah bergeser.
Oleh karena itu, mari kita perkokoh keyakinan, asah kemampuan dan perkuat jati diri. Insya Allah kita akan tetap tegak berdiri, tegar dalam berperilaku dan tidak akan dinilai sebagai anak bangsa yang hipokrit.
Merdeka....!!
Sabtu, 19 Maret 2011
kenanganku tentang buku, membaca, menulis dan diary!
Aku suka membaca sejak kecil. Naluri ini, awalnya ku kira alamiah. Aku bisa dengan ringan mengambil sobekan kertas di jalan, atau membaguskan koran bekas bungkus kacang, untuk kemudian dibaca. Tapi kini aku sadar, kealamiahan itu lebih karena tekanan ekonomi, yang membuatku tak mampu membeli buku, dan bilik kesadaranku merespon dengan menghargai kehadiran sobekan kertas itu. Tak heran sehabis membaca sobekan koran itu tanganku terasa pedas, karena sebelumnya harus membersihkan sisa cabai yang masih melekat di koran, atau tanganku bau karena harus memindahkan dulu terasi dari bungkusnya.
Dan begitulah, suatu hari aku menemukan ‘jimat’ dari kelusuhan itu. Sebuah buku tulis merk “leces” lusuh kutemukan dari sudut rak lemari. Masih aku ingat, buku leces itu bersampul ungu. Warnanya sudah pudar, ringnya rapuh, dan sudutnya telah habis dimakan rayap. Buku itu milik Bapa. Awalnya aku menduga, buku itu catatan tagihan pajak atau denda iuran kerja bakti. Maklum Bapaku seorang ‘abdi negara’. Jabatan Ketua RT 13 RW 06 Dusun Rimpaknangsi, Desa Hanum, disandangnya lebih dari 8 tahun. Tanpa gaji dan uang pesangon.
Rupanya dugaanku salah. Nyatanya buku itu adalah buku diary dan otobiografi pribadi Bapa. Ditulis dengan menggunakan ejaan lama, dan gaya penulisan khas orang tua lulusan Sekolah Rakyat tahun 50-an. Hmm… Rupanya bapaku pembaca dan penulis juga! Satu hal yang kukagumi dari buku itu, aku tertarik pada catatan bapa yang menceritakan kisah “Ramayana” dan “Mahabharata atau Bharatayuda”. Ditulis dengan menggunakan gaya pupuh kinanthi, asmarandhana, dangdanggula, pangkur, sinom, dan lainnya.
Begitu tertariknya aku dengan kisah itu, sampai akhirnya kuminta buku itu dari Bapa. Sambil tersenyum Bapaku bilang, “Silahkan Nak, kau ambil saja buku itu! Bahkan kalau kau mau, akan bapa dongengkan kisah kepahlawanan itu, asalkan kau mau mijitin kaki Bapa lebih dulu”. Aku bersorak. Girang tiada tara!
Maka sejak malam itu, tiap malam jelang tidur, aku selalu dinina-bobokan Bapa dengan kisah keperkasaan Hanoman dalam epos Ramayana, kegagahan Bima dalam Mahabharata dan Bharatayuda, keshalehan Sukrasana dan kepicikan Somantri dalam Arjuna Sastrabahu, peperangan antara Pajajaran dan Galuh dalam legenda Aria Banga dan Runcangrarang(Ciung Wanara), kejahatan Purbararang atas Purbasari dalam cerita Lutung Kasarung di kerajaan Pasir Batang, kisah si Kabayan ngala roay, si Kabayan ngala tutut, dan kisah fabel lainnya. (Kelak, buku diary Bapaku itu menjadi "jimat" dan salah satu koleksi buku milikku dan menginspirasi jalan hidupku).
Setelah buku roman, perkenalanku dengan buku lainnya dimulai. Suatu malam, saat mencari obat nyamuk di atas lemari, kutemukan sebuah novel. Judulnya “Kutunggu di Pintu Neraka” karya Bastian Titto. Kukira buku itu tak boleh dibaca anak kecil, karena letaknya yang di atas lemari, dan tak pernah menjadi bahan ceritaan Bapa kalau mendongengiku saat malam. Tapi setelah aku baca dengan agak sembunyi, ceritanya tak ada yang layak disembunyikan. Cerita silat tentang kependekaran Wiro Sableng, muridnya Shinto Gendeng dari Gunung Gede, dalam membasmi kejahatan yang ditimbulkan oleh Pangeran Matahari.
Setelah membaca buku itu, aku menjadi liar. Buku-buku serial Wiro Sableng dan cerita silat lain kiriman dari kakakku, Ka Eko di Bandung, tak pernah lalai kupacari. Maka aku pun berkenalan dengan Bidadari Angin Timur, Puti Andini, Luh Rembulan, si Raja Tidur, Tua Gila dari Andalas, dan tokoh antagonis lainnya. Beberapa karya Kho Ping Hoo pun berturut-turut aku tamatkan, serial “Si Pedang Tumpul”, “Rajawali Sakti”, “Tangan Geledek”, “Naga Racun”, sampai “Perawan Lembah Wilis”. Dan kecerdasan anak-anak dalam “Lima Sekawan”, Sapta Siaga, sempat aku gagahi.
Selain itu, perpustakaan sekolah SDN Hanum 1 pun tak luput dari arena tempat ngerumpiku. “Katak Hendak Jadi Lembu”, “Tak Putus Dirundung Malang”, dan “Hulubalang Raja” dari Nur Sutan Iskandar, “Tenggelamnya Kapal Vanderwijk”, dan “Kembali ke Desa” karya Hamka. Aku pun ingat, nyaris seluruh karya pujangga angkatan 1920-an telah aku baca, dari Abdul Muis, Marah Rusli, sampai Sutan Takdir Alisyahbana. “Siti Nurbaya”, “Kasih Tak sampai”, “Perawan di Sarang Penyamun” kulahap habis. Tak tahu apa sebabnya, masa SD-lah aku dapat membaca khazanah sastra Indonesia dengan sempurna.
Masa remaja di SMPN 1 Dayeuhluhur, karena kesibukanku main drama theater dan pramuka di ekstrakulikuler, bacaanku tidak berkembang. Aku hanya menjadi pembaca yang tunduk pada Karl May dan Enid Bluton. “Petualangan Winnetou di Padang Prairi” sampai ke “Pelosok-Pelosok Balkan” begitu menghipnotisku, mampu membuatku melupakan jam istirahat. Tapi jangan dikira aku memiliki buku-buku itu. Tidak! Aku hanya membaca, hasil ‘mencuri’ dari koleksi buku milik Ka Ceceng, kakakku!
Ya, aku memang pembaca yang akut. Dan perkenalanku dengan karya-karya Freddy S. telah mengubah semuanya. Mulailah terasa kesaktian pukulan sinar matahari milik Wiro Sableng kalah asyik dibanding tragedy cinta “Elegi Esok Pagi” dalam novelnya Freddy S. Kisah percintaan masa remaja yang selalu disajikan Freddy S, membuatku kecanduan. Jika belum menamatkan novelnya, tidur pun aku terbawa dengan cerita. Disamping itu, serial “Lupus” juga menjadi ‘bacaan wajib’ saat aku masih jadi sosok remaja tanggung itu.
Bacaanku semakin ‘bergairah’ setelah koleksi novel “Any Arrow” menghampiriku. Dengan membaca novel itu, aku serasa menjadi sosok pria dewasa dan perkasa. Aku mulai menyukai lawan jenis. Meski aku baru kelas 3 SMP. Cinta monyetku pun akhirnya berlabuh pada siswa satu kelas, lawan mainku di ekstrakulikuler drama theater. Sayang, cinta pertamaku bertepuk sebelah tangan! Hmm…
Membaca buku itu membuatku bukan hanya melupakan waktu, tapi juga melepaskan shalat dan ngaji. Aku terlena dengan keindahan, desahan, dan keperkasaan. Sayang, akhirnya aku ketahuan Ka Eko, karena koleksi bukunya aku ‘curi’ dari tasnya! Aku terkena marah, dan akibatnya, aku dilarang membaca buku itu!
Tapi larangan itu tak pernah membuatku kehabisan akal. Aku jadi rajin menyambangi rumah nenek. Hanya untuk ikut makan dan membaca. Dan untuk menjaga agar nenek tidak ikut-ikutan melarang, aku selalu membatu nenek memetik cengkih di halaman rumahnya. Tak lupa sambil membawa novel. Ya, aku betah duduk di pohon cengkih berjam-jam, hanya untuk membaca novel itu. Dan karena seringnya aku naik pohon cengkih yang rimbun itu, akhirnya aku pun ketahuan. Dan bukan marah yang kudapat, tapi tertawaan!
Ketika di SMAN 1 Dayeuhluhur, ketertarikanku berubah arah. Aku jatuh cinta pada puisi! Semuanya berubah saat kakakku menitipkan semua koleksi buku dan kasetnya padaku. Ya, Ka Ceceng, kakakku pergi merantau menyebrangi pulau Jawa, juga Nusantara. Kepergiannya ke Pulau Rupat-Bengkalis, yang kemudian berlayar ke Malaysia, telah mengawali babak baru dalam kesukaanku membaca buku dan menulis. Dari koleksi bukunya, kutemukan buku leces lusuh yang dipotong dua, berisi kumpulan puisi karya pribadi kakakku. Sebuah puisi berjudul “Cikijing Peuting Tinu Lungkawing” telah menghipnotisku! Mengingatkanku pada trah leluhur kami. Hmm.. rupanya Kakakku telah mewarisi kebiasaan Bapa. Membaca, lalu menuliskan alur pemikirannya dalam buku. Buku diary! Semuanya demi keabadian. Demi warisan!
Maka sejak itu, aku pun menyisihkan uang jajan untuk membeli buku diary. Mencoba menata alur pikir dalam sebuah tulisan, dan coba belajar dari penyair-penyair besar tentang hakikat makna sebuah puisi. Waktu itu nyaris semua puisi si Binatang Jalang aku hapal, mulai puisi pertamanya "nisan" kepada Nenenda tercinta, sampai "Isa" kepada pemeluk teguh. Puisi-puisi yang romatis, aku hapal habis! Chairil menapasi hari-hariku. Tapi kesetiaan ini tak lama. Aku kemudian kenal dengan si Burung Merak, WS. Rendra, setelah kudapati kasetnya hasil ‘minjam paksa’ dari sahabatku, Kurnia “Ebonk” Faturohman. Setelah melayari semua puisinya, kuakui, Rendra lebih kena di batinku, memahat, tinggal, berdiam. Sampai kini!
Saat itu, hampir tiap minggu madding SMA-ku penuh dengan puisi karyaku. Puisi curahan hati sebagai bentuk pelampiasan cintaku pada gadis impianku, sempat mangkal beberapa bulan di madding itu. Sayang, saat perlombaan baca puisi tingkat sekolah, aku kalah bersaing dengan temanku. Aku hanya menduduki peringkat ketiga. Peringkat pertama dipegang oleh sahabatku yang kasetnya pernah ku curi, Ebonk. Sementara peringkat kedua diraih oleh wanita yang sempat kupuja lewat puisi di madding itu. Hmm…
Dan ketika aku tamat SMA, aku tak punya buku apa-apa. Aku pun ‘hijrah’ ke Bandung, tak membawa buku apa-apa, kecuali sepotong buku diary di tasku. Ya, empat buku diary kumpulan catatanku yang kebanyakan berisi puisi, kisah cinta, dan kegundahan akan realitas kampung halaman.
Bandung, ternyata memberiku segalanya. Ketaksetiaanku pada buku merajalela di sini. Kuliah dan bergaul dengan sahabat-sahabat aktivis pergerakan mahasiswa, bacaanku bertambah. Buku yang pertama kali kulahap habis adalah “Ilmu, Filsafat dan Agama” karya Endang Saefuddin Anshori. Maklum kampus tempatku menuntut ilmu memiliki labelitas Islam yang kuat, sehingga aku pun sedikit banyak harus berbenah dan menyesuaikan diri.
Lalu, lewat seorang teman, aku mulai membaca “Bumi Manusia” karya Pramudya Ananta Toer, meski cuma fotokopian. Teman ini mewanti-wantiku agar membacanya dengan sembunyi. "Jika tidak, kamu akan dicap PKI, komunis!" katanya. Hanya semalam, buku itu aku tamatkan. Dan aku ketagihan! Kucari-cari karya Pram yang lain, tapi tak pernah bisa kujumpai. Buku-bukunya terlarang. Yang bisa kumiliki hanya buku “Larasati”, “Mangir”, dan “Jalan Pos, Jalan Daendels”. Kemudian, dengan bantuan teman lagi, aku mendapatkan semua tetralogi itu, “Bumi Manusia”, “Anak Segala Bangsa”, “Jejak Langkah”, “Rumah Kaca”, dan aku melahapnya. Aku jatuh cinta pada Minke, Nyi Ontosoroh, dan juga Pram.
Tapi ucapan temanku tentang komunis terus saja menghantui. Aku belum tahu apa itu PKI, siapa itu komunis? Yang aku tahu, PKI itu sebagai bahaya laten khas orde baru. Itu saja! Lalu kucari buku-buku tentang komunis. Karena kampusku berlabelkan Islam, maka buku komunis yang aku dapatkan pun berlabelkan agama. Ya, buku “Agama Marxis” karya O. Hasheem menjadi babak baru dalam petualanganku membaca buku. Selanjutnya, buku pemikiran-pemikiran yang bersumber pada peta pemikiran Marxis sempat kulahap habis, “Materialisme-Dialiktika Historis”, “Das Kapital”, “Ekonomi Politik Marxis”. Pun juga dengan tokoh-tokoh yang diikuti maupun mengikuti ajarannya, G.W.F Hegel, Jurgen Habermas, Michael Foucoult, Antonio Gramsci, Anthony Gidden, Sigmound Freud, Ivan Illich, Paulo Freire, dan sederet tokoh lainnya.
Sungguh aneh! Aku kuliah di jurusan jurnalistik. Aku memang bercita-cita jadi jurnalis, menjadi penulis warta-fakta. Tapi aku tidak suka fakta, tidak ada bedanya dengan fiksi. Sekarang yang laku adalah berita, bukan fakta. Tetapi cerita tentang fakta. Meski kuliah di Jurnalistik, aku malah menyukai filsafat. Meski kuliah di IAIN, tapi pikiranku ultra-liberal. Meski agamaku Islam, tapi aku penganut pluralism. Meski aku tetap memaksakan diri untuk belajar teori komunikasi, aku malah bergelut dengan paradigma komunikasi kritis ala madzhab Frankfrut.
Pada akhirnya, aku tak memaksakan diri untuk jadi seorang wartawan, karena aku sadar diri bahwa teknik penulisan beritaku nilainya jeblok. Tapi aku akan selalu tetap menulis. Karena dengan menulis, mungkin aku ada. Ketika menulislah aku merasa bersentuhan dengan diriku sendiri. Bersenda gurau dengan bathinku sendiri. Menulis, adalah temanku yang paling setia. Ketika bahagia, suka, duka aku menuliskannya, dan dalam tulisan itulah aku menemukan diriku yang tiada-kosong-hampa-menjelma. Dan ketika aku menulis, aku seolah telah mewarisi darah penulis yang telah diwariskan Bapaku pada Kakaku, dan kini padaku!
Pada akhirnya aku bersyukur, karena mimpi kecilku itu terwujud. Pelan-pelan, kukumpulkan buku dari uang jajan kiriman orang tua dan hasil ‘pinjaman tanpa kembali’ perpustakaan kampusku. Sehingga saat aku mengerjakan skripsi, tak harus ke perpustakaan kampus atau daerah, dan tak perlu meminjam buku dari teman. Di kamar kostku Patal-Cipadung, semula tersimpan 847 judul buku, ratusan koleksi majalah, bulletin dan artikel. Sayang, telatnya kiriman uang dari orang tua, menyebabkan kostanku disegel oleh pemiliknya karena aku menunggak 6 bulan untuk bayar kostan.
Setelah dilunasi, aku masih bisa bersyukur, meski sebagian buku itu raib entah kemana, termasuk 4 koleksi diaryku yang berisi catatan harianku dari tahun 1995 sampai 2005 (10 tahun), kini nyaris ada 500 buku mendiami kamar-baca di rumahku. Buku-buku yang tak pernah membuatku kesepian, tak pernah membuatku merasa kehilangan teman. Dan buku-buku itulah yang akan kuwariskan pada anakku kelak, untuk menuliskan diary kehidupannya yang baru. Semoga…
--------------
Cijagra, 19 Maret 2011. Pukul 21.02 WIB
(Ditulis berbarengan dengan saat ulang tahun istriku, tapi aku tak bisa pulang untuk menemaninya).
Sabtu, 12 Maret 2011
Semar & Supersemar: Serba Samar!
Lebih dari sekadar kebetulan jika Semar dan Supersemar tetap terselubungi kabut kesamaran. Lebih pula dari sebatas kelatahan bila keduanya sama-sama dihadirkan sebagai "penanda mengambang" yang menjadi legitimasi rezim -entah politik, entah kebudayaan- sekaligus landasan utama untuk pengambilan langkah besar. Pertanda pula bahwa banyak langkah penting yang hanya didasarkan pada hal-hal yang tak benar-benar terang. Kesamaran memang patut dijadikan sebagai benang merah untuk menjalin keduanya dalam satu medan makna.
Semar, sebagaimana dipahami dalam tradisi pewayangan, merupakan sosok yang tak mudah diidentifikasi. Semar berasal dari kata samar. Memang sesungguhnya wujud Semar samar. Jika dikatakan laki-laki, dia mirip perempuan. Jika disebut perempuan, wajahnya laki-laki. Karena itu, banyak yang keliru menyebutnya. Jika ada yang merinci badannya, orang akan melihat hidungnya runcing memikat hati, matanya basah nan mempesona, dan lain-lain yang serba menarik. Begitulah para dalang biasa mencandra sosok Semar.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan, walaupun Semar kelihatan sebagai rakyat biasa, semua penonton tahu bahwa ia sebenarnya seorang dewa yang tak terkalahkan. Jika Semar marah, dewa-dewa bergetar, dan apa yang ia kehendaki akan terjadi.
Di luar ungkapan dan pemahaman semacam itu, masih banyak lagi teks dalam tradisi pewayangan, baik berupa lisan maupun tertulis, yang bisa dijadikan sebagai rujukan betapa sosok Semar penuh kabut misteri. Namun dalam kekabutan itulah, Semar semakin eksis dan nyaris tak tergantikan.
Keberadaan Supersemar agaknya juga memiliki kemiripan dalam berbagai hal. Hingga sekarang keberadaannya masih menjadi bahan perdebatan yang tak berujung. Perdebatan itu mengemuka, paling tidak hingga sekarang, karena bukti autentiknya tak tertemukan. Karena itulah, kesamaran Supersemar lantas merentang dari realitas faktual sampai realitas fiksional, begitu sebaliknya.
Terlepas dari benar tidaknya keterlibatan Soeharto dalam kudeta pertama yang gagal (G-30-S), peristiwa Supersemar dapat dipandang sebagai proses kudeta kedua secara perlahan-lahan. Dari perspektif kritik sumber, semua naskah yang ada sekarang ini bukanlah naskah asli, melainkan naskah tiruan. Persoalannya, untuk kepentingan apa bentuk Supersemar itu dipalsukan?
Adapun dalam interpretasi kultural, Supersemar tak bisa dipisahkan dari Semar. Soeharto adalah pengagum Semar, tokoh Punakawan atau rakyat jelata yang menjadi 'pamomong' bagi ksatria Pandawa. Dalam konteks ini, kata Super Semar kemungkinan berasal dari Soeharto. Persoalannya, istilah Supersemar dibuat setelah surat perintah diberikan, atau dirancang sebelumnya?
Jika hal pertama yang terjadi, maka Surat Perintah yang bertanggal 11 Maret hanyalah sebuah naskah yang kebetulan bisa disingkat menjadi Supersemar, Semar yang super atau luar biasa. Namun jika nama itu telah dirancang sebelumnya, bisa dipastikan bahwa Soeharto telah merencanakan semua itu. Jika itu kudeta, Soeharto berusaha melakukannya secara perlahan-lahan. Sebagai orang Jawa, ia tidak menginginkan ada kesan ‘gurung-gusuh’ (tergesa-gesa.
Kesamaran surat perintah 11 Maret berimplikasi secara luas terhadap konstelasi politik di Indonesia. Hal itu tentunya paralel dengan tradisi suksesi di Jawa yang hampir selalu melahirkan sosok Lembu Peteng. Kemunculan Lembu Peteng, seperti banyak disebut dalam babad, merupakan starategi yang lazim untuk menjustifikasi seseorang dari luar lingkaran kekuasaan untuk memegang tampuk kekuasaan.
Pola kesamaran macam itu malahan berlaku secara universal. Skandal Dreyfus di Prancis pada abad ke-18, dan Hitler di Jerman terutama saat peristiwa pembakaran der Reichstag pada awal era Nazi, merupakan contohnya. Kedua peristiwa itu merupakan skenario imajiner untuk menuju jenjang kekuasaan yang riil.
Apa lagi bila dianalisa lebih dalam dengan menggunakan paradigma formulasi wacana sebagai political discourse. Penamaan Supersemar adalah kesengajaan melalui proses seleksi dan kesadaran, bukan kebetulan ataupun kelatahan belaka. Supersemar merupakan hasil dari sesuatu yang telah direkayasa sebagai konstruksi imaji. Supersemar sebagai sebuah teks telah mengalami proses penamaan (naming) yang memiliki efek retroaktif. Ketika karakteristik objek yang dinamai berubah, designator-nya tetap tidak berubah. Di sini ada proses mistifikasi, dari imajiner menjadi riil.
Berkaitan dengan penamaan, hal ini ditengarai adanya perubahan term dari gerakan ke peristiwa, kemudian menjadi institusi. Mula-mula disebut gerakan 30S, kemudian menjadi peristiwa 30 September, dan berubahlah menjadi Gestapu –sebuah institusi yang memiliki homonimitas dengan Gestapo. Begitu pula Surat Perintah 11 Maret yang diakronimkan menjadi Supersemar, sebagai efek retroaktif dalam naming, menyebabkan teks lenyap, sehingga designator (super dan semar) menjadi rigid dan tetap.
Sampai di sini, agaknya makin terang betapa dalam kesamaran itu, realitas faktual dan realitas fiksional bisa saling tumpang tindih, bisa pula saling menenggelamkan. Dan, bila paradigma formulasi wacana sebagai political discourse yang jadi acuan, maka kesamaran demi kesamaranlah yang bakal banyak tersaji. Toh, sebagaimana kata Benedict Anderson, keseluruhan politik Indonesia terdiri atas proses gaib yang diturunkan dari jagat Jawa. Wallohu’alam!
Cijagra, 12 Maret 2011.
Selasa, 08 Maret 2011
KAMPUS BUKAN KERAJAAN
Kampus bukanlah kerajaan
dan rektor bukanlah raja
dan mahasiswa bukanlah kawula
dan kampus bukanlah milik sang rektor
seperti raja yang memiliki kerajaan seisinya
bisa buat bertaruh ambisi angkara-murka
Jika kampus seperti kerajaan
rektor boleh bicara sendiri
dari pagi sampai sore hari
rektor boleh bikin tetek-bengek aturan
untuk dilanggarnya sendiri
rektor boleh nganggkut buku perpustakaan
untuk dipajang di rumah
juka ada tamu setidaknya ia boleh berbangga
agar dikira intelektual sejati
rektor bisa bikin keputusan 10%
untuk tiap tender dan proyek kampus
Kampus bukanlah kerajaan
dan rektor bukanlah raja
dan mahasiswa bukanlah kawula
Jika kampus kerajaan
birokrat kampus boleh semau-gue
birokrat kampus menghimpun kroni-kroni
dan rektor adalah sang raja
yang memusatkan seluruh kekuasaan
di bawah duli tangannya
Jika kampus kerajaan
maka tak ada diskusi
tidak ada daya kritis,
tidak ada kreativitas
dan suara-suara kebenaran dituding provokasi
Jika kampus kerajaan
maka bila sang rektor udzur
para putra mahkota kian kasak-kusuk
penuh intrik, mencari posisi
Jika kampus kerajaan
maka akan penuh kemenyan dan dupa
Kampus bukanlah kerajaan
dan rektor bukanlah raja
dan mahasiswa bukanlah kawula
kampus bukanlah kerajaan
Kampus adalah rumah kami
Kampus adalah kawah candradimuka kami
Kampus adalah sumbang rasa kami
Kampus adalah pikiran jernih kami
Kampus adalah suara hati nurani
Kampus adalah air kaldera
yang mengobati dahaga rakyat
Jika kampus adalah kerajaan
Masa depan anak bangsa menjadi mampat!
----
Sajak Abdul Wachid B.S.
Diambil dari majalah OBSESI majalah mahasiswa purwokerto
dan rektor bukanlah raja
dan mahasiswa bukanlah kawula
dan kampus bukanlah milik sang rektor
seperti raja yang memiliki kerajaan seisinya
bisa buat bertaruh ambisi angkara-murka
Jika kampus seperti kerajaan
rektor boleh bicara sendiri
dari pagi sampai sore hari
rektor boleh bikin tetek-bengek aturan
untuk dilanggarnya sendiri
rektor boleh nganggkut buku perpustakaan
untuk dipajang di rumah
juka ada tamu setidaknya ia boleh berbangga
agar dikira intelektual sejati
rektor bisa bikin keputusan 10%
untuk tiap tender dan proyek kampus
Kampus bukanlah kerajaan
dan rektor bukanlah raja
dan mahasiswa bukanlah kawula
Jika kampus kerajaan
birokrat kampus boleh semau-gue
birokrat kampus menghimpun kroni-kroni
dan rektor adalah sang raja
yang memusatkan seluruh kekuasaan
di bawah duli tangannya
Jika kampus kerajaan
maka tak ada diskusi
tidak ada daya kritis,
tidak ada kreativitas
dan suara-suara kebenaran dituding provokasi
Jika kampus kerajaan
maka bila sang rektor udzur
para putra mahkota kian kasak-kusuk
penuh intrik, mencari posisi
Jika kampus kerajaan
maka akan penuh kemenyan dan dupa
Kampus bukanlah kerajaan
dan rektor bukanlah raja
dan mahasiswa bukanlah kawula
kampus bukanlah kerajaan
Kampus adalah rumah kami
Kampus adalah kawah candradimuka kami
Kampus adalah sumbang rasa kami
Kampus adalah pikiran jernih kami
Kampus adalah suara hati nurani
Kampus adalah air kaldera
yang mengobati dahaga rakyat
Jika kampus adalah kerajaan
Masa depan anak bangsa menjadi mampat!
----
Sajak Abdul Wachid B.S.
Diambil dari majalah OBSESI majalah mahasiswa purwokerto
Langganan:
Postingan (Atom)