<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Kamis, 27 Mei 2010

komposisi kau dan aku


kubiarkan cahaya bintang memilikimu
kubiarkan angin yang pucat
dan tak habis-habisnya gelisah
tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu
entah kapan kau bisa kutangkap


[nokturno - sapardi djoko damono]

[1]

malam yang berbeda. kutulis sabda hati ini dari air mata dan kata. adalah sajak tentang kita yang tertambat di dinding sejarah. kita adalah kisah yang tidak akan bisa terhapuskan. kita adalah “tinta tuhan” yang tumpah sebelum saatnya, yang tidak tercucikan walau dengan air raksa. karena kita sebelumnya telah melahirkannya dengan kasih cinta. tapi, entah seberapa tajam geletar itu. seberapa runcing jejak yang melepuh di kesunyian hati. seberapa lama kisah ini kan abadi. sebab sebelum pagi, kita tak mampu menggenggam mimpi. kicau burung begitu cepat menjamah nyenyak kita di perapian kasih.

[2]

kukenang percakapan kita. di riuh-rendah ruang maya, sms panjang, jauh tengah malam. ada yang tiba-tiba tanggal, ingatanku tentang peta yang kita pegang. tentang komitment yang kita bentuk di awal kisah. maklum, kau datang ke pikiranku lewat puisi dan catatan yang indah.

“dinda, ku ingin dengar suara mesramu yang kau dendangkan sebagai pengantar tidurku!”

kau pun diam. entah seribu benak apa yang kau bayangkan atas pintaku. inilah percakapan yang menjadi awal air mata. dimana seluruh tubuhku menjadi lebur tak berdaya. dimana semua harapan menjadi hampa. terkadang kata berubah “pisau”. terkadang berubah rintih yang meringkih di kesunyian malam. namun aku tetap tidak bisa melupakannya. bahkan luka, perih dan nyeri menjadi satu amuk yang semakin menyemangat hendakku untuk tetap memujanya. mungkin karena perempuan itu -adikku, saudaraku, dan juga sahabatku - memang sempurna bagiku.

“jangan, ka...”. pada akhirnya kau pun bicara. cuma itu. satu kata yang tanpa dinyana telah menggetarkan ruang kalbuku.

“kenapa? apa karena kita bertemu di separuh jalan?”

“bukan. bukan karena itu, ka. dinda bingung karena tak tahu harus mengatakan apa. soalnya dinda terkadang berdebar kalau lagi bicara sama kaka. apalagi masalah serius seperti saat ini. sementara dalam hati, dinda tetap yakin bahwa dinda cuma sayang pada kaka sebagai kaka semata. tapi dinda juga tak mau kehilangan kaka. dinda sedih dan merasa kehilangan saat kaka tiada”


kau pun kembali diam. ada getar perih yang kurasa pada ucapmu itu, dindaku. namun ku coba tegarkan hati untuk terus mendampingimu. disela waktu kau jelang pamit ke peraduan. pada akhirnya kutemani kau melangkah, menembus mimpi-mimpi dalam tawa dan tangis, berharap ujung jalan ini tak ada. kita mencoba tak mengingatnya ada. tapi, sungguhkah pikiran bisa dibersihkan dari kenyataan? dan mata dari kepedihan? barangkali memang hidup harus dijalani. “…dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya”.

sementara diluar, kota bandung dirundung hujan. lagu “hujan bulan juni” –kenapa tidak gerimis saja– memberi aksentuasi nyeri pada ujung waktu di bulan mei ini, dengan “dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu“. akankah jejakku terhapuskan juga dari halaman hatimu, dindaku?

[3]

aku tak tahu selanjutnya harus mulai lagi dari serak atau luka yang mana. apalagi ini bukan hanya sekedar mimpi lagi. bukan tentang canda yang harus kita bumbui dengan tawa dan air mata. bukan tentang sajak yang lahir dari bercak cinta. bukan tentang tangisku dan dirimu. bukan pula tentang mata yang lain. tapi, ini bukan hanya tapi! bukan hanya...!

setidaknya, aku dan dirimu
memang tak punyasemacam alasan
untuk tanggalkan senyum!
mari bersama membuang murung!
mari melata menata desah
dalam amuk cinta!


dinda, kuyakin nasib kita berjalan dalam komposisi "broery - dewi yull". bukankah pernah kukatakan padamu tentang "rinduku terlarang? kau pun tersenyum waktu itu. kini ku tahu, memapasmu di separuh jalan, adalah menikmati kebersaatan yang menjadi abadi. ahh, jadi ingin kuberikan lagi pada telingamu lagu ini:

“sekian lama sudah kita telah berpisah/
kurasa kini engkau tak sendiri lagi/
akupun kini juga seperti dirimu/
satu hati telah mengisi hidupku//
tak perlu engkau tahu rasa rindu ini/
dan lagi mungkin kini kau telah bahagia/
namun andai kau dengar syair lagu ini/
jujur saja aku sangat merindukanmu//
memang tak pantas mengkhayal tentang dirimu/
sebab kau tak lagi seperti yang dulu/
kendati berat rasa rinduku padamu/
biarkan kuhadang rinduku terlarang//
biar kusimpan saja/
biar kupendam sudah/
terlarang sudah rinduku padamu“.


ahh, itulah kisah kita, dinda. cintaku terindah, cintaku yang terlarang. tapi entahlah kalau menurut dinda, karena seberapa dahsyat bait kata ini menyentuhmu. aku tak tahu!

[4]

kalau saja bintang-bintang menyapa luka-luka yang terus merintih di dinding-dinding cinta, cita, pikiran dan rasa. jika langit hujan huruf-huruf yang tak usah kita eja lagi. di sini ada setumpuk do’a yang terus bergelayut mencari makna. menjadi kidung-kidung cinta yang terus menafsir semesta. adalah pertanyaan, tanyaku. “dinda, adakah "lima huruf" tanda cinta dalam hatimu?”

“ntahlah ka... dinda tak mau terjebak dan terjerembab dalam romantika ini. tapi mungkin juga iya, karena dinda pikir tidak ada persahabatan yang abadi antara laki-laki dan perempuan. tidak akan pernah ada, ka...! jadi tetap saja yang namanya ketertarikan antara lelaki dan perempuan itu pasti ada, termasuk kisah kita”.

dinda, kita sama-sama tahu, bahwa di balik selokan kerling yang kita suakan, ada luka sejarah yang menganga, membaluri perjalanan kita. begitu serut, getir dalam bayang, dan aku tak jua kunjung bisa membalutnya. bagiku keyakinan, dan bagimu ketabahan. aku sayang padamu di ‘teras nurani’ yang terbening. dinda, aku akan mencari "lima huruf" itu, dalam sesaat. setiap pagi, siang, senja dan malam, seperti yang telah kita lakukan selama ini. jadi, tolong buang saja ragumu itu…

“ka... dinda rasa ini salah. makanya dinda tak mau menikmatinya. tapi tak mau juga kehilangan. ntahlah, ka. dinda tak mau men’tuhan’kan cinta. bukankah kaka pernah berdendang akan hal itu?”

aku tergagap. mencoba menyelusuri bait perbait puisi “bilaku jatuh hati” yang pernah kulantunkan diujung waktu.

“allahu rabbi aku minta izin,
bila aku jatuh cinta pada seorang hambamu
jangan biarkan cinta untuk-mu berkurang
hingga membuat lalai akan adanya engkau

allahu rabbi..
izinkan bila sekarang aku jatuh hati
pilihkan untukku seseorang yang
hatinya penuh dengan kasih-mu
dan membuatku semakin mengangumi-mu

allahu rabbi…
seandainya kutetap jatuh hati juga
jangan pernah kau palingkan wajah-mu dariku
anugrahkan aku cinta-mu
cinta yang tak pernah pupus oleh waktu
cinta yang tak mengenal ras dan suku
cinta yang akan menambah kekagumanku
hanya pada-mu.


kucoba memaknai ulang desahan nafas dari puisi itu. cukup lama. adalah puisi. adalah sajak untukmu. adalah cintaku. adalah kemuakanku. adalah kecemburuanku yang terus mengajari aku tentang air mata, luka, dan ringkih jiwa yang tak tertautkan. terserah bagaimana kau menilai.

“tapi ka, dinda tidak pernah menyesal telah mencintai kaka. dinda sayang sama kaka. bahkan sutu hari kelak... jika tuhan mengizinkan, dinda berharap bisa bertemu dengan kaka. tanpa berharap apapun dan tanpa menuntut apapun. karena yang terbaik adalah cinta sejati kita”.

lalu kau terdiam dan diam. suasana malam jadi sunyi dan mencekam. sesekali aku hisap rokok dan meneguk kopi yang masih hangat. "dinda, sebenarnya aku merasa sakit saat kau lontarkan kata-kata itu. karena aku juga memiliki dan menyimpan kisah dan harapan yang sama. walau tidak seutuhnya sama. hanya aku belum berani menceritakan harapanku itu pada siapapun. kecuali kepada diriku sendiri".

dan aku hanya bergumam sendiri dalam diri. "dinda, kita memiliki harapan yang sama. tak usah menyesal dan meratapi, kita tidak berhak untuk itu. bolehlah kita tersesat dalam pengembaraan ini, itu lebih baik, daripada kita tersesat tanpa sebuah pengembaraan. muara luka kita ini, yakinlah, suatu saat akan menjadi taman bermain yang indah. dan seharusnya kita belajar tersenyum. yakinlah bahwa kuasa tuhan kan mempertemukan kita”.

kau pun membisu dengan penuh ragu. “maafkan dinda, ka. dinda tak bermaksud menggurui kaka... adikmu pamit dengan membawa rasa sayangnya untuk kaka, dan mungkin cintanya”.

dinda, kau mungkin tak akan kudapat. ya, tak akan kudapat. aku hanya mengantarmu, sampai ke ujung waktu itu. tapi, aku akan terus ‘merebut’ hatimu, meski “entah kapan kau bisa kutangkap“. yang penting, aku telah melakukannya, dan itu bukan sesuatu yang sia-sia. karena aku tahu, “…cinta kita mabuk berjalan, di antara jerit bunga-bunga rekah“.

“dinda bahagia bisa mengenal kaka. merasakan keindahan itu. walaupun pada akhirnya harus kusimpan rapat-rapat rasa itu. biarlah kita saling memendam, kita tak berhak meluapkannya, karena “memang tak pantas mengkhayal tentang dirimu/ sebab kau tak lagi seperti yang dulu/ kendati berat rasa rinduku padamu/ biarkan kuhadang rinduku terlarang// biar kusimpan saja/ biar kupendam sudah/ terlarang sudah rinduku padamu”

[5]

“ka... kadang terbersit sekilas angan. kita bertemu tanpa sengaja dan... ahh... aku tak sanggup meneruskanya, ka! tak pantas dinda mengucapkannya. mengangankan sesuatu yang bukan haknya. walaupun hanya sekedar khayalan. tak ada nafsu disini, yang ada hanya kasih sayang, belai mesra yang dibalut oleh suasana yang romantis semata. pada akhirnya imajinasi dinda pun melayang...”

dinda, kaulah perempuan yang menjelma “bunga” di pagi hari, atau terkadang menjelma daun kering yang baru jatuh dari tangkai. dan mengeja ucapmu ini, aku merasa sedikit gila. barangkali memang sudah gila. entah... apakah hidup hanya sebatas harapan, kenangan dan permainan imajiner? akhir-akhir ini aku menjadi pemujamu. mem”berhala”kanmu siang dan malam. bahkan dalam tidur pun terimpikan. barangkali aku mencintaimu. tapi entah. karena aku sampai sekarang tidak mengetahui kenapa aku samapai memberhalakanmu dalam hidupku. yang pasti, ada segetar dalam jiwaku yang terus mendorongku untuk itu. sehingga aku tidak lagi peduli dengan rasionalitas. yang ada hanya bagaimana aku mengutuhkan diri!

dinda, setiap saat kau datang dan merasuk ke dalam benakku. menghiburku, merayuku, mengejekku, memarahiku, memanjaku, menciumiku, memelukku dan bahkan “menyetubuhi”ku. aku tidak bisa lagi menghindarinya, seperti burung yang terperangkap ke dalam sangkar. seakan kata-katamu itu serupa “sabda suci” yang harus dipatuhi. dan kaulah yang mengubahku menjadi seorang seniman, yang pandai melukis di dinding-dinding jalanan, yang pintar menyulam kata menjadi seuntai puisi, yang lihai membaca puisi dengan indah, dan yang mampu tersenyum dalam setiap tetesan air mata. ahhh....

[6]

“ka... dinda akan pergi. pergi dengan membawa cinta dan sayang ini di hati. biarkanlah rasa ini menjadi kenangan indah yang abadi. untuk kita, ka. semoga kita mendapatkan kembali kebahagiaan kita. namun sebelum langkah ini kian menjauh, ingin rasanya dinda mengulang kembali kata yang dulu sempat terlontar pada kaka;
“mungkin sayangku tak sebesar sayangnya, mungkin cintaku tak sebesar cintanya, mungkin rinduku tak segelora rindunya, tapi aku merasa bahagia ada yang memberikan rasa cinta yang begitu besar. lebih baik dicintai daripada mencintai”.


dinda… rasanya aku menjadi manusia terbodoh saat menilasi semua ungkap kepergianmu itu. aku insyaf, kau telah meng”hipnotis”ku. dalam ketaksadaran atas pesonamu itulah aku berani mendekatkan garis takdirku, menjajarimu. kumimpikan, suatu waktu, garis itu akan menyilang, bersinggungan, nasib kita bertemu. nyatanya, kamu bergerak lebih lekas, terlepas. jadi, jika memang kau harus pergi, pergilah…. karena aku tak akan mampu menahanmu. percuma, jangan paksa aku melupakanmu. karena dengan mengingatmulah aku merasa, ada satu fase dalam hidupku yang demikian bermutu. pergi, pergilah, debaran hatiku... maafkan, jika aku akan tetap menjeritkanmu. "karena kalau kau debar jantungku, bagaimana mungkin aku bisa terus hidup tanpamu".

kau cium tanganku dengan tak'zim. aku pun mengecup kening dan kelopak matamu. tanda kasih abadi yang tak luntur terhempas zaman. kau pun hanya tersenyum simpul dan menunduk. debar jantungku, telah kuikhlaskan engkau pergi. pergilah… tapi, sebelum langkahmu menjauh, tolong maafkan kesalahanku.

“iya ka! pada akhirnya kusadari... kita harus kembali ke dunia nyata, cinta suci kita, keluarga kita. aku tak mau ini terus berlanjut. akhiri sudah kisah ini. dinda hanya ingin bertemu kaka. dan kaka menyayangi dinda sebagai adik semata. itu aja!”

dinda, akan hal itu maafkan aku juga. aku yang sering menghubungimu tiba-tiba, hanya untuk mengatakan, “aku kangen kamu, kangen kamu…” percayalah, sebelum mengatakan itu, telah habis tenagaku untuk menahan gempurannya. tapi aku kalah. jadilah, di saat-saat yang barangkali tidak kamu sangka, aku mengucapkannya. kini kusadari, betapa hal itu pasti membuatmu jengah, malu pada sekitarmu. sehingga, selalu kamu berbisik, “aku tahu, ka. aku tahu…” ucapan yang pasti membuat semua gemuruh di dadaku punah. gempa yang kehilangan tenaga.

[7]

“ka, seandainya kita dipertemukan lebih awal, mungkin kita memang diberi jalan untuk dipersatukan. ya, andai saja kita masih sendiri, rasa cinta ini mungkin kan terbalaskan dan tersatukan dalam jalinan kasih sayang. dalam ikatan mahligai pernikahan”.

hmmm... itu pula yang aku dambakan darimu, dinda. membangun bahtera pernikahan. menjadikan pernikahan kita sebagai titian untuk belajar sabar dalam meniti ridho-Nya. dan bilamana akhirnya kita berdua bertemu, niscaya aku kan berucap “betapa maha besarnya Engkau, ya Alloh, karena telah memberikan kepadaku pasangan yang dapat membuat hidupku menjadi sempurna. aku mengetahui bahwa Engkau ingin kami bertemu pada waktu yang tepat. dan Engkau akan membuat segalanya indah pada waktu yang telah engkau tentukan".

namun dinda, itu hanya sebatas khayalan. karena pada akhirnya aku pun menyadari bahwa kita harus kembali ke dunia nyata, dunia yang menjadi pijakan langkah kita. aku sadar kalau semua itu hanyalah mimpi sesaat, mimpi di siang bolong, yang tersapu awan dan tertiup angin dengan cepat. kesadaran itu muncul atas pijakan bahwa “bunga mawar tak mungkin mekar dalam semalam, namun bisa layu dalam sedetik. kota baghdad tak dibangun dalam sehari, namun bisa hancur dalam sekejap. perkawinan tak dirajut dalam pertimbangan sesaat, namun bisa saja terberai dalam sesaat. pernikahan, bukanlah akhir dari sebuah perjalanan, tapi awal dari sebuah langkah".

dindaku, pada akhirnya aku hanya bisa memandangi punggungmu yang berjalan kian menjauhiku. sampai kau menghilang dalam jangkauan mataku yang terbatas. aku hanya bisa menitikan air mata, dengan kepiluan. sakit yang merayap rembesan darahku, terasa sesak dan tercekat. hati seakan ingin berontak dan teriak, “jangan pergiii...”

dindaku, aku kan senantiasa berdo’a untukmu, semoga cita dan harapan yang selama ini diidamkan kan terkabul. termasuk pertemuan “nyata” kita. dengan penuh haru nan syahdu, kugagap melepas kepergianmu. tanpa air mata kulepas semuanya. tanpa mendesah ku berusaha tegar dibuatnya, namun kau pun tahu, apa yg ada dalam hatiku. perih rasanya mengurai pilu. lapat-lapat kudengar kau berucap;

“ka, simpanlah rapat-rapat rasa cinta kita...”

[8]

kulupakan hari-hari yang lewat
agar aku dapat hidup kembali di hari ini
kubuang puing waktu ke kuburannya yang paling rahasia
barangkali serahasia mimpi
yang ada kemudian hanyalah kesamaran
semakin samar
dan… hilang.


tapi dia tidak sepenuhnya hilang. gerimis yang tiba-tiba merintih pagi ini, yang lahir dari rahim kemarau, datang seperti sapa, memintaku untuk selalu mengingatnya. kepedihan, entah kenapa, selalu punya jalan untuk tetap bertandang.

“ka, aku senang kok sempat jadi hujanmu. makasih juga telah dibuatkan tulisan ini.”

ahhh, dinda... aku hanya bisa menulis, tak bisa berpuisi seperti pinta terakhirmu. dengan itulah aku mengobati semuanya. membuat yang “sempat” bisa jadi abadi, yang sementara dapat bertahan masa. siapa tahu, tulisanku dapat membuat hujan mau tercurah selamanya.

“hujan akan selalu ada, ka. meski bukan dinda lagi. bukan dinda lagi… tapi kaka bisa ikhlas kan?”

bukan bisa. tapi harus. hanya dengan ikhlas aku bisa menerima apa pun yang terjadi sebagai jalan yang mesti dilalui. menyadari diri hanya lintasan-lintasan dari apa pun. jika yang memintas itu mau berlabuh, menetap, atau hanya lewat, semua sudah ada garisnya. semua harus berjalan…

setiap sahabat adalah rahmat. setiap rahmat adalah harap, dan setiap harap pasti berjawab, kan? dan harapan itu adalah cintaku, tidak bicara tentang keabadian, tapi kebersaatan, keterkejutan, nikmat kejap, syukur dalam keterbatasan. mensyukuri dengan meyakini, memang kebersaatan itulah yang menjadi hakku. singgahmu yang sebentar itulah milikku. aku tak boleh berharap lebih. aku harus mampu berterimakasih dengan meski….

[9]

alam memang contoh terbaik dari keajaiban. jika hujan bisa lahir dari rahim kemarau, tawa pun pasti bisa terbit dari fajar air mata. pelan-pelan, aku patrikan hal itu di benakku. aku ikhlaskan dia pergi, tanpa sesal, tanpa pedih. aku kenang semuanya dengan tawa, ucap syukur, dan rasa lega, seperti keleluasaan rasa yang hinggap saat pertama kali ku sapa dirinya di alam maya.

berjalanlah, kasihku, dindaku. aku tak memberatimu lagi. karena seperti katamu, engkau tetap akan pergi, kini atau nanti. bergeraklah, raihlah kegembiraanmu. yakinlah, dari tiap sujud sempurnaku, akan tetap lahir doa-doa terbaik tempaan ribuan tahun, yang memanteraimu, menjagamu, agar tetap bahagia, seperti saat sebelum engkau denganku berjumpa....

* * * *

bandung, 27 mei 2010, pukul 5.29 wib
kupersembahkan hanya untukmu...

Tidak ada komentar: