<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Selasa, 23 Februari 2010

Laksana Titik....


Di sini, kita mulai menyusun bahasa tanpa kata. Belajar mengunyah tanda dari peristiwa yang historis pun yang ahistoris. Anggaplah, perahu yang kita buat jauh dari lautan yang harus memanggil gelombang. Ada getar ombak yang sudah siap menggiring anak-anak kita pada halaman tak beratap. Mencari matahari di saat malam. Menatap bulan ketika siang datang.
Tuan, ketakutamu tidak beralasan. Aku kira tidak ada yang aneh. Sama sekali tidak ada yang aneh. Tuan tidak perlu belajar apa makna sakit, derita dan luka kalau hanya ingin mengetahui rasa sakit, derita dan luka. Begitu juga, tidak perlu belajar apa itu bahagia, senang dan gembira kalau hanya ingin mengetahui rasa bahagia, senang dan gembira. Hal itu hanya membuat tuan semakin sombong dan tidak akan menemukan apa-apa.
Percaya. Aku selalu meng-iyakan tentang peliknya hidup yang tidak mudah dimengerti. Tidurku tidak pernah nyenyak. Memikirkan sesuatu yang seharusnya tak perlu dipikirkan kembali. Aku merasa sendirian walau pun di sekitar banyak menghiburku, tetap saja aku tidak merasa terhibur. Ini aku lakukan hanya untuk tanganku, mataku, dan telingaku. Untuk seluruh rasaku dan hatiku.
Aku masih ingat betul ucapanmu, ucapan terakhir dari bibirmu yang terlihat anggun dan mempesona. “Hidup adalah kata yang selalu akan menjadi kata-kata”. Lalu aku, kalau begitu aku adalah bagian dari sekian banyak huruf Tuhan. Benarkah? Aku hanya kurang yakin dimanapun gagak berada tetaplah hitam. Padahal di sisi lainku aku masih memikirkan gagak yang putih…

Tidak ada komentar: