<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Selasa, 23 Februari 2010

Lahirnya Air Mata & Luka


Sungguh lembut hatimu! Benarkah kita bercermin di atas air yang jernih, atau keruhkah jiwa yang berlumur kasih tanpa ketulusan? Ketika malam tiba jiwaku bertanya, benarkah purnama yang dulu menyiramkan cahayanya pudar begitu saja. Atau, kekasih… rindu telah membutakan segala-galanya. Kebencian lebur jadi abu. Gelap pun tak terasa gelap. Hanya dengan rasa kasih yang terus membuncah dari lubuk hati. Sekali lagi, hanya dengan rasa kasih!
“Apa perlunya orang saling mencinta kalau akibatnya hanya mendatangkan rindu dan kecewa?"
Kalau kita bermain air tentu akan basah walau hanya setelapak tangan. Kalau kita bermain api tentu juga akan terasa panasnya walau hanya sekedar rasa panas. Akan tetapi, semua dan segalanya luluh oleh setetes rasa kasih. Biarlah airmata ini aku teguk sendiri. Biarkan saja kau pergi mengejar mataharimu! Biarkan terangmu menyinari lukaku. Semua, mungkin, nanti bisa menjadi apologiku di hadapan Tuhan.
Kekasih…. kenyataannya aku memang berdebu. Dimana engkau merasa jijik dan muak. Dimana layaknya sampah busuk yang harus kau buang jauh-jauh!
Kesadaran apa yang menyimpan makna yang sebenarnya? Jiwa tak lepas dari mata yang lain. Hati tak hanya sekedar menyepi. Kerinduan terus memaksaku bernyanyi dan bernyanyi. Mengkidung asmara yang pernah kita sulam bersama walau tak sampai nanti. Barangkali aku memang tak mampu membabat rimbun berduri untuk jalan setapak menuju apa yang engkau inginkan, hingga kau memilih jalan yang lain. Konon, setitik airmata lebih berharga daripada cucuran airmata.
Kutulis sabda hati dari airmata dan kata. Adalah sajak tentang kita yang tertambat di dinding sejarah. Kita adalah kisah yang tidak akan bisa terhapuskan. Kita adalah “tinta Tuhan” yang tumpah sebelum saatnya, yang tidak tercucikan walau dengan air raksa. Karena kita sebelumnya telah melahirkannya dengan kasih cinta. Tapi, entah seberapa tajam geletar itu. Seberapa runcing jejak yang melepuh di kesunyian hati. Sebab sebelum pagi kita tak mampu menggenggam mimpi. Kicau burung begitu cepat menjamah nyenyak kita di perapian kasih.
Kekasih…. kau seperti burung pipit manis hinggap di atas pohon yang rapuh. Ketika ada ranting yang patah kau terkejut dan terbang mencari pohon yang lain, yang kau anggap pohon itu lebih baik dari pohon sebelumnya. Entah sampai kapan. Dan kau tak pernah peduli bahwa tapakmu membuat setitik airmata menetes serta luka terus meringkih di sepanjang usia.
“Tafakkur ‘alaih”. Keruh! Kau akhiri ‘sebilah sabda’ dari rintih airmata yang tak berkesudahan. Tentang kisah jiwa yang terus bergelayut mencari makna. Tentang rasa yang tak terarah. Tentang ‘mata’ yang tak terlepas dari rasuknya jeritan hati di pelupuk tanya. Dulu, di bawah bulan purnama kita pernah menyulam lagu yang sama. Dan paginya, saat fajar mencumbu bunga dan embun berpelangi, kita memainkan musik kesahduan bersama. Lalu kita, aku dan kamu, meretak seperti tanah tandus yang merindukan hujan. Entah siapa yang memulai. Ternyata kedamaian jiwa datang jika tak ada penghianatan terhadap ‘ibu’. Ibu telah membesarkanku dengan segala keringatnya. Ibu adalah masa laluku, sejarahku. Hari kemarin merupakan air susu yang mampu menyegarkan hidupku saat ini, dan menyemangat jiwaku untuk hari esok; ‘kematian’!
Tak ada yang bisa menyembuhkan kecuali aku, bukan lagi diriku. Tak ada yang mampu hentikan teriak rinduku. Tak ada lagi...
Banyak isi benak. Sebanyak kehendak. Namun takkan mungkin menuangkan semua dalam satu amuk desah saja. Karenanya, yang kubentang di hadapanmu ini, hanyalah kesaksian bisuku atas prilaku waktu dan jumud rindu yang terus mengajak semua kita berubah. Saksi yang tak pernah bosan bicara dan selalu siap diajak bicara. Sampai kering rongga di kepala.
Ini bukan relaksasi semata. Bukan gumaman untuk mengundang tawa atau airmata. Pendek kata, Mungkin memang muakku bukanlah gagasan yang mesti disucikan. Lalu jika memang tega; Banting, injak-injak, ludahi, robek, bakar dan atau bahkan telan sajalah kalau kebetulan kau tak terima!
Aku [sedang] muak semuak-muaknya. Aku [ingin] muntah semuntah-muntahnya. Ihwal kepicikan ini yang meminjamiku nyali untuk belajar nekad memojokkan duduk sambil belajar menata asa dan cinta dalam sebentuk goresan. Tak perlu dipertanyakan sebab dan akibat muakku. Tapi yang pasti, muakku bukan karena tingkah laku dan drama pikirmu yang makin lihai serta pintar menyamarkan benih-benih nifak dalam pasungan senyum di bibir beku itu. Dan Demi Tuhan Pembuat Adam, apapun akibat muakku, biarlah kutanggung sendiri!
Abad-abad kubabat
Sekuntum laknat
Kenanglah kenang
Biar kau tenang!
Abad-abad kubabat
Seranum khianat
Kenanglah kenang
Kekasihku…. Biar kau tenang! Sadar atau terpaksa, aku ini dan kamu yang itu ternyata selalu ingin bilang ‘AKU’. Selalu punya cara untuk tetap menodai ayat-ayat hidup. Bukankah itu pasti norak lagi memuakkan? Hampir semua kita sembunyi dan menopengi wajah dengan bait-bait gelisah yang tidak berarti.
Aku tidak tahu selanjutnya harus mulai dari serak atau luka yang mana. Apalagi ini bukan hanya sekedar mimpi lagi. Bukan tentang canda yang harus kita bumbui dengan tawa dan airmata. Bukan tentang sajak yang lahir dari bercak cinta. Bukan tentang tangisku dan dirimu. Bukan pula tentang mata yang lain. Tapi, ini bukan hanya tapi! Bukan hanya...!
Setidaknya,Aku dan dirimu
memang tak punyasemacam alasan
untuk tanggalkan senyum!
Mari bersamamembuang murung!
Mari melata menata desah
dalam amuk cinta!

Tidak ada komentar: