<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Jumat, 01 Juli 2011

Pluralisme; Panggung Diskursus yang Tak Pernah Mati!

Enam tahun lalu, tepatnya hari Rabu (12/10/2005), saya hadir dalam acara Seminar Nasional “Tafsir Aktual Atas Pluralisme”, di Auditorium Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia. Seminar tersebut diselenggarakan oleh P3M Jakarta, tempat saya “nyantri” dan “nyari rejeki”. Sementara yang menjadi narasumber dalam seminar tersebut yaitu: Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, (Rohaniawan Katolik), KH. Masdar F. Mas’udi, (ketua PBNU), dan Goodwill Zubir, (sekretaris PP Muhammadiyah). Tulisan yang saya sajikan kali ini merupakan catatan pribadi saya hasil dari seminar tersebut, yang kemudian diracik dengan pendapat pribadi saya, terkait dengan fatwa haram MUI pada waktu itu.

Mengawali paparannya Romo Magnis, menjelaskan bahwa sebagai negara paling plural (majemuk) di dunia, Indonesia hanya bisa bersatu, kalau kemajemukan itu diakui. Segala usaha untuk menyamaratakan semua dengan satu pola budaya atau beragama, adalah sama dengan dominasi sebagian warga atas yang lainnya, dan pasti akan mengakibatkan kehancuran Indonesia. Menurutnya, persatuan di Indonesia sekarang ini diancam oleh satu kelompok yang keras dan eksklusif, yang mau memaksakan pandangan totaliter mereka kepada yang lain. Eksklusivisme mereka mengancam eksistensi Indonesia. Bangsa seplural Indonesia hanya bisa ditata secara inklusif. Indonesia masih bisa bersatu karena sampai sekarang semua eksklusifisme tegas-tegas ditolak!

Dalam pandangannya, agama selama ini selalu mengclaim akan membawa berkah dan keselamatan kepada seluruh manusia. Tetapi dalam kenyataannya sebagian sejarah, agama-agama monotheisme –Islam, Kristen dan Yahudi– ditulis dengan ‘darah’. Itu beda dengan agama misionaris besar keempat di dunia, Budhisme. Menurutnya, “Sejarah buruk jangan ditutup-tutupi, melainkan diingat untuk tidak diulangi lagi, atau lebih tepatnya, untuk membebaskan diri dari padanya”. Seharusnya agama dijadikan sebagai kekuatan yang ramah, mendukung kehidupan, mendamaikan, yang acuh tak acuh terhadap ketidakadilan, penindasan dan peminggiran mereka yang lemah dimanapun dan dari golongan apapun.

Agama harus nyata-nyata mendobrak batas-batas kecemburuan, kecurigaan, kebencian, dendam, dan arogansi. Jadi agama harus membawa diri dengan rendah hati, tidak beringas, anti kekerasan, komunikatif, mampu membangun hubungan atas dasar saling percaya. Atas nama pluralisme, agama-agama diminta agar jangan menganggap dirinya paling benar. Maka kalau pandangan ini mau ditolak, sebaiknya jangan disebut pluralisme melainkan relativisme. Relativisme menganggap semua agama sama benarnya. Oleh karena itu, apabila pluralisme dikutuk, perlu dikatakan dengan jelas apa yang dikutuk dan apa yang tidak dikutuk?

Menurut Romo Magnis, pluralisme dalam arti yang sebenarnya merupakan implikasi dari sikap toleran; yaitu kesediaan untuk menerima baik kenyataan pluralitas agama-agama. Ini mengandung makna bahwa dalam suatu masyarakat dan negara hidup orang dan kelompok orang dengan keyakinan agama berbeda. Liberalisme, dalam pandangan Romo Magnis, diartikan sebagai sikap orang yang masih mau belajar, yang sadar bahwa manusia tidak pernah bisa memahami seluruh maksud dan kekayaan wahyu Tuhan. Sementra sekularisme adalah sikap negara untuk tidak memaksakan kelakuan religius kepada masyarakat, dan dalam negara sekuler, agama tidak dapat memaksakan ajaran-ajaran mereksa pada negara. Jadi tidak secara arogan mengklaim sudah mengetahui segala sesuatu tentang agamanya.

Dilain pihak, menanggapi paparan Romo Magnis, Goodwill Zubir, narasumber yang juga penggagas fatwa MUI tentang pluralisme, liberalisme, sekularisme dan ajaran sesat Ahmadiyah, menjelaskan bahwa, ada beberapa penyebab yang melatari keluarnya fatwa tersebut. Menurutnya, pluralisme yang diharamkan oleh MUI adalah paham yang menganggap semua agama benar. Liberalisme diharamkan karena mendewakan kekuatan akal ketimbang wahyu Tuhan, sementara sekularisme karena ingin memisahkan agama dari kepentingan dunia. Selain itu, doa bersama yang dipimpin oleh kalangan non-muslim, juga diharamkan oleh MUI. Sama halnya dengan ajaran Ahmadiyah yang menyesatkan.

Sementara itu, Masdar F. Mas’udi, dalam memaparkan makalah “Membangun Damai di Tengah Pluralisme Agama di Indonesia”, menjelaskan bahwa, pluralisme pada dasarnya adalah pengakuan atas hak-hak dasar setiap manusia, tanpa membedakan latar belakang primordial apapun, baik etnis, warna kulit, agama, gender dan sebagainya. Dalam pandangannya, perbedaan suku, agama dan ras adalah anugerah Tuhan yang harus kita terima sebagaimana adanya, untuk selanjutnya kita renungkan dan kita temukan hikmah ilahiyah yang ada dibalik perbedaan itu. Sementara ketegangan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, juga disebabkan karena faktor primordial tersebut, disamping karena faktor kesenjangan dan ketidakadilan sosial. Hal ini menyebabkan situasi kenegaraan dewasa ini semakin terpuruk, bahkan terancam disintegrasi.

Dari paparan ketiga narasumber di atas, paling tidak saya mendapat beberapa kesimpulan. Pertama, saya termasuk yang tidak percaya bahwa perbedaan suku, ras, dan agama, merupakan sumber masalah, apalagi memandangnya sebagai sumber kedzaliman diantara umat manusia. Bagi saya, mempercayai hal itu sama saja dengan menuduh Tuhan bersikap dzalim karena telah menyengsarakan umat. Oleh sebab itu, pikiran yang selalu mengaitkan konflik sosial dengan faktor SARA sebagai given factor, adalah superfisial dan tidak memberikan kegunaan apa-apa.

Kedua, tatkala MUI mendefinisikan, bahwa pluralisme adalah semua agama sama, sesungguhnya menyimpan kemusykilan tersendiri. Definisi tersebut sangat jorok, bahkan bisa memecah-belah umat. Setidaknya definisi seperti itu bisa dianggap menyederhanakan dan menyempitkan arti pluralisme. Alasan terpenting, karena pluralisme tidak ada hubungannya dengan “menyamakan agama-agama”. Bahkan, upaya tersebut tidak sejalan dan jauh dari hakikat pluralisme. Untuk itu, hemat saya, perlu rekonstruksi pemahaman atas pluralisme dalam rangka memberikan pemahaman yang lebih luas dan lengkap.

Menurut referensi yang saya baca, Diana Eck (2002), pimpinan Pluralism Project, Harvard University memberikan tiga garis besar tentang pluralisme: Pertama, pluralisme adalah keterlibatan aktif (active engagement) di tengah keragaman dan perbedaan. Pluralisme meniscayakan munculnya kesadaran dan sikap partisipatif dalam keragaman. Oleh karena itu, pluralisme sesungguhnya berbicara dalam tataran fakta dan realitas, bukan berbicara pada tataran teologis. Artinya, pada tataran teologis kita harus meyakini bahwa setiap agama mempunyai ritualnya tersendiri, yang mana antara suatu agama atau keyakinin berbeda dengan yang lain. Tapi dalam tataran sosial, dibutuhkan active engagement di antara semua lapisan masyarakat untuk membangun sebuah kebersamaan. Karena hanya dengan kebersamaan sebuah bangsa akan tumbuh dengan baik dan mampu melahirkan karya-karya besar. Oleh karena itu, pluralisme dalam tataran sosial lebih dari sekadar “mengakui” keragaman dan perbedaan, melainkan “merangkai” keragaman untuk tujuan kebersamaan.

Kedua, pluralisme lebih dari sekadar toleransi. Dalam toleransi akan lahir sebuah kesadaran tentang pentingnya “menghargai” orang lain. Tapi pluralisme meniscayakan adanya upaya untuk membangun pemahaman yang konstruktif (contructive understanding) tentang “yang lain”. Artinya, karena perbedaan dan keragaman merupakan sunnatullah, maka yang diperlukan adalah pemahaman yang baik dan lengkap tentang yang lain. Harus diakui bahwa setiap entitas dalam masyarakat selalu terdapat perbedaan dan persamaan. Karena itu, setiap entitas tersebut harus memahami dengan baik dan tepat tentang perbedaan dan persamaan tersebut.

Ketiga, pluralisme bukanlah relativisme. Pluralisme adalah upaya untuk menemukan komitmen di antara partikularitas. Komitmen merupakan landasan moral untuk mewujudkan tatanan keragaman yang lebih baik. Keragaman bukan justru dihilangkan dengan langkah-langkah unifikasi, melainkan dibina melalui komitmen bersama untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, pluralisme sangat berbeda dengan relativisme yang menafikan pentingnya upaya membangun komitmen bersama di antara pelbagai komunitas masyarakat.

Bila ketiga hal tersebut direkonstruksi dalam sebuah istilah yang sangat populer, maka kata kunci dalam pluralisme adalah “Dialog”. Untuk mengukur sejauh mana pluralisme dalam masyarakat itu tumbuh dan berkembang, maka salah satu ukurannya adalah tersedianya kanal-kanal dialog dan berkurangnya fatwa-fatwa keagamaan yang cenderung menghakimi orang lain. Wallohu’alam!

-----------------
Nana Suryana
Cijagra, 31 Juni 2011, 11.40 WIB

Tidak ada komentar: