<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Kamis, 15 April 2010

Pamuruyan...


Indung Darsih. Sebut saja namanya seperti itu. Beliau bukanlah seorang biduan atau sinden papan atas. Bukan pula dukun beranak. Sehingga wajar bila kebanyakan orang tak mengenalnya. Beliau hanya wanita tua dengan kisaran usia seratus dua puluh tahunan. Seluruh rambutnya telah memutih. Berganti menjadi uban. Kulitnya keriput, matanya tak awas, jalannya gemetar. Postur tubuh pun tak lagi tegap, tapi mirip huruf "L" dengan posisi terbalik. Saking tuanya, untuk berjalan pun mesti bertumpu pada iteuk (tongkat) sebagai kaki ketiganya.
Ketuaan ternyata tak berbanding lurus dengan semangat kerja. Meski usia telah senja, tapi semangatnya tetap membara. Sikap untuk selalu mandiri, tanpa menggantungkan hidup pada anak-cucu. Apalagi pada uluran zakat fitrah yang tak seberapa. Itulah yang ditunjukkan olehnya.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Indung tiap hari membuat sapu nyere. Hasilnya ia jual pada tetangga atau murid SD yang mendapat tugas keterampilan dari gurunya. Selain itu, tiap pagi ia punguti daun cengkih kering untuk dijual ke pabrik sirih. Karena pekerjaannya itu, hampir tiap halaman rumah, tetangga, kebun, maupun lingkungan sekitar, selalu nampak bersih dari kalakay daun cengkih. Sayang Piagam Adipura tak pernah diraih Indung Darsih selama hidupnya.
Lebih dari itu, Indung juga dikenal sebagai kuncen situs Pamuruyan. Sebuah peninggalan sejarah purba yang terletak di RT 01 RW 06 Dusun Rimpaknangsi, Desa Hanum, Kecamatan Dayeuhluhur, Cilacap Barat. Situs tersebut berupa batu pipih yang ditengahnya berlubang menyerupai sumur mini. Bila diteliti lebih jauh, mungkin ini termasuk Beliung Persegi yang digunakan manusia purba di zaman megalithikum.
Dari sumur tersebut mengalir air yang teramat jernih. Bagi orang yang percaya hal magis, air itu (katanya) berkhasiat untuk obat awet muda dan dapat menambah kecantikan. Caranya cukup dengan mencuci muka dengan air karomah itu. Sekali lagi, itu katanya! Belum ada study ilmiah yang menelitinya.
Meski musim kemarau lama, genangan air itu tak pernah susut, apa lagi kering. Penduduk kampung mengenalnya sebagai "Air Abadi". Ada juga yang menyebutnya sebagai "Cai Rengganis" yang berarti "air kecantikan". Sebuah mitos yang hampir mirip dengan mata air di wisata alam Pangandaran.
Dari rembesan air tersebut, muncul beberapa titik mata air disekitar Kabuyutan Pamuruyan. Orang kampung lalu nabong (selang dari bambu, red) untuk dialirkan ke balong (kolam) maupun sawah warga. Sampai akhir tahun 90-an, tak ada yang namanya warga Rimpaknangsi kekurangan air bersih. Tak ada yang namanya sawah kering kerontang. Tak ada yang namanya lauk balong kasaatan. Apa lagi yang namanya sumur artesis. Semua berjalan alami. Benar-benar dari alam. Alam lestari warga pun hidup mandiri. Semua itu tak lepas dari jasa Indung Darsih. Perempuan renta yang sudah cueut kahareup, yang dengan telaten, tiap hari membersihkan sumur abadi itu agar selalu terawat. Penuh pengorbanan, tanpa imbalan, tanpa bayaran.
Tapi itu dulu. 15 tahun yang lalu... Sewaktu penulis masih jadi bocah ingusan. Kini... semuanya telah berubah. Situs batu dengan aliran air sumur itu memang masih ada. Tapi tangkal dadap tak lagi jadi peneduh bagi kesejukan Pamuruyan. Seiring wafatnya Indung Darsih, pohon dadap pun lambat laun daunnya berguguran. Pada akhirnya mati termakan usia, mengikuti jejak Indung Darsih. Pamuruyan pun tak ada lagi yang merawat. Dibiarkannya kusam, kumuh dan tak berwajah.
Lambat-laun, genangan "air abadi" pun mulai surut. Mata air pun susah di dapat. Pada akhirnya warga mulai resah. Bila kemarau tiba, sawah terlihat retak kering kerontang. Ikan mengap-mengap dalam kolam yang kasaatan. Tak ada lagi yang namanya gelontoran air gunung ke tiap pancuran.
Sayangnya, untuk memenuhi kebutuhan warga akan air bersih, Kepala Desa Hanum lewat bantuan PDAM dan dinas terkait, malah membuat program pengadaan air bersih dengan jalan pe'nabong'an baru dari sumber mata air Cibaganjing, yang berjarak kurang lebih 5 km dari pemukiman penduduk.
Air pun dijatah. Itupun cuma sebesar buntut beurit. Keributan antar warga pun kerap kali terjadi. Benar juga kiranya pepatah "kajeun tiis, tapi watek cai mah panas".
Kenapa bukan reboisasi hutan disekitar Pamuruyan? Kenapa bukan larangan pendirian pabrik penggergajian kayu dekat mata air Pamuruyan? Kenapa lebih digalakan penanaman pohon albasiah ketimbang kayu dadap? Bukannya dadap yang bisa menampung air?
Andai saja semua warga Rimpaknangsi maupun perangkat Desa Hanum mau berpikir jernih, sejernih air abadi Pamuruyan, andai kita mau mencontoh sikap Indung Darsih, mungkin semuanya tak kan berakhir seperti sekarang. Alam Rimpaknangsi kan senantiasa damai lestari, tanpa terganggu oleh suara bising senso dan gemuruh pohon tumbang.
Duuuhhh... Rimpaknangsi nu mawa asri, ngancik dina sanubari, kiwari ukur waasna...
Indung Darsih... hatur nuhun!!!

Bandung, 5 April 2010.

Tidak ada komentar: