<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Twitter

Sabtu, 12 Maret 2011

Semar & Supersemar: Serba Samar!


Lebih dari sekadar kebetulan jika Semar dan Supersemar tetap terselubungi kabut kesamaran. Lebih pula dari sebatas kelatahan bila keduanya sama-sama dihadirkan sebagai "penanda mengambang" yang menjadi legitimasi rezim -entah politik, entah kebudayaan- sekaligus landasan utama untuk pengambilan langkah besar. Pertanda pula bahwa banyak langkah penting yang hanya didasarkan pada hal-hal yang tak benar-benar terang. Kesamaran memang patut dijadikan sebagai benang merah untuk menjalin keduanya dalam satu medan makna.

Semar, sebagaimana dipahami dalam tradisi pewayangan, merupakan sosok yang tak mudah diidentifikasi. Semar berasal dari kata samar. Memang sesungguhnya wujud Semar samar. Jika dikatakan laki-laki, dia mirip perempuan. Jika disebut perempuan, wajahnya laki-laki. Karena itu, banyak yang keliru menyebutnya. Jika ada yang merinci badannya, orang akan melihat hidungnya runcing memikat hati, matanya basah nan mempesona, dan lain-lain yang serba menarik. Begitulah para dalang biasa mencandra sosok Semar.

Dalam kaitannya dengan kekuasaan, walaupun Semar kelihatan sebagai rakyat biasa, semua penonton tahu bahwa ia sebenarnya seorang dewa yang tak terkalahkan. Jika Semar marah, dewa-dewa bergetar, dan apa yang ia kehendaki akan terjadi.

Di luar ungkapan dan pemahaman semacam itu, masih banyak lagi teks dalam tradisi pewayangan, baik berupa lisan maupun tertulis, yang bisa dijadikan sebagai rujukan betapa sosok Semar penuh kabut misteri. Namun dalam kekabutan itulah, Semar semakin eksis dan nyaris tak tergantikan.

Keberadaan Supersemar agaknya juga memiliki kemiripan dalam berbagai hal. Hingga sekarang keberadaannya masih menjadi bahan perdebatan yang tak berujung. Perdebatan itu mengemuka, paling tidak hingga sekarang, karena bukti autentiknya tak tertemukan. Karena itulah, kesamaran Supersemar lantas merentang dari realitas faktual sampai realitas fiksional, begitu sebaliknya.

Terlepas dari benar tidaknya keterlibatan Soeharto dalam kudeta pertama yang gagal (G-30-S), peristiwa Supersemar dapat dipandang sebagai proses kudeta kedua secara perlahan-lahan. Dari perspektif kritik sumber, semua naskah yang ada sekarang ini bukanlah naskah asli, melainkan naskah tiruan. Persoalannya, untuk kepentingan apa bentuk Supersemar itu dipalsukan?

Adapun dalam interpretasi kultural, Supersemar tak bisa dipisahkan dari Semar. Soeharto adalah pengagum Semar, tokoh Punakawan atau rakyat jelata yang menjadi 'pamomong' bagi ksatria Pandawa. Dalam konteks ini, kata Super Semar kemungkinan berasal dari Soeharto. Persoalannya, istilah Supersemar dibuat setelah surat perintah diberikan, atau dirancang sebelumnya?

Jika hal pertama yang terjadi, maka Surat Perintah yang bertanggal 11 Maret hanyalah sebuah naskah yang kebetulan bisa disingkat menjadi Supersemar, Semar yang super atau luar biasa. Namun jika nama itu telah dirancang sebelumnya, bisa dipastikan bahwa Soeharto telah merencanakan semua itu. Jika itu kudeta, Soeharto berusaha melakukannya secara perlahan-lahan. Sebagai orang Jawa, ia tidak menginginkan ada kesan ‘gurung-gusuh’ (tergesa-gesa.

Kesamaran surat perintah 11 Maret berimplikasi secara luas terhadap konstelasi politik di Indonesia. Hal itu tentunya paralel dengan tradisi suksesi di Jawa yang hampir selalu melahirkan sosok Lembu Peteng. Kemunculan Lembu Peteng, seperti banyak disebut dalam babad, merupakan starategi yang lazim untuk menjustifikasi seseorang dari luar lingkaran kekuasaan untuk memegang tampuk kekuasaan.

Pola kesamaran macam itu malahan berlaku secara universal. Skandal Dreyfus di Prancis pada abad ke-18, dan Hitler di Jerman terutama saat peristiwa pembakaran der Reichstag pada awal era Nazi, merupakan contohnya. Kedua peristiwa itu merupakan skenario imajiner untuk menuju jenjang kekuasaan yang riil.

Apa lagi bila dianalisa lebih dalam dengan menggunakan paradigma formulasi wacana sebagai political discourse. Penamaan Supersemar adalah kesengajaan melalui proses seleksi dan kesadaran, bukan kebetulan ataupun kelatahan belaka. Supersemar merupakan hasil dari sesuatu yang telah direkayasa sebagai konstruksi imaji. Supersemar sebagai sebuah teks telah mengalami proses penamaan (naming) yang memiliki efek retroaktif. Ketika karakteristik objek yang dinamai berubah, designator-nya tetap tidak berubah. Di sini ada proses mistifikasi, dari imajiner menjadi riil.

Berkaitan dengan penamaan, hal ini ditengarai adanya perubahan term dari gerakan ke peristiwa, kemudian menjadi institusi. Mula-mula disebut gerakan 30S, kemudian menjadi peristiwa 30 September, dan berubahlah menjadi Gestapu –sebuah institusi yang memiliki homonimitas dengan Gestapo. Begitu pula Surat Perintah 11 Maret yang diakronimkan menjadi Supersemar, sebagai efek retroaktif dalam naming, menyebabkan teks lenyap, sehingga designator (super dan semar) menjadi rigid dan tetap.

Sampai di sini, agaknya makin terang betapa dalam kesamaran itu, realitas faktual dan realitas fiksional bisa saling tumpang tindih, bisa pula saling menenggelamkan. Dan, bila paradigma formulasi wacana sebagai political discourse yang jadi acuan, maka kesamaran demi kesamaranlah yang bakal banyak tersaji. Toh, sebagaimana kata Benedict Anderson, keseluruhan politik Indonesia terdiri atas proses gaib yang diturunkan dari jagat Jawa. Wallohu’alam!


Cijagra, 12 Maret 2011.

Tidak ada komentar: