<< Humanis - Kritis - Transformatif - Praxis >>

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter
  • "....ada kisah yang belum usai...."

    Akhirnya langkah ini tiba pada sebuah sketsa. Dalam kecamuk, amuk dan peluk. Ada yang terkunci saat ingin membuka segala. Meski cuma lewat kata. Satu hal yang kuyakin; adalah jengahku pasti hadir dalam lembaran ini. Hanya, bacalah! Simaklah! Lalu silahkan saja sinismu terngiang dan kan ada rutuk yang melenggang. Atau paling tidak, pandanglah! Dan jauhkan ia pelan, kelak tak ada perihal yang membayang. Hingga entah kapan kan terhiba kata yang dikurung naifnya keangkuhan...

  • Kuwariskan semua ini hanya untukmu...

    Mahakarya inilah salah satu warisan yang akan kuberikan. Maka kutulis sabda ini untukmu, Anakku. Meski Ayah sendiri sebenarnya tak mengerti di mana bermula maksud ini. Tapi ayah tidak memiliki kemampuan menuliskan isyarat hati. Ayah juga berharap dirimu damai adanya. Sebab doaku telah kurangkumkan pada mega. Ia kan menaungimu dari durja dunia. Dan bagi ayah, beritamu adalah segalanya. Apa yang ayah jalani tidak lagi berarti bila kamu, anakku, tak lagi mengilhami! Kamu adalah anakku, dan anak dari ingatan yang kuwariskan padamu...

  • Merayakan Keberagaman Keberagamaan...

    Setidaknya ada tiga hal yang ingin disampaikan tafsir emansipatoris; Islam Emansipatoris ingin memberikan perspektif baru terhadap teks, Menempatkan manusia sebagai subyek penafsiran keagamaan, Memiliki konsern kepada persoalan kemanusiaan ketimbang pada persoalan teologis. Islam Emansipatoris ingin mengalihkan perhatian agama dari persoalan langit (teosentrisme) menuju persoalan riil yang dihadapi manusia (antroposentrisme). Penekanannya pada aspek praksis, sehingga agama tidak hanya dipahami sebagai ritualisme melainkan pembebasan masyarakat dari segala penindasan!

Twitter

Selasa, 23 Februari 2010

Fairy Vearth


Aku ingin menyapamu dengan kata yang sedikit mengelak, mungkin. Setelah segala yang begitu complicated untuk kupahami. Bukan sekadar mengilhamkan jawaban atau melepaskan de javu beban aku merapatkan pikir, tapi sebaliknya, menyelakan setitik harapan meski tidak menuntaskan persoalan. Dalam haru yang terkadang angkuh, dalam firman diri yang menjauh. Dan mesti kau tahu, aku hanya kan setia di sini, pada keabadian rindu yang hampir membisu.
Sebab rangkaian kata dan arti yang selalu bersayap itulah, aku mungkin boleh berbahagia. Bernafas sejenak dalam deru yang tak kunjung lapang. Sebelum nanti akhirnya waktu menguraikan perihal. Apa yang tak kau yakini, apa yang tak kusesali. Lalu, kalau mungkin sempat, kita kan berbagi dalam suatu cita yang kita percaya.
Aku menantimu dengan paras yang sedikit berdebu. Kerling yang senantiasa nanar. Dan ucap yang sering tak terlontar. Atau kadang terbaring lemah oleh penyakit yang tak kuasa kumenghindar. Tak perlu risau..!! Begitulah cara kita melumat persoalan, melipat kendala hidup. Kemudian kita sama-sama menertawakan hal yang itu-itu juga. Tenanglah, dan jangan berkata apa-apa selain mengenang semua dengan hati-hati. Karena ternyata jejak tidak selalu membawa kita pada ruang yang “benar”. Tapi, tentu percayalah..!! mestinya kan ada jalan kita membuat simpul kasih yang tak lekang oleh apapun.
Kata-kata ini semakin melayang, sebab ia ditulis lewat hati yang gamang. Dan merah nadi yang semakin menggenang. Hanya sekali lagi, dan telah kuulang sekian kali, aku telah mengikhlaskan semua. Apa yang lalu, dan yang kan terjadi, jerat janji ini tak kan mengelupas. Kalaupun ada perilakuku yang menimpangkannya, maka itu tak lebih batas kelimbunganku mengatup jerit emosi. Karena, dan begitu juga kuyakin dalam rasamu, kita tak ingin bersekat. Saling menyua dalam bayang. Dan itulah ketakutanku; keterpisahan akhirnya membuat rautku perlahan mengerjap dari cintamu. Tapi, Toh, itu tak kan terjadi bukan?
Hmm, sebelum segala dendam masa depan itu tiba, aku hanya ingin mengolah kejelasan tentang semuanya. Clear ‘nd distint. Bahwa apapun yang mesti kita jalani, aku kan senantiasa menanti dirimu menyapaku lagi..!! cukup yakinlah, aku selalu di sini..!! dan untuk itu, tak perlu lagi rasanya kita memperdebatkan perihal bagaimana, atau menjenguk perihal yang membuat luka. Kita punya fairy vearth yang tak seorangpun dapat meraihnya. Di sanalah cita dan cinta kita sandingkan dengan keabadian, hingga tiba kalanya kita saling menjemput secara nyata. Just love the way we are..!!
Kata-kata ini sedikit lagi menemu ujungnya. Semoga segala gundah sudah ditelannya. Sebab seperti kau tahu, entah kenapa aku tak lagi bisa menyusunnya dalam ladang prosa laiknya dahulu. Aku takut ia tak lagi mewakili semua yang ada padaku tentang dirimu. Dan bahkan sengaja kubawa diriku mengelak darinya, karena kuingin menjumpaimu dengan nafas yang bisa kau kenali. Tangan yang bisa kau pegang. Detak yang bisa kau dengar. Dan segala ketelanjangan diri yang hanya tertuju padamu. Sehingga bila kerinduan itu tiba, aku juga dapat menengadahkan mataku di depan parasmu yang selalu betah kudiami. Ah.. aku menyayangimu.

Biarkan Berlalu...


Cinta adalah suatu elemen hidup yang amat misteri dan tersendiri. Ia sentiasa ada bersama denyut nadi. Tak peduli apakah orang itu sudah tua atau pun muda, rasa cinta tetap ada. Usah disangka insan yang renta sudah tidak memiliki cinta. Usah disangka orang yang sudah keluarga sudah tiada cinta. Cinta memang senantiasa muda, tidak pernah berlari bersama usia yang kian bertambah. Jauh di dalam hati, cinta terus segar dan mewangi.

Meski telah dibalut kebahagiaan bersama keluarga, ada kalanya aku masih mengingatnya. Walaupun semuanya itu sudah lama berlalu, ia terasa begitu dekat di hati. Ku masih ingat dengan suaranya. Dalam benak masih nampak senyum tawanya, dalam angan masih terdengar senda guraunya.

Rasanya baru semalam kenangan itu berlalu. Tahu-tahu usiaku sudah menua. Sudah bertahun rupanya kau pergi tinggalkan kehidupanku, atau aku yang pergi membawa kejujuranmu.

Terkadang hidup terasa sunyi dan mau dengar kembali semua yang pernah kau dendangkan. Ku mau kita mengulangi kenangan lalu. Namun semua itu tak mungkin, sebab kita sekarang sudah hidup dalam lingkungan yang berbeda, jalan hidup kita telah ditakdirkan untuk tak bersama.

Wahai insan yang pernah bertakhta di hati, di manakah sekarang kau berada? Apakah kau juga sering mengingatku sebagaimana aku sentiasa mengingatmu? Aku sering tertanya dan mencari kabar, di manakah dan bagaimana kehidupanmu sekarang?

Ku sering membujuk hati supaya menerima hakikat bahwa kau telah tiada disampingku. Kau terlahir bukan untukku, meski kau sempat mengisi ruang hatiku. Kisah kita hanya sepenggalah. Tapi hatiku sukar hendak percaya. Aku selalu mengingatmu dan terus mereka cerita agar dapat dipertemukan kembali. Meski hanya sekejap mata! Aku amat merindukanmu. Ku mau kau segera berada disampingku. Ku mau kau mendengarkan keluh kesahku!

Sungguh misteri perasaan ini. Bayangannya selalu datang dan terus datang tanpa mempedulikan hakikat siapa aku sekarang, dan siapa dia saat ini. Aku terus teringat dan terus mengingatmu. Aku merindui suaranya, merindui gelak tawa manjanya yang pernah tersimpan jauh di sudut hati. Ku ingin sekali mendengar kata cintanya terucap lagi.

Itulah cinta... Ia misteri yang tidak pernah berjaya diberikan jawaban oleh manusia sejak dulu hingga kini. Tuhan menciptakan manusia bersama cinta dan kasih sayang. Bagaimanapun kita coba menghilangkannya, ia tetap datang dan pasti datang.

Andai kita diberi kesempatan untuk mengulangi semua kehidupan, ingin aku melakukan yang terbaik untukmu. Namun, itu hanyalah ilusi. Kehidupan yang telah pergi tidak mungkin terulang lagi. Usia yang telah terguna tidak mungkin kembali. Urat telah timbul, kedut di wajah telah jelas, tenaga semakin berkurangan, mata kian kabur, langkah semakin surut, tapi hati masih mekar dan segar mewangi.

Wahai hati, sadarilah bahwa hidup ini pergi bersama sejarahnya. Sejarah yang telah berlalu tidak perlu diulang. Biarkan ia kekal sebagai sejarah yang boleh dipelajari sebagai tauladan dan pengalaman darinya. Besok yang bakal dihadapi lebih perlu untuk dibina bersama besarnya tekad dan tingginya azam. Muncullah sebagai manusia yang gemilang lagi cemerlang.

Laksana Titik....


Di sini, kita mulai menyusun bahasa tanpa kata. Belajar mengunyah tanda dari peristiwa yang historis pun yang ahistoris. Anggaplah, perahu yang kita buat jauh dari lautan yang harus memanggil gelombang. Ada getar ombak yang sudah siap menggiring anak-anak kita pada halaman tak beratap. Mencari matahari di saat malam. Menatap bulan ketika siang datang.
Tuan, ketakutamu tidak beralasan. Aku kira tidak ada yang aneh. Sama sekali tidak ada yang aneh. Tuan tidak perlu belajar apa makna sakit, derita dan luka kalau hanya ingin mengetahui rasa sakit, derita dan luka. Begitu juga, tidak perlu belajar apa itu bahagia, senang dan gembira kalau hanya ingin mengetahui rasa bahagia, senang dan gembira. Hal itu hanya membuat tuan semakin sombong dan tidak akan menemukan apa-apa.
Percaya. Aku selalu meng-iyakan tentang peliknya hidup yang tidak mudah dimengerti. Tidurku tidak pernah nyenyak. Memikirkan sesuatu yang seharusnya tak perlu dipikirkan kembali. Aku merasa sendirian walau pun di sekitar banyak menghiburku, tetap saja aku tidak merasa terhibur. Ini aku lakukan hanya untuk tanganku, mataku, dan telingaku. Untuk seluruh rasaku dan hatiku.
Aku masih ingat betul ucapanmu, ucapan terakhir dari bibirmu yang terlihat anggun dan mempesona. “Hidup adalah kata yang selalu akan menjadi kata-kata”. Lalu aku, kalau begitu aku adalah bagian dari sekian banyak huruf Tuhan. Benarkah? Aku hanya kurang yakin dimanapun gagak berada tetaplah hitam. Padahal di sisi lainku aku masih memikirkan gagak yang putih…

Tunggu Sebentar, Aku Disini...


Kalau pada saat nanti aku tak lagi mampu berada di sisimu.. tak lagi sanggup menjunjung setia sumpahku.. apa yang layak kukenang di hadapmu..?
Tunggulah sebentar.. hingga sempat kuakhiri pergulatan sunyi ini. Kuusaikan segala cedera hidupku.. juga luka sejarahku.. sungguh, aku tidak akan menyerah atas semuanya.. sebab, apa yang kuikrarkan, kubisikkan, kuderaikan, kulabuhkan, adalah lanskap keberartian yang tidak boleh kuurungkan kehadirannya. Pun itu mesti mengelakkan pahammu akan diriku pada anggapan yang asing.
Kalau pada masa nanti kau tak lagi mampu membaca adaku di hatimu.. tak lagi sanggup menahan jemumu, merobek gelisahmu tentang diriku.. apa yang tersisa untuk kututurkan di belakangmu..?
Tunggulah sebentar.. hingga bisa kurebut ragu di rasamu.. kurenggut kelu di benakmu... sungguh, titipkanlah sekejap ikhlasmu untukku di jalan itu.. karena, apa yang kau harapkan, kau catatkan, kau deraukan, kau nyanyikan, adalah hamparan makna yang selalu kuteguhkan niatku di dalamnya. Pun itu harus menyilangkan segenap tempuhan dan cita-citaku pada pelangi yang lain.
Tunggulah sebentar.. mungkin dengan itu kisi kisruh waktuku kan terobati.. dan sudut kalut mimpiku kan terjaraki.. Tunggulah sebentar....!

Gumam Retak


Ratapan Luka, Bicaralah! Terkadang kita lupa bahwa di sekitar kita ada nafas yang mengerang gelisah. Dan aku merasakan basahnya air mata yang menetes sepanjang peristiwa. Entah dengan kalian! Masihkah mulut-mulut mengunyah makna kerinduan, kemuakan, kejijikan, bahkan cinta? Atau bagaimana benak dan bayang-bayang ‘hitam’ kita menghentikan tanya yang terbuncah dari tanya tanya?
Tiba-tiba aku tersentak oleh bentak sunyi yang menyorotiku dengan perih di setiap langkah. Haruskah aku menangisi kalian yang terus berteriak memanggilku. Dan aku memilih ‘memati’ di kamar yang penuh dengan jendela-jendela kejemuhan. Adalah di mana angin menyampaikan berita tentang semua. Adalah kepekatan. Adalah Air mata pikirku yang tak akan bisa kau hentikan.
Dan sekedar angkuhku meneguhkanku. Tanpa jari-jemari yang mengelus jiwaku. Biar pun awan di luar sana mengancam bencana bagi hidupku. Atau aku dan kamu, kalian, memang sama-sama angkuh untuk mengarungi samudra harapan buta.
Aku bukan takut menoleh, apalagi mampir menghitung mimpi-mimpi kalian, kamu, bahkan malamku tak tertambatkan. Jujur saja aku benci. Biarkanlah langkahku untukku. Jangan kau usik dengan beribu aroma yang tak pernah membuatku tertarik. Apa yang kau tawarkan di malamku telah membusuk di tahun-tahun yang lalu. Adalah di mana aku harus memuntahkan segalanya. Kini aku tak percaya dengan dongeng-dongenmu.
Entah, seberapa dahsyat kata-kata busuk ini. Kalau saja bintang-bintang menyapa luka-luka yang terus merintih di dinding-dinding cinta, cita, pikiran dan rasa. Jika langit hujan huruf-furuf yang tak usah kita eja. Di sini ada sekarung doa yang terus bergelayut mencari makna. Menjadi kidung-kidung yang terus menafsir semesta. Adalah pertanyaan, tanyaku.
Biar aku hitung berdasarkan abjad-abjad. Atau aku memang menentang matamu yang biru. Sudah cukup jauh aku bercanda dengan imaji, intuisi dan pikiran yang kau suguhkan dikala matahari terbit. Dan sudahlah lama aku menerima cerita busuk malam yang terus menodongku dengan pekat.
Adalah puisi. Adalah sajakmu. Adalah cintaku. Adalah kemuakanku. Adalah kecemburuanku yang terus mengajari aku tentang air mata, luka, dan ringkih jiwa yang tak tertautkan. Terserah bagaimana kau menilai. Atau jika aku mati kau baru tertawa. Teruslah…
Kini aku tak bisa mengakhiri. Apalagi sekuntum bunga menjadi duri di setiap jejakku. Dan aku membuangnya tapi tak melupakannya. Biarlah yang menjijikkan ini menjadi jalan setapak menuju samudranya sendiri.
Aku tahu kehidupan tak ada kesimpulannya. Salahkah bila mata air memancar tanpa kita harapkan. Biar dahagaku mencium tangismu. Atau apakah setiap sesuatu pasti ada sebabnya?
Jalan MU…
Di tapak malam, mengugunkan luka
Senja di ujung kemuakanku
Membuncah,
Menjadi sungai yang menuju pada samudranya
Jalanku, jalanku, … aaah aku.

Lahirnya Air Mata & Luka


Sungguh lembut hatimu! Benarkah kita bercermin di atas air yang jernih, atau keruhkah jiwa yang berlumur kasih tanpa ketulusan? Ketika malam tiba jiwaku bertanya, benarkah purnama yang dulu menyiramkan cahayanya pudar begitu saja. Atau, kekasih… rindu telah membutakan segala-galanya. Kebencian lebur jadi abu. Gelap pun tak terasa gelap. Hanya dengan rasa kasih yang terus membuncah dari lubuk hati. Sekali lagi, hanya dengan rasa kasih!
“Apa perlunya orang saling mencinta kalau akibatnya hanya mendatangkan rindu dan kecewa?"
Kalau kita bermain air tentu akan basah walau hanya setelapak tangan. Kalau kita bermain api tentu juga akan terasa panasnya walau hanya sekedar rasa panas. Akan tetapi, semua dan segalanya luluh oleh setetes rasa kasih. Biarlah airmata ini aku teguk sendiri. Biarkan saja kau pergi mengejar mataharimu! Biarkan terangmu menyinari lukaku. Semua, mungkin, nanti bisa menjadi apologiku di hadapan Tuhan.
Kekasih…. kenyataannya aku memang berdebu. Dimana engkau merasa jijik dan muak. Dimana layaknya sampah busuk yang harus kau buang jauh-jauh!
Kesadaran apa yang menyimpan makna yang sebenarnya? Jiwa tak lepas dari mata yang lain. Hati tak hanya sekedar menyepi. Kerinduan terus memaksaku bernyanyi dan bernyanyi. Mengkidung asmara yang pernah kita sulam bersama walau tak sampai nanti. Barangkali aku memang tak mampu membabat rimbun berduri untuk jalan setapak menuju apa yang engkau inginkan, hingga kau memilih jalan yang lain. Konon, setitik airmata lebih berharga daripada cucuran airmata.
Kutulis sabda hati dari airmata dan kata. Adalah sajak tentang kita yang tertambat di dinding sejarah. Kita adalah kisah yang tidak akan bisa terhapuskan. Kita adalah “tinta Tuhan” yang tumpah sebelum saatnya, yang tidak tercucikan walau dengan air raksa. Karena kita sebelumnya telah melahirkannya dengan kasih cinta. Tapi, entah seberapa tajam geletar itu. Seberapa runcing jejak yang melepuh di kesunyian hati. Sebab sebelum pagi kita tak mampu menggenggam mimpi. Kicau burung begitu cepat menjamah nyenyak kita di perapian kasih.
Kekasih…. kau seperti burung pipit manis hinggap di atas pohon yang rapuh. Ketika ada ranting yang patah kau terkejut dan terbang mencari pohon yang lain, yang kau anggap pohon itu lebih baik dari pohon sebelumnya. Entah sampai kapan. Dan kau tak pernah peduli bahwa tapakmu membuat setitik airmata menetes serta luka terus meringkih di sepanjang usia.
“Tafakkur ‘alaih”. Keruh! Kau akhiri ‘sebilah sabda’ dari rintih airmata yang tak berkesudahan. Tentang kisah jiwa yang terus bergelayut mencari makna. Tentang rasa yang tak terarah. Tentang ‘mata’ yang tak terlepas dari rasuknya jeritan hati di pelupuk tanya. Dulu, di bawah bulan purnama kita pernah menyulam lagu yang sama. Dan paginya, saat fajar mencumbu bunga dan embun berpelangi, kita memainkan musik kesahduan bersama. Lalu kita, aku dan kamu, meretak seperti tanah tandus yang merindukan hujan. Entah siapa yang memulai. Ternyata kedamaian jiwa datang jika tak ada penghianatan terhadap ‘ibu’. Ibu telah membesarkanku dengan segala keringatnya. Ibu adalah masa laluku, sejarahku. Hari kemarin merupakan air susu yang mampu menyegarkan hidupku saat ini, dan menyemangat jiwaku untuk hari esok; ‘kematian’!
Tak ada yang bisa menyembuhkan kecuali aku, bukan lagi diriku. Tak ada yang mampu hentikan teriak rinduku. Tak ada lagi...
Banyak isi benak. Sebanyak kehendak. Namun takkan mungkin menuangkan semua dalam satu amuk desah saja. Karenanya, yang kubentang di hadapanmu ini, hanyalah kesaksian bisuku atas prilaku waktu dan jumud rindu yang terus mengajak semua kita berubah. Saksi yang tak pernah bosan bicara dan selalu siap diajak bicara. Sampai kering rongga di kepala.
Ini bukan relaksasi semata. Bukan gumaman untuk mengundang tawa atau airmata. Pendek kata, Mungkin memang muakku bukanlah gagasan yang mesti disucikan. Lalu jika memang tega; Banting, injak-injak, ludahi, robek, bakar dan atau bahkan telan sajalah kalau kebetulan kau tak terima!
Aku [sedang] muak semuak-muaknya. Aku [ingin] muntah semuntah-muntahnya. Ihwal kepicikan ini yang meminjamiku nyali untuk belajar nekad memojokkan duduk sambil belajar menata asa dan cinta dalam sebentuk goresan. Tak perlu dipertanyakan sebab dan akibat muakku. Tapi yang pasti, muakku bukan karena tingkah laku dan drama pikirmu yang makin lihai serta pintar menyamarkan benih-benih nifak dalam pasungan senyum di bibir beku itu. Dan Demi Tuhan Pembuat Adam, apapun akibat muakku, biarlah kutanggung sendiri!
Abad-abad kubabat
Sekuntum laknat
Kenanglah kenang
Biar kau tenang!
Abad-abad kubabat
Seranum khianat
Kenanglah kenang
Kekasihku…. Biar kau tenang! Sadar atau terpaksa, aku ini dan kamu yang itu ternyata selalu ingin bilang ‘AKU’. Selalu punya cara untuk tetap menodai ayat-ayat hidup. Bukankah itu pasti norak lagi memuakkan? Hampir semua kita sembunyi dan menopengi wajah dengan bait-bait gelisah yang tidak berarti.
Aku tidak tahu selanjutnya harus mulai dari serak atau luka yang mana. Apalagi ini bukan hanya sekedar mimpi lagi. Bukan tentang canda yang harus kita bumbui dengan tawa dan airmata. Bukan tentang sajak yang lahir dari bercak cinta. Bukan tentang tangisku dan dirimu. Bukan pula tentang mata yang lain. Tapi, ini bukan hanya tapi! Bukan hanya...!
Setidaknya,Aku dan dirimu
memang tak punyasemacam alasan
untuk tanggalkan senyum!
Mari bersamamembuang murung!
Mari melata menata desah
dalam amuk cinta!

KIsahku & Metamorfosa


Waktu itu, hal yang wajar bagi siapa pun untuk mengalaminya, dunia puberitas yang selalu berusaha menguasai hidup. Dan tak ada kisah yang tidak melewati garisnya. Itu pasti. Bukan kebetulan. Memang harus kita melewatinya supaya mendapatkan makna hidup yang lebih. Atau aku bisa katakan bahwa hidup berjalan dengan garis metaforis.
Setiap yang hidup selalu melalui prosesi-prosesi yang akan menjadi sejarah dalam hidupnya. Bunga misalnya, tidak langsung menjadi bunga yang mekar serta indah yang tumbuh di halaman rumahku. Ia berasal dari biji yang jatuh dari bunga yang sudah tua dan keriput. Lalu tumbuh menjadi pohon bunga, dan selanjutnya mengeluarkan bunga kuncup lalu mekar serta indah. Kalau kita menghayati apa yang terjadi dengan prosesi bunga ini, dengan tanpa mempedulikan mana awal mana akhirnya, adalah begitulah hidup. Hidup yang tidak terlepas dengan garis metamorfosa. Seperti ulat menjadi kepompong, terus menjadi kupu-kupu. Hanya kematian yang pasti dan tidak kita ketahui.
Begitu juga dengan diriku sebagai sesuatu yang hidup. Dalam hal ini hidup tak ada pilihan. Hidup memang sudah di program sebegitu adanya. Akan tetapi bukan berarti kita tidak berdaya dan menjadi statis. Karena manusia berbekal kuasa (akal) untuk bisa loncat-meloncat di antara garis metaforis. Kita harus akui bahwa hidup itu dalam garis metamorfosa yang tidak ada bedanya. Yang membedakan antara manusia dan bunga adalah hanya adanya akal pikiran sebagai potensi menilai dan memilih di antara garis hidup yang sudah ditentukan itu (garis metamorfosa). Maka dari itu setiap manusia memiliki kisah yang berbeda walaupun pada tataran metaforisnya sama.
Sekarang, wajar saja kalau aku memiliki kisah yang sedikit berbeda dengan yang lain. Dan aku tidak pernal malu untuk menceritakannya. Karena bagiku dalam hidup ini tidak ada kisah yang harus disembunyikan dan ditertawakan. Toh segala sesuatu yang hidup pasti juga memiliki kisah. Entah kisah yang memuakkan atau pun yang menyenangkan. Dua-duanya sama saja.
Kisah cinta. Katakan seperti itu. Tapi aku bukan Romeo. Bukan Schoupenhauer. Bukan Sastre. Bukan pula Plato. Aku bukan siapa-siapa. Aku adalah aku. Pada usia muda, kira-kira kelas satu eSeMa, aku hadir dengan penuh kesadaran sebagai seorang lelaki yang sedang tertarik pada seorang perempuan. Ia datang pada pikiran dan jiwaku dengan sempurna sehingga aku tak sempat menilai keburukannya. Namanya “STA”. Biasa disapa “M”. Sangatlah cantik, bagi siapapun yang mencintainya.
Inilah masa pertama kali aku belajar merayu dan membujuk. Dengan pancaran sinar cinta aku mulai belajar. Terutama tentang kelembutan. Orang lain bilang ini cinta monyet. Aku membenarkannya. Tapi aku mengatakan bahwa aku belajar dari cinta monyet bagaimana menaklukkan orang lain. Dan ada satu hal yang harus aku tegaskan, bahwa aku seorang lelaki yang berprinsip “sekali mencintai aku tetap mencintai”. Walaupun pada akhirnya tidak ada prinsip yang abadi. Karena seabadinya apa pun dalam pikiran kita suatu saat akan dirayapi sesuatu yang membuat runtuh pendirian kita. Kita hidup dalam dunia yang penuh dengan prosesi-prosesi serta garis metaforis.
Kurang dari setahun aku menjadi pemuja “M”. Tanpa ada imbalan apa pun dan balasan apa pun. Tapi aku setia menjadi pemujanya. Ia bagiku adalah perempuan pertama yang sempurna. Aku melakukan apa pun sebagai pemujanya untuk mendapatkan kasih sayangnya. Toh akhirnya aku mendapatkan sambutan yang baik dan menjadi lelaki yang ‘tidak’ merana. Anggapan waktu itu.
“M” adalah perempuan yang membuat aku berani belajar apa saja untuk sebagai siasat atau strategi menaklukkan. Dan yang paling aku benci adalah keputus-asaan. Sampai akhirnya ia dijodohkan dengan orang lain oleh orang tuanya. Aku hanya bisa meratapi nasibku, dan nasibnya yang harus menjalani hidup dalam ruang yang bukan pilihannya. Di tengah kerumunan orang saat ia di pajang sebagai pengantin, aku melihat ada air mata menetes dari matanya yang benih. Seakan ia mengatakan; “aku tak berdaya melawan takdir”. Dan aku pun menangis tanpa air mata.
Dari kisahku ini aku bukan membenci Tuhan. Aku hanya sedikit muak terhadap diriku yang terdidik dari air mata. Tentang nasibku yang buruk, aku tidak pantas menyalahkan siapa pun. Karena ini akibat dari pilihanku sendiri. Dan aku mulai jijik terhadap pranata sosial yang dibangun manusia dengan tidak manusiawi. Seorang perempuan seakan tidak punya hak untuk memilih jalan hidupnya. Sedangkan orang tua penentu hidup sang anak.
Cukup lama aku untuk bisa melupakan “M”. Kira-kira setahun setengah baru aku bisa lupa. Bukan lupa. Dan aku mulai tertarik lagi pada perempuan yang tiba-tiba ia datang dalam pikiran dan jiwaku. Ia juga sempurna seperti “M” bagiku. Sehingga aku juga tidak sempat menghitung keburukannya. Namanya “W”. Hanya saja “M” berotak cerdas dan manja. Sedangkan “W” pendiam dan lugu.
Aku masih dalam masa puberitas. Masa yang sangat indah dan menjadi ruang pembelajaran tentang hidup. Baik tentang sosial-budaya, politik, filsafat, sastra dan sebagainya. Aku yang awalnya menjadi pemuja “M” terhenti setelah “M” menjadi istri orang lain. Karena aku menganggap harus berhenti agar tidak terjadi kerusakan sistem dalam diriku. Dan mungkin hanya sampai saat dimana “M” sudah menjadi hak orang lain.
“W”. Sebut saja panggilannya begitu. Perempuan kedua dalam hidupku yang mengajarkan tentang sastra dan filsafat. Selain aku sudah banyak belajar dari kisahku sebelumnya, aku mendapatkan pengetahuan lain yang lebih sempurna. Sedangkan orang lain masih bilang itu cinta monyet. Tapi sekali lagi aku katakan aku memang belajar hidup dari kekanak-kanakan.
Entah seberapa banyak karya sastra, seperti puisi, surat cinta yang bersastra, yang aku layangkan sebagai persembahan kepada “W”. Entah seberapa banyak siasat dan rayuan yang aku lakukan untuk mendapatkan simpati hatinya. Entah seberapa banyak teori yang aku terapkan untuk sampai pada tujuan. Paling tidak aku sudah melakukan sesuai pilihanku. Aku pun mendapatkan sambutan yang indah dari perempuan yang aku puja. Padahal, aku tidak mengharapkan apa pun kecuali harapan kasih sayang dari yang aku puja. Barangkali karena aku belum bisa tidak menghitung-hitung hasil. Dan wajar saja, aku masih berada dalam dunia puberitas. Artinya aku dalam prosesi-prosesi pembelajaran tentang hidup.
Kalaupun aku ditanya cinta itu apa aku tidak akan bisa menjawab. Hanya aku akan katakan seperti seorang anak yang menangisi mainan tanpa mengetahui apa gunanya, ‘mencintainya tanpa harus tahu apa artinya cinta’. Dan persoalan selanjutnya sampai kapan manusia berakhir dari dunia puberitasnya?
Kembali pada “W” dan aku. Kurang lebih hampir dua tahun aku menjadi pemuja “W” dengan tanpa “hasil” apa pun. Dan aku tidak merasa disakiti oleh siapapun. Terutama oleh “W”. Mungkin karena aku mencintainya. Pada akhirnya nasibku sama seperti yang dialami sebelumnya bersama “M”. “W” dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengan laki-laki yang sudah punya kerja dan berusia lebih tua dari usianya. Sungguh menyakitkan bagi “W”, dan juga bagiku. Kenapa perempuan di tanah kelahiranku ini tidak dipandang sebagai manusia yang juga sama haknya seperti laki-laki. Kenapa tanah tercintaku selalu menumpahkan air mata seorang anak perempuan?
Terkadang aku berpikir hidup penuh dengan ketidakadilan. Penuh dengan kemuakan dan kekejian. Tatanan sosial yang seharusnya memanusiawi malah membinatangi manusia itu sendiri. Orang tua yang seharusnya mengajarkan kebijakan malah mencontohkan kebejatan. Aku adalah orang yang ingin memberontak terhadap keputusan tatanan sosial. Tapi aku sendirian. Aku pun pada akhirnya tidak punya daya. Aku hanya satu lidi yang mudah dipatahkan. Bukan segenggam lidi. Entah kemuakanku ini harus bermuara kemana.
Aku memang sang pemuja cinta. Walaupun sakit, tapi aku tidak merasa kalah. Karena dengan mencintai aku bisa belajar. Dan belum tentu orang yang dicintai dapat belajar bagaimana menjalankan hidup dengan baik dan bijak. Dengan cinta pula aku belajar bagaimana membenci kehidupan sosial yang tidak manusiwi. Sebenarnya kemuakan hidup adalah terdapat pada prosesi-prosesi yang menekan kita harus seperti ini dan itu. Dan kita tidak terima, sebab kita manusia yang dapat berontak atau menilai dengan pikiran dan rasa.
“M” dan “W” adalah berhala hidup di masa puberitasku yang bermakna. Mereka berdua tidak pernah bersalah dalam memperlakukanku sebagai kekasihnya. Karena ia memang berhak untuk itu. Dan aku pun tidak bersalah mencintainya. Karena dalam hal cinta tidak ada yang salah. Kecuali aku mengganggu haknya sebagai manusia. Dan aku tidak suka mencambuk hak siapapun. Sebagaimana kata Sartre, “Siapa saja yang menggagu hak atau kebebasan orang lain maka ia adalah neraka”. Aku telah memiliki sejarah yang pantas dilukis di dinding-dinding kamarku. Aku tidak peduli dengan ludah orang lain. Dan siapa pun, pasti memiliki sejarah yang sangat berarti bagi hidup dirinya sendiri.
“Dalam hening yang sama
Tatapan meliar
Sayat sabda abadi
Jadi kisah sendiri-sendiri
Sungguh. Kau harus pahami!”
Inilah kisahku. Kisah awal yang berharap pada muara kehidupan. Bukan pengetahuan. Bukan pula hasil dari jerih payah pikiran. Aku hanya ingin katakan “Jangan sepelehkan kisahmu sendiri”!
Kemuakan atau pun tawa, akan menyelimut jiwa yang mau melihat. Tidak harus dengan mata untuk melukis dunia. Tidak harus dengan tangan untuk menampar. Tidak harus dengan telinga untuk mengetahui bahasa. Tidak harus dengan apapun. Cukup dengan kisah itu sendiri. Kisah bukan hanya sebatas pemaparan semu. Kisah adalah pedang yang bisa digunakan membabat apa saja untuk sebuah jalan. Kita berangkat dari titik yang sama. Aku dan kalian.
Saudaraku bilang aku tidak pantas menjadi seorang laki-laki. Terlalu cengeng. Terlalu kekanak-kanakan memandang cinta dan kehidupan. Biarkan saja. Suatu saat ia akan mengerti.
Tidakkah kita bertanya pada diri kita kenapa hidup seperti ini? Inilah keharmonisan, kedinamisan, dan keserasian hidup. Hitam dan putih pada dasarnya sama-sama penting. Cahaya sangat dibutuhkan kalau di dalam gelap. Dan gelap dibutuhkan untuk memperjelas makna putih.

Persembahan....


Bismillahirrahmanirrahim.

Manusia terkadang suka lupa untuk menengok hari yang lalu atau hari berikutnya, karena sibuk oleh segala aktivitas dan persoalan yang sedang dihadapi hari ini. Metabolisme tubuh manusia bergerak tanpa bekerja, bertingkah laku, sampai pada akhirnya tidak mau lagi mengerjakan suatu hal sekalipun.

Tanpa disadari begitu banyak umat manusia yang berpijak di atas bumi ini selalu mempersoalkan kebutuhan, kepuasan dan kepentingan. Mungkin inilah yang sering disebut sebagai kebutuhan sehari-hari umat manusia. Aktifitas yang dilakukannya selalu saja mirip dengan hari sesudahnya. Manusia masih tetap menghirup udara, tetap mendapatkan sinaran mentari, dan tetap dirundung malam, bahkan terkadang disiram hujan. Selalu saja seperti dahulu, seperti hari kemarin.

Inilah kaidah dasar untuk mendapatkan keberhasilan, tergores didalam pikiran dan ingatan! “Sukses bergantung pada dukungan orang lain, berfikir benar tentang orang lain dan mereka akan suka dan mendukung kita!”. Ketika kita mencoba memaklumi kepahitan, mungkin hal itu bisa lebih baik, menganggap belum tentu orang berbuat lalai, mempunyai niat berbuat lalai, banyak maklum banyak tenang, Ya…cari saja 1001 alasan untuk memaklumi!!!

Dalam kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya terutama kepada Allah SWT, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, pemilik semua kehidupan alam semesta, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada hamba untuk senantiasa mengecap ‘kenikmatan’ syurga dunia. “Puja dan syukur senantiasa kuhaturkan!”

Padamu Ibu & Bapak tercinta yang tak henti-hentinya memanjatkan do’a untuk kesuksesan anak tercintanya dan selalu memberikan motivasi, melalui limpahan doa yang tiada henti, sehingga saya bisa menjadi sosok yang “sejatinya”. Kasih sejati kasih Tuhan kepada hamba-Nya. Kasih murni kasih ibu-bapak kepada anaknya. Kasih saudara masa berada. Kasih sahabat masa binasa. Kasih suami-isteri sepenanggungan. Kasih orang menaruh harapan. “Kepada Ibu & Bapak, Puja Kusematkan...!!!”

Kepada seluruh jajaran birokrasi kampus UIN SGD Bandung, baik dari tingkat rektorat, dekanat, jurusan, mau pun dosen pengajar, yang (telah) memberikan tempat dan wahana kepada saya untuk memberikan kebebasan berekspresi melalui mimbar akademik, sebagai salah satu bagian ciri dari dunia kampus, meski sering kali saya dilanda “kecewa” atas ketimpangan dan kebobrokan sistem pendidikan yang serasa “menyesakan dada”.

Kepada dosen pembimbing skripsi, Drs. Dadan Suherdiana, M.Ag dan Drs. Hamzah Turmudi, M.Si, yang dengan kesabaran dan (tentunya) dibalut rasa “kesal”, tetap mengaping saya untuk secepatnya menyelesaikan kuliah dengan kualitas yang mumpuni. Tak lupa, kepada Drs. AS Haris Sumadiria, M.Si dan Drs. Hikmat M.Si selaku ketua dan sekretaris jurusan, yang selalu berlapang dada untuk melayani saya mengurus administrasi.

Terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa Jurusan Jurnalistik angkatan 2001, baik yang masih ‘ngejar’ nilai, baru sidang komperhensif, akan wisuda maupun sudah sarjana, yang telah berjuang bersama untuk meraih cita-cita. Meski kita sulit sekali untuk bersatu padu, tapi saya yakin, dalam diri kita senantiasa tertanam solidaritas sebagai mahasiswa Jurnalistik. “Bravo Jurnalistik ’01!”

Terima kasih kepada seluruh sahabat-sahabat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dalam setiap level kepengurusan (Kader, Rayon, Komisariat, Cabang, PKC, PB dan Alumni) atas komitmen, loyalitas, dan semangat juangnya yang progresif-revolusioner, dalam usaha berjuang bersama untuk membebaskan kaum tertindas (mustad’afien). Semoga senyum Tuhan senantiasa mengiringi “kobaran darah juang” yang senantiasa kita gelorakan. “Tangan Terkepal dan Maju ke Muka! Lawan segala bentuk Penindasan!”

Sahabat pengurus dan simpatisan Partai Kampus Merdeka (PKM) KBM UIN SGD Bandung yang telah berjuang bersama mengantarkan cita-cita kita (terutama saya) untuk merebut posisi struktural kampus, demi terciptanya perubahan sistemik dan sistematis di kampus ‘gersang’. Lawan terus kekuasaan tiranik yang selalu membelenggu nalar kritis mahasiswa! Kepada kalian semua, kutitipkan perubahan kampus ini! “Bergerak sekarang, atau Tidak sama sekali!”

Sahabat-sahabat di InFHESt (Institute for Humanity and Education Studies), Acep Jamaludin, Asep Saepul Bahri, Yudi Cahyudin, Iis Hadiman, Misbah Solihin, “Haji” Zenal Murtadlo, Rizal “Batax” M. Natsir, Neneng “Nefha” Fatimah, Tanti Sumarni, dan Tina Istianah. Persaudaraan dengan kalian telah membawa saya pada haru-biru suasana yang penuh dengan pergolakan. “Sahabat, mari kita raih cita-cita bersama meski kita sulit untuk berkumpul lagi. Dalam hati saya yakin, satu waktu kita pasti bersama dan berkumpul kembali dalam suasana dan kondisi yang berbeda! Itu Pasti!”

Kepada seluruh staf Jaringan Islam Emansipatoris (JIE) Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M); KH. Masdar F. Mas’udi, Mas Zuhairi Misrawi, Very Verdiansyah, DR. Nur Rofiah, Mas Muhtadin AR, Mas Agus Muhammad, Hasyib, Mas Ali Sobirin, Mba Hariroh Ali, Mba Widha, Khalid, Boy’s dan Maskurudin, yang telah mendidik dan menggembleng saya agar menjadi insan yang humanis, kritis, transformatif dan praksis dalam bingkai keislaman yang pluralis dan emansipatif.

Sahabat-sahabat pengurus dan kader Komunitas Islam Emansipatoris (KOSIEM) JIE Bandung, JIE Pekalongan, JIE Makasar, JIE Samarinda, dan JIE Medan, yang telah berjuang bersama untuk menegakkan pluralitas dan universalitas ajaran keber”agama”an dan kebe”ragam”an dalam arena diskusi yang sangat dialektis.

Kepada teman-teman seperjuangan di BEM Nusantara (Kaisar Abu Hanifah–UIN SUKA Yogyakarta, Arie & Salafudin–IAIN Sunan Ampel Surabaya, Tony–UBHARA, Asnaldi–IAIN Riau, Fauzun–IAIN Wali Songo Semarang, Jambul & Rozy–UIN Malang, Nandang–IHD Bali, Asbit–UNIJA, Emin–UNISMA, Alim & Ali–AKPRIND, Aswadi–IAIN Aceh, Sarpan–STAIN Palu, Syamsir–UBH Padang, dll). “Sahabat, mari kita berjuang dan bergerak bersama, kita galang kekuatan mahasiswa, pemuda dan seluruh komponen masyarakat untuk menegakkan kedaulatan Indonesia yang bebas merdeka dari lepas dari belenggu intervensi asing. Sejarah kan mencatat dengan tinta emas kiprah kita! Saatnya kaum muda memimpin negeri ini!”

Kepada seluruh organisasi kemasyarakatan (JIL, Wahid Institute, SPS, MPPI, Dewan Pers, KMNU, Jamaah Ahmadiyah Indonesia, INCReS, GERAH, eLTAM, InTRAS, FKI1, LKIS, LSM Edukasia, DPD KNPI Kota Cimahi dan DPC PKB Kota Cimahi) dan perseorangan (M. Ridlo Easy, Emha Ainun Najib, Jumhur Hidayat, Agus Sunyoto, Elih Sudiapermana, Hasan Basri, Guntur dll) yang telah saya singgahi, hanya sekedar untuk sharing dan diskusi bersama demi menambah wawasan dan gagasan intelektual.

Kepada saudara-saudaraku; Mang Ija & Bi Emut sekeluarga, Ka Eko & Teh Ela sekeluarga, Ka Ceceng & Teh Ria sekeluarga, Ua Inah & Ua Parman, Ua Mariah (alm) Sekeluarga, Ua Iwa Sekeluarga, Mang Karwan Sekeluarga, Ka Iking & Teh Yuli sekeluarga, Ceu Teti & Ka Ateng Sekeluarga, Ceu Een sekeluarga, Ua Unah sekeluarga, Ua Suryat (Alm) sekeluarga, Ua Dastar sekeluarga, Mang Tarkat sekeluarga, Mang Tarka sekeluarga, Mang Kasta sekeluarga, Reni sekeluarga, Ua Mardiana, Mang Anto Kades, sahabat Karang Taruna “ALECI” dan handai taulan di kampung halaman Dusun Rimpaknangsi, Desa Hanum, Kecamatan Dayeuhluhur. “Tunggu kiprah dan baktiku padamu wahai negeri tercinta!”

Teman-teman “Gank Biru” (Oecok ‘Kautsar’ Van Hallen, Topik ‘Batax Saragih’ Iskandar, “Bony” Sumardi, Yan Candra ‘Husnul’ Maulana, Maman ‘Tuyul’ Koswara, Usep ‘Usenk Bulu’ Ahmad Muslih, Lista Cahyawaty, Tita Fatimah, Ida ‘Presidium Langit’, Nunun Nuria) plus Sri Kurniasih. “Sahabat, dulu kita pernah seiring-sejalan, membangun taman pendidikan Madrasah Diroshatul Islamiyah (MDI) di LSM Edukasia untuk pengabdian pada bangsa. Akankah ini cuma tinggal kenangan dalam angan? Sahabat, aku merindukan tawa canda dan kebersamaan dengan kalian!”

Teman-teman “Gank Xshack’s” (Hakim ‘Zoey’, Maman ‘Ebonk’, Taryono ‘Kozoet’, Ya2n Yohanes Boy, Heru, Wahidin, Kasrip, Soleh, Kandar, Ukoyah, Nina, Nunung, Eulist, Aan, Dewi dan Tating). “Karena motivasi dan ‘keberadaan’ kalianlah saya bisa melanjutkan studi untuk meraih gelar kesarjanaan”.

Kepada Bidadariku yang senantiasa memberikan motivasi, dorongan dan pengertiannya kepada saya untuk secepatnya meraih gelar sarjana agar harapan dan impian yang selama ini kita tanamkan segera tercapai dalam bingkai keridloan Allah SWT. Jhenk.... cinta bukanlah kata murah dan lumrah dituturkan dari mulut ke mulut, tetapi cinta adalah anugerah Tuhan yang indah dan suci, jika manusia dapat menilai kesuciannya. Pesanku padamu, “Bercintalah dengan pelajaran, bertunanganlah dengan mengkaji ulang, berkawinlah dengan periksaan, dan berbulan madulah dengan kejayaan. Cinta adalah suatu bentuk ungkapan keabadian yang tidak mampu dijelaskan melalui untaian kata indah, tapi melalui kenyataan pahit yang hidup dan sakit! Jangan karena cinta, kita gugur dari perjuangan. Dan jangan kerana cinta juga, prinsip kita menjadi larut dan cair! Cinta tidak semestinya akan berakhir dengan perkawinan, dan perkawinan juga tidak semestinya akan menoktahkan titik akhir kepada percintaan. Kesetiaan akan mengikat cinta, kecurangan akan melenyapkan segala kemanisan cinta. Sebuah perkawinan akan menjadi indah jika cinta terus bersama.... Semoga kau jadi milikku, sehingga namamu slalu tertanam dihatiku!!!””.

Akhirnya, kupersembahkan hasta karya ini kepada segenap civitas akademika, semoga menjadi setitik sumbangan bagi perkembangan dan perbendaharaan ilmu pengetahuan. Akhirul kalam, dunia telah berganti rupa, untuk peradaban kita! Demikianlah keyakinan saya! Maafkanlah kalau ada saru-siku saya selama ini, dan izinkanlah saya menutup persembahan ini:

Dengan Rongga Dada Yang Penuh Digenggangi Kemegahan Lagu Kebangsaan “INDONESIA RAYA!”

Dengan Hati Berdebar Mengiringi Melodi Mars “SUMPAH MAHASISWA INDONESIA!”

Dengan Sinar Mata Tajam Mencahyai Semboyan "MERDEKA MAHASISWA!"

Dengan Seru Kalbu Bertalu Dan Semangat Membara "REVOLUSI SEKARANG JUGA, ATAU TIDAK SAMA SEKALI!".

Bandung, 17 Agustus 2006 M

Hormat Saya,

ttd

NANA SURYANA